Wuih...gue nemu cerpen gue jaman kapan entah yang ngebahas tentang cinta. Scara, jarang banget kan gue nulis tentang cinta. Ya, mo gimana lagi. Pengalam gue tentang cinta antara kaum hawa dan kaum adam kan cuma segelintir doang. So, daripada bahas tentang cinta itu kan mendingan gue mbahas tentang fenomena sosial di tiap cerpen-cerpe gue. itu lebih gue banget. Nah, nih cepren gue.. Mo baca? Boleh..D
Sabila
Sedang Jatuh Cinta
Debu
mulai menemukan kebebasannya ketika matahari mulai terik. Ia berterbangan
menguasai udara yang kering, menjelajahi sekian banyak dimensi, dan mungkin
sebagian telah mampir di pelupuk mata hingga membuatnya merah dan mungkin iritasi.
Beberapa menempel pada serat-serat kain yang dikenakan orang-orang yang berlalu
lalang, menempel pada kulit dan
bercampur dengan keringat. Tapi nampaknya orang-orang yang berlalu lalang tidak
perduli dengan hal itu. Mereka tetap sibuk dengan seribu urusannya hari ini.
Urusan yang mungkin saja sangat pelik sehingga membuat langkah mereka
tergesa-gesa dan memasang wajah serius, atau urusan yang menyenangkan sehingga
membuat langkah mereka seringan angin dengan bibir yang tak henti-hentinya
menyunggingkan senyum.
Seorang
laki-laki jangkung berada diantara mereka. Ia mengunakan kemeja bergaris halus
dengan warna biru terang. Wajahnya nampak serius dengan langkah pelan namun
mantap. Kacamata minus yang ia kenakan membuat ia terlihat nampak cerdas, namun
tetap teduh.
Sebenarnya
tidak ada yang mencolok dari laki-laki itu, tapi tidak bagi Sabila, seorang
gadis muda yang sering menghabiskan harinya di belakang meja kasir sebuah toko
kue. Ia bisa mengamati laki-laki itu dari kaca di sampingnya yang merupakan
etalase. Tidak hanya hari ini, tapi berhari-hari sebelumnya dengan doa yang tak
putus-putus terpanjatkan, laki-laki itu masuk kedalam toko kue tempatnya
bekerja.
Laki-laki
itu memang bukan laki-laki yang istimewa. Dia tak terlalu tampan, meski di atas
rata-rata teman kampus Sabila. Tapi toh di luar sana banyak pria yang lebih
tampan dari dia. Tapi memang bukan itu yang membuat Sabila terus-terusan
mengamati laki-laki yang selalu lewat didepan toko setiap jam dua siang itu.
Pria
jangkung itu pernah masuk kedalam toko kue. Sekali, dan langsung membuat Sabila
merasa dia istimewa.
“Ada
kue patah hati?” tanya pria itu.
“Ya?”
tanya Sabila yang tidak percaya pada pendengarannya.
“Saya
tengah patah hati, dan saya ingin makan kue,” kata pria itu dengan suara
bergetar. Sabila melihat mata di balik kaca berbingkai itu memerah dan
menyisakan setitik kristal bening. Sabila yang telah menjalani profesinya dua
tahun mulai memahami situasi.
“Anda
mau kue coklat? Itu bisa menurunkan kadar stress,” tawarnya.
Pria
itu hanya mengangguk. Sabila memanggil temannya yang bertugas melayani
konsumen. Pria itu tak berkata-kata lagi, dan ia pun meninggalkan toko.
Keesokannya Sabila melihat pria itu lagi, dengan raut wajah berbeda, sesungging
senyum mengukir dibibirnya. Hingga berhari-hari kemudian, pria itu selalu lewat
di depan toko, namun tanpa mampir sekalipun di toko kue tempatnya berada.
“Dari
awal dia memang aneh, tak heran kau jadi ketularan aneh,” kata Rara, teman
kerja Sabila.
“Enak
saja, dia itu menarik. Tak seperti laki-laki pada umumnya. Coba, mana ada si
laki-laki yang lagi patah hati kepikiran buat makan kue kecuali dia. Pasti dia
punya perasaan lembut seperti kue,”
“Nah
itu yang bikin aneh. Yang aku tau, kalo laki-laki macam dia lagi patah hati
paling ngga ngedugem bareng temennya di club, atau ngebut di jalan, atau yang
lebih alim berdoa di masjid, la dia, makan kue, aneh.”
“Emang
kenapa kalo patah hati makan kue? Ngga ada larangannya toh? Ngga ada
undang-undangnya tau,” kata Sabila keras kepala.
“Ya
sudah lah, terserah kamu,” kata Rara seraya beringsut pergi.
Sabila
memang tak perduli betapapun anehnya apa yang tengah ia lakukan, dan mungkin
apa yang ia rasakan. Ia selalu merindukan kedatangan pria itu. Sehari tanpa
melihat pria itu membuat Sabila merasa dunianya muram, matahari seperti
tertutup awan tebal meski sebenarnya matahari tengah bersinar dengan terang.
Hari
ini, seperti biasa Sabila sudah stay melihat kaca etalase, dan ia melihat pria
itu. Sepertinya Tuhan kali ini mengabulkan doanya. Pria itu berbelok arah, dan
membuka pintu toko kue. Sontak membuat Sabila ingin berteriak kegirangan. Ia
menatap Rara dengan gembira dan rasanya ia ingin memeluk temannya yang tengah
menunggu akan ada adegan aneh apa lagi kali ini.
“Trimakasih
sekali kuenya waktu itu mba,” kata pria itu dengan senyum yang terukir manis di
bibirnya. Sabila tak mampu berkata-kata. Dia mulai berharap, dan angan-angannya
mulai melambung.
“Memang
benar ya, coklat itu bisa menenangkan,” lanjutnya. Ia mengedarkan pandangan ke
sekitar. “Sebenarnya sudah lama saya ingin kesini,” katanya lagi yang membuat
angan-angan Sabila kian meninggi. “Tapi mungkin ini yang terakhir, saya harus
segera ke Autria, beasiswa saya disetujui, dan kali ini saya ingin memesan kue
kebahagiaan. Apakah toko ini memilikinya?”
Sontak
saja angan-angan Sabila berdebum kelantai dengan keras. Austria? Dia pergi? Tak
akan ada lagi acara mencuri pandang lewat etalase? Sepertinya sekarang Sabila
membutuhkan kue patah hati.