Thursday 6 December 2012

Bunga Trotoar

Ketika ada seorang bocah, berusia tujuh atau delapan tahun mendekatimu, dan dengan entengnya mengatakan,”Mba, minta duit,” apa yang akan kamu lakukan? Pilihan biasanya ada dua, pertama, mengacuhkan. Kadang-kadang aku juga gini. Habisnya yang jadi pengemis lebih kerenan dari aku sih, lebih gemukan (aku emang kurus sangat ya?), Hpnya aja lebih canggih. Rasanya ngga etis banget aku ngasih ke orang yang punya “modal” seperti itu. Terus, pilihan kedua adalah kita menyodorkan beberapa lembar uang kita, tak jarang uang receh yang nyelip disela-sela kantong yang udah lepek. Tapi kali itu, aku pengen melakukan hal yang lain. Ah, tepatnya spontanitas ding.
Bocah itu, (ah, entahlah siapa namanya, semoga ketika besar kelak dia tak menjadi pengemis seperti apa yang ia lakukan sekarang ini) menghampiriku yang baru keluar dari In**mart dekat asrama. Ia masih menggunakan seragam sekolah, namun sudah nampak kumal. Mukanya juga kotor kena debu jalanan. Dengan entengnya dia mengatakan,”Mba, minta duit.” Kalo aku kenal dia sih ngga papa, tapi aku kan ngga kenal dia, dia juga belum tentu kenal aku. Yah, namanya juga pengemis. Tapi aku tergelitik juga buat tanya lebih lanjut.
“Minta uang buat apa dek?” tanyaku mencoba meramahkan diri.
“Buat beli es cream, Mba,” jawabnya dengan mata memandang ke aspal.
Oiii, gue aja udah berbulan-bulan ngga makan es cream.
“Memang Bapak kamu kemana? Ngga minta sama bapak aja?” tanyaku lagi. Setahuku, dan semoga benar, anak seusia dia masihlah menjadi tanggungan orang tua. Tentu tidak dibenarkan ketika dia meminta-minta pada orang lain selain orang tuanya dalam keadaan tidak terdesak. Buat beli es cream coba.
“Bapak lagi layat, Mba,”
“Bapaknya di perempatan jalan tuh, Mba,” sela seorang pemuda di dekat kami. Nampaknya ia menyimak pembicaraan kami.
“Kalo Ibu? Layat juga?”
Dia hanya mengangguk lemah. Satu fakta, dia bukan anak yatim. Setidaknya belum aku lihat pembenaran dari tindakannya menjadi peminta-minta. Mungkin kini di pikirannya waktu itu, “Mba aneh, ngapain sih nanya-nanya?” tapi aku tak perduli. Waktu-waktu yang bergulir selanjutnya, aku masih berbicara dengannya. Menyakan banyak hal tentang ini itu. Mulai dari sekolahnya, PRnya yang belum dikerjakan, ia yang dipaksa kakaknya untuk ikut mengemis (kakaknya di Al**mart juga loh), bapaknya yang tak memberinya uang, hingga pengakuannya yang mengatakan ulang tahun minggu depan. Ah, aku tentu ingin mengajaknya ke asrama. Jika mau, dia akan aku belikan kue ulang tahun yang mungkin sangat ia impikan. Tentu jika pengakuannya benar, tapi, dia menolak. Namanya juga pengemis.
Adzan magrib baru saja terdengar dari masjid, dibersamai gerimis rintik-rintik. Jika tidak teringat bahwa aku harus sholat magrib, mungkin pembicaraan setelah hampir lebih dari 20 menit itu itu akan terus berlanjut. Tapi aku ternyata harus menyudahinya setelah berkali-kali mengatakan,”Mengemis bukanlah pekerjaan. Janganlah mengemis. Tuhan tidak suka akan hal itu, dan itu sungguh bukan perbuatan yang baik, bekerjalah jika kau dewasa nanti. Tugasmu sekarang adalah belajar, biar orang tuamu yang mencari uang untukmu. Sekali lagi jangan mengemis. Itu sungguh bukan perbuatan yang baik, ” tentu dengan bahasa yang mudah untuk ia pahami (aku punya ponakan seusia dia, ingat itu! Terus knapa?).
Aku meninggalkannya, setelah sebelumnya memberinya sebungkus coklat (tau kan coklat yang biasa aku beli?-.-).
Bocah itu hanya satu, dari mungkin sekian ribu bocah-bocah yang tak beruntung. Bukan karena tak beruntung berada dalam kemiskinan, tapi karena tak beruntung berada di dalam bimbingan orang tua yang “tak benar”. Kenapa aku bilang tak benar? Jika orang tua mengasuhnya dengan benar, tak mungkin orang tuanya membiarkan anaknya malam-malam, magrib berada di luar rumah, mengemis pula. Meski semiskin apapun, jika masih mampu, orang tua yang benar-benar mengajar anaknya dengan benar, tak akan membenarkan tindakan mengemis seperti itu. Sungguh, dia pantas mendapatkan lebih dari ini.
Kemudian, terkenang masa kanak-kanak. Meski hanya berasal dari keluarga bekas transmigran, keluarga yang harus berjuang penuh untuk bertahan hidup setelah kembali ke pulau Jawa, setelah tertatih menata hidup kembali setelah goncangan bertubi-tubi, sungguh, aku lebih beruntung dari ia. Orang tuaku tak pernah mengajarkanku untuk menjadi peminta-minta. Keluargaku tak pernah meninggalkanku sendirian di kegelapan malam, menghampiri orang-orang untuk meminta uang pada mereka, berharap belas kasihan. Sungguh, aku jauh dan jauh lebih beruntung.
Ah, aku teringat pula akan negriku yang kaya raya luar biasa. Melimpah ruah sumber daya. Bagaimana negriku 10-15 tahun ke depan jika anak-anaknya lebih suka di luar untuk mengemis daripada berada di dalam rumah, belajar, mengerjakan PR, dan mengaji? Apakah ini salah keadaan? Patutkah kita menyalahkannya? Sungguh, tentu tak ada gunanya saling menyalahkan sekarang. Tak perlu pidato, penghimbauan pemberantasan kemiskinan, tak perlu sumbangan janji-janji, tak perlu, sungguh.
Dan, aku selalu bertanya, apa yang bisa aku lakukan?
Lagi-lagi jawabannya adalah, aku hanya bisa menulis. Melukis keadaan mereka dengan goresan tinta. Menerjemahkan keadaan mereka dengan otakku yang terbatas, dan semoga mampu mengetuk hati yang keras, untuk sekedar peduli, melihat dan turut memikirkan, apa yang bisa kita lakukan. Tidak hanya untuk mengulurkan tangan, membantu, tapi juga berusaha memutus rantai yang terlanjur terjalin kuat. Negara kita bukan negara pengemis. Ah, lagi-lagi, mungkin itu terlalu muluk.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday 16 July 2012

Numero Uno

 Celoteh pagi membangunkanku, menghabiskan mimpi yang tiba-tiba hilang dari ingatan. Entah apa yang aku mimpikan tadi. Mataku menyapu seluruh ruangan. Lampu kamar masih menyala, namun cahayanya meredup karena sinar matahari sudah mulai menerobos dari jendela. Jam berapa sekarang? Tak ada jam yang terpasang didinding kamar. Satu-satunya penunjuk waktu yang ada adalah handpone jadulku.

 “Astagfirullah!!!!!!!!!!!!!!” mataku yang semula redup dan ingin terpejam lagi langsung terbuka lebar. Seratus watt full. Pukul 05.43. Aku melewatkan sholat Subuh ku. Ah, tidak, semoga masih ada waktu. Aku terbirit-birit kekamar mandi. Menabrak pintu kamar, sandal selen, terantuk pintu kamar mandi yang hanya setinggi telingaku dan tragisnya, semua kamar mandi telah terisi.

 “Buruk Cip,” kataku seraya duduk disamping Cipa, teman sekelasku. Ia menoleh. Mengernyitkan dahi, tak mengerti.

 “Kesiangan lagi?”

Aku mengangguk. Ia nampak prihatin. Tapi sesaat. Ia kembali asyik dengan sesuatu yang berada di tangannya. Buku, novel tentunya. Aneh sekali jika yang ia baca buku pelajaran meski ditengah pelajaran sekalipun.

 “Cip, kasih solusi napa? Sholat Subuh jadi ngga tepat waktu nih,” rengekku. Meski aku tau sia-sia. Jika Cipa sudah memeggang buku, segala urusan adalah sampingan. Tak ada yang penting. Menyebalkan.

 Tuh kan, dia hanya menengok mukaku yang memelas, sedetik. Tak lebih, lalu kembali lagi ke bukunya. Sungguh tega! Apakah ini yang disebut sahabat? Jerit batinku. Tak serius tentunya. Ia sahabat yang paling baik yang pernah aku kenal. Aku menatapnya yang tak bergeming. Mangkel. Tapi ya sudahlah. Nanti jika sudah waktunya dia pasti akan memberiku solusi. Semoga saja solusinya tepat.

 ”Tanya si numero uno,” bisik Cipa di tengah-tengah perkuliahan. Aku menatapnya sejenak, tak mengerti arah pembicaraannya. Namun, setelah ku ikuti arah matanya yang tak setajam silet, baru aku paham apa yang ia maksud. Benar kata pepatah, setiap solusi pasti ada jalannya. Eh, setiap masalah pasti ada solusinya. Tinggal kita mencari kuncinya, dan kunci permasalahanku berada di depan sana. Duduk tenang di barisan kursi paling depan.

 Namanya Mandala, tapi kami sering menyebutnya si Numero uno. Nama yang sangat cocok untuknya, mengalahkan nama pemberian orang tua yang mungkin membutuhkan waktu berbualan-bulan untuk meracik nama itu. Tapi kami, atau mungkin seluruh makhluk di bumi hanya membutuhkan waktu sepuluh detik untuk menyebutnya Si Numero Uno.

 Si kurus berwajah tirus itu memang memiliki hal nomor satu hampir dalam segala hal. Contohnya saja tempat duduknya, ia tak pernah absen untuk menempatkan dirinya di kursi paling depan. Bahkan ia mungkin akan rela menggusur, ataupun menggunakan trik licik milik para penjahat tengik hanya untuk mendapatkan kursi paling depan. Tapi sepertinya ia tak usah mengguras tenaganya untuk mengeluarkan triknya tersebut. Selama ini dia selalu datang paling awal ketika pintu kelas belum terbuka, bahkan mungkin ketika pintu gerbang belum terbuka. Kadang aku jadi penasaran, jam berapa sih dia bangun?

 Nah, tepat sekali. Si nomor satu dalam segala hal ini pasti punya trik jitu. Namun ternyata hari ini aku tengah sial, si nomor satu telah melesat pergi paling pertama ketika perkuliahan telah usai. Dia memang the numero uno.

 Sepedaku melaju pelan melewati beberapa pertokoan. Matahari seakan tersenyum mengejek. Dia melambai-lambaikan sinarnya dan nampak enggan untuk bersembunyi lama-lama dibalik awan yang sesekali lewat. Beberapa klakson motor atau mobil terdengar nyaring. Ah, masa sama sepeda aja dzalim. Suruh siapa tak ada jalur khusus sepeda. Aku tetap mengayuh sepedaku santai dan sesekali tersenyum mengejek pada mereka yang menggerutu dibalik kemudi.

 “Santai sekali? Sepertinya pengemudi di belakang sana sudah kehabisan persediaan sabar,” suara seseorang mengusikku. Mandala. Dia mengayuh sepeda di sampingku. Namun kemudian ia melesat pergi. Wah, kunciku. Aku harus mengejarnya.

 Meski jauh dari adegan seru ala film action saat berkejar-kejaran, apalagi kami hanya menaiki sepeda ontel, namun mengejarnya sudah cukup membuat keringatku mengucur deras dan membasahi jilbab yang kukenakan. Tapi tak sia-sia, aku berhasil mengejarnya dan kini kami mengayuh sepeda bersamaan.

 “Baru pulang?”tanyanya.

 Aku hanya mengangguk. Aku belum berhasil mengatur nafasku.

 Kami terdiam cukup lama. Mengayuh dalam bisu. Wah, kaya orang marahan. Akhirnya kubuka pembicaraan.

 “Aku boleh minta tolong ngga, Man?”

 “Apa?” jawabnya singkat. Wajahnya tetap tertuju pada jalanan yang mulai lenggang. Kami mulai meninggalkan padatnya kota.

 “Ehmss…” keraguan tiba-tiba saja menghujamku. Aku takut dia akan menertawakanku dan berlalu pergi. Atau bahkan ia akan menceritakan pada teman-temannya bahwa aku sering kesiangan. Tapi segera kutepis bayangan itu. Setahun sekelas dengannya sepertinya sudah cukup untukku mengetahui wataknya.

 “Ngga jadi?” dia menoleh. Ah, aku harus cepat bicara. Jangan sampai ia menjadi the numero uno dalam hal meninggalkan teman.

 “Jadi…Aku Cuma pengen tanya, apa sih rahasia kamu selalu bangun pagi?”

Dia menoleh, mengernyitkan keningnya. Apa pertanyaanku konyol?

 “Yia, kamu kan selalu dateng paling pagi. Otomatis kamu harus bangun pagi dong? Nah, apa nih rahasianya supaya kamu bisa bangun pagi?” jelasku. Wajahnya kembali menghadap ke depan. Nampaknya ia tengah berfikir. “Aku hanya dalam keadaan terdesak,” jawabnya singkat.

 Aku menatapnya bingung. Kupikir dia akan membeberkan trik jitunya seperti jangan tidur terlalu malem lah, jangan minum kopi malem-malem lah, pasang alarm yang keras lah, yang semuanya pernah ku coba namun gagal total. Hampir saja sepedaku menabrak sepeda motor yang terparkir.

 “Maksudnya?” tanyaku dengan wajah terbodoh yang pernah ada di bumi.

 “Ehms…” dia berfikir lagi. Nampaknya dia paham, dia harus menjelaskan sangat terperinci agar aku mengerti apa yang ia maksudkan. Pengalaman di dalam kelas.

 “Ayo ikut aku,” jawab Mandala akhirnya. Ia membelokkan sepeda menyebrangi jalanan. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, aku membuntuti kemana ia pergi. Kami melewati sebuah jalan sempit dengan pemukiman kumuh disana-sini. Baru aku tau ada tempat seperti ini didaerahku.

 “Kita kemana?” aku sedikit berteriak. Jalanan sempit ini tak memungkinkan kami berjalan beriringan. Dia tidak menjawab, namun malah memperlambat laju sepedanya.

 “Ini tempat apa?” tanyaku lagi layaknya nenek-nenek renta yang paling cerewet melihat sebuah bangunan tua yang nampak lapuk, namun terawat. Ada banyak pohon bunga di tamannya. Jelas ini bukan rumah Mandala. Rumah Mandala sangat besar, mirip rumah di film-film. Dia anak orang kaya, dan yang buat aku salut dia bukan orang yang suka memamerkan kekayaan orang tuanya. Dia juga anak yang rajin, yah, si numero uno. Selalu mendapat nilai tertinggi, selalu paling awal menyerahkan tugas, selalu nomor satu aktif di kelas. Namanya juga numero uno.

 Lagi-lagi dia diam, hanya menyeringai kecil penuh misteri. Ah, baru aku tau, ada sisi lain pada dirinya. Aku kembali mengikutinya memasuki halaman bangunan tua itu. Seorang anak kecil menyambutnya.

 “Ibu ada Wen?” Tanya Mandala pada gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun. Bocah itu menggelang, lalu ia berceloteh riang. Mandala menoleh kearahku, matanya menyuruhku untuk mengikutinya.

 Kami memasuki sebuah ruangan luas dengan beberapa kursi di sudut-sudutnya. Mungkin ini ruang tamu.

 “Selamat datang di rumahku,” ujarnya. Ia meletakan pantatnya di kursi yang terbuat dari kayu. Aku menatapnya tak mengerti. Pasti nampak sangat bodoh.

 Tanpa menunggu waktu lama, ia lalu menjelaskan panjang lebar tentang rumah itu. Itu memang rumahnya. Lalu rumah besar itu? Pemilik rumah itu adalah orang tua angkatnya yang berbaik hati mau menyekolahkan Mandala. Mandala hanyalah seorang anak miskin yang sedikit beruntung. Ayahnya telah meninggal sejak adiknya, Weni lahir. Ia terpaksa membantu perekonomian keluarganya, sampai-sampai ia terancam putus sekolah. Beruntung, seorang keluarga kaya menawarkan bantuan untuk membantu biaya sekolahnya. Namun tetap saja perekonomian keluarganya tak cukup membaik. Oleh karena itulah ia tetap bekerja di sela-sela kesibukannya. Setiap pagi ketika aku masih sibuk dengan mimpi-mimpiku, ia telah bersiap mengantarkan beberapa dagangan milik ibunya kepasar pagi dan membantu berjualan disana. Ketika matahari mulai menampakan batang hidunganya ia langsung meluncur ke kampus dengan sepeda ontelnya. Padahal jarak pasar dengan kampus bukanlah jarak yang dekat. Pekerjaanya belum usai. Ketika perkuliahan selesai ia harus bergegas menuju sebuah toko elektronik. Ia bekerja disana hingga matahari bersembunyi kembali.

 “Oke, jika ada alasan yang membenarkan aku bangun siang, pasti aku akan melakukannya. Namun sayangnya tidak. Waktu terus berpacu, dan aku harus mengejarnya agar aku tak menelan kerugian. Bukankah Rasulullah pun selalu bangun pagi? Kenapa aku tak mengikutinya, bukankah Ia panutan nomor satu di dunia?”

 Aku tercengang. Mandala mencontoh Rasulullah padahal ia non muslim. Sedang aku yang telah berikrar berkali-kali bahwa ia adalah Rasulku? Memalukan. Aku menatap taman melalui sela-sela jendela. Tak mungkin kubiarkan manusia nomor satu, the real Numero Uno, bukan Mandala, namun Rasulullah bersedih karena pengikutnya yang malas.

-End-
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday 11 July 2012

Dari Kolong Langit

 "Ibu, hari ini kita buka sama apa?"

 Ah, andai saja bisa memilih, tapi ini bukan pertanyaan atas sebuah pernyataan yang telah tersedia, tapi ini adalah pertanyaan atas ketiadaan, dan aku hanya bisa tersenyum sambil terus mengemasi penyambung nyawaku yang aku temukan. Kardus-kardus kosong tumpuan hidup kami hari ini. Tapi sepertinya harta karun ini belum cukup untuk mengganjal perut yang sewaktu-waktu minta diisi. Apa-apa sekarang mahal. Ah, tapi kenapa harta karunku ini tak bisa terjual mahal?

 "Ibu, kemarin Ayi lihat ada yang bagi-bagi kardus putih di persimpangan. Bu, nanti kita kesana ya," rajuk anak semata wayangku, bocah kecil berusia delapan tahun yang menjadi alasanku untuk tetap berusaha hidup hari demi hari.

 Ia menatapku. Ah, indah binar matanya. Masih bening sebening embun pagi. Andai dia tak terlahir disini, kolong langit yang sering mempersembahkan hujan mengguyur, mengigilkan badan, panas matahari yang terik, dan asap menyesakan dada. Mata indah itu pasti akan sangat dikagumi. Aku mengangguk. Ada harapan untuk sore nanti.

**

 Tiga puluh menit lagi. Kulihat jam di toko tempat biasanya aku meminta harta karunku. Tapi ternyata hari ini harta karunku tak aku jumpai. Hanya senyum ganjil yang aku terima dari si empunya toko. Dia tak pernah bicara sepatah katapun denganku. Hanya tangan dan kakinya yang bergerak seperlunya. Sungguh enak hidupnya. Hanya duduk dibelakang meja, tapi sudah mendapatkan uang. Ah, lalu bgaimana hidup orang-orang diatas sana yang berebut mendapatkan meja dibangunan yg sangat luar biasa itu. Aku tak mampu memikirkannya.

 "Ibu, kardus putihnya sedang dibagi. Ramai sekali disana. Ayo Bu, nanti ngga kebagian,"ucapnya penuh semangat. Ia menarik tanganku erat, dan aku hanya mengikutinya. Namun dihatiku juga tak kalah semangat. Perutku sudah berteriak minta diisi, tak mungkin aku abaikan. Kami berlari-lari kecil, dengan bayangan sekardus makanan lezat yang akan kami nikmati sore ini. Ah, lama sekali lidahku tak dirasai rasa-rasa sedap. Seringkali hanya aku temuai rasa hambar nasi dari beras untuk si miskin dan taburan kristal putih bernama garam.

 "Ibu, ayo, disana," Anakku menunjuk kerumunan orang-orang. Aku kenal banyak dari mereka, si Ibang pengumpul harta karun TPA, Si Sumi, musisi yang sering konser ditemani lampu merah kuning hijau, dan masih banyak lagi tetanggaku di kolong jembatan. Mereka antri dengan manis didepan seorang wanita muda yang begitu cantik dan anggun. Kulitnya putih, bajunya bagus, Senyumnya mengembang ramah. Ah, inikah malaikat itu?

 "Ibu, ayo!" Ayi menarikku mendekati kerumunan itu.

 “Tentu, ayo nak, kita bertemu dengan malaikat itu dan doakan yang terbaik untuknya,” kataku dengan senyum mengembang.

 "Ibu, maaf. Kami mau mewawancarai ibu ya," seseorang tiba-tiba mencegatku. Ia mengenakan tanda pengenal yang menggantung di lehernya. Sebuah microphone tergenggam di tangan kanannya. Dia ditemani seorang lelaki muda yang membawa benda hitam dengan ujung kaca dipundaknya, yang biasa mereka sebut kamera.

 "Ibu, pekerjaan Ibu sehari-hari sebagai apa? Bagaimana menurut Ibu dengan pembagian makanan untuk berbuka ini." Ia terus mengajukan pertanyaan yang tak aku mengerti. Untuk apa ia bertanya seperti itu? Apa ini syarat untuk mendapatkan kotak putih berisi makanan lezat itu? Aku tatap wanita muda disana, seseorang mengelap keningnya beberapa kali, ia juga dikelilingi orang-orang pembawa kamera. Cahaya-cahaya seperti kilat sering terlihat disana. Ayi berlari sendri tak sabar. Ia akhirnya berkumpul dengan mereka yang kini aku lihat mulai berebut. Apa tubuh Ayi yang kecil bisa ikut berebut. Harusnya aku membantu Ayi. Ah, sedang apa orang ini. Dia terus bertanya. Tak membiarkanku mendekati makanan lezat itu. Hingga kerumunan itu merenggang. Si wanita anggun pergi dengan mobil mewahnya. Orang itu pun turut berhenti bertanya dan meningglkanku dengan cepat-cepat.

 Mana Ayi? Apa ia berhasil dapatkan kotak putih itu? Aku lihat ia. Bajunya bertambah compang-camping, rambutnya bertambah kusut. Ia menatapku dengan air mata yang bersimbah. Tangannya kosong.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday 24 May 2012

Chroma



Keluh itu bukan karena peluh
Meski telah membanjir luruh
Seperti debu yang tersepuh,
Mengahantam, menjadi grumosol, regosol, dan spodosols

Layaknya aphelium, renggang tanpa pegangan
Layaknya apparent, mundur selangkah demi selangkah
Menjauh, dari barisan yang berjajar

Memang, aral itu bukan sekedar elfata
Yang menggores kaki dan mengotorinya
Bukan sekedar lapili yang menghujani
Tapi karang dan tebing
Juga badai hurricane di garis tropis

Tapi sungguh, kita bukan asteroid tanpa jalur
Bukan meteor yang terkikis saat jatuh,
Bukan pluto, tanpa induk
Bukan premeval yang melayang menjauhi matahari.
Tapi sungguh, jalan ini berujung tanpa jerih,
Bersemai manis, serangkai kamboja, semerbak pada kasturi.

Lalu, tak bisakah kita kembali sedekat layaknya perihelium
Dengan chroma yang berpijar meski berbeda
Bukan fault yang terpisah dan tercacah
Merangkai jemari dan melangkah
Pada satu ikatan ukhuwah
Kembali menjadi perca-perca Jundullah.




Zii Mujiku Hibiniu
24 Mei 2012
Ruang kuliah 214
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday 23 May 2012

Dinding

Dinding -Dinding
Kita selalu berbicara disini. Berfikir luas, mengembara jauh tentang dunia kita, mengkritik, menghujat, dan bahkan mencaci. Ketidak puasan itu terluncur pasti, dan seperti tanpa aling-aling lagi, kita menuntut mereka. Luar biasa, bukan main, betapa beraninya kita. Ya, kita, karena aku pun bergabung bersama kalian disini. Hati yang bergejolak menentang penindasan dan ketidak adilan, hati yang sedih menatap perut-perut membuncit karena busung lapar, mata-mata yang nanar menatap mayat-mayat hancur berantakan, namun hati ini pun slalu bertanya, kapan kita buka pintu itu, dan kita berteriak lantang di luar? Kapan kita bergerak melawan ketidak adilan? Kapan kita kumandangkan perang pada mereka sang penjahat?
Selalu, yang aku temui kosong. Dinding-dinding kelas seperti sebuah batas pemikiran kita. Dinding-dinding kelas seperti pemisah antara jiwa kita yang radikal, peduli, berani, dan tangkas, dan jiwa kita yang masa bodoh, apatis, dan terlalu penurut pada keadaan.
Tentu, ingin aku usung idiologi kalian yang hebat keluar dari kungkuman ruang bernama kelas. Tentu ingin aku robohkan dinding-dinding batas sehingga kita tak lagi perlu menjadi orang lain. Aku ingin kita bergerak, mencabik-cabik mereka yang telah mengoyak-koyak tubuh ibu pertiwi dengan rakusnya. Kita berjalan, membawa spanduk-spanduk keadilan, kita teriakan, kita kumandangkan, kita kibarkan bendera perang pada mereka yang memenjara kita dengan dinding-dinding peradaban buatan tangan mereka.
Aku ingiiiiinnnnn sekali kawan. Tidak hanya berdemo dipinggir jalan, atau memutari kota dengan seribu tuntutan. Tapi kita benar-benar bertindak. Bukan menuntut, tapi kita yang melakukannya sendiri. Aku inngiiiiiiiin sekali kawan, kita sama-sama berjalan, menyusuri jalan-jalan terjal, menghampiri mereka yang membutuhkan, mendengar suara mereka, bukan sok tau dan menganggap kita sudah sangat paham. Aku ingiiiiiin sekali kawan.
Tapi akhirnya aku harus kembali pada kenyataan. Anganku yang melambung harus kembali pada raganya yang masih duduk manis di dalam kelas. Kosong dan kecewa karena aku hanya bisa diam, dan kita hanya bisa bicara.

#Ayo lakukan perubahan Kawan!!!!

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday 10 May 2012

Hujan yang Melengkung


Masih ingat tentang hasil wawancara Justin Bieber yang gue baca di http://id.omg.yahoo.com/news/justin-bieber-sebut-indonesia-sebagai-negeri-antah-berantah.html. Mungkin setelah ini, gue juga bakalan di hujat sama fansnya Justin Bieber mengenai hal ini. (hah, mana gue peduli).Bukan mengenai negeri antah berantah , tapi mengenai perkatan Justin "Kata 'think' itu menggunakan 'th', bukan 'f',".
Gue emang bukan orang yang pinter pake bahasa Inggris, karena ngga mahir itulah gue jadi enggan. Knapa? Lidah gue sering kesleo kalau ngomong bahasa inggris, belum lagi kalo di ketawain sama mereka yang ndengerin. Mendingan ngga usah ngomong. Hahaha, sebenarnya itu pun gue ngga peduli.

Lagi pula kenapa harus bahasa Inggris? Kenapa ngga pake bahasa Indonesia aja? Kenapa harus berkiblat pada bahasa yang ngga tau juntrung dan asal muasalnya. Bahasa Indonesia itu keren loh. Ngga Tau? (meski masih kerenan bahasa Jawa sih, juga bahasa daerah-daerah lain yang penuh dengan keunikan dan seni tersendiri).

Gue sendiri bukan ahli bahasa. Jurusan gue Geografi man!! Tapi gue pengen berfikir kritis layaknya profesor. Gue cuma seorang Mahasiswi tingkat rendah yang ngga tau apa-apa tentang dunia luar. Kita bandingkan saja antara bahasa Inggris dan bahasa nenek moyang kita yang harus kita junjung tinggi-tinggi dan kita gunakan sehari-hari (jangan malah sok-sokan pake bahasa Inggris)

Contohnya saja yang mirip-mirip nama gue, pelangi. Pelangi, bahasa inggrisnya apa? Rainbow. Rain, hujan, bow, melengkung. Hujan yang melengkung. Apakah hujan bisa melengkung? Lagi pula ngga kreatif banget karena menjiplak dari kata lain. Rain dan BOw. Sedangkan bahasa Indonesia itu kreatif, dengan memberi nama lain pada hal yang baru. Nenek moyang kita itu pinter-pinter dan pemikir kelas berat. Maka munculah kata pelangi untuk warna yang berwarna-warni setelah hujan reda yang melengkung indah di langit yang cerah. Hahaha....

Satu lagi, Bahasa Inggris itu ngga konsisten. Really!!! Coba deh, cari di kamus, atau buku bacaan apa saja yang ada bau English di dalamnya. Lu akan nemuin kata-kata yang ngga konsisten, dari segi pengucapan. Misal nih, Kenapa dalam bahasa Inggris Cat, C-A-T, diucapkan Kat, K-A-T??? Lalu guna huruf C itu untuk apa? Apa untuk memperindah. Jadi gue mulai berfikir, sebenarnya bahasa inggris itu hanya memiliki sedikit kosakata, sehingga untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain, ya pake perbedaan pengucapan. Wah, beda sekali dengan bahasa Indonesia. K ya di ucapkan K, C ya di ucapkan C, begitupun dengan Z, th ya tetep th, so ngga perlu ada perdebatan antara th di baca th atau f. ckckckc, bener-bener kreatif nenek moyang kita sehingga membuat kosakata yang beraneka ragam.

Sebenarnya, bukan karena keberatan menggunakan bahasa Inggris, tapi gue pengen menghimbau aja (ceila, bahasanya, kaya udah jadi presiden aja, "saya menghimbau kepada segenap masyarakat indonesia dan bla bla bla' hahaha) bahwa bahasa Indonesia itu ngga kalah keren dengan bahasa-bahasa lain, terutama bahasa Inggris, so, kenapa harus berusaha beringgris-inggris ria, kalau kita memiliki bahasa yang super duper keren. Berbahasa Inggris boleh, tapi pada tempat dan situasi yang tepat. Ngga melulu harus bahasa Inggris, sampe-sampe yang sebenernya hanya bisa ngomong yes no, sok-sokan pake bahasa Inggris. Aneh bukan? Niatnya sih biar di bilang keren, tapi nyatanya, bikin wajah mupeng alias muka pengen ketawa.hehehe

Kita negeri yang bermartabat guys, so tunjukan martabat kita pada dunia. Kalo aku sih, sangat setuju dengan negeri Prancis yang tetep keukeuh mempertahankan bahasanya. Ngga ada salahnya kalau kita ikuti langkah mereka. Gunakan bahasa Indonesia. Takut dikucilkan dan sebagainya? Kalo aku sih lebih takut azab Allah (apa coba hubungannya? Ya dihubung-hubungin aja, iya ngga coy...Hahahaha), dan gue amat sangat sekali mendukung Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional. Kesempatannya besar loh, coba di hitung seluruh penduduk Indonesia, dan juga penduduk Indonesia yang ada di luar negeri. Hampir seluruh penduduk Indonesia tersebar di seluruh dunia dengan jumlah yang besar.
So, ayo perjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional. dan tentu, gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ya...hehehe
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tuesday 8 May 2012

At Taman Pancasila

Habis baca buku keren langsung pengen nulis. Keren, meski sepertinya ngga best seller. Tapi itu bukan acuan untuk menyatakan kualitas buku kan. Ah, mungkin hanya sebagian yang tau. Atau hanya malah hanya aku yang tahu buku itu ada? Ya ngga lah. Masa buku itu cuma di cetak satu eksemplar aja. (Jadi ingat antologiku yang baru dicetak 2 eksemplar. Kabarnya sekarang gimana ya? Jangan-janang tulisanku udah di garis merah semua. Wa...bahaya, siaga 14.)
Akhirnya aku punya kesempatan nulis juga, setelah berhari-hari lalu, dikalahkan dengan game online (ya ampun aku sudah adicted..huwaaaa..), Alhamdulillah, Allah menyelamatkanku. Aku ngga bisa buka FB. Tapi diambil ibrohnya saja. Jadi bisa nulis blog kan. Ya, setelah sekian lama blognya ngga disambangi. (ih, semutnya nakal. Nggodain aku mulu..(bukan semut di game, tapi semut beneran, la wong posisi nulisnya lagi di bawah pohon kelengkeng yang ngga pernah kelihatan kelengkengannya. Katanya sudah sepuh)).
Back to the book. Sebenarnya bukan bukunya yang hendak aku bahas. Tapi, efek samping setelah nuklis itu buku. Jadi rasa-rasanya langsung pengen nulis. Kayaknya gampang banget gitu loh. Mulus seperti tol tanpa hambatan yang berarti (paling kambing yang lagi pada bejemur, mirip bule-bule gitu) Ya, mudah banget kayanya, masih kayaknya karena aku belum praktek langsung. penasaran sama bukunya? Hubungi saya di nomor 087xxxxxxxxx, hahahahaha.
Dari buku itu, bisa diambil kesimpulan bahwa seorang penulis haruslah memiliki mata dewa. harus mampu melihat hal sekecil apapun yang akan di kembangkan oleh imajinasinya. Sayangnya memang tak mudah menemukan/ memiliki mata dewa itu (itu pendapatku sendiri). Perlu kepekaan tersendiri pada kehidupan sekitar. Ya, saya setuju dengan hal itu. Seorang penulis harus mampu melihat berbagai sudut pandang dari satu peristiwa, sesederhana apapun peristiwa tersebut. Misalnya aja nih, coz aku lagi ditaman, ehm, kita lihat aja di sekitar. Ada seorang mahasiswa duduk sendirian di tengah-tengah taman. Tangannya memegang laptop tapi matanya menerawang. Ah, siapa yang peduli dengan kejadian itu. Tapi bagi seorang penulis, hal itu bisa menjadi sebuah inspirasi. Kita kembangkan, kenapa mahasswa itu bisa termenung padahal di tangannya ada laptope yang sedang menyala. Apakah dia lapar, apakah ia tengah memikirkan tugasnya yang belum kelar, atau bahkan tengah merasai perutnya yang terasa nyeri karena pengen kebelakang. Atau yang lebih romantis, dia tengah teringat pada seseorang disana. Entah dimana. Itu silahkan di kembangkan, bagi kamu-kamu yang pengen jadi penulis cerpen. Atau bahkan novel. Hanya dari melihat seorang mahasiswi yang tengah termenung kita bisa mengembangkan banyak cerita. (katanya sih begitu)
Pengen tau apa bukunya? dan kenapa aku sampai betah bacanya?
lihat aja di toko buku terdekat. banyak sebenarnya buku-buku bagus tentang menulis. Tapi kita sungguh enggan meluangkan waktu dan tentu doku untuk hal yang satu ini. Ya buku. Kita (karena gue juga termasuk brow..heheh) seringkali memilih membeli pulsa yang akan seketika habis, daripada buku yang seumur hidup pun bisa utuh. Asal pinter ngrawatnya aja. Jadinya? Kita jadi buta akan dunia, sedangkan pengeluaran pulsa membengkak dan memperkaya mereka (pemilik penyedia layanan pulsa,hehehe). Seorang guru pernah berkata, musuh utama penulis adalah pulsa. Hems, iya ya...
Hah, sudah adzan dzhuhur. Saatnya sholat dulu Sob. Mungkin besok, kalo FBnya ngga bisa kebuka lagi bisa disambung lagi, mungkin dengan menu yang berbeda, aturan berbeda dan nuansa yang berbeda.
Assalamu'alaykum...(tadi ngga di buka dengan salam ya...hahahaha)



Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday 23 April 2012

Dari Kotak Sampah Masa Lalu


"Belagu kamu. Kerja mash lelet kaya keong aja udah berani ga masuk. Knapa kamu ga
masuk??" tanyanya, lebih tepatnya bentaknya, tiba-tiba di hadapanku.
Dengan tenang aku jawab,"Sakit, Pak!"
"Sakit?? Sakit apa kamu??"
Masih dengan tenang aku jawab,"Demam,pak."
"Demam panggung? Hebat kamu. Demam sehari sudah sembuh. Kurang lama kamu liburnya??" tanyanya, ah tidak, tepatny, bentaknya lagi. Sekarang semua mata sepertinya tertuju padaku.
"Sudah dari Sabtu, Pak." Aku mulai gemetar.
Huuh, knapa pula harus gemetar. Dia ini! Tapi tanganku tetap saja gmetar, meski sbenarnya perasaanku biasa saja. Bukankah dia sudah sering seperti ini? Hanya risih berhadapan dengan manusia seperti dia.
"Mau mati kamu?? Kalo kamu udah ga bisa jalan, baru ga masuk. Demam saja ko absen!!" bentaknya lagi yang membuat emosiku memuncak.
“Eh, kamu siapa? Aku disini bukan budak yang bisa diperlakukan begitu saja. Aku bukan robot yang bisa kamu kendalikan sesuka hatimu tanpa merasa lelah.” Tapi sayangnya kata-kata itu hanya bisa tersendat di tenggrokanku. Aku tau saat ini posisiku dimana. Aku hanya seorang buruh rendahan, dan dia seorang manager yang memiliki kekuasaan. Bisa saja ia mengadukanku pada atasannya, dan bukan mustahil jika aku kehilangan pekerjaan ini. Aku hanya bisa diam. Kembali menekuri pekerjaanku, meski bening kristal sepertinya hendak menetes dan kaki yang lemas karena lelahnya berdiri.
Ah, cerita lama, sepotong episode yang telah terlanjur terukir dalam hidupku yang panjang (sudah dua puluh tahun loh..:D). Sungguh saat-saat yang paling pahit dalam kehidupanku. Tapi ini bukan lagi cerita duka, kini cerita itu adalah cerita faforitku ketika aku tengah terpekur pada keputus asaan. Itu hanya sepenggal kisah laluku ketika sebuah harapan tak mampu menjadi kenyataan begitu saja.
Hems, mungkin sebagian besar dari kalian mengalami kehidupan yang cukup mulus, bahkan mungkin semulus jalan tol. Jikapun ada batu sandungan, batu itu bisa tersingkirkan dengan mudah. Tapi bagi sebagian orang lain, batu itu tak hanya sebagai batu sandungan, namun karang penghalang yang sangat kuat dan tak sedikit yang berbalik dan pergi. Ya, mereka memilih memutar arah dan menyerah. Tapi aku tidak ingin menjadi bagian orang kebanyakan itu. Aku tidak ingin menyerah ditengah keterbatasan, ditengah halangan, dan mungkin rintangan. Jalan Allah akan selalu ada.
Ya, kisah itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu ( baru dua tahun sih). Ketika itu, suatu malam yang gelap, dingin dan bintang yang malu-malu mengintip dari tebalnya malam. Tapi sayangnya aku tak bisa menikmati mereka. Aku terpaksa berdiri di bawah sebuah bangunan dengan dunia luar yang mulai tertidur karena telah larut. Ya, aku berdiri menghadap sebuah meja dan beberapa peralatan kerjaku, dengan tangan yang tak pernah berhenti meski mata sejak beberapa jam lalu tak bisa lagi diajak kompromi.
Bangunan itu adalah sebuah pabrik elektronik. Bangunan kokoh diantara bangunan-bangunan kokoh lain di tengah-tengah kawasan industri ibu kota. Disitulah tempatku bekerja hampir 9 bulan (10 hari lagi lahiran loh..:P). Siang dan malam tergantung sift yang aku dapat. Jika kebagian sift siang, jam 6 pagi aku harus stay di pinggir jalan menunggu jemputan pabrik, setelah sepuluh jam bekerja (jika tidak lembur, dan jika lembur di tambah dua jam lagi, dan sayangnya seringkali kita tidak bisa menawar jam lembur. Hal itu seperti sudah keharusan), jemputan itu akan mengantarkan kembali ke tempat dimana ia menjemput kita. Pukul 8 malam biasanya aku sampai di kontrakan. Kemudian, apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi tubuh yang telah lelah karena sesiangan bekerja dengan posisi berdiri dan tangan yang tak pernah berhenti? Tubuh itu tak jarang hanya mampu terkapar di kasur tipis. Beristirahat, mengumpulkan kembali tenaga, untuk kembali berjuang esok pagi.
Jika kebagian sift malam, sehabis sholat magrib aku harus stay di pinggir jalan. Menunggu jemputan yang biasanya telah penuh sesak. Menunggu macet yang tak kunjung lenggang, dan kembali bekerja, berdiri dengan tangan yang tak berhenti memproses berbagai material elektronik. Meski jika sift malam hanya 8 jam kerja, namun sungguh, sift malam bukanlah sift yang mudah. Kita harus menjaga agar mata tetap terjaga, kita harus menjaga naluri untuk tidur, dan menjaga agar pekerjaan kita tetap benar (kopi sudah tidak mempan). Jam 7 pagi, bus jemputan itu kembali mengantarkanku ke tempat semula. Aku kembali ke kontrakan dengan aktifitas siang yang sebagian besar aku gunakan untuk mengumpulkan energi agar tetap terjaga dimalam hari. Jika bos sedang “berbaik hati” mereka akan mewajibkan bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Memang hasilnya cukup lumayan, tapi seorang buruh akan benar-benar bekerja tujuh hari dalam satu minggu.
Itulah rutinitasku selama 9 bulan itu. Bekerja siang dan malam mengabaikan pembagian hari. Siang untuk bekerja, malam untuk beristirahat. Hal itu tidak ada. Kesenangan- kesenangan lai pun terabaikan, misalnya saja kesenanganku menulis benar-benar aku tinggalkan. Aku sangat jarang menyentuh pena dan kertas. Sangat jarang berjalan-jalan, sangat jarang membaca, sangat jarang berdiskusi, sangat jarang naik gunung (tidak pernah). Tujuh hari dalam seminggu benar-benar digunakan untuk bekerja.
Aku bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang melakukan hal tersebut tentunya. Aku memiliki teman yang senasib. Lulus SMA, langsung melamar kerja. Bekerja tujuh hari dalam seminggu demi cita-cita di kemudian hari. Ya, beberapa dari teman-temanku juga memiliki impian yang sama. Kami hanya bekerja disini sementara. Jika uang telah mencukupi, kami akan kembali mengejar mimpi kami. Mimpi kami bukanlah disini, tentu. Kami ingin melanjutkan kuliah, menjadi mahasiswa berprestasi, kuliah di luar negeri, mendapat pekerjaan yang mendapatkan jatah kursi untuk kami duduk. Aku sedikit demi sedikit berhasil. Aku meninggalkan pabrik itu setelah sembilan bulan bekerja dan melanjutkan mimpiku, menjadi mahasiswa yang semoga dapat berprestasi, berharap menjadi guru yang menginspirasi, dan jikalau dapat menjadi penulis yang memotivasi. Tapi tidak untuk mereka. Teman-teman yang aku kenal selama sembilan bulan. Teman-teman yang menghiburku ketika aku mendapatkan makian dari atasan, teman-teman yang menemaniku bergadang, teman-teman yang membersamaiku berdiri dengan kaki pegal.
Sebagian dari mereka kini masih bekerja. Ada beberapa yang bekerja di tempat yang sama, ada beberapa yang pindah namun dengan tipe pekerjaan yanng hampir sama, dan ada sebagian dari mereka yang menikah dan menjadi ibu rumah tangga, menunggu suami yang juga bekerja sebagai buruh sebuah pabrik, dan hanya segelintir orang saja yang menyusulku menapaki bangku kuliah setelah satu tahun mereka aku tinggalkan.
Aku memang bukan Tuhan yang tahu segala, tapi sungguh, kalian yang memiliki jalan mulus seperti jalan tol. Kalian yang tidak perlu memikirkan biaya untuk kuliah, kalian yang tidak perlu memikirkan biaya untuk membeli pulsa, kalian yang tidak perlu memikirkan biaya untuk makan sehari-hari, karena orang tua kalian telah menyediakan segala, sungguh kalian akan membuat kami kecewa, buruh-buruh yang mengubur mimpi-mimpi masa depan, jika kalian berleha-leha, menerima segalanya dengan pikiran masa bodoh, membiarkan waktu-waktu terbuang percuma, meratapi nasib yang sebenarnya tak seberapa, meneriaki dunia karena keputus asaan kalian, membenci dunia karena putus cinta, dan membiarkan ‘mereka’ merenggut milik kita, sungguh kami kecewa.
Kalian adalah wujud-wujud mimpi kami, jika kami tidak bisa menjadi kalian, biarlah kalian yang menjadi diri kalian sendiri. Menjadi penerus bangsa yang bisa memperjuangkan nasib rakyatnya, memperjuangkan nasib buruh-buruhnya, memperjuangkan pendidikan untuk semua, dan yang terpenting menjadikan negri kaya ini menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Tugas itu kami serahkan pada kalian yang memiliki kesempatan, maka, bangunlah dari sekarang, pedulilah pada kami buruh-buruh mlarat yang mengubur mimpi dalam-dalam, pedulilah pada masa depan kalian. Jangan menyerah hanya karena masalah kalian, jangan berputus asa hanya karena satu masalah.

“...sesungguhnya Aku dekat...” (Q.S. Al Baqarah: 186)


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tuesday 10 April 2012

Pertanyaan-Pertanyaan Ngga Penting Gueh



Kenapa kalo di sinetron-sinetron, orang tanda ketika seorang aktor atau aktris kena penyakit kangker rambutnya pada rontok? Padahal rambut rontok kan karena di kemoterapi. Kalo ngga di kemo ya ngga rontok. Kenapa bisa begitu? Apakah itu sebuah pembodohan? Lalu ketika rambut kita banyak yang rontok, terus bilang, jangan-jangan aku kena kangker. Panik, gigit jari, nangis-nangis sendiri di kamar, guling-guling ngga karu-karuan, jadi pendiem, menarik diri dari peredaran kaya majalah yang udah bangkrut atau artis yang kena skandal. Ujung-ujungnya bikin status geje di FB.. “Pren, maapin yeah kalo selama ini gueh ada salah,” terus ntar ada yang koment, “lebaran masih lama coy, ngapain maap-maapan sekarang?” Terus ada yang ngga nyambung lagi, “eah, gueh maapin, tapi beliin coklat dulu ya..xixixixi,” Becous si empunya status ikut geng jempol, jempol bertubi-tubi pun menghampiri statusnya. Pada seneng ya kalo temennya mau mati? (meski hanya dugaan)
Ini yang salah yang bikin status atau yang komen? Yang bikin status, padahal dulunya metal abis, status-statusnya penuh dengan makian, entah pada dunia, pada anjing yang lewat, atau pada burung-burung yang terbang tanpa dosa (kasian tuh burung), baru nyadar kalo udah mau mati (padahal hanya dugaan, kasian...) Yang bikin status, aneh, yang koment, tambah aneh. Emang kite maap-maapan cuma lebaran doang? Dikiranya dosa bisa dirapel dalam satu hari yaitu lebaran. Kaya gaji aja rapelan. Ckckckck, anak muda jaman sekarang. Untung gue mudanya jaman dahulu..hahahahaha..
Tapi ada baiknya juga sih, paling tidak meski hanya sementara, si empunya status bersikap ‘baik’. Sementara, karena nanti dua atau tiga hari lagi di juga paham, kalo paham, tanda-tanda kena penyakit kangker itu bukan dengan rambut rontok. Kali aja si empunya malas kramas, jadi rambutnya pada lari, males dengan baunya sendiri. ckckckc
Kenapa sih, kita sering kali hanya menjadi pengikut sebuah trend? Coba, trend apa yang kita tidak ikuti? Dari yang mulai boysband ala Korea, hingga chaya-chaya ala India. Ngga Cuma lagunya, gaya-gayanya juga. Mulai gaya fasion, bicara, sampe mungkin cara duduk cowok-cowok Korea yang bagi gue ngga banget.
Sebuah status mampir di beranda Gue, “Hari ini jalan bareng oppa liat pesawat ulang-aling. Baju kita kembaran loh, couple gitu. Lucu deh warna pinknya, Saranghai Oppa..” Herannya, jempolnya banyak banget. Mungkin dia juga anggota Genk Jempol. Gue sebenernya pengen koment, “Lu jalan ama kakek lu? Keren dong kakek-kakek pake baju pink, kembaran lagi. Sungguh cucu yang berbakti.”
Tapi, karena alasan etika dan tidak mau mencari perkara, gue biarin aja. Sambil menjadi pengamat, akhirnya gue ketemu juga sama yang namanya Oppa. Dia muncul sebagai komentator pertama. “Aku juga seneng Unni, besok lagi ya. Eh, tapi pake baju yang warna ungu ya..Saranghai juga.:*.” Kalian kakak beradik yang kompak.. Uni itu kakak kan? Ternyata yang namanya Oppa itu namanya Sami’un dari desa sebelah.
Ada-ada sahaja. Bener-bener ngga penting untuk diurusin. Tapi kenapa kita sok mengurusi hal-hal besar ketika hal-hal kecil yang sejatinya mengikis sedikit demi sedikit kepribadian kita dibiarkan begitu saja.
A
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Mungkinkah?

Pernahkah kamu bertanya, Mungkinkah? Atau apakah aku bisa? Aku sering melakukanya ketika aku menginginkan sesuatu. Ya, itu sebagai bentuk ketidak optimisan yang sering membuat langkahku terhenti, ah, bahkan sebelum langkah pertama diambil. Apalagi, aku memang bukan orang yang dapat begitu saja optimis terhadap suatu hal. Bahkan terkadang minder, tidak pede dengan apa yang ada pada diriku. Ini adalah penyakit pembunuh yang paling utama. Penyakit ini adalah penghalang untuk eksistensi di dunia. Bukan hanya ‘aku’ yang menjadi tokoh disini. Bisa saja kamu, mereka atau dia. Ketika sebuah keraguan menjadi arah pikiranmu, silahkan saja tunggu hasilnya. Tapi disisi lain, tentu kita juga ingin menyisikan penyakit ini sejauh mungkin yang kita bisa. Apa segampang itu? Mudah sekali berteori, tapi sunggguh sulit realisasi. Kembali, sedikit cerita, sewaktu aku di bangku SMA, menjalani hari-hari yang semakin dekat dengan Ujian Nasional, aku selalu bertanya dalam hati, mungkinkah aku bisa kuliah? Meneruskan menuntut ilmu, mungkinkah aku bisa mencapai mimpi-mimpiku? Kemudian aku pun memikirkan hal-hal yang membuat hal-hal tersebut menjadi semakin tidak mungkin. Sebuah pemikiran bodoh yang akan menghancurkan mimpi itu sendiri. Aku berfikir, siapa aku? Aku hanyalah anak dari seorang petani yang hasil sawahnya tidak bisa di prediksi. Aku hanyalah seorang siswa dengan nilai pas-pasan, dan tak punya relasi banyak. Aku hanya anak kampung yang tak pernah menginjakan kaki ke Mal-mal, berbelanja, ataupun makan-makan di kafe-kafe mewah, seperti yang sering aku lihat di cerita TV (baca sinetron). Apakah itu yang aku butuhkan? Background keluarga? Relasi? Daerah asal? Tidak, bukan itu yang aku butuhkan dalam meraih mimpi itu. Ah, kata menyerah tentu ada. Ketika kelelahan setelah berjuang seharian, Ketika harus bergulat siang malam dengan material-material pabrik, terjatuh, dehidrasi, sakit, opname, atau mungkin seribu halangan, ketika akhirnya ada iming-iming gaji yang menjanjikan, sejatinya Ia tak pernah padam, karena ada satu keyakinan, Allah selalu ada untuk hambanya. Ya, langkah pertama, gantilah kata mungkinkah dengan “tiada yang tak mungkin bagi Allah azza Wa Jalla.” Bangku kuliah yang semestinya, teman-teman yang baik, keluarga baru yang hangat, suasana yang kondusif, bukan lagi mimpi. Sungguh, perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi apakah sudah berakhir? Tidak sungguh masih panjang. Kata mungkinkah itu kembali hadir membayangi langkah kaki yang sudah berat dan di tambah berat lagi. Kemudian, hal yang paling sulit adalah aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sungguh sulit. Aku seperti menderita sindrom anti tempat baru sejak dulu. Mungkin sejenis fobia. Dan lagi-lagi aku bertanya, mungkinkah aku dapat diterima dengan keadaanku yang seperti ini. Fisik (ah, apa sih pentingnya fisik?) yang jauh dari kesempurnaan versi manusia, tutur kata yang manis, guyonan ringan tapi menghibur. Ah, aku tidak punya. Aku tak pada menyapa seseorang meski hanya berkata “hai” dan memulai percakapan yang berakhir pada persahabatan. Akhirnya aku hanya menjadi golongan yang mungkin lebih senang duduk di pojok dan menjadi penonton. Sungguh tidak asik bukan jika hanya menjadi penonton? Kata mungkinkah itu pun menjadi momok yang menyeramkan. Tapi apakah semudah itu aku menyerah, setelah satu tahun bergulat dengan peluh dan debu, setelah satu tahun menjadi manusia paling kritis dengan buku tabungan? (metafora lah..) Sungguh sia-sia, jika mungkinkah itu menjadi penghalang dan aku hanya terlempar disudut. Kaki ini harus bergerak, bibir ini harus berbicara, tangan ini harus terangkat, dan hilangkan ketakutan bahwa engkau adalah sendiri. Ya, langkah kedua, ingatlah dan camkan dengan baik-baik, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat....” Ya, Allah selalu dekat dimana pun engkau berada (backsong Allah always be There-Maher Zain..hehehe). Luar biasa, keberanian itu muncul. Seperti ada yang tak kasat mata, mengangkat tanganku, menyeret kakiku, dan menyuruhku berbicara meski tergagap, dan keyakinan itu hadir, aku siap menjadi guru dengan resiko bercerita di depan banyak orang, banyak mata yang memandang, meski dalam keadaan asing sekalipun. InsyaAllah. Selanjutnya, aku bermimpi, Aku ingin menjadi penulis. Dan lagi-lagi, pertanyaan itu menghantuiku. Mungkinkah? Sungguh, hidupku tak semulus jalan tol. Kata menyerah sering kali mampir. Tidak hanya menenggak air, tapi juga tertidur dan berdiam cukup lama. Hingga akhirnya, kata lelah tak terelakan. Aku lelah ketika harus menjalani hidup yang sering kali terhalang karang, aku lelah menjadi debu yang di terbangkan angin, dan tak cukup sampai disitu. Kesedihan datang bertubi, menjadi sebuah sandungan yang menyakitkan. Ketika sebuah kerikil membawa bala bantuannya. Sungguh, melelahkan. Tapi haruskah aku berhenti setelah sekian jalan yang telah terlewati? Haruskah berbalik arah dan menyerah? Jawabannya pasti sudah, TIDAK! Ketika semua upaya, daya tenaga, pikiran, dan jiwa telah tercurahkan, apalagi yang bisa dilakukan, kecuali berdoa padaNya? Ya, harapkanlah dengan pengharapan sebesar-besarnya. “Berdoalah padaKu, niscaya akan Aku kabulkan,” Ya, yang terakhir adalah, Berdoalah. Libatkan Allah dalam setiap urusanmu. Ingatlah Dia yang menggenggam segalanya. Dia pemilik alam semesta, dan terlantunlah sebuah doa sederhana, “Jika menulis bukan jadi jalanku, aku meminta Allah menunjukan apa yang terbaik untukku. Jika Menulis memang jalanku, berikanlah aku sedikit saja keyakinan bahwa itu memang jalanku,” Dan Allah menjawab doaku. Dia memberiku inspirasi ketika aku tengah bosan untuk menulis. Lelah dalam aktivitas harian. Dia memberiku ide dan kegigihan. Meski tanpa edit sebelumnya, dengan kondisi baru terlahir dari dalam telurnya, sebuah naskah tanpa ada tujuan akan mendapat apresiasi, penghargaan, atau pujian, telah terkirim pada sebuah majalah online dengan bacaan tasmiah. Dan Allah menjawab doaku. Satu hari berselang, sebuah email masuk dalam inbok Pemberitahuan, naskah yang aku kirim di tayangkan. Bukan prestasi besar, tapi aku pikir tiga ribu pembaca, dengan tiga puluh komentar hangat (padahal pengennya kripik pedas), sebuah pencapaian yang luar biasa, apalagi untuk aku, yang sungguh tak mengerti hakekat menulis sesungguhnya. Ya, libatkan Allah dalam setiap urusanmu. Apakah sudah selesai? Aku pikir belum. Masih banyak hal yang masih harus di capai, tentunya tanpa ada embel-embel kata Mungkinkah? membayangi langkah-langkah keyakinan akan Dia. Akhirnya, sebuah pesan dari seorang sahabat, jangan pernah menyerah! Jangan pernah ragu dengan bertanya, Mungkinkah? Tak ada yang tak mungkin bagi Allah azza Wa jalla. Selanjutnya, aku akan membuat novel. Mungkinkah? Sangat jelas mungkin jika Allah menghendaki itu terjadi. Salam... Mujiku Hibiniu Kamar Mimpi Revisi 10 April 2012
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday 1 April 2012

grgrgrgrg

Muak, atau kata sejenisnya. Terserahlah. Kadang-kadang aku merasa menyesal, meski penyesalan itu segera aku enyahkan, karena akhirnya akan menambah daftar penyesalan lainnya. Kenapa aku ada disini? Bukankah seharusnya aku memiliki kehidupan yang lebih baik disana? Aku mungkin hanya lelah. Tugas-tugas tertumpuk, proker-proker yang menggunung, target-target yang tak tercapai. semuanya itu kemudian masuk kedalam pikiranku. Tidak seharusnya dipikirkan memang. Hanya perlu diselesaikan. Ya, tapi terlanjur sudah. Semua hal itu telah masuk kedalam otakku yang bebal. Yang terus saja memikirkannya hingga membuatku risau. Kenapa pula aku harus memikirkannya? Kerjakan saja. Nyatanya tak semudah itu. Ah, aku bosan. Bosan selalu saja berkutat dengan tugas-tugas, dengan kuliah-kuliah. Apa otakku makin tumpul? atau aku yang semakin dangkal? Bisa saja semua itu benar adanya. Aku yang terlalu dan terlalu. Ah, ini hanya kebosannanku. Tapi sungguh ini membuatku seperti orang gila. lelah rasanya menjadi aku meski aku bukan apa-apa. Meski aku tidak melakukan apa-apa. Atau mungkin itu yang membuatku bosan? Aku yang bukan apa-apa?
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Ketika Kata

Adalah kata, jika ia semudah pemikiran yang slalu merasuki otak-otak jiwa. Namun nyatanya ia rumit bagai ilalang yang meranggas pada musim kemarau, memilin-milin urat-urat pada rentang kematian yang teramat lama. Sekarat pada detik penghabisan. Nadirnya menjadi pasti. Kata, ia bersandar dalam jiwa, andai saja semudah menghitung jari jemari yang terus berdzikir, nyatanya ia bagai bintang di langit yang kokoh pada pusarannya. menggapai awan-awan yang lalang melintang menghalang mata-mata yang padam. Kata, terakhir bagai tersambar halilintar kepatuhan yang mengancam kesangsian pada kebenaran. Nyatanya ia kasat lebih kasat lagi dan lagi. seperti ruh yang telah tercerabut dari raga yang tergeletak tak berdaya. Pori-porinya kembali utuh, tapi ia tak utuh lagi. Kata, seringkali, meleset pada mantra-mantra pendendam, penghasut, penindas, pembohong, pendusta, dan ia hilang pada angin yang bertiup menggelontorkan asap-asap hitam yang mengepul menyesakan nafas-nafas yang terengah-engah. Tubuh makin ringkih. Amarah makin mendidih, perut makin perih, nyali makin jerih, Kata, apakah dia masih bisa mengenali dirinya lagi??
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday 25 March 2012

Demokrasi, Pemandulan Hukum Islam??



Jleg!!
Saya sendiri kaget ketika saya memilih judul diatas. Tidak bermaksud menghakimi, atupun menyalahkan, saya hanya hendak mengkaji, sedikit saja bagian yang mungkin beberapa dari kita belum paham, tentang sebuah kata yang dianut oleh negara kita. Padahal sebagian besar dari kita telah menggembar-gemborkan dan bahlkan menuntut penegakannya, ya demokrasi.
Bukankah negara kita adalah negara demokrasi? Ya, secara teori negara kita adalah negara demokrasi. Oleh karena itu ada baiknya jikalau kita mengkaji dari awal, apa itu demokrasi. Kata Demokrasi dapat dipilah menjadi ‘demos’ yaitu ‘rakyat’ dan ‘kratos/cratein’ yang artinya pemerintahan, jadi demokrasi sederhananya berarti pemerintahan rakyat. Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern.
Kemudian munculah teori demokrasi klasik. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh JohnLocke (contrac social), Montesquie (triaspolitica),dll. Mereka mendefinisikan demokrasi sebagai “kehendakrakyat” (the will of the people ), kebaikan bersama,atau kebajikan publik (the common good ). Dalam hal ini demokrasi dilihat dari sumber dan tujuannya. Paham ini lahir sebagai respon terhadap paham yang memberikan kekuasaan mutlak pada negara, baik berbasiskan teokratis maupun duniawi seperti dalam konsep Thomas Hobbestentang Laviathan (sudah ada gambaran?).
Kemudian teoi klasik itu mendapatkan banyak kritikan. Terutama dari Joseph Schumpeter dalam bukunya berjudul “Capitalism, Socialismand Democracy” yang terbit tahun 1942. Dalam bukunya, Schumpter menyatakan bahwa“kehendak rakyat” (termasuk kontrak sosial) tidak bisa diimplementasikan begitu saja. Dalam politik, yang menjadi motor penggerak adalahprosedur-prosedur atau metode berdemokrasi. Karena menekankan prosedur maka konsep demokrasi Schumpeter disebut juga demokrasi prosedural.
Sepertinya demokrasi slalu di usahakan untuk menemukan titik idealnya. Padahal sejak tercetusnya kata demokrasi itu sendiri, telah terdapat banyak sekali kritikan. Apa engkau mengenal Plato? Bapak filsuf kita yang telah melanglang buana dunia keilmuan bahkan pada zaman semuanya masih terbatas. Ia adalah keturunan bangsawan Athena yang menjadi saksi sejarah bahwa demokrasi tak lebih baik dari hukum Islam tentang ketatanegaraan. Plato dalam karyanya yang masyhur berjudul Republic mengulas tentang istilah demokrasi. Dalam kajiannya tersebut, Plato berpandangan bahwa demokrasi sesungguhnya bukan sebuah sistem politik yang ideal. Plato mengkritik demokrasi seperti itu, berdasarkan pendapatnya bahwa masyarakat merupakan hakim yang tidak becus dalam banyak masalah politik. Masyarakat cenderung memberikan penilaian berdasarkan kebodohan, dorongan hati, sentimen, dan prasangka. Yang paling buruk adalah demokrasi seperti itu mendorong munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak becus. Karena pemimpin memperoleh kepemimpinannya dari masyarakat, pemimpin cenderung mengikuti tingkat masyarakat demi keamanan kedudukannya. Lagi pula, karena dalam demokrasi” setiap individu bebas melakukan apa yang dikehendakinya”, pengaruhnya bersifat merusak.
Bukankah hal ini telah secara nyata terjadi pada negara kita? Kita contohkan saja, hal yang sedang panas-panasnya saat ini. Apalagi dengan isu menaikan harga BBM. Saya sungguh lelah untuk terus mengecam dan mengecam. Bukankah mereka tidak akan pernah mendengar? Dalam Hukum Islam, telah terdapat hukum yang mengatur tentang energi. Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khirasy bin Hausyab Asy Syaibani dari Al Awwam bin Hausyab dari Mujahid dari Ibnu Abbas ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram." Abu Sa'id berkata, "Yang dimaksud adalah air yang mengalir." (HR. Ibnu Majah).
Sudah sangat jelas sekali. Harga untuk BBM haram, kecuali untuk produksinya sendiri, dan kini, wacana terbaru, pemerintah akan menaikan harga BBM untuk meningkatkan pendapatan APBN. Iya, jika APBN tersebut merata untuk rakyat. Kenyataanya, siapa yang menikmati APBN itu? Bandingkan dengan pengaturan APBN pada masa Amirul Mukmini. Tak ada anggaran yang di bebankan pada rakyatnya. Saya pikir anda telah paham tentang hal ini, dan menurut anda apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi di negara kita? Pemerintahan yang demokrasi.
Pemerintahan kita yang terdiri dari orang-orang yang di pilih oleh rakyat yang mengatakan bahwa mereka adalah wakil rakyat nyatanya mengambil untung dari rakyatnya tanpa perduli pada kehidupan yang mereka wakili. Apakah ini yang di sebut wakil rakyat? Saya tidak serta merta menyalahkan wakil-wakil rakyat kita, karena memang pada kenyataannya semua itu bukan mutlak kesalahan mereka. Benarkan? Siapa yang berhak memilih mereka? Siapa? Kita kawan-kawan. Rakyat yang memilih mereka. Padahal, kita sebenarnya tidak yakin apakah mereka amanah, apakah mereka seorang al amin, apakah mereka sidik, dan banyak kriteria lain sebagai syarat untuk menjadi wakil rakyat. Itulah kelemahan pemilu kita, pemilu sebagai lambang sebuah demokrasi ditegakan. Ya, negara kita adalah negara demokrasi.
Selain Plato, demokrasi juga mendapat kecaman dari filsuf kita yang lain. Aristoteles dalam Politics mengulas juga tentang demokrasi. Baginya demokrasi juga bukan pula sebuah sistem yang ideal. Penolakan aristoteles terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem yang ideal karena demokrasi berpotensi menjadikan negara kacau (anarki), karena semua warga negara bebas berkehendak sesuai kepentingannya. Aristoteles menganggap suatu rezim akan menjadi ideal ketika rezim itu merupakan perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi, dimana menurut Aristoteles rezim tersebut akan berjalan dengan baik jika benar-benar memadukan (anggota-anggota) dari berbagai kelas menjadi satu komunitas tunggal .
Saya rasa menemukan benang merah disini. Perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi, apakah anda familiar dengan hal tersebut? Islam menjawabnya. Saya tidak akan berbicara banyak tentang hukum Islam disini karena itu jauh dari kemampuan saya. Yang pasti saya katakan bahwa hukum yang bersumber dari Tuhan itulah hukum yang paling benar.
Lalu, kenapa demokrasi terus di gulirkan, dan bahkan hampir semua negara di dunia menyakini demokrasi sebagai tolak ukur tak terbantahkan dari hukum politik. Kita lihat, siapa yang menggulirkan pandangan ini? Saya yakin mereka adalah negara non muslim yang menginginkan runtuhnya negara-negar muslim di muka bumi. Ya, cara yang sangat halus. Dengan demokrasi yang menjanjikan kebebasan kepada rakyatnya ini secara tidak langsung melucuti satu demi satu hukum-hukum Islam yang semestinya di tegakan dengan embel embel demi rakyat banyak. Ah, banyak sekali hukum islam yang telah terabaikan bukan? merambah ke bidang lain, kita akan melihat seks bebas yang mengkungkum negara kita ini secara kasat mata. Yang akhirnya menelurkan angka, secara kumulatif, aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta kasus per tahun. Setengah dari jumlah itu dilakukan oleh wanita yang belum menikah, sekitar 10-30% adalah para remaja. Pembunuhan terjadi dimana-mana, dan kita belum juga mau membuka mata.
Hukum Islam telah di mandulkan. Banyak hukum Islam yang di tentang, banyak hukum Islam yang di caci atas dasar demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan bertindak, hingga urusan HAM pun di gulirkan. Ah, rasa-rasanya semua hal telah menjadi halal. Dan akhirnya kerusakan dimana-mana. Siapa yang senang? Manusia-manusia disana dengan otaknya yang licik. Karena ketika kerusakan itu telah pada puncaknya, mereka akan dengan mudah menguasai dan mengendalikan kita. Akhirnya? Kehancuran Islam di depan mata.

Apakah sekarang kamu akan tetap meneriakan,”Hidup Demokrasi”????..



NB: Saya yakin masih banyak sekali kekurangan, tolong di benarkan jika ada yang salah.
@Kamar kepedihan dengan satu tanya, Apakah aku harus mengancam kedua orang tua untuk menambah jatah bulananku sedang kini saja mereka menjerit tercekik???
#Diolah dari berbagai sumber.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Friday 23 March 2012

Cerpenku yang di tolak..heheheh "COVER"

Aku pandangi lagi potongan kertas kecil di tanganku. Kemudian beralih ke monitor bertuliskan ang

ka di depan meja costumer . Masih lama. Disana masih tertulis angka 316, sedangkan kertas di tanganku tertera dengan sangat jelas angka 333. Angka yang cantik.
Sekali lagi aku memperbaiki posisi dudukku. Kadang untuk meregangkan otot setelah hampir setengah jam menunggu antrian. Sesekali ku edarkan pandangan kesekeliling. Berharap ada salah satu wajah yang aku kenal dan mengobati sedikit kejenuhan. Tapi nihil. Semuanya nampak asing. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang diam terkantuk-kantuk. Ada yang mengobrol dengan teman sebelahnya. Ada yang bermain HP, dan ada pula yang terus-terusan memandang layar monitor tanpa mengenal lelah. Wow, gigih sekali, atau tak sabaran?
Mesin pemanggil berbunyi lagi. Sedikit kelegaan. Seorang pria gemuk setengah baya maju menghampiri meja costumer. Sepertinya dia seorang pegawai kantoran atau seorang bos malahan. Penampilannya rapi dengan kemeja biru muda yang disetrika halus. Dilehernya tergantung dasi bergaris-garis dengan warna biru tua.
Aku pikir mungkin dia salah satu orang sukses di kota ini. Tapi aku lihat lagi, mukanya nampak kusut. Apalagi setelah ia mendengar penjelasan seorang teller muda di depannya. Ia seperti tengah memastikan sesuatu tapi kepastian itu tidak didapatnya. Berbeda dengan teller yang selalu mengembangkan senyum. Entah untuk menghibur atau karena tuntutan profesi. Tapi sepertinya pria itu tidak terpengaruh.
Penjelasan teller pun sepertinya usai. Pria itu terdiam sejenak. Menunduk, mungkin mengamati tali sepatunya yang terlepas dari simpulnya. Tapi sepertinya lebih dari itu. Pria itu lalu bangkit dan beranjak pergi. Dia tak membalas senyum ramah Pak Satpam.
Mesin pemanggil berbunyi lagi.
Sepasang, yang mungkin suami istri menggantikan posisinya. Pasangan itu sudah lanjut usia. Rambut si suami sudah putih semua. Si istri mengenakan jilbab putih yang menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya cerah, senada dengan wajah sang teller muda. Kemungkinan mereka tengah mengurus tabungan masa tua. Entah untuk naik haji ataupun untuk dana pensiun. Tapi nampaknya mereka bahagia.
Aku jadi ingat ayah dan ibu dirumah. Disela-sela obrolan kami sehari-hari kadang Ibu bercerita tentang keinginan hari tuanya. Memang dia bukan seorang manager yang hebat. Dia bahkan tidak mengenal ilmu-ilmu managemen yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi. Dia hanya lulus SD, namun dari kisah hidupnya yang panjang aku tau, dia adalah bendahara yang hebat. Buktinya, dengan bekal ketrampilannya yang terbatas dia mampu memperjuangkan hidup kami dengan sedemikian rupa. Dari sebuah gubuk dari papan dan daun alang-alang menjadi rumah batu bata matang dengan atap genteng dan sudah disemen.
Ia sering bercerita tentang keinginannya. Tidak terlalu muluk. Dia hanya ingin menjalankan semua rukun Islam. Tapi hal ini menjadi permasalahan yang cukup besar bagi kami mengingat kami hanyalah masyarakat pinggiran yang sudah bersyukur jika kebutuhan sehari-hari kami terpenuhi. Tapi hal itu tak pernah menyurutkan niatnya. Dengan mata menerawang dia biasanya berkisah tentang mimpinya ke tanah suci.
Tak lama kemudian sepasang lanjut usia itu meninggalkan meja costumerdan seorang wanita muda menggantikannya. Aku coba menerka.
Dugg..
Pemikiran yang baru saja aku tata tentang wanita itu tiba-tiba buyar. Ada yang menendang kakiku dengan keras. Seorang pria muda berdiri didepanku. Dia menatapku dengan tatapan yang mungkin bisa diartikan marah. Atau memang tatapannya selalu demikian. Entahlah.
Pria itu mengenakan jaket kulit usang yang sudah sobek dibeberapa bagian. Ia juga mengenakan celana jeans yang tak kalah mengenaskan. Dekil dan kumal. Penampilannya tak jauh beda dengan preman-preman yang aku sering temui di pasar. Aku bergidik ngeri.
“Ups, maaf,” ucapku. Semoga dia memaafkan, meski bukan aku yang salah. Dia kan yang menabrakku. Sepertinya kata maafku tak didengarnya. Ia berlalu menuju meja costumer. Wanita muda yang tadi duduk disana entah kemana.
Pria itu masih terbilang cukup muda. Mungkin 27 ataupun 28 tahun. Tapi penampilannya membuatnya sedikit lebih tua. Apalagi di tambah dengan wajah sangar yang ia miliki. Aku yakin dia preman. Atau mungkin tukang pukul sewaan. Ah, bisa saja bodyguard, atau mungkin..., Astagfirullah, kenapa aku jadi berburuk sangka seperti ini?
Pria itu meninggalkan meja costumer. Ia sempat melihatku sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu. Bulu kudukku berdiri.
**
“Ngga mau ah, Bu. Orangnya galak.”
“Ko kamu tahu, Di? Katanya kamu ngga kenal?” ibu menatapku heran. Untuk kesekian kalinya Ibu menawariku untuk berta’aruf dengan seorang ikhwan anak temannya.
Aku paham, di usiaku yang sudah menginjak hampir berkepala tiga, pasti ada kecemasan tersendiri padanya. Belum lagi ditambah gunjingan tetangga yang usil. Apa salahnya sih kalau belum menikah? Tandanya kan belum datang jodohnya. Mereka bilang katanya aku pemilih lah, anu lah, itu lah. Ya memang mencari pasangan hidup harus memilih kan? Ngga asal.
“Lihat aja mukanya, Bu”
“Loh, kamu udah pernah ketemu toh?”
“Belum, dari fotonya.”
“Dinar...Dinar.. kamu ini ya.. mbok ya jangan asal tebak begitu. Belum tentu dia galak meski mukanya seperti itu. Jangan-jangan malah dia itu penyayang.” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ngga asal tebak ko, Bu. Lihat deh mukanya. Banyak banget guratan di keningnya. Pasti orang ini sukanya marah-marah.” Kilahku.
“Stststs, sudah. Kalau kamu ngga mau ya sudah, tapi jangan jadi zu’udhon gitu dong.” Ibu akhirnya menyerah. Nampaknya dia sangat mangkel dengan ulah putri bungsunya, yaitu aku. Ia meninggalkan aku sendiri.
Huft, pada ngga paham sih.
**
Gloobal warming memang bukan sekedar isu. Harusnya semua orang mengerti akan hal itu. Lihat saja, pada bulan-bulan yang seharusnya turun hujan tapi malah panas menyengat seperti ini. Belum ditambah lagi dengan kemacetan ibu kota. Harus ekstra sabar jika menaiki kendaraan umum, tanpa AC, berdesak-desakan pula. Keringan pasti menyerbu keluar dari pori-pori kulit.
Kali ini pun aku tengah menikmatinya. Berdesak-desakan dengan penumpang lain yang pastinya juga merasakan ketidaknyamanan yang sama. Bau-bau aneh menyeruak, ditambah posisi yang tidak menguntungkan. Tapi aku berusaha sabar. Tinggal beberapa menit lagi aku sampai ditujuan. Tapi macetnya itu loh. Bisa-bisa setengah jam lagi aku menikmati semua ini dan mungkin saja bisa lebih.
Tiba-tiba dari arah belakang ada yang mendesak. Aku menoleh. Ternyata seorang pria muda dengan kemeja yang masih lumayan bagus dengan dasi tergantung dilehernya tengah berusaha memasuki area ‘gerah’. Mungkin dia eksekutif muda yang tengah mengalami hari naas. Mungkin mobilny macet atau bannya pecah. Atau dia bukan eksekutif? Kali saja dia Cuma salles. Sales kan sering berpenampilan rapi. Lagian mana mau seorang eksekutif naik bis kota yang panas seperti ini. Paling tidak ia akan lebih memilih taksi sebagai alternatif.
Kini pria itu berdiri disampingku. Sepertinya dia sudah menemukan posisi nyamannya. Dia tersenyum ketika aku menoleh padanya.
Bus maju perlahan-lahan. Kemacetan sudah berkurang dan bus sudah bisa sedikit berjalan dengan lancar. Alhamdulillah sebentar lagi aku keluar dari penderitaan ini.
“Mbak, awas dompetnya,” seseorang membisikan sesuatu padaku. Aku menoleh. Ternyata pria berpenampilan preman yang kemarin lusa aku lihat di bank. Aku bergidik, lalu ingat dompetku.Apa maksudnya? Dompetkku?
Aku meraba tas slempanganku. Resletingnya terbuka separuh, tapi cukup untuk memasukan tangan kedalamnya. Dompet itu tak ada, dompet itu raib. Aku tercekat.
“Ngga ada..” curhatku pada pria preman tadi. Aku panik.
Ko aku curhat sama dia? Bukankah seharusnya dia yang aku curigai. Tapi tadi kenapa dia memperingatkanku? Apa dia mempermainkanku? Dendamkah dia karena tersandung kakiku kemarin hingga hari ini dia membuntutiku?
Dia menoleh kesekitar, seperti mencari sesuatu. “Tunggu sebentar,” katanya.
Ia lalu menerobos kerumunan. Pria berkemeja putih disampingku sudah tidak ada, bahkan aku tak menyadari kepergiannya. Dia sudah berada di pintu dan sepertinya hendak turun. Anehnya, pria bertampang preman itu menghampirinya.
Mereka berbicara. Si pria preman dengan nada seperti mengancam menyodorkan tangannya meminta sesuatu. Mereka bersitegang. Tak lama kemudian pria berkemeja putih sepertinya mengalah dan menstop bus kemudian turun.
Pria bertampang preman itu kembali.
“Nih. Lain kali hati-hati. Copet sekarang ngga kalah pinter sama koruptor. Penampilannya juga ngga kalah beda dengan pegawai kantoran. Coba di cek. Masih utuh atau ngga,” pria itu menyerahkan dompet berwarna abu-abu milikku.
*END*
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday 12 March 2012

Janeng, yang Hilang di Telan Jaman

Banyak sekali budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai nilai yang terkandung didalamnya. Misalnya saja budaya gotong royong, yang mana setiap masyarakat saling bekerja sama dalam melakukan sebuah pekerjaan tanpa ada imbalan berupa materi. Semuanya dilakukan sukarela. Tentu hal ini akan semakin mengeratkan silaturahmi antar penduduk. Selain itu, akan terasa sekali rasa kekeluargaan di dalam diri mereka. Susah sama dirasa, senang sama tertawa. Namun, sayangnya sesuai dengan perkembangan teknologi budaya yang banyak mengandung nilai-nilai kebaikan ini pun mulai luntur.

Kini jarang sekali ditemui budaya gotong royong seperti membuat rumah salah satu penduduk, memanen padi bersama, ataupun membangun jalan. Kini semuanya di nilai dengan materi. Apalagi di dalam masyarakat perkotaan. Budaya gotong royong ini sudah hilang dari permukaan karena masing-masing penduduknya tidak perduli satu sama lain.

Budaya-budaya yang lain pun demikian. Banyak kebudayaan-kebudayaan tradisional yang ditinggalkan warganya. Contohnya saja Janeng. Ya, Janeng. Kata ini pasti asing ditelinga kita. Ya, banyak yang tidak mengenal salah satu kesenian musik tradisional ini. Bahkan di kalangan penduduk Kebumen sendiri, musik Janeng seperti barang asing yang sangat asing. Jika ingin mengkaji tentang kesenian ini pun sumber tertulis yang ada sangatlah minim. Apalagi di dunia maya. Jarang sekali ada yang menyinggung kesenian tradisional Islam ini. Padahal budaya ini memiliki nilai-nilai yang sangat baik.

Janeng sendiri adalah kesenian musik daerah yang bernuansa Islami. Musik tradisional yang beralat musik pukul seperti kendang dan rebana ini biasa mendendangkan lagu-lagu puji-pujian yang ditujukan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, dan pada umumnya musik janeng di lantunkan dengan rasa syukur yang teramat.

Karena lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu sholawat kepada Rasulullah, maka lagu ini berbeda dengan lagu-lagu yang sering kita dengar sekarang ini. Lagu-lagu janeng memiliki pesan-pesan yang sangat baik dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Selain itu juga mengingatkan kita terhadap Keagungan Sang Pencipta, Allah Azza Wa Jalla. Sehingga lagu-lagu yang dinyanyikan pun tidak sembarangan. Banyak lagu yang diambil dari hadist-hadist shahih. Sehingga tidak heran jika para pemain janeng banyak menghafal hadist-hadist shahih.

Pada awalnya musik janeng digunakan sebagai sarana dakwah oleh para ulama. Kemudian berkembang menjadi musik yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Dahulu, sekitar 1980-an, sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janeng sering dimainkan di mana-mana. Musik ini menjadi primadona. Seperti di balai desa, Kantor kecamatan, Pendopo Kabupaten, dan di tempat orang yang mempunyai hajatan.

Setiap ada pertunjukan Janeng, orang-orang berbondong-bondong untuk menonton. Dalam pertunjukan inilah sering terjadi interaksi yang mendekatkan masyarakat. Pertunjukan janeng sering di barengi dengan pembicaraan santai para penontonnya. Baik mengenai sawah mereka, maupun kehidupan rumah tangga mereka. Maka dari itu, terjadilah komunikasi yang baik serta tak lupa tentang esensi kehidupan mereka didunia ini.

Kini, Janeng tidak setenar dahulu. Jasanya jarang sekali di gunakan. Hanya sesekali dalam acara peringatan Maulud Nabi atau peringatan hari-hari Islam lain yang biasa dirayakan masyarakat. Bahkan karena sepinya jop, terkadang grup janeng ini menawarkan diri untuk tampil meski tidak di bayar.

Kebumen sendiri mempunyai banyak klub musik Janeng. Ini menandakan bahwa Kabupaten Kebumen adalah jantung dari Kesenian Janeng. Contohnya adalah klub janeng dari desa Bumirejo, Panggel, Peniron dan Klegenrejo. Tapi sayangnya yang tergabung dalam klub janeng adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut. Contohnya saja klub janeng yang berada di desa Klegenrejo, Kecamatan Klirong. Grup Janeng yang di motori oleh Pak Roso ini terdiri dari beberapa warga yang rambutnya telah memutih. Bahkan beberapa dari mereka telah hidup sejak penjajahan Jepang.
Mereka mengaku, meski kini jarang sekali mendapat panggilan untuk mengisi acara, mereka tetap sering berlatih. Hal itu semata-mata mereka lakukan karena mereka mencintai kebudayaan ini. Mereka mengaku bahwa kebudayaan ini seperti sarana untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Amat disayangkan memang, sebuah kebudayaan yang memiliki nilai-nilai positif ditinggalkan warganya. Anak-anak muda lebih memilih mempelajari musik-musik modern yang hinggar binggar dan hedonis. Kebudayaan ini pun tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Tidak ada upaya pengenalan kepada masyarakat luas. Padahal nilai-nilai yang terkandung sangat baik. Bahkan kebudayaan-kebudayaan ini lebih banyak ditampilkan di dalam kelas internasional daripada di wilayah domestik sendiri.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday 4 March 2012

Waktu

Berdiskusi dengan waktu,
Menerjemahkan angka-angka khayal yang kelak jadi nyata,
Atau tentang misteri-misteri yang terpendam dari celah-celah harapan yang mengintip dari balik lukisan impian.

Mudah saja, mengelabui sang senja dan menggantinya dengan kelamnya malam.
Siapa yang menyukai malam, dan berkeliaran pada liang-liang gelap yang transparan pada mata-mata setan yang senyap.
Kedinginan itu menggairahkan,
Kengerian itu menertawakan,
Dan sebagian bergumul dengan selimut yang luntur,

Mudah saja,
Menipu ayam hingga ia berkokok ketika tubuh berkutat dengan alam bawah sadar,
Atau membiarkannya bungkam untuk waktu yang sangat lama.

Tapi tak mudah mengelabui waktu,
Ia tetap berjalan menggelicir,
menidas,
Menggilas,
Merampas,
Tak ada diskusi lanjutan,
Harganya sudah mati,
Dan telak,
Aku kalah.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Fairy..


Aku berusaha mengingatnya seperti mengingat potongan puzle yang menghilang entah kemana. Tak ada gambaran sama sekali. Dia telah terhapus tanpa aku tau kapan tepatnya ia terhapus. Tiba-tiba saja sudah tidak ada dalam ingatan. Mungkin seorang penyihir telah mengambilnya dariku saat aku bertaruh sesuatu. Benarkah aku telah bertaruh? Tentu saja itu hanya lelucon.
Tapi dia bersikeras. Dia pernah ada dihidupku. Entah dibagian yang mana. Sisi yang menyakitkan atau menyedihkan. Jelas bukan pada tempat yang menyenangkan karena tak ada bagian itu di hidupku. Jadi mudah saja seharusnya untuk mencari memori yang telah terpilih sedemikian rapi. Tapi tidak juga. Namanya sama sekali tidak muncul setelah proses searcing selesai. There are no result to display.
Jadi ku coba acuhkan saja dia. Mungkin saja dia yang salah. Tapi benarkah ia salah sedangkan ia telah menyebut namaku dengan lengkap, bahkan menceritakan kembali sejarah kehidupanku seperti ia membaca sejarah-sejarah pahlawan yang diajarkan di bangku sekolah.
Tak ada tempat mengelak. Mungkin ia benar, ia pernah ada dalam bagian hidupku dan mungkin ingatan tentangnya telah diambil oleh penyihir meski aku tak melakukan taruhan. Aku mengalah dan membiarkannya menariku menuju sudut mal.
Seorang waitres bermake up tebal menyambut kami dan menyerahkan daftar pesanan. Namun ia sama sekali menyentuh daftar pesanan itu, ia menyebutkan beberapa menu makanan yang sepertinya telah dihafal diluar kepala, dan anehnya salah satu menu yang ia sebut adalah makanan kesukaanku. Waitres meninnggalkan kami dan ia tersenyum sangat lebar menyaksikan wajahku yang nampak bodoh atas apa yang ia lakukan. Nampaknya dia benar-benar mengenalku.
“Kau nampak masih sangsi? Apa kau pernah menderita penyakit amnesia? Atau bahkan azhaimer?” ia menggodaku.
Aku menggeleng. Mengelak dari tatapannya yang tajam. Oh, Tuhan. Ada apa dengan ingatanku? Benarkah aku mengidap kedua penyakit itu?
“Bagaimana kehidupanmu sekarang? Nampaknya lebih baik dari dulu. Lihat dirimu. Kini kamu sudah bisa berdandan, dan lihatlah, baju yang kau kenakan. Bukankah itu rancangan desainer ternama?”
Aku melihat diriku sendiri, dan mengangguk pelan. Aku memang telah banyak berubah. Sejak kapan? Entah, tanpa aku sadari aku telah berubah sedemikian rupa. Seperti kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu. Andai saja kalian lihat penampilanku waktu SMA, kalian tidak akan percaya.
“lalu bagaimana dengan dirimu?” tentu aku tak bisa menilai bagaimana alur hidupnya. Masa lalunya tak terkenang. Apakah aku sudah menjadi seseorang yang kejam?
“Yah begitulah.” Katanya seperti putus asa, namun dengan nada yang riang tanpa dibuat-buat. Aku sekali lagi tak bisa menerka bagaimana alur hidupnya.
“Apa kau sudah menikah? Bagaimana dengan Amir, kekasihmu itu? Apa kalian jadi menikah? Kupikir kalian cocok, Amir yang keras dan kamu yang lembut. Bukankah perpaduan yang sangat pas?”
“Tidak. Kami tak jadi menikah. Dia bersama wanita lain dan kini aku tak tau kabarnya.”
Ia menatapku prihatin. Memang menyakitkan, tapi itulah bagian hidupku, dan aku tersenyum seperti tak terjadi apa-apa. “Kami bukan jodoh,” ucapku.
“Yiah, kuharap kamu mendapatkan pria yang lebih baik. oya, kau tau apa yang membuatku sangat senang ketika melihatmu?”
Aku menggeleng.
“Lihatlah, semodis apapun dirimu, kau tetap mengenakan jilbab. Bukankah luar biasa. Kau tau banyak teman-teman kita yang sudah melepaskannya. Katanya untuk menunjang karier mereka. Mungkin benar, karena hingga saat ini aku tak mendapatkan posisi seperti mereka. Tapi kau mematahkan teori mereka. Kini kau sukses, meski dengan selembar kain di kepalamu. Aku salut.”
Aku kembali memutar otakku. Apakah mungkin dia teman satu sekolahku dulu. Setelah lulus SD, ayah memaksaku untuk memasuki sekolah Tsanawiyah. Tanpa bisa ditawar dan dengan setengah hati aku menuruti.
Siapa yang berani mengelak dari perintah ayah. Dia kepala keluarga yang diktaktor. Kediktaktorannya pula yang meyebabkan ia cepat berpulang. Darahnya naik, ia sempat strok selama setahun, namun ia tak bertahan lama.. Bukannya ibu lelah mengurusi, namun ayahlah yang menantang mautnya sendiri. Ia terkena serangan jantung saat memaki ibu yang seharian mencari nafkah setelah ia hanya menjadi manusia setengah. Saat itu aku menginjak kelas 3. Tapi wanita dihadapanku tak ada disana.
“Apa kau mendengar tentang si Wanti? Kudengar ia juga melepas jilbabnya. Tak lama setelah ia lulus SMA. Ia tek melanjutkan kuliah. Ia bekerja di sebuah Mall ternama di kota. Dia ditempatkan di toko kosmetik. Terakhir kudengar ia menikah dengan seorang duda kaya beranak tiga yang masih kecil-kecil.”
Yia, aku ingat Wanti. Gadis lincah yang ramah. Kami tidak berteman akrab, namun aku sedikit tau tentangnya. Kami pernah satu tahun sekelas. Cukup bagiku untuk menyimpan gambaran wajahnya dimemoriku. Seperti apa wajahnya sekarang setelah menginjak usia hampir tiga puluhan? Apakah ia tetap lincah. Atau ia telah direpotkan dengan anak-anak barunya?
“Oya, dulu kita punya teman bernama Sela kan? Masihkah kau ingat? Si gadis tisu itu? Yiah, dia pun sudah melepas jilbabnya. Kudengar ia bekerja diperusahaan jasa akuntansi. Kliennya orang-orang ternama. Kau tau, akhirnya ia pun jadi ibu orang ternama. Kliennya menjadikannya istri muda. Sekarang ia ongkang-ongkang kaki dirumah mewahnya.”
Tentu aku ingat Sela. Dia teman satu bangku denganku. Meski cuma sebulan karena aku tak tahan dengannya yang terus berkeringat karena tak terbiasa mengenakan jilbab. Atau ia yang tak tahan denganku yang sering meminta tisu kesayangannya untuk mengelap ingus saat aku flu. Tisu adalah barang kesayangannya yang sangat berharga. Sepertinya yang benar adalah opsi kedua. Aku didepak dari sisinya, dan ia memilih duduk dengan Fara yang tak pernah flu.
Pesanan datang saat ia akan kembali bercerita. Mulutnya kembali menyunggingkan senyum pada waitres yang segera meninggalkan meja kami.
“Hums, sedari tadi aku yang bercerita. Sekarang katakan apa yang kau tentang teman-teman kita? Ah, atau kau terlalu sibuk hingga tak lagi bisa menyimak kabar mereka? Tenang, aku makhlum. Bahkan aku kagum padamu. Semenjak ayahmu meninggal kau membantu ibumu berjualan di pasar. Selepas lulus dari madrasah, kamu hanya melanjutkan sekolah di kota kita. Supaya kau cepat pulang kan? Dan membantu ibumu? Hai, betapa tak adilnya diriku menceritakan kisahmu sedangkan engkau ada disini. Maaf, kau bisa melanjutkannya sekarang.” Ia mulai memakan pesanannya dan memandangku penuh penantian.
Aku berdehem. Meski hingga saat ini ia tetap tak ku temukan dalam memori otakku, aku tak bis a mengecewakannya yang nampak begitu antusias. Aku mulai bercerita, dan aku larut didalamnya.
Tiga hari lalu ayah meninggal. Harta ibu sudah habis untuk mengobati penyakit ayah. Hanya tersisa sepetak rumah tua tempat kami bernaung dari terik matahari dan dingin air hujan. Terpakasa, kami, aku, ibuku, dan kakak perempuanku mati-matian berusaha menyambung kehidupan kami. Tak ada yang bisa diharapkan sebenarnya. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga ketika ayah masih hidup. Dulu itu tak masalah. Gaji ayah yang bekerja sebagai karyawan disebuah bank swasta membuat hidup kami kecukupan, namun semenjak ayah sakit, tak ada pemasukan. Terpaksa ibu yang hanya tamatan SMP bekerja. Bukan pekerjaan wanita karier tentunya.
Ia berjualan sayuran dipasar. Lumayan, bisa menyambung hidup kami. Namun lama-lama persaiangan dipasar semakin ketat. Apalagi setelah ayah meninggal. Ibu yang syok jadi sering sakit-sakitan. Terpaksalah aku dan kakak perempuanku berganti-gantian berjualan di pasar.
Setelah kakakku menamatkan SMAnya, ialah yang sering menggantikan ibu. Ternyata Kakakku punya bakat berdagang. Penjualannya melebar. Pesaingnya bisa ia takhlukan. Bahkan ia mampu melebarkan sayap. Ia tak hanya menjadi penjual sayuran. Kini ia punya toko kelontong yang memiliki kios sendiri. Bahkan kami berniat membangun rumah dilantai dua. Namun niat itu terpaksa diurungkan. Sakit ibu makin menjadi, dan akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Apa yang kurasakan itu jauh berbeda dengan apa yang kurasakan ketika ayah yang meninggal. Bukannya aku membenci ayah, atau eku memang membenci ayah? Jika bukan karena semenjak kematian ayah kehidupan perekonomian kami memburuk, tentu aku akan mensyukuri kematian ayah.
Ayah bukan sosok yang baik. Sejak kecil aku sering dipukuli. Tidak dengan tangan, namun dengan benda apa saja yang bisa digunakan untuk memukul. Bahkan pernah ia menggunakan gagang payung yang terbuat dari besi untuk memukulku yang masih berusia 9 tahun. aku kedapatan berkelahi dengan teman bermainku. Katanya kelakuanku memalukan. Aku seorang perempuan, seharusnya aku dapat bersikap manis. Bukan malah berkelahi layaknya preman-preman pasar. Tubuhku merah-merah. Bahkan aku demam selam seminggu. Bukannya meminta maaf, tapi ia tetap menyalahkanku. Katanya aku terlalu lemah.
Tentu saja kekejamannya tak hanya ia lampiaskan padaku. Kakak dan Ibu juga sering mendapat perlakuan yang sama, dan tentu ibu yang paling sering. Karena setiap kesalahan selalu dilimpahkan padanya. Setelah selesai memukuli kami, ia pun akan memukul ibu, menganngap semua kesalahan adalah kesalahan ibu yang tak mampu mendidik kami, dan kami hanya bisa menangis bersama-sama.
Namun kepergian ibu, seperti mengambil separuh jiwaku. Wanita lemah itu lah yang sering melindungiku dari kemarahan ayah. Dialah yang dengan sabar merawat luka-luka memar ditubuhku sembari membisikan kata-kata manis agar aku terhibur. Namun apa mau dikata. Tak ada yang mampu melawan maut. Aku mencoba mengikhlaskan meskipun separuh jiwaku turut serta dalam liang lahat yang menyimpan jasadnya. Kala itu aku duduk di bangku kels dua SMA.
Kehidupan berlanjut. Kakak kembali berdagang, dan tokonya terus berkembang hingga ia menjadi gadis yang sangat sibuk. Ia sering pulang larut malam karena pembeli tak kunjung berhenti ketika waktunya menutup toko. Namun ia menolak ketika kuutarakan ideku agar kami membangun sebuah rumah diatas tokonya. Ia mengatakan ia tak ingin meninggalkan rumah ibu. Akhirnya aku menurut dan sesuatu terjadi diluar dugaan. Suatu malam beberapa preman mencegat motornya. Entah apa yang terjadi, namun sejak saat itu aku hidup sebatang kara. Anehnya aku tak menagis setelah kejadian itu. Bahkan ketika Amir, pria yang kusebut pacar sejak aku duduk di kelas 2 Madrasah itu berkianat, aku membiarkannya tanpa air mata.
“Maaf, aku tak tau semua itu. Semenjak lulus aku tak pernah mendengar berita tentangmu. Aku pikir kau marah padaku saat itu, dan aku tak berani menampakan diri dalam kehidupanmu,” katanya dengan nada penuh penyesalan.
Aku menggeleng. Entah untuk apa. Mungkin untuk menegaskan aku tak apa-apa, atau menegaskan bahwa aku tidak marah. Memang untuk apa aku marah?
“Maaf, memangnya apa yang terjadi dengan kita dulu?”
Dia berhenti mengunyah makanannya. “Kau masih belum ingat Ra?”
Aku menggeleng tanpa dosa.
Dia mengangguk angguk seperti mengerti akan sebuah fakta. “Tak apa, aku paham.” Nampaknya ia sangat sedih. Apakah aku nampak begitu jahat?
“Maaf, bukan maksudku untuk melupakanmu, namun bersediakah kau ceritakan kisah itu padaku?” pintaku penuh harap. Sepertinya aku memang berhak untuk mengetahuinya. Bukankah itu memoriku yang hilang dan aku berhak mendapatkannya kembali. Namun pertanyaan lain muncul. Benarkah jika ia menceritakannya aku dapat mengingat sisi memori itu? Atau itu hanya akan menjadi cerita biasa saja?
“Tentu,” jawabnya. Matanya berbinar penuh bahagia. Aku jadi lega melihatnya. “Tapi nanti. Boleh kan? Sekarang aku ingin mengajakmu mengunjungi sebuah tempat.”
Aku sedikit kecewa namun aku tak bisa memaksanya. Aku hanya mengangguk. Ia memanggil waitres, membayar makanan, dan mengajakku kesebuah tempat yang ia janjikan.
Tak disangka, ia membawaku kearena permainan di mall itu. Tempatnya cukup luas dan permainannya pun lengkap. Ia menukarkan banyak koin dan dengan matanya yang tajam ia menatapku. Ia menantangku. Aku juga membeli banyak koin. Lama sekali aku tak bermain.
Tubuhku seperti mengecil menjadi bocah berusia belasan. Lincah tak terkira. Kami beralih dari permainan satu ke permainan yang lain. Menyenangkan, dan aku tertawa ketika berhasil mengalahkannya.
Koin kami habis sekejap saja. Aku ingin membeli koin lagi, namun ia mencegahku. “Cukup senang-senangnya kawan.” Ia tersenyum manis sekali. Aku mengangguk. Ia berjalan meninggalkan arena permainan, dan aku mengikutinya.
“Nampaknya engkau sangat gembira?”
“Yiah, kau benar. Sudah lama aku tak segembira ini. Kau lihat tadi, bolaku selalu masuk, dan hampir disetiap permainan kau selalu kalah. Oya, apa kau lihat bapak-bapak yang tengah menemani anaknya, nampaknya ia terpana pada kita sampai-sampai anaknya dikira bola.Hahaha..” aku tertawa lebar. Yiah, ada kelegaan yang aku rasakan.
Ia ikut tersenyum. Kami hanya berjalan-jalan saja di mall.
“Apa kau ingin mendengar cerita itu, Ra?” ia menghentikan langkah kakinya. Yia, aku kembali teringat tentang pembicaraan kami ditempat makan tadi. Aku mengangguk antusias.
Ia memulai berkisah.
“Hari-hari berlalu sangat lambat di tahun pertamaku di sekolah tsanawiah. Aku tak punya kawan. Hanya segelintir orang yang mengenalku. Bahkan guru pun tak mampu mengenal namaku. Tahun kedua, aku sekelas denganmu. Awalnya ku pikir akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya, namun ternyata tidak. Kau gadis yang lembut Ra. Kau membantuku ketika mereka mengejekku, dan pertemanan itu pun dimulai. Kau yang pintar, bintang kelas, cantik, ramah pada semua orang, siapa yang tak mengenalmu, dan aku sangat beruntung telah menjadi temanmu. Kita sering bersama, mengerjakan pr bersama, bermain bersama, bahkan kita sering merencanakan untuk bolos bersama. Kau juga sering berkunjung kerumahku, dan kau bilang kau ingin selamanya dirumahku. Kau tak ingin pulang. Kau bialng ayah ibuku baik, kau bilang sangat bhagia berada ditengah-tengah kami dan kau slalu melarangku mengunjungi rumahmu yang kau katakan sebagai neraka kedua. Tentu aku tahu sebabnya.” Ia menghela nafas.
“Kau ingat, Kita sering tertawa bersama-sama ketika membicarakan surat-surat cinta yang kita temukan dilacimu. Betapa lucunya mereka. Namun mukamu menjadi merah ketika kita membicarakan Amir. Ketua kels kita. Ia tak pernah mengrimimu surat, tapi ialah yang paling menarik minatmu. Cinta monyet yang manis bukan?”
Aku kembali mengenang kisah-kisah itu. Aneh. Memori itu menyeruak tiba-tiba. Yia, aku ingat saat aku tertawa terbahak-bahak bersama seorang bocah seumuranku. Apakah gadis kecil itu dia? Kemana saja memori itu selama ini?
“Apa kau sudah kembali ingat?”
Aku mengangguk. Anehnya memori itupun berbuntut panjang. Ia tak lagi bercerita, namun aku bisa merangkainya sendiri. Masa-masa yang indah. Kemana saja memori itu? Namun tiba-tiba memori itu berhenti pada sebuah titik. Aku melihat diriku sendiri yang menjadi titik itu. Aku memalingkan muka pada bocah kecil itu pada saat acara perpisahan. Bukannya aku marah, namun aku bahagia, karena ternyata bocah itu pergi dari hidupku. Kenapa aku bahagia dengan kepergiannya? Bukankah seharusnya aku sedih?
“Kau senang dengan kepergianku kan?”
“Yia, tapi aku tak mengerti.”
“Kau bilang aku merebut Amir darimu. Tentu itu tak benar. Namun kau terlanjur membenciku, dan dengan kepergianku ke Jakarta setelah lulus dari sekolah tsanawiah tentu sangat menggembirakanmu.”
“Benarkah? Apakah aku sekejam itu?” aku menatapnya tak percaya. Jika demikian, aku dapat mengambil kesimpulan. Aku sudah melakukan kesalahan. Karena akhirnya aku tau, Amir lah yang jahat.
“Tapi sudahlah. Bukankah itu masa lalu?” ia tersenyum manis sekali. Aku menganguk dan memeluknya. Aku merasa bahagia.
“Klara, ingatlah, hidupmu tak selamanya menyedihkan. Banyak sekali kisah-kisahmu yang penuh tawa. Jangang menghujat nasib karena ia tak adil. Ia sangat adil Klara. Paling tidak padamu. Sebenarnya banyak kebahagiaan yang ada di sekitarmu, namun kau tak menyadaarinya karena kamu ter lalu sibuk memikirkan betapa menyedihkannya hidupmu.”
Aku tersenyum. Benar katanya. Tak semestinya aku mengutuki hidup. Tuhan sudah sangat bermurah hati padaku dengan memberiku kehidupan seperti ini. Harusnya aku bersyukur.
“Ayo pulang, dan katakan pada dunia bahwa kau bahagia.” Ia menggandengku keluar mall. Kami tertawa sepanjang perjalanan pulang.

Pagi-pagi sekali aku mengambil teleponku. Aku ingin menelpon Safa. Aku rindu padanya meski baru kemarin kami bertemu.
“Halo, Assalamu’alaikum. Safanya ada?”
“Yia, maaf ini siapa yia?” kudengar suara di ujung sana bergetar.
“Ini Klara. Maaf apa Safanya ada?”
“Klara? Lama sekali tak menedengar kabarmu nak. Ini tante.” Jawab seseorang diseberang sana.
“Tante, bagaimana kabar Tante? Maaf tante, Klara tak pernah berkunjung lagi. Katanya tante sekeluarga pindah, dan Klara ngga tau kemana tante pindah. Namun kemarin Klara bertemu Safa Tan, kami ngobrol banyak. Tapi kayanya belum puas Tan. Jadi Klara pengen ngajak Safa jalan-jalan lagi. Safanya ada Tan?”
Sepi. Tak ada jawaban diseberang sana.
“Tante?”
“Klara, maaf yia kalo Safa pernah ada salah sama kamu.” Suara diseberang sana mulai terisak.
“Loh, emang kenapa Tan?” tanyaku bingung.
“Safa sudah meninggal dua minggu yang lalu karena penyakit kangker yang ia derita sejak kecil Ra.”
@@@@@
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com