Saturday 26 November 2016

Selamat ber-PDKT angkatan 17 FLP Yogya

Selamat ber-PDKT angkatan 17 FLP Yogya.
Saya masih ingat, tahun 2012 saya pun tersedot dalam gelombang nuansa yang sama. Bertanya-tanya tentang apa itu PDKT, bertanya-tanya tempat dimana PDKT dilakukan karena panitia sama sekali tak mau memberi bocoran, atau pun tentang pilihan yang harus saya ambil dari pilihan-pilihan kegiatan di akhir minggu itu. Ya, saya ada agenda lain di hari yang sama.
Saya pun masih ingat tentang technical meeting pertama di balairung Utara UGM. Tempat yang begitu asing bagi saya yang kuliah di kampus sebelah. Di TM itulah saya bertemu anggota-anggota baru FLP Yogya. Meski baru pertama kali bertemu, namun saya sudah yakin bersama mereka dimasa depan pasti menyenangkan. Di TM itu pun saya mengenal anggota kelompok saya. Erna yang kuliah di UGM, Nisa yang masih SMA, dan Mpik, teman SMA, dan teman mendaftar FLP dan tentu saja pemandu saya, Mbak Dwinna yang sekarang tengah menempuh study di Jepang.
Tentu saya pun masih ingat, pukul 06.00 dengan diantar seorang sahabat kos, ditemani rinai gerimis pagi, saya menuju titik kumpul pemberangkatan PDKT. Lagi-lagi di balairung Utara UGM. Dan mungkin tanpa saya sadari, benih-benih kecintaan pada bangunan kampus itu mulai tumbuh.
Dengan menaiki kopata, kami melaju ke arah Selatan. Pantai. Begitu kata otak saya. Kata Selatan selalu mengingatkan saya akan pantai seperti pantai di Selatan rumah saya yang hanya berjarak dua kilo. Benar saja, lokasi PDKT yang sebelumnya selalu mengisi ruang pertanyaan, terjawab sudah. Pantai Parangtritis menyambut kami dengan gemerisik angin bersapu dengan pasir.
Hal-hal baru terjadi. Ilmu-ilmu baru menghampiri, seakan menawarkan diri untuk direngkuh. Saya tak akan bercerita banyak tentang bab ini karena, akan lebih menyenangkan jika engkau merasainya sendiri dan bangun sendiri penilaian penilaiamu.
Ketika sore menjelang, saya sudah tidak lagi dapat berkonsentrasi.
PDKT yang awalnya berjalan begitu menyenangkan, tibatiba menjadi muram. Bukan, bukan PDKT dan hal-hal baru itu, namun saya. Sebuah SMS masuk ke handphone saya, saat itulah pikiran dan hati saya seketika berubah. Otak saya terbelah menjadi dua. Saya lupa redaksinya, namun intinya, si pengirim, SMS, meminta pertanggung jawaban saya sebagai salah satu orang yang akan memaparkan visi dan misi amanah yang saya emban satu tahun ke depan. SMS itu, mengingatkan apa yang sedang saya upayakan untuk terlupakan paling tidak untuk satu hari itu saja. Ya, minggu itu harusnya saya menghadiri musyawarah tahunan LDK kampus, menjadi salah satu orang yang harusnya wajib hadir. Namun saya mangkir dan memilih untuk mengikuti PDKT.
Sebegitu pentingkah PDKT hingga menjadi prioritas di banding musyawarah tahunan dimana saya seharusnya presentasi? Atau sebegitu bernafsunya saya masuk FLP hingga mengabaikan tanggung jawab yang jelas-jelas sudah di depan mata. Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu, jelas. Dan saya ingat, sebuah nasehat dari seseorang. “Apa yang kamu mulai, tuntaskanlah hingga akhir, seberapapun beratnya, seberapapun tak menyenangkannya.”
 Saya sudah memulai untuk mengikuti FLP, mendaftar, menulis aku, FLP dan Dakwah kepenulisan, mengikuti seleksi karya dan seleksi wawancara.  Ketika PDKT adalah gerbang untuk memulainya, saya memilih untuk menyelesaikannya. Paling tidak untuk menyelesaikan PDKT hingga akhir. Masalah akan bertahan di FLP berapa tahun atau berapa bulan, saya harap hingga akhir saya bisa bertahan. Amanah di kampus akan saya selesaikan meski tidak mengikuti musyawarah tahunan. Begitu janji saya.
Saya tahu, pengorbanan -jika itu bisa disebut pengorbanan- tidaklah seberapa dibandingkan mereka-mereka yang mengorbankan banyak hal untuk bisa ikut PDKT, untuk bisa masuk FLP dan saya mengagumi mereka. Dan rasa kagum itu menguatkan saya hingga PDKT berakhir, hingga tahun-tahun saya di FLP berlalu begitu saja. Akhirnya, sudah 4 tahun saya menjadi bagian FLP Jogja.
Tentang apa saja yang terjadi selama empat tahun itu, akan saya ceritakan kemudian.
Euforia itu, percayalah..akan bertahan hingga waktu-waktu yang menakjubkan. Maka nikmatilah. Nikmatilah PDKTmu, persiapannya, prosesnya, dan akhirnya, karena itu adalah sebuah cerita yang akan tersusun dan menggenapkan puzzle-puzzle keberadaanmu di FLP Jogja.
Saya menunggu, saya menunggu kalian untuk dapat mengatakan selamat bergabung di keluarga FLP Yogyakarta.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday 9 November 2016

No Face, si Tokoh Tanpa Karakter


Beberapa hari yang lalu, selain event 4 November, ada juga yang jadi trending topik di media sosial. Kehadiran cosplay lucu nan imut seorang bocah di hari "kudus". Meski bukan bagian yang merayakan hari tersebut (hai, siapa yang mau merayakan acara kekristenan sedangkan saya muslim. Ups, SARA ya?), namun kemunculan sosok ini membuat saya tersenyum geli. Beberapa ada yang mengatakan itu hantu valak junior, tapi saya tentu masih ingat, itu hantu Kaonashi atau bahasa Inggrisnya No Face, di anime Sprited Away (2001).  Bagaimana tidak tersenyum geli, cosplaynya lucu sekali.


Dan, hari ini saya memutuskan untuk menonton anime ini kembali.

Seperti kebanyakan film garapan Gibli, film anime ini juga memiliki alur cerita yang menurut saya mengagumkan. Fantasynya ngga biasa. Jangan bandingkan dengan film animasi barat. Kalau menurut saya, mereka beda kelas. Tentu, saya masih suka animasi Jepang, atau sebut saja anime.
Spirited away sendiri mengisahkan tentang petualangan seorang bocah bernama Chihiro di dunia roh. Cerita ini diawali dengan perjalanan Chihiro dan Papa Mamanya ke rumah baru mereka. Diperjalanan ternyata mereka tersasar dan masuk ke area perbukitan yang rimbun dengan pepohonan. Akhirnya mereka sampai diujung jalan. Diujung jalan tersebut berdiri sebuah bangunan megah namun terlihat tua.
Mereka memutuskan untuk memasuki tempat tersebut lebih jauh. Mereka menemukan banyak sekali restoran yang buka, dengan makanan yang terhidang, namun tanpa penunggu. Papa dan Mama Chihiro memutuskan untuk makan, dan membayar ketika penunggu restoran itu tiba. Meski diajak, dan makanan terlihat begitu enak, namun Chihiro menolak. Ia memilih meninggalkan mereka.
Chihiro menemukan sebuah bangunan yang berdiri megah di ujung jembatan. Ketika berada di jembatan tersebut, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki yang memakai pakaian khas Jepang dan menyuruh Chihiro untuk meninggalkan tempat itu secepatnya karena hari sudah gelap. Namun terlambat, ketika Chihiro sampai ke tempat orang tuanya berada, yang ia temui adalah dua ekor babi yang sedang makan degan begitu lahap. Disisi lain, mulai berdatangan sosok-sosok hitam yang digambarkan sebagai arwah. Chihiro berlari menuju arah ia dan papa mamanya datang, memanggil-manggi nama mereka. Namun jalan yang tadi mereka lalui telah berubah menjadi lautan. Tanpa Chihiro sadari, tubuhnya menjadi transparan dan ia berlari tanpa tujuan. Ketika ia sudah lelah, ia terduduk dan menangis. Saat itulah anak laki-laki yang ditemui Chihiro dijembatan menolongnya.
Untuk menyelamatkan Papa dan Mama serta kembali ke dunia manusia, Chihiro harus bekerja pada Yuu Baba, seorang penyihir wanita yang menguasai sebuah rumah pemandian.
Bagaimana selanjutnya? Tonton saja animenya.
            Chihiro, tokoh utama di anime ini sendiri bertemu dengan Kaonashi di jembatan ketika ia hendak menyusup. Dilain kesempatan, Chihiro membukakan pintu untuk Kaonashi yang sedang kehujanan diluar. Disinilah si Kaonashi jatuh hati kepada Chihiro. Kaonashi ingin memberikan apapun untuk Chihiro. Awalnya Kaonashi membantu Chihiro untuk mengambil papan pesanan air herbal, namun kemudian Kaokashi ini menimbulkan masalah.
            Kaonashi, seperti namanya adalah sesosok yang tidak memiliki wajah, tidak memiliki karakter. Suatu kali ia memakan seekor kodok pelayan pemandian yang rakus, dan Kaonashi berubah menjadi sosok yang rakus. Ia memakan apa saja, seakan tak pernah kenyang. Apa saja ia lahap, apa saja ia makan, tidak pernah merasa puas. Yah, seperti orang rakus. Mungkin jika ia tidak memakan kodok itu, dan memakan kodok lain yang memiliki sifat yang berbeda, akan berbeda pula karakter turunannya. Ketika si kodok ia muntahkan, kaonashi kembali menjadi sosok awalnya. Tanpa karakter.
            Sosok  Kaonashi ini tentu mengingatkan saya tentang banyak hal, dan tentang banyak orang. Seperti tentang teko yang diisi dengan teh, tentu akan mengeluarkan teh. Jika diisi jus, tentu akan mengeluarkan jus.
            Ada berapa orang Kaonashi diluar sana? Banyak. Banyak..
            Ada banyak orang yang belum memiliki karakter, teko-teko kosong sehingga begitu mudah mereka di pengaruhi oleh karakter-karakter baru yang bersinggungan dengan mereka. Mayoritas adalah anak-anak muda yang baru keluar dari cangkang mereka. Sebut saja cangkang ini keluarga mereka. Mereka adalah sasaran-sasaran empuk kodok-kodok berkarakter.
Hedonis, pluralis, liberal, sekuleris, apatis, adalah sebagian karakter yang bisa saya sebutkan sebagai karakter-karakter yang mengkhawatirkan.
            Namun ada pula orang-orang yang sudah memiliki karakter ketika mereka keluar dari cangkang mereka. Ternyata di dalam cangkang mereka telah di tempa dengan begitu baik sehingga membentuk karakter mereka sedemikian rupa. Tak heran, yang sudah berkarakter ini berpotensi mengisi teko-teko yang kosong. Pun karakter yang mengkhawatirkan itu. Karena telah ditempa dengan sedemikian rupa, akan sulit sekali mengatakan bahwa karakter bawaan mereka mengkhawatirkan. Bahkan mungkin membanggakan dan perlu di bagi kepada teko-teko lain, terutama teko-teko tanpa isi.
            Masing-masing karakter ini akan tumbuh dan tumbuh. Berkembang biak karena begitu banyak teko yang berhasil di isi, atau mati karena tak satupun berhasil terpengaruhi. Karakter-karakter pun akan saling berbenturan. Karater yang belum matang bisa jadi berfikiran pendek, mengambil jalan pintas, terpengaruh karakter yang lain, membelot, atau kembali ke asal. Karakter yang sudah matang, berpotensi sebagai penggerak karakter yang lain dan bekerja di balik layar.
            Lalu, apakah yang sudah berkarakter buruk, tak bisa di ubah karakternya?
            Kembali lagi ke anime Spirited Away. Kaonashi akhirnya berhasil kembali ke karakter awalnya setelah Chihiro memberikan kue ramuan yang ia dapatkan dari seorang dewa. Saya percaya, ada kue ramuan atau formula-formula yang dapat digunakan untuk mengebalikan karakter asli mereka (yang tanpa karakter sekalipun). Tidak serta merta memang, seperti kue Chihiro. Namun saya percaya dengan tindakan, lisan dan hati yang berdoa, akan  berhasil menemukan formula terbaik untuk mengembalikan mereka ke hakekat karakter sesungguhnya.  Hanya saja masalahnya, bagaimana menumbuhkan karakter yang akan mengembalikan karakter mereka. Siapa yang akan membuat kue sejenis kue chihiro?
            Disinilah PR sebenarnya. PR siapa? PR saya, dan mungkin kamu yang masih peduli dengan teko-teko.
            Btw, ngomongin teko, kapan kita ngeteh bareng?

            
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Friday 4 November 2016

Bapak Kemana?

Bapak Kemana?

Sore baru saja hendak turun. Matahari yang semula terik, mulai terasa sejuk. Seperti hari-hari yang lain, warung pun sepi. Hanya satu dua yang sesekali datang, atau anak-anak tetangga yang membeli jajan. Nanti, sebetar lagi, ketika ibu-ibu akan memulai aktifitas memasak makan malam, disitulah warung akan diserbu pembeli.

Ketika aku pulang kerumah, pada jam-jam seperti inilah aku menjaga warung. Bapak, yang pekerjaan utamanya bertani, tentu saja kesawah. Mama juga ke sawah membantu bapak merawat sawah yang tidak seberapa lebarnya. Menyiangi rumput, memetik sayuran, atau sekedar membersihkan ranting-ranting pohon jeruk yang sudah mengering. Kaka pertamaku yang biasanya membantu segala hal urusan mama di rumah, sedang istirahat bersama anak-anaknya di rumah yang lain. Jadilah hanya aku penunggu satu-satunya di warung.

"Assalamu'alaykum, dek."
Aku yang sedang asik menonton acara TV segera menoleh. Seorang bapak separuh baya berdiri di depan pintu warung.

"Wa'alaykumusalam. Nggeh, pripun Pak?" tanyaku dengan bahasa Jawa alus.
Biasanya dengan pelanggan warung aku menggunakan bahasa ngapak saja. Namun, bapak yang satu ini aku yakin bukan pelanggan warung. Bukan pula orang desa. Penampilannya rapi, meski baju putihnya tidak bagus dan baru namun setidaknya bersih. Tentu saja pelanggan warung yang biasanya baru pulang dari sawah tak serapi ini. Dan, barusan dia mengucapkan salam. Kalau pelanggan warung sih langsung duduk saja dan berteriak,"Kopi arang, Ji!"

"Bapak wonten?"
"Bapak teng sabin, Pak. Pripun nggeh? Monggo mlebet rumiyin." Ucapku mempersilahkan bapak itu masuk. Tidak enak kan melihat dia berdiri di pintu begitu. Dia pun masuk kewarung dan duduk di kursi pelanggan.
"Kulo mpun janjian kalih bapake sampean sonten meniki. Onten urusan penting."

Aku berfikir sejenak. Urusan penting apa ya? Jual beli hasil sawah kah? Sepertinya tidak perlu seresmi ini kalau urusannya itu. Tiba-tiba aku pun dilema. Jika urusannya penting, tentu saja aku harus segera memanggil bapak di sawah. Duh, bapak. Sudah janjian ko malah pergi. Tidak ada orang lain di warung.
Menghubungi bapak lewat handphone jelas tidak mungkin. Meski punya handphone bapak tergeletak dirumah. Bapak bukan bapak-bapak yang selalu aktif membawa handphone kemana-mana. Maklum lah, hanya petani. Bukan orang penting. Mama, apalagi. Mama enggan menggunakan handphone.
Lalu, tidak mungkin juga kan memanggil bapak dengan pengeras suara. Meski akan sampai padanya, urusan ini tentu tak segenting itu.

"Es teh, Ji!" seorang lelaki di awal tiga puluhan masuk kewarung dan langsung duduk di pangkeng. Khas pelanggan warung.
Aku pun segera bergegas membuatkan lelaki itu pesanannya.

"Mas A, aku nitip warung disit ya. Arep meng sawah, bapak ana tamu," ujarku seraya meletakan es teh di depan pelanggan itu.

"Oh ya." kata Mas A sigap. Ia lalu terlibat obrolan dengan tamu bapak.

Aku segera melesat ke sawah denga motor silver. Lima menit saja sudah sampai.

"Pak, ana tamu," kataku ketika sampai di dekat bapak yang tengah mencangkul sawah.

"Sapa?" tanya bapak seraya menghentikan aktifitasnya.
"Embuh. Ora reti. Bapak-bapak. Jere wis janjian."
Bapak terdiam sejenak. Mama yang tengah mencabuti rumput ikut mendongak.
"Sapa?" tanya mama.
"Ora reti." jawabku seraya memandang bapak.
"Dulure si kae. Urusan pak RT," jawab bapak akhirnya.
"Ya wis nganah bali," perintah mama.
"Ngko sit tek ngrampungna kie."
"Wis di enteni koh. Jere penting." kataku mendesak. Tak enak kan membiarkan tamu lama menunggu. Mama sepertinya pun sependapat denganku.
Terlihat bapak hendak membantah, namun diurungkan. Sepertinya ia ingat sesuatu. Ia segera mengemasi peralatan-peralatan kerjanya.

Aku mendahului bapak untuk pulang, teringat warung yang tanpa penunggu dan tamu yang tengah menunggu. Sampai di warung si tamu masih berada di tempat ketika aku meninggalkannya. Namun ia sudah tak lagi mengobrol dengan si pelanggan. Si pelanggan sedang asik mengobrol dengan pelanggan lain yang baru datang.
Mungkin dia resah, mungkin tidak. Tapi tak elok kan membiarkan seorang yang jauh-jauh bertamu menunggu, apalagi tanpa kepastian.
Pun dengan ibu-ibu pelanggan warung yang perlu kepastian dimana penjual warung berada. Hai bu, aku disini, siap melayani.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday 3 November 2016

Kubik-kubik Renungan 4 November 2016


            Rabu, 3 November 2016. Di jalanan depan sebuah kedai sederhana, deru kendaraan bermotor terdengar jelas. Jalanan seperti tak pernah lenggang oleh pengemudi. Mayoritas bergegas. Mendung telah lama menggelayut di langit, siap menerjunkan kubikal-kubikal tetes hujan.
            Benar saja, tak lama berselang, rintik hujan turun. Tak begitu deras, namun telah berhasil membuat sebagian pengendara berhenti, menepi. Beberapa ada yang mengambil jas hujan dan memakainnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Kemanapun mereka. Beberapa yang lain memilih menunggu. Mungkin mereka tidak membawa jas hujan, terlupa, atau malas memakainya. Tapi tak jarang yang terlihat menembus hujan begitu saja, membiarkan baju mereka basah. Padahal mungkin jarak tujuan mereka masih berkilo-kilo jauhnya.
            Saya memandang mereka. Mereka seumpama objek yang begitu menyenangkan. Memang tersebab sesuatu hal lain yang saya pikirkan. Namun melihat mereka membuat saya berfikir lebih dalam.
            Begitu banyak jawaban ketika saya melontarkan sebuah pertanyaan yang sama kepada beberapa orang di kontak media social saya. Latar belakang berbeda memang membentuk cara berfikir berbeda. Namun terkadang, sebuah jawaban yang tidak diduga terlontar dari mereka.
“Kita tidak bias mengeneralisir,” begitu kata seorang teman, dan itu memang benar adanya.
“Yang terlihat ungu, belum tentu mengeluarkan aroma ungu, yang pink pun belum tentu mengeluarkan aroma pink.”
Namun setidaknya jawaban mereka membuat saya puas. Tidak, bukan tersebab mereka memiliki paham yang sama dengan paham yang saya miliki. Jika demikian, mungkin terasa membosankan. Namun, banyak yang memiliki pandangan berbeda. Bagus. Setidaknya ada bahan yang bisa saya tulis disela hujan yang semakin mengguyur deras kota Yogyakarta.
Benar. Saya bertanya kepada mereka tentang aksi damai tanggal 4 November 2016 di Jakarta.
Seperti halnya ketika suatu pagi seorang bocah yang belum lagi tamat SD melontarkan pertanyaan sejenis kepada saya. Sebenarnya, ada rasa iri padanya. Ah, dia bisa bertanya demikian dengan bebasnya. Tidak ada penilaian, penghakiman, dan pendiktean. Dia bebas bertanya tanpa embel-embel apapun. Dia hanya bertanya untuk mendapatkan jawaban.
            Saya memandang beberapa pengendara di jalanan lagi. Mayoritas pengendara sudah menggunakan jas hujan. Berwarna-warni. Seperti warna-warni pendapat mereka terkait aksi 4 November.
           
“Heh, memang ada apa tanggal 4 November? Aku malah baru tahu dari kamu.”
       Apakah saya bertanya pada orang yang salah. Oh tidak, tidak. Saya bertanya pada orang yang benar. Saya bertanya pada kenalan saya yang orang Indonesia namun tengah bekerja di Singapura. Saya ingin tahu bagaimana pandangan dia tentang aksi tanggal 4 November. Mungkin dia punya pandangan berbeda, dan mungkin dia tahu bagaimana reaksi orang-orang di negara tersebut. Bisa orang Indonesia yang sedang disana, atau penduduk negara tersebut sendiri.
Redaksinya tidak seperti itu sih. Pakai bahasa ngapak. Tidak asik kan kalau ketahuan saya ngomong bahasa ngapak. Katanya nanti kadar cantiknya berkurang. *isshhh, apa sih?
     Jadi, memang beliau, si narasumber ini tidak tahu menahu tentang aksi 4 november 2016. Padahal aksi ini sedang heboh-hebohnya di media social. Apakah dia tidak membuka media social? Bukan. Dia bahkan tidak absen membuka media social yang didirikan tahun 2004. Masalahnya adalah ketika ia membuka akun media sosialnya tersebut tampilan muka media sosialnya adalah tampilan seminggu yang lalu. Selalu begitu. Kesalahan teknis media social tersebut atau? Entahlah.  Yang pasti akhirnya kami membahas hal yang lain, seperti bagaimana temannya bermain gitar dan bernyanyi. Temannya seorang pria dan penduduk asing. Mau dengar rekaman permainan gitarnya?

“Iman itu ada 77 cabang, dan tingkatan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Masa malah jadi gangguannya.”

Saya ingat sebuah kisah yang tersampaikan pada saya, ketika Rasulullah masih hidup. Ketika itu, beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Rasulullah dan para sahabat turun ke jalan-jalan. Menghalangi pejalan lain? Mengganggu ketertiban umum? Meresahkkan?
Ya, ya, ya. Mereka menghalangi pejalan lain. Yang semula hendak beraktifitas seperti biasa, aktifitasnya jadi terhenti. Yang tak tahu menahu hanya menonton, yang marah segera melapor ke pimpinan kaum kafir atau bahkan langsung menghalangi. Ah, ada juga yang melempari para sahabat dengan batu.
Ya. Mereka jelas mengganggu ketertiban umum. Karena kota Mekah yang tadinya anteng ayem, tiba-tiba ramai oleh teriakan takbir.
Ya. Mereka meresahkan. Mereka meresahkan kaum kafirin. Mereka kebakaran jenggot. Maka mereka mengumpulkan segenap pasukan untuk menghalangi Rasulullah dan para sahabat menuju Mekah.
Ya, saya akan menunggu berita sampah yang berhamburan, taman yang rusak, dan jalanan yang macet. Ya, seperti pada aksi-aksi sebelumnya. Selalu saja berita itu yang akhirnya keluar. Seperti memutar video yang sama setelah aksi yang berbeda. Saya penasaran, apakah tidak ada berita yang lain? Dari sudut pandang lain mungkin. Seperti papan reklame videotron yang di hack oleh peserta aksi dan tersiarlah adzan Asar.
“Lebay Jeng. Aku ngga suka malah nek kaum muslimin mau demo gitu. Ahok udah minta maaf.”
            Iya sih. Lebay juga memang. Mungkin selebay ekspresi wajah saya yang tidak puny ekspresi. Namun, sebenarnya lebay itu relative bukan.
            Mungkin bagi si A, suatu peristiwa 1 tidaklah penting, sehingga A mengabaikan. Namun mungkin bagi si B peristiwa 1 sangat penting sehingga reaksinya lebih dari yang seharusnya di anggap normal oleh si A. Bisa jadi peristiwa 2, bagi A adalah hal yang sangat mendesak sehingga ia harus menetukan sikap. Karena mungkin menyangkut prinsip bahkan kelangsungan hidupnya. Namun bagi si B, peristiwa 2 mungkin bukan apa-apa sehingga ia tidak menimbulkan reaksi sama sekali. Memang tergantung prinsip dan kepentingan masing-masing A dan si B.
            Hanya saja saya menyanyangkan ketika ada seseorang yang mengkafirkan sesama muslim karena tidak mengikuti aksi damai ini. Saya ingat pelajaran agama di SMA. Entah kenapa Allah mengijinkan saya mengingat materi ini, padahal materi-materi yang lain saya banyak yang lupa. Seseorang ketika mengkafirkan muslim yang lain kafir maka akan kembali padanya jika yang di vonis tidak demikian. Sayangnya, tentang riwayat ini saya lupa. *Plak!! Tapi insyaAllah shahih.
            Jika berbeda pendapat, boleh. Jika berbeda pandangan boleh. Ulama terdahulu pun demikian. Bahkan sahabat Rasulullah pun saling berbeda pendapat. Namun apa mereka saling mengkafirkan? Apa mereka saling menghujat, menghina, dan melecehkan?
            Mari kita kaji lagi jawabannya di sirah. Hukumnya di Al Qur’an. Jangan gegara penistaan agama dikemudian hari baru pada mencari tahu tentang ini yes.

Mmmm.. no coment.”
          Bukan satu dua yang menjawab serupa. Banyak.. banyakk. Saya tidak tahu pasti sebabnya. Namun sebagian dari mereka mengaku belum mempunyai kapasitas untuk memberikan pendapat. Ah, saya saluut dengan alasan ini. Bagaimana tidak, kalau saya mengintip-intip akun media social, betapa banyak komentar-komentar yang di tulis tanpa dasar ilmu, fakta dan logika. Mereka menulis atas pengetahuannya saja, namun pengetahuan yang belum tentu kebenarannya.
        Yang bikin gemes adalah, banyak dari mereka yang berkata bak ahli. Jumawa. Baik dari pihak yang pro, maupun pihak yang kontra. Tidak terima jika disalahkan, bahkan tidak jarang berkata kasar sambal membawa si musuhnya meong. Nah, kelihatan tidak pakai ilmu kan?
        Yah, jawaban ini menampar saya. Jika belum mempunyai kapsitas, lalu kenapa tidak mengejar kapasitas itu? Quota habis saja segera diisi, kenapa kapasitas keilmuan tridak? Heh! Bangun Ji! Bangun!

“Bagus sih, jika membela Islam. Tapi kalau kegiatannya berbau politik, saya kurang setuju.”

           Isu tentang politik memang tidak bisa terelakan. Ya, karena acara lima tahunan itu memang sudah di depan mata. Ini memang tidak bisa di benarkan ketika teman-teman saya yang sudah berniat sangat mulia, yang membela al Qur’an, membela Allah, dimanfaatkan begitu saja untuk kepentingan politik kotor. Ya, jika bukan politik kotor ya tidak apa-apa. Apalagi politik untuk kepentingan Allah.
           “Memang ada politik yang tidak kotor?”
           Ada. Seperti ketika kamu membujuk mamamu untuk membelikanmu hp baru dan mamamu mampu membelikannya. Itu politik, dan apakah itu kotor?

“Setuju. Penista agama harusnya di proses hukum. Ibu-ibu di Bali saja di hukum, masa ini engga. Kesannya ko yang berkuasa jadi kebal hukum ya? Tapi, saya dirumah saja ya. Ngga ikut kesana.”
Ya udah lah ya, dirumah saja. Mengajar anak-anak. Untuk investasi ke masa depan. Tanamkan baik-baik pada mereka, tentang iman, tentang perjuangan, tentang menghafal al Qur’an. Bukan hanya tahu salah satu ayat saja ketika ada yang menistakan. Mungkin suatu kali di masa depan aka ada hal yang lebih luar biasa, dan anak-anak kita lebih siap mengambil sikap karena telah lebih paham ilmu dan lebih paham hokum. Toh perempuan lebih utama di rumah. Apalagi yang sudah ibu-ibu.
“Tau sih. Tapi, aku ngga ngikutin beritanya ee. Ngga bisa koment.”
     Saya bisa memahami jawaban ini. Tidak seperti saya yang masih luntang lantung tak jelas kapan lulusnya, dan hanya bisa jadi penjaga kedai yang part time dan ngga jelas juga jam kerjanya, mereka jauh-jauh lebih sibuk.
     Dengan bebas saya bisa membaca artikel-artikel yang bertebaran dimana-mana. Seumpama berjuta-juta helai kertas yang dilemparkan dari atas gedung. Saya bebas memilih dan memilah tulisan mana yang hendak saya baca. Sesuka hati saya. Tidak perlu terburu-buru. Toh saya punya waktu luang yang teramat panjang.
     Namun kemudian pertanyaan menelisik saya ketika sebuah tulisan berbunyi, “Tidak ada orang yang sibuk, itu hanya soal prioritas.”
     Mungkin isu terhangat tentang pelecehan agama itu belum menjadi prioritas mereka. Mungkin nanti.
     Jangan tanya soal ngerjain skripsi! Out of konteks!
“Tidak ada yang salah dengan demo. Saya mendukung meski tidak ikut terlibat. Justru heran dengan yang menanggapi berlebihan. Mau ada demo kaya mau ada perang saja.”

            Saya jadi ingat ketika seorang teman yang sedang menonton video terkait sebab musabab dan prolog-prolog tercetusnya naskah panjang aksi 4 November beberapa hari yang lalu. Adegan saya dan dia seperti melihat video monokrom. Saya begitu datar, tanpa ekspresi. Sedangkan dia begitu heboh dan penuh emosi. Ketakutan-ketakutan akan adanya perang sesama muslim tercetus ketika ia mendengar sebuah kabar kalau organisasi si itu tidak mengijinkan anggotanya untuk ikut aksi. Bahkan menawarkan bantuan kepada polri untuk ikut menghalangi aksi (namun kemudian saya mnyangsikan sumber bacaan beliau).
            Memang merisaukan jika aksi tertanggal 4 November menjadi aksi yang brutal. Namun saya sangsi jika teman-teman saya yang berangkat, yang unyu-unyu itu akan bersikap brutal. Ah, saya tidak bias membayangkan ketika terhadap kecoak saja mereka jejeritan manja, apalagi menghadapi pasukan berseragam dan bertindak brutal. Kecuali jika ada oknum, mungkin. Penyusup? “Ah, lagi-lagi mode konspirasi.

“Menurut ulama ini di Arab sana, tidak boleh ada demo. Jika hendak menyampaikan sesuatu, utuslah beberapa diantara kalian.”

Ehm, btw, bukannya kamu biasanya anti wahabi ya? Itu ulama wahabi loh. Ko?
Kalo ini no coment deh.

Kamu, iya kamu. Punya pendapat lain? Jika iya, bolehlah engkau berbagi dengan saya yang fakir ilmu ini. Tidak, tidak dengan debat. Tapi kajian yang mendalam, jika perlu, mampirlah ke kedai sederhana tempat saya bernaung. Mungkin kita bisa membicarakan banyak hal seraya menyesap kopi dan menatap tetesan hujan yang membasuh jalanan.


Catatan : Banyak pendapat lain yang masuk ke meja penulis namun penulis tidak sampaikan ditulisan ini tersebab, sudah malam, ikan mau bobo dulu...


            
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday 27 October 2016

Jalinan Benang Cinta



 Apakah ini cinta?
Aku bertanya pada lembaran kertas yang aku pegang. Banyak kata tercetak disana. Rangkaian kalimat menjalin, membentuk makna. Namun, mereka tak memberi jawab padaku. Mereka malah memberikan pertanyaan lain. Pertanyaan yang lebih rumit. Jika bukan cinta, lalu apa?
Aku mengedarkan pandangan pada waktu, menyusuri tiap detiknya, mencari sedikit petunjuk. Waktu menunjukanku pada video kenangan. Layaknya globe yang berputar, berputar dan berputar, yang terlihat hanya sekelebat garis berwarna-warni.  Semakin pepat dan semakin pepat. Semakin banyak rupa warnanya. Apakah aku harus menekan tombol atau sesuatu agar aku dapat melihat jelas? Lagi-lagi aku bertanya pada kekosongan. Aku mulai tak tahan. Aku harus menemukan.
“Muji, daftarini yuk!” telingaku menangkap suara. Samar. Tapi aku masih dapat mencium aroma tanah yang baru saja terguyur hujan. Petrichor. Hujan gerimis di bulan Januari memang sering membawa nuansa magis. Namun aku tidak sedang dalam pengaruh magis. Aku tidak sedang bermimpi.
“Ayuuk!!” Aku mengenali suaraku sendiri. Dari getarannya, dari nadanya, dari tekanannya, aku tahu, aku antusias. Seperti seorang bocah yang begitu menginginkan naik komedi putar kemudian diajak kepasar malam oleh sang bapak.
Kemudian hening.
Aku menajamkan telingaku. Lagi-lagi samar. Aku mendengar suara tuts yang beradu dengan ujung-ujung jari. Kadang-kadang suaranya beruntun. Jari-jari itu seperti tak  lelah untuk merentangkan kalimat pada lembaran layar putih.
“Selamat bergabung, selamat menjadi anggota keluarga baru,” sebuah suara penuh dengan kebanggan tiba-tiba membuyarkan suara tuts. Seperti sebuah penyakit endemik yang menular, kebanggan itu menjangkitku. Aku bergabung, aku menjadi bagian dari mereka!
Teater Pena FLP Yogyakarta (2012)
Hening lagi. Namun kini kulitku merasakan sesuatu yang nyaman. Aku merasakan kebahagiaan yang lembut mengusap kulitku. Seperti sutra yang dijalin begituhati-hati untuk sebuah selimut hangat. Sebuah kepompong? Benang-benang sutra itu merentang, melingkupi, menghangatkan. Aku tahu, aku menyukai perasaan yang tersalur dari mereka. Apakah aku ikut tersenyum?
Suara-suara tak lagi samar. Mulai jelas mereka menelusup. Layaknya sekumpulan laron yang menyerang masuk ketika lampu ruang tamu dinyalakan. Mengerubung, meminta perhatian meski akhirnya semua laron mendapatkan cahaya lampu. Suara itu mendapatkan perhatianku. Satu persatu kupilah, kuhafalkan pemiliknya, kuingat tekanan suaranya. Percakapan, permohonan, pujian, kritikan,candaan, masukan, nasehat, atau hanya percakapan tanpa makna. Aku menjadi penuh, aku menjadi kaya.
Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu menyebar. Menguasai warna-warna yang lain. Terdengar, tuts itu berbunyi begitu riang, seperti penari salsa yang menghentakkan kakinya sesuai dengan irama lagu. Cepat dan dinamis. Indah dan menyenangkan.
Suara ribut mulai reda dan kulitku mulai merasakannya. Satu persatu benang mengendur, tercerabut perlahan. Tidak menyakitkan, namun membuat sedikit khawatir. 
“Kau juga harus menjadi benang,”suara itu menggema. Sebuah permintaan lembut, namun telingaku merasakan itu adalah sebuah perintah. Darahku setuju, mereka mengalir, menggerakan kepalaku untuk mengangguk, menggerakan bibirku untuk berkata iya. Dengan begitu saja, aku merasakan kulitku tak lagi terselimuti, namun ia menjadi bagian yang menyelimuti. Tunggu! Apa aku siap menjadi benang? Suara itu tak menanggapi, namun sesuatu yang lain berbisik padaku, seperti angin di bulan Agustus, lembut. “Engkau akan siap. Engkau harus siap.”
Demisioner kepengurusan FLP YK tahun 2012-2014 dan pengangkatan ketua wilayah baru oleh Sinta Yudisia (Ketum FLP pusat)
Aku merasakan lembutnya kulit mereka. Mereka yang baru saja bergabung menjadi anggota keluarga. Lembut, namun penuh semangat membara. Semangat itu membakar, namun tidak menghanguskan, menjadikan benang-benang ikut memerah. Apa mereka merasa nyaman dengan jalinan dimana kulitku berada? Cukupkah kuatkah jalinan ini untuk menampung luapan optimisme dan mimpi mereka?
Serat-seratku menguat. Mungkin benar, aku akan siap.
Waktu kembali hadir. Ia sepertinya sedang memamerkan dirinya yang terus berputar dan mengubah segalanya, padaku. Tidak hanya merubah, namun menggantikan. Dan itulah fungsi keberadaannya.
Perlahan tekanan mereka berbeda, gelora semangat mereka berbeda. Meredupkah? Atau berganti wujud menjadi sebuah kekecewaan? Tidak hanya mereka yang terselimuti, namun benang-benang yang menyelimuti. Apakah selimut sutra baik-baik saja? Apa ini ulah keberadaanku? Aku memandang pada waktu, meminta penjelasannya. Mungkin dia akan menunjukan tentang masa lalu, tentang cerita selimut sutra yang lain sebelum keberadaanku. Waktu menghadirkan sekelebat warna.
Lagi-lagi jalinan benang menyusut satu demi satu. Layaknya sebuah rambut yang tercerabut. Mereka yang terselimuti pun satu per satu tiba-tiba mengempis. Seperti kerupuk yang terlalu lama berada di ruang terbuka, menyusut dan mengkerut. Benarkah selimut sudah tak berfungsi seperti plastik yang telah berlubang disana-sini? Sebuah sembilu tiba-tiba menusuk. Waktu menghadirkan kenyataan yang menyakitkan.
“Apa kamu akan bertahan atau turut melepaskan? Tidak ada yang akan menyalahkan. Waktulah yang bertanggungjawab.”
“Tidak. Aku tidak rela melepaskan!”tanpa sadar aku berteriak. Tapi teriakanku adalah keheningan yang berujung pada ruang hampa. Tangannya menggapai, mencari sebuah pegangan agar ia sampai pada suara. Keheningan itu butuh pertolongan. Sekonyong-konyong keheningan-keheningan lain menyerbu. Bukan milikku, namun dari benang-benang lain yang masih tinggal, atau doa-doa dari benang-benang yang terpaksa meninggalkan. Sekumpulan keheningan menggapai-gapai suara.
Waktu akan membawa pergi, namun ia yang telah terikat dengannya, akan selamanya bersama. Waktu tidak akan mengembalikan, ia akan kembali sendiri dengan sebuah nama lain, kenangan. Aku memencet tombol itu. Tepat pada kenangan tentang petrichor di bulan Januari, poster open rekrutiment , antusiasme selayaknya bocah, warna serupa pelangi, suara ribut yang berebut ingin masuk, kehangatan dan kenyamanan selimut sutra, dan begitu banyak kekayaan bertubi-tubi menghujani. Mereka adalah kenangan-kenangan yang akan aku pandang ketika benang kulitku mulai merasa renggang.
Kali ini aku memilih menjalin kembali selimut sutra bersama benang-benang yang lain. Membangun kisah-kisah baru, merangkul keluarga baru.Aku masih memilih bertahan.
Apakah ini cinta? 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday 6 October 2016

Apa Yang Anda Pikirkan?



“Satu, dua, tiga,” aku mengangkat wajahku seirama dengan hitungan. Benar, ada dua buah bola mata tengah menatapku.
 Apa yang ia lihat?
Apa yang dia pikirkan?
Kenapa dengan beraninya ia balas menatapku?
Pertanyaan itu muncul tanpa berhasil mendapatkan jawaban.  Pemilik mata itu pun seakan tak peduli dengan serangan pertanyaan bertubi-tubi yang menyerang. Dengan seenaknya saja ia menatapku, tanpa ada niat untuk mengalihkan pandangan. Bahkan setelah ia tertangkap mata. Dia jelas tidak sedang mencuri pandang. Ia terang-terangan.
Aku tidak berkutik ditatap mata itu begitu lama. Aku kalah dan menyerah. Aku kembali menundukan wajah. Berpura-pura kembali asik dengan bukuku, berusaha berfikir dan pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa.
Perpustakaan masih hening. Pengunjung masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dinginnya udara karena suhu AC dipasang terlalu rendah sepertinya tak mengganggu mereka. Atau malah itu adalah suhu ternyaman ketika otak mereka panas karena dipaksa berfikir keras.
Kepura-puraanku tidak bisa bertahan lama. Aku masih bisa merasakan mata itu masih menatapku. Meski bukan tatapan tajam yang menghakimi dan menguliti, tetap saja tatapan itu mengganggu. Seenaknya saja ia menatap.
Aku kembali mengangkat wajah. Kali ini tanpa hitungan. Hanya spontan saja. Dan mata kami kembali bertemu. Mata tanpa cerita. Tidak ada yang bisa aku baca dari matanya. Bukan, bukan tatapan kosong. Namun, mata dengan begitu banyak cerita.
Apa yang kamu pikirkan dengan menatapku begitu?
Harus apa reaksiku?
Tidak ada jawaban. Tidak ada perubahan, bahkan dari ekspresi kami. Kami hanya saling menatap tanpa reaksi. Seperti tatapan yang lurus tanpa ada objek didepan kami, namun kami saling tahu, kami saling memandang. Kami saling membaca. Lalu, apa yang berhasil ia baca sedangkan aku tak bisa membaca apapun?
Sepertinya aku putus asa. Aku menyerah untuk membacanya.
Aku kembali menunduk seperti prajurit yang kalah dalam perang. Namun otak tak menyerah begitu saja. Ia masih saja berfikir, apa dan kenapa. Kesimpulan-kesimpulan baru terbentuk. Pemikiran-pemikiran baru terbersit. Namun semuanya tidak menjadi sebuah fakta. Hanya sebagai dugaan otak saja.
Aku harus mencari tahu, apa yang ia pikirkan. Kesimpulan inilah yang menuntunku untuk kembali mengangkat wajah. Keberanian telah terkumpul sebagai akumulasi rasa penasaran.
Aku mengangkat wajah, lagi-lagi tanpa komando. Mata itu, masih menatapku. Seakan tanpa bosan, seakan tanpa jengah, seakan tanpa takut. Dan kali ini, sebuah senyum terlukis dari sebuah bibir.

Kali ini aku benar-benar menyerah, pun menyerah mencari tahu apa yang ia pikirkan, ditambah dengan senyum terukir itu. Aku menyerah.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday 29 September 2016

Parfume


Sebuah ruangan yang tidak begitu besar-kurang lebih 6 meter persegi- begitu sepi. Bukan tanpa penghuni, namun beberapa orang yang berada di dalamnya sedang sibuk dengan urusan dan pikirannya masing-masing.
Ruangan itu dipenuhi rak-rak, berisi buku. Berbagai macam buku dengan jumlah yang tak terbilang. Tidak terlalu banyak, namun juga tak sedikit. Ditengah ruangan, beberapa meja dan kursi ditata sedemikian rupa. Kursi-kursi itu sebagian telah berpenghuni, sebagian lain masih kosong, menunggu seseorang mendudukinya.
Diruangan itulah aku berada. Sebuah perpustakaan. Menatap layar leptop dan sesekali memandang ke depan. Tumpukan buku-buku pada rak yang menjulang dan sebuah misteri tentang kursi kosong. Ya, misteri siapa yang akan mendudukinya kali ini. Sebuah buku dengan judul Sejarah yang tercetak besar terkadang menarik perhatianku. Mengingatkanku pada sesuatu, namun hanya sesaat. Bosan bergulat dengan dunia internet aku beralih pada buku yang telah aku pinjam hari sebelumnya. Sebuah buku dari penulis Jepang.
Buku itu menarik perhatianku terlalu banyak. Mungkin karena aku harus memusatkan perhatian agar mengerti apa yang dimaksudkan penulis. Meski begitu aku masih menyadari ketika seseorang menarik kursi di sampingku yang sebelumnya kosong. Seorang pria dengan kemeja rapi berwarna abu-abu dan sepatu licin kemudian duduk disana. Aku tidak dapat melihat wajahnya, pun tidak tertarik untuk melihat. Aku masih memusatkan perhatiku pada buku.
Beberapa saat kemudian misteri kursi kosong di depanku terpecahkan. Seorang pria berkaos oblong duduk disana. Sebuah leptop ia letakan di meja, di depanku. Kami berhadapan, namun aku masih enggan untuk mengangkat wajah. Tidak terlalu perduli siapa yang berada disana. Tidak mengenalku, pasti. Karena ia tak menyapa.Namun, aku punya cerita lain dengan dia. Kini aku sedikit tertarik pada pria disampingku. Aroma parfum yang cukup kuat menguar keudara. Indra penciumanku menangkapnya, dan otak mulai memproses.
Baunya wangi. Khas laki-laki. Bukan wangi bunga -wangi-wangian yang aku suka-. Apalagi buah-ini aku lebih suka lagi-. Wangi yang bagiku abstrak. Bagaimanapun aku tidak terlalu mengenal parfum, macam-macamnya, namanya, apalagi membedakan merknya. Aku hanya tau, wangi parfum lelaki disampingku ini menyengat, dan aku tidak suka. Bukan apapun, tapi karena kepalaku tetiba pusing. Respon biasa ketika ada wangi yang terlalu menusuk- mungkin ini pun sebab aku tak menggunakan parfum-.
Aku jadi teringat bapak dirumah. Ya, pria satu-satunya yang aku kenal degan baik. Lelaki satu-satunya di keluarga kecil kami-yang kini mulai tumbuh menjadi besar-, sebelum kakak-kakak perempuanku menikah dan lahirlah seorang ponakan laki-laki. Bapak juga memakai parfum. Sebuah merk parfum murah namun cukup terkenal karena ada iklan parfum tersebut di TV. Bapak sering memakainya, apalagi jika bepergian. Meski begitu, aku tetap pusing mencium wanginya. Aku lebih suka bapak tanpa parfum.
Wangi parfum lelaki itu tidak seperti wangi parfum bapak. Tercium tidak murahan. Ah, apalagi mengingat penampilan pria itu. Kemeja tersetrika rapi, handphone hitam yang mengkilap dan sepatu yang tak kalah mengkilap juga. Sepertinya pria itu cukup perfeksionis. Sudut mataku pernah menangkap ia tengah membersihkan handpone kinclongnya dengan sapu tangan. Aku langsung melihat handphoneku yang, ehm, sangat malang.
Ada parfum seorang pria yang aku suka. Parfumnya beraroma coklat. Tidak menyengat, namun lembut. Apalagi jika menempel cukup lama di kulit. Wanginya mengingatkanku akan biskuit coklat. Akhirnya aku menanyakan parfum itu padanya dan tanpa pikir panjang aku meminta ia membelikannya untukku. Aku sempat memakainya. Beberapa kenalanku pun menyukai wanginya. Namun sayang, belum sampai habis, bahkan belum sampai setengah, parfum itu hilang. Mungkin sudah takdir yang terhubung dengan takdir yang lain. Dan aku tak lagi memakai parfum, tertarik membeli lagi pun tidak karena beberapa alasan.
Sebenarnya aku penasaran, bagaimana reaksi laki-laki ketika mencium aroma parfum wanita. Apakah akan sama sepertiku? Pusing dan mengingatkan akan banyak hal. Atau yang lain? Aku tidak punya banyak referensi, namun aku tau, seorang perempuan dilarang menggunakan parfum yang berbau menyengat ketika keluar rumah, dan bertemu dengan sekumpulan laki-laki. Aku percaya, akan ada banyak kerugian dan kelalaian yang akan terjadi jika perempuan melakukannya-memakai parfum berbau menyengat- sehingga pelarangan itu ada. Namun aku belum tau pasti. Mungkin aku harus bertanya pada Bapak.
Masih berhubungan dengan parfum dan perpustakaan, aku menemukan buku berjudul Parfum di perpustakaan itu. Aku langsung teringat pada film dengan judul yang sama. Film yang memang diadaptasi dari buku itu. Aku tertarik untuk membaca, namun buku penulis Jepang itu lebih menarik bagiku saat ini. Mungkin nanti jika aku meminjam buku lagi. Aku ingin membandingkan buku itu dengan filmnya.
Aku tidak akan merekomendasikan film itu ditonton. Meski sebenarnya filmnya cukup bagus, dari segi cerita. Mugkin bukunya. Namun aku pun belum membaca. Mungkin nanti.
Banyak orang yang mendapatkan inspirasi dari wangi parfum. Pun sepertinya diriku yang akhirnya menulis sesuatu yang random dan abstrak seperti ini. Yah, aku hanya mengaitkan ujung-ujung otakku saja. Sebelum ia benar-benar lepas dan benar-benar hilang.

Tapi, tetap saja parfum bagiku tidak menyenangkan. Aku lebih suka mencium wangi buah-buahan atau bunga sebelum diekstrak. 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com