Thursday 6 December 2012

Bunga Trotoar

Ketika ada seorang bocah, berusia tujuh atau delapan tahun mendekatimu, dan dengan entengnya mengatakan,”Mba, minta duit,” apa yang akan kamu lakukan? Pilihan biasanya ada dua, pertama, mengacuhkan. Kadang-kadang aku juga gini. Habisnya yang jadi pengemis lebih kerenan dari aku sih, lebih gemukan (aku emang kurus sangat ya?), Hpnya aja lebih canggih. Rasanya ngga etis banget aku ngasih ke orang yang punya “modal” seperti itu. Terus, pilihan kedua adalah kita menyodorkan beberapa lembar uang kita, tak jarang uang receh yang nyelip disela-sela kantong yang udah lepek. Tapi kali itu, aku pengen melakukan hal yang lain. Ah, tepatnya spontanitas ding.
Bocah itu, (ah, entahlah siapa namanya, semoga ketika besar kelak dia tak menjadi pengemis seperti apa yang ia lakukan sekarang ini) menghampiriku yang baru keluar dari In**mart dekat asrama. Ia masih menggunakan seragam sekolah, namun sudah nampak kumal. Mukanya juga kotor kena debu jalanan. Dengan entengnya dia mengatakan,”Mba, minta duit.” Kalo aku kenal dia sih ngga papa, tapi aku kan ngga kenal dia, dia juga belum tentu kenal aku. Yah, namanya juga pengemis. Tapi aku tergelitik juga buat tanya lebih lanjut.
“Minta uang buat apa dek?” tanyaku mencoba meramahkan diri.
“Buat beli es cream, Mba,” jawabnya dengan mata memandang ke aspal.
Oiii, gue aja udah berbulan-bulan ngga makan es cream.
“Memang Bapak kamu kemana? Ngga minta sama bapak aja?” tanyaku lagi. Setahuku, dan semoga benar, anak seusia dia masihlah menjadi tanggungan orang tua. Tentu tidak dibenarkan ketika dia meminta-minta pada orang lain selain orang tuanya dalam keadaan tidak terdesak. Buat beli es cream coba.
“Bapak lagi layat, Mba,”
“Bapaknya di perempatan jalan tuh, Mba,” sela seorang pemuda di dekat kami. Nampaknya ia menyimak pembicaraan kami.
“Kalo Ibu? Layat juga?”
Dia hanya mengangguk lemah. Satu fakta, dia bukan anak yatim. Setidaknya belum aku lihat pembenaran dari tindakannya menjadi peminta-minta. Mungkin kini di pikirannya waktu itu, “Mba aneh, ngapain sih nanya-nanya?” tapi aku tak perduli. Waktu-waktu yang bergulir selanjutnya, aku masih berbicara dengannya. Menyakan banyak hal tentang ini itu. Mulai dari sekolahnya, PRnya yang belum dikerjakan, ia yang dipaksa kakaknya untuk ikut mengemis (kakaknya di Al**mart juga loh), bapaknya yang tak memberinya uang, hingga pengakuannya yang mengatakan ulang tahun minggu depan. Ah, aku tentu ingin mengajaknya ke asrama. Jika mau, dia akan aku belikan kue ulang tahun yang mungkin sangat ia impikan. Tentu jika pengakuannya benar, tapi, dia menolak. Namanya juga pengemis.
Adzan magrib baru saja terdengar dari masjid, dibersamai gerimis rintik-rintik. Jika tidak teringat bahwa aku harus sholat magrib, mungkin pembicaraan setelah hampir lebih dari 20 menit itu itu akan terus berlanjut. Tapi aku ternyata harus menyudahinya setelah berkali-kali mengatakan,”Mengemis bukanlah pekerjaan. Janganlah mengemis. Tuhan tidak suka akan hal itu, dan itu sungguh bukan perbuatan yang baik, bekerjalah jika kau dewasa nanti. Tugasmu sekarang adalah belajar, biar orang tuamu yang mencari uang untukmu. Sekali lagi jangan mengemis. Itu sungguh bukan perbuatan yang baik, ” tentu dengan bahasa yang mudah untuk ia pahami (aku punya ponakan seusia dia, ingat itu! Terus knapa?).
Aku meninggalkannya, setelah sebelumnya memberinya sebungkus coklat (tau kan coklat yang biasa aku beli?-.-).
Bocah itu hanya satu, dari mungkin sekian ribu bocah-bocah yang tak beruntung. Bukan karena tak beruntung berada dalam kemiskinan, tapi karena tak beruntung berada di dalam bimbingan orang tua yang “tak benar”. Kenapa aku bilang tak benar? Jika orang tua mengasuhnya dengan benar, tak mungkin orang tuanya membiarkan anaknya malam-malam, magrib berada di luar rumah, mengemis pula. Meski semiskin apapun, jika masih mampu, orang tua yang benar-benar mengajar anaknya dengan benar, tak akan membenarkan tindakan mengemis seperti itu. Sungguh, dia pantas mendapatkan lebih dari ini.
Kemudian, terkenang masa kanak-kanak. Meski hanya berasal dari keluarga bekas transmigran, keluarga yang harus berjuang penuh untuk bertahan hidup setelah kembali ke pulau Jawa, setelah tertatih menata hidup kembali setelah goncangan bertubi-tubi, sungguh, aku lebih beruntung dari ia. Orang tuaku tak pernah mengajarkanku untuk menjadi peminta-minta. Keluargaku tak pernah meninggalkanku sendirian di kegelapan malam, menghampiri orang-orang untuk meminta uang pada mereka, berharap belas kasihan. Sungguh, aku jauh dan jauh lebih beruntung.
Ah, aku teringat pula akan negriku yang kaya raya luar biasa. Melimpah ruah sumber daya. Bagaimana negriku 10-15 tahun ke depan jika anak-anaknya lebih suka di luar untuk mengemis daripada berada di dalam rumah, belajar, mengerjakan PR, dan mengaji? Apakah ini salah keadaan? Patutkah kita menyalahkannya? Sungguh, tentu tak ada gunanya saling menyalahkan sekarang. Tak perlu pidato, penghimbauan pemberantasan kemiskinan, tak perlu sumbangan janji-janji, tak perlu, sungguh.
Dan, aku selalu bertanya, apa yang bisa aku lakukan?
Lagi-lagi jawabannya adalah, aku hanya bisa menulis. Melukis keadaan mereka dengan goresan tinta. Menerjemahkan keadaan mereka dengan otakku yang terbatas, dan semoga mampu mengetuk hati yang keras, untuk sekedar peduli, melihat dan turut memikirkan, apa yang bisa kita lakukan. Tidak hanya untuk mengulurkan tangan, membantu, tapi juga berusaha memutus rantai yang terlanjur terjalin kuat. Negara kita bukan negara pengemis. Ah, lagi-lagi, mungkin itu terlalu muluk.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com