Saturday 27 September 2014

Ini Mama


Ini mama dan cucu pertamanya.
Mama seorang pedagang. Sebuah warung kopi berdiri di tengah desa berpenduduk tak seberapa. Jauh dari jalan raya, jauh dari sekolah, jauh dari tempat wisata. Bukan letak yang strategis yang banyak pembelinya. Tapi dari petak 8x3meter ada rejeki dari Yang Maha Rahman.
Mama hanya sekolah SD. Hanya sekolah. Karena ia tidak lulus. Ia tak punya selembar ijasah pun. Bukan hanya Mama, banyak tetangga yang juga demikian. Bersyukur mereka bisa baca dan tulis. Tapi, pekerjaan pun ala kadarnya. Buruh tani, buruh pritil, buruh tandur, dan buruh-buruh lainnya. Ya, pekerjaan yang nyaman dan penghasilan tinggi sebagian besar butuh ijasah kan?
Mama pekerja keras. Rela tidak tidur untuk membuat panganan pesananan tetangga. Padahal untungnya tidak seberapa jika dibanding uang jajan anak kuliah. Apalagi gaji petinggi negara. Tunjangan pulsa, mungkin hanya seperseratusnya.
Namanya juga itu jalan rejekinya. Mungkin berbeda dengan pejabat negara. Tapi mama tak lelah bekerja. Jarang mengeluh meski terkadang terzolimi terasa.
Ah, masih ingat, ketika pulang aku kena omelnya. Gara-garanya, aku lupa mematikan air yang di masak di atas api membara. Katanya mencari gas  susah. Harus irit penggunaanya. Jika tidak kami masak air dengan apa? Jika tidak ada air bagaimana kopi menyeduhnya? Kayu bakar? Akan sangit terasa. Kompor minyak? Minyak tak tahu entah dimana keberadaannya. Ya, gas sudah di subsidi pemerintah, dan minyak  mahal harganya. Tapi kenapa mencari gas susah jadinya? Minyak mahal, dan gas susah mendapatkannya, lalu harus kembali ke kayu bakar kah?
Tapi mama tak pernah mengeluh demikian. Tak pernah mengatakan yang begini dan begitu, menyalakan pemerintah. Mungkin mama sudah terlalu lelah. Atau memang sudah paham tabiat pemerintah. Tapi suatu kali pernah kudengar darinya. Mereka yang pintar saja kesulitan mengatur negara, apalagi ia. Jadi ia tak punya hak untuk menghujat mereka.
Hidup jalani saja. Berusaha sebaiknya. Soal rejeki, ada Tuhan yang Maha Bijaksana. Jika pemerintah tak bisa di beri amanah, ada Tuhan yang akan menghukumnya. Karena mama hanya perempuan biasa. Bukan perempuan pintar yang tau politik dan segala hukumnya. Bukankah lebih baik diam daripada sok tau dan salah rupanya. Tapi bukan berarti dia diam segalanya. Dia berusaha, menyekolahkan anaknya agar pintar dan tau rupa-rupa. Itulah yang ia bisa, dan ia telah melakukannya.
Mama juga tak suka banyak bicara. Jika ada sesuatu, dan ia mampu, dia sendiri akan melakukannya. Ya, karena mama memang berbeda dari yang pandai menghujat tapi tak pernah memberi solusi apalagi kontribusi. Mintanya hanya didengar, dan menuntut semua keinginan terealisasi.
Berdoa pada Tuhan pun ada aturannya, apalagi peng-Ijabahan doa. Apalagi pada manusia, yang kekuasaannya terbatas daya dan segala macamnya.

Ya, mama memang seorang pedagang warung biasa dan aku bangga menjadi anaknya.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday 22 September 2014

Munafik

Semalem nemu tulisan nempel di bemper mobil,"Kendaraan ini menggunakan BBM bersubsidi." Posisinya mentereng. Jelas, bisa di baca siapa aja.
Biasanya sih nemunya,"Kendaraan ini tidak memakai BBM bersubsidi."
Mungkin pemilik mobil itu penganut faham antimainstrem. Atau entahlah. Sampai-sampai ia bangga jadi pengguna BBM subsidi yang notebene untuk warga miskin.
Atau mungkin sentilan untuk mobil-mobil yang gayanya selangit namun menggunakan BBM subsidi. Biar tidak munafik.
Saya pun tidak berkesempatan mengorek informasi yang akurat itu. Akhirnya saya hanya mampu mengatakan hanya pemilik mobil yang tahu maksudnya.
Berkaca pada si pemilik mobil yang anti mainstrem, saya jadi berfikir tentang kata munafik yang sering terdengar, dan kadang bikin ciut nyali karena ogah disebut "Munafik."
"Halah, jangan munafik deh lo. Suka kan lihat paha cewek. Ngga usah bilang dalil buat nutupin."
"Munafik! Padahal lo pengen kan punya bini empat. Pake ngalarang pacaran segala."
"Semua orang butuh duit, ngga usah munafik pake nolak-nolak rejeki. Bilang ngga halal. Nunggu halal keburu mati laper."
Akhirnya...secara terang-terangan tindakan yang salah dilakukan. Tanpa malu-malu, dan lebih malu di sebut munafik. Bahkan mungkin bangga, karena "Saya sudah jujur pada diri saya sendiri dan masyarakat."
Bahkan ketika dia sudah membunuh ribuan manusia.
Apakah itu kejujuran?
Setidaknya ia sudah jujur. Ya, dia sudah jujur, dan manusia mengapresiasi. Tapi apresiasi itu jadi kabur. Atas kesalahannya atau atas kejujurannya? Apresiasi itu akhirnya mengubur kesalahannya dan
"Maklumlah manusia, bisa salah."
Kesalahan itu pun dimaklumkan. Kemudian dibenarkan. Lalu tidak ada yang namanya kesalahan jika itu sudah di terima oleh publik.
Sayang saya tidak bisa bertanya pada si cicak yang pagi ini jenazahnya saya temukan pagi ini. Malang.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Nampang Wajah

Malam Jum’at. Tapi saya tidak tahu harus menambahkan embel-embel Kliwon, Wage, Pon, atau legi.  Yang saya tahu itu malam Jum’at, titik. Namun, meskipun tidak tahu tentang keklenikan penanggalan Jawa, malam itu cukup menyeramkan. Pasalnya, saya mendengarkan sebuah cerita super duper seram dari sesepuh. Sesepuh di sini bukan kakek-kakek yang semua rambutnya sudah memutih atau petapa yang baru keluar dari gua. Tapi orang yang lebih tua dan senior dari saya.
                Cerita seram ini adalah kisah nyata yang terjadi di sekitar kami. Cerita yang sanggup membuat bulu kuduk berdiri, dan perut melilit nyeri. Namun jangan berfikir bahwa cerita seram ini adalah cerita tentang pocong yang beralih profesi, atau kuntilanak yang hobi keramas, mungkin juga nanti hobi spa di salon. Bukan!! Namun sungguh, cerita ini lebih seram dari itu semua. Padahal sih cerita hantu itu juga ngga serem.
                Anda sering upload foto wajah anda di facebook? Tidak? Oke, di twitter? Tidak. Instagram? Ah, dimanapun itu, jika anda pernah melakukannya, maka berhati-hatilah.
                Why?
                Memang sudah wataknya kaum manusia itu suka pamer. Termasuk pamer wajah. Nah, salah satu media yang bisa dijadikan ajang pamer wajah, apalagi kalau bukan media sosial. Tidak hanya perempuan. Laki-laki pun banyak. Siapa sih yang ngga suka di bilang,”Kamu cantik ya.” Atau, “Gaya kamu keren.” Ngaku deh, kamu pasti suka dengan pujian-pujian itu. Namun pujian-pujian itu tidak membuat kamu lantas dengan mudahnya menguplod foto kamu di segala media sosial.
                Ah, saya juga dulu sering khilaf melakukan hal ini. Bukan foto sendirian memang. Tapi foto bareng-bareng teman. Tapi tetap saja foto itu bisa di crop dan nampaklah saya sendirian. Namun setelah mendengar cerita dari sesepuh tadi, saya harus ekstra hati-hati.
                Cerita apa sih?
                Jadi begini. Alkisah, di atas bumi Allah, seorang anak manusia, seorang perempuan memiliki teman laki-laki. Sebut saja namanya A dan B, A untuk si perempuan dan B untuk si laki-laki. Si A suatu kali hendak meminjam laptope si B untuk suatu keperluan. Lalu, si A tanpa sengaja membuka berkas-berkas foto si A. Betapa terkejutnya si A ketika mendapati satu folder di dalam file laptope temannya itu ada foto-fotonya. Foto-foto wajahnya yang terpampang dengan berbagai angle pengambilan.
                Cie cie...jangan-jangan si B naksir si A ya?
                Bukaaaan. Ceritanya belum selesai.
Tidak sampai disitu saja. Ternyata di folder lain juga ada foto-foto perempuan-perempuan lain. Banyaaaakkk..
Ketika si A bertanya kepada si B, jawabnya dengan enteng,”Salah siapa di upload!”
                Ini sih bukan lagi naksir namanya.
                Betul. Bayangin, foto-foto yang kamu upload di FB didonlot sama laki-laki dan di kumpulkan dalam satu folder dijadikan koleksinya. Iya, kalau hanya di jadikan objek pandangan. Bukan kalau ding. Jika fotomu merontokan iman mereka bagaimana? Tau kan kalau laki-laki itu imajinasinya liar? Bisa-bisa foto kamu jadi objek fantasi mereka. Hiii ngeriii..
                “Emang masalah buat gue? Kan mereka yang berimajinasi. Masalah imannya rontok kan masalah die. Suruh siapa donlot foto gue.”
                Neng, pernah nonton dorama jepang yang judulnya Galileo ngga? Kalo engga saya kasih tau salah satu quotenya. “Every phenomena has a cause,” Terjadinya sesuatu itu pasti ada sebabnya. Nah dalam kasus ini, kenapa sih si laki-laki itu donlot foto kita. Sebabnya karena kita uplod foto kita di medsos. Kalau kita ngga upload, tentu mereka ngga bisa download. Jadi, siapa yang udah bikin rontok iman mereka?
                Nah, sudah tau sebabnya? Jika ada sebab, maka ada pertanggungjawaban. Jadi kalau iman mereka rontok, yang tanggung jawab ya yang menyebabkan itu. Bukan sama dosen tanggung jawabnya, bukan pula sama hakim pengadilan, tapi pada Hakim Segala Perkara. Ngeri loh. Kita ngga bisa bawa pengacara. Hotman Paris Hutapea pun pasti ngga berkutik kalau sudah berhadapan denganNya.
                Itu baru satu. Yang kedua. Foto kamu yang cantik, yang manyun, yang gaya bebek, yang gaya embem, ah...segala gaya deh. Tiba-tiba sudah dipasangkan dengan tubuh manusia lain dengan pose syur. Mungkin juga badan foto bugil artis hollywod yang baru dicuri itu.
                Hiii...Seremnya kuadrat.
                Nah, itu kasus yang pertama. Nah, kasus yang kedua itu adakalanya laki-laki itu tidak hanya tukar-tukaran film anime, gambar naruto, one piece atau meme, tapi foto-foto kamu. Lalu foto kamu akan menyebar kemana-mana. Bahkan manusia yang sama sekali tidak kamu kenal keberadaannya dan mungkin motif yang ia miliki.
                Saya tau, kamu cantik, kamu mempesona. Tidak di foto pun kamu sudah cantik. Tidak di uplod di media sosial pun kamu sudah manis. Biarlah yang menikmati kecantikan kamu adalah orang yang berhak atas kamu. Bukan mereka yang melontarkan pujian, dan memandang kamu penuh nafsu. Sehingga nanti kamu ikut terseret oleh sebab yang kamu timbulkan.
                Sebenarnya kasus uplod foto tidak hanya untuk kaum hawa. Kaum adam itu sebenernya juga sama. Meski tak seliar laki-laki, perempuan juga punya imajinasi. Bedanya laki-laki imajinasinya hanya sekedar sampai pada imajinasi. Kalau perempuan, imajinasinya turun ke perasaan. Iya ngga perempuan? Hayo ngaku..
                Jadi, wahai engkau laki-laki, tidak ingin kan jadi sebab dan dimintai pertanggung jawaban karena perempuan-perempuan tak mampu menjaga hatinya? So, tuh foto-foto narsis, foto gokil, foto pamer, buruan dihapus, disembunyikan, di privat, atau apalah namanya. Hilangkan dari pandangan kami, perempuan.
                Sudah merinding disko belum?
                Saya sih merinding lefel warung kopi. Itu lefelnya lebih tinggi loh.
                Salam.


                *Belum di edit dan belum di koreksi
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com