Tuesday 13 November 2018

Saya Kembali Jatuh Cinta ; Ramahnya Penduduk Lombok


Di bawah guyuran gerimis hujan yang menyambut kedatangan saya di Lombok Timur, saya kembali jatuh cinta.
Sebuah goncangan membangunkan saya. Diluar jendela sudah gelap, lampu-lampu jalanan berpendar dan gerimis masih jatuh satu persatu. Jam di layar gawai saya telah menunjukan pukul 20.08 WITA. Berarti saya sudah terlelap hampir satu setengah jam di dalam bus Damri yang saya tumpangi. Saya menengok ke kursi sekitar. Penumpang hampir masih sama dengan ketika saya naik di bandara tadi. Tiga orang lelaki, dua orang perempuan, satu anak laki-laki dan bapak supir. Mungkin mereka memiliki tujuan yang sama dengan saya, terminal Selong, Lombok Timur.
Benar saja. Beberapa menit kemudian, ketika kami sampai di terminal Selong, hampir semua penumpang beranjak turun. Ternyata terminal Selong adalah pemberhentian terakhir dari bus Damri.
Gunung Rinjani dari bandara Lombok
Terminal nampak begitu sepi. Toko-toko yang berada di dalam terminal telah tutup. Bahkan tidak ada petugas di pintu masuk. Bus-bus Damri yang berderet, tak lagi berpenumpang. Hanya ada beberapa tukang ojek yang masih mengerubuti bus Damri yang saya tumpangi.
Saya kemudian mengecek gawai saya, mungkin ada pemberitahuan dari teman yang akan menjemput saya. Ternyata belum ada. Saya kemudian langsung mengiriminya pesan bahwa saya telah sampai di terminal Selong.
Sopir bus yang sepertinya paham bahwa jemputan saya belum datang mempersilahkan saya untuk menunggu di dalam bus. Dari kursi depan, seorang perempuan muda dengan anaknya pun sepertinya menunggu jemputannya. Ia kemudian menanyakan kemana saya akan pulang, dan saat itulah baru saya ingat, saya lupa menanyakan alamat rumah teman saya!
Saya kembali mengecek gawai, batrenya habis. Mati. Seperti biasa, saya masih tenang-tenang saja. Ah, mungkin sebentar lagi teman saya sampai. Namun, setelah menunggu hampir limabelas menit teman saya belum sampai. Apalagi ditambah tukang ojek yang tak henti-hentinya menawarkan jasanya, saya mulai merasa tidak nyaman. Gerimis, terminal yang sepi, tukang ojek yang nampak tidak bersahabat, mau tidak mau menimbulkan kegelisahan di dalam hati saya.
Akhirnya tawaran itu datang.
Dua buah motor menghampiri bus Damri, saya pikir itu motor teman saya, namun bukan. Mereka menjemput perempuan muda di depan saya dan anak laki-lakinya. Melihat saya tinggal sendiri, perempuan itu nampaknya tidak tega. Ia mengajak saya untuk mampir dan menunggu teman saya dirumahnya. Awalnya saya ragu, apalagi saya berada di tempat asing, sendiri, tidak paham bahasa mereka dan lain sebagainya. Namun lagi-lagi sisi naif (yang saya sebut husnudzon) saya menang, saya mengikuti tawaran tersebut.
Rasa dingin setelah sepuluh menit berada dibawah guyuran gerimis, dan terpaan angin khas bulan November langsung hilang ketika saya bertemu dengan keluarga perempuan itu, yang kemudian baru saya tahu namanya, Mbak Endah, perempuan berusia dua puluh empat tahun, sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki lucu berusia dua tahun.
Keluarga Mbak Endah sama ramahnya dengan dirinya. Mereka langsung membuatkan saya teh manis, menawari saya makan dan memaksa saya yang malu-malu untuk makan. Masakan khas Lombok yang pedas menyambut saya. Kemudian kami bercengkrama, berkelakar dengan banyak hal, sesekali melempar guyonan dengan perbedaan bahasa yang ada, selayaknya saya adalah keluarga mereka. Kecanggungan seakan sirna karena keramahan mereka.
Bagaimana saya tidak akan jatuh cinta, jika saya yang asing ini diperlakukan selayaknya keluarga. Saya yang berada di tempat yang belum pernah saya pijak sebelumnya, sendirian, kedinginan, mendapatkan kehangatan yang luar biasa. Benar, saya kembali jatuh cinta.
Jika kedatangan pertama saya dulu, saya jatuh cinta dengan masjid-masjid Lombok dan pantai-pantainya, kali ini saya jatuh cinta dengan keramahan penduduknya, dan jatuh cinta itu bertambah pada hari-hari berikutnya.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday 8 November 2018

Solo Travel Yogyakarta-Bali dengan Kereta Sri Tanjung, Kenapa Tidak?


Suasana malam di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. 

Hotel Taman Ayu di Denpasar Selatan. Fasilitas AC, TV, dan kasur yang empuk. 

Sendiri dalam perjalanan panjang ini, tidak enak. 


Ternyata 14 jam itu lebih lama daripada yang saya pikir.

Rencana yang mendadak memang terkadang sering terealisasi daripada perjalanan yang direncanakan jauh-jauh hari. Terlebih lagi jika perjalanan dengan teman-teman yang sibuk, dibandingkan saya yang freelancer (jika tidak ingin disebut pengangguran), bisa-bisa hanya wacana. Maka, perjalanan kali ini, saya memilih sendiri (ngajak temen ngga ada yang bisa 😭)
Perjalanan kali ini saya siapkan mendadak, tidak perlu menunggu jadwal liburan, tidak perlu menunggu weekend. Mulai dari tiket pesawat, itinerary, dan dimana menginap juga semuanya serba mendadak. Tapi kemendadakan itu, ternyata menyimpan banyak kejutan.
Perjalanan ke Bali kali ini saya memilih menggunakan jasa PT Kereta Api Indonesia, dan memilih tiket Sri Tanjung, tujuan Yogyakarta-Banyuwangi.
Jalur kereta ini sudah cukup terkenal, karena harganya yang paling murah, apalagi di kalangan backpaker.  Harganya cukup Rp. 94.000, dan kamu masih bisa mendapatkan potongan jika menggunakan aplikasi dan masih ada promo. Murah banget kan?
Seorang teman sempat mempertanyakan kenapa memilih kereta dengan lama perjalanan 14 jam. Belum lagi nanti dari Pelabuhan Ketapang hingga Denpasar harus naik bus lagi. Total perjalanan bisa 20 jam. Saya menjawab, saya ingin merasai perjalanan solo travel dengan kereta ke tempat antah berantah. Selain itu, ngirit ongkos sih. Hahaha.. Kan sekalian mau mlipir ke Lombok. Apalah saya yang hanya freelancer.

Empat belas jam itu tidak sebentar.

Seperti kebanyakn kereta ekonomi lainnya, kereta Sri Tanjung memiliki kursi yang saling berhadapan dengan posisi 3-2. Saya memilih kursi jejer 2, dan di dekat jendela. Biar bisa tidur atau melihat pemandangan. Namun ternyata ketika saya naik kereta, tempat duduk saya sudah diduduki seorang Mbak-mbak bermasker. Saya, yang serba tidak enakan akhirnya memilih menerima saja dan duduk disisi lorong. Sudah dipastikan saya tidak akan tidur sampai perjalanan berakhir.
Benar saja, 14 jam terasa sangat lama, memilukan dan menyedihkan. Mungkin jika berkawan, kita bisa bercerita dengan kawan kita. Apalagi kalau rombongan, seru banget tentunya. Sedang saya, sendiri dan duduk dengan mbak-mbak yang nampaknya sama seperti saya, enggan memulai percakapan. Jika bercakap pun cuma sampai pada tahap tanya tujuan perjalananan. Alhasil, selama perjalanan saya hanya membuka HP, chating, merevisi beberapa itin, ngegame, buka medsos, liat story, baca berita, begitu berulang-ulang.
Sungguh, saya merindukan membaca novel.
Ketika kereta sudah hampir sampai di Banyuwangi, hari telah gelap, sekitar pukul 20.50, saya mulai memasang beberapa rencana. Setelah, membaca blog para backpaker, seharusny transit dari Banyuwangi ke Bali via kapal Very akan mudah, jika ramai-ramai. Namun, ada rasa was-was karena pertama saya perempuan, kedua sendiri, ketiga belum pernah sebelumnya menggunakan sarana ini.
Akhirnya, ketika kereta berhenti saya menghampiri bapak-bapak (dengan tampang baik dan kebapakan) yang sebelumnya duduk diseberang kursi saya, menanyakan tujuannya dan dengan kerendahan hati meminta mengikuti dia.
I dont care what he think, i just want to save my self. 😅
Maka, saya akhirnya berjalan bersama beliau, berlagak seperti seorang anak yang mengikuti bapaknya dan saya sangat merekomendasikan tindakan ini, jika kamu juga solo travel dan perempuan. Malam hari di tempat asing, dengan banyak kemungkinan tindak kejahatan, sangat tidak direkomendasikan untuk berjalan sendiri. Perjalanan dari stasiun Banyuwangi Baru-Pelabuhan Ketapang, kurang lebih 10 menit dengan berjalan kaki.
Sampai di pintu gerbang pelabuhan Ketapang, kita harus membeli tiket dan mulai Agustus 2018 pembelian tiket diwajibkan dengan menggunakan emoney. Jadi, jika kamu belum punya kartu ini, kamu bisa beli kartu brizzi di dekat pintu masuk.
Harganya Rp. 25.000, biaya administrasi Rp. 2000, dan minimal top up Rp. 10.000, jadi jika ditotal Rp. 37.000. Tiket kapal very sendiri seharga Rp. 6.500,.
Kartu Brizzi ini bisa untuk membeli banyak tiket. Jadi, jika kamu rombongan, beli satu kartu saja dan di top up sejumlah yang diperlukan.
Alhamdulillah, sampai di dalam pelabuhan ketapang saya aman dari gangguan, bahkan gangguan mas-mas atau bapak-bapak yang kadang iseng.

Ternyata saya harus menunggu.

Jam di layar HP saya sudah menunjukan pukul 21.30 WIB. Untuk mencapai Denpasar, saya harus menaiki kapal very, Ketapang-Gilimanuk. Setelah itu menaiki bus-bus yang biasanya juga ikut di kapal. Tapi, seorang petugas kepolisian di Pelabuhan Ketapang merekomendasikan kami untuk menunggu bus di Ketapang saja. Biasanya ada bus damri atau bus-bus besar. Terlebih lagi, terminal di pelabuhan Gili Manuk sangat sepi di jam seperti ini.
Akhirnya kami memutuskan menunggu di pelabuhan. Tepat pukul 22.00, bus yang kami harapkan pun datang, bus kelas ekonomi yang sering saya temui di Kebumen, jurusan Solo-Jogja. 
Kami langsung naik dan membayar Rp. 60.000 (dari beberapa blog, harganya bervariasi, mulai 40-50rb, tergantung keberuntungan).
Menyebrang dengan kapal very hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Jadi, bagi kamu yang mabuk laut, tidak usah terlalu khawatir.
Sampai di Ketapang, jam telah menunjukan pukul 00.00. Lama? Tidak, karena perbedaan waktu antara WIB dan WITA.
Perjalanan kurang lebih 3-4 jam, untuk sampai ke Terminal Mengwi. Terminal kedatangan terakhir. Oya, di terminal Gili Manuk, siapkan KTP, karena akan ada pemeriksaan kartu identitas. Untuk perjalanan dengan bus ini saya baru bisa terlelap tidur.
Sampai di Terminal Mengwi, jam telah menunjukan pukul 03.50, sangat tidak direkomendasikan jika tidak ada yang menjemputmu.
Pagi buta seperti ini, aplikasi ojek online manapun akan sulit mencarikan supir untukmu. Bali tidak seperti Jogja atau Jakarta dimana driver ojek online stay 24 jam. Jika ada, kamu akan berebut dengan penumpang lain. Tentu saja, kamu juga harus berjalan menjauh dari terminal. Seperti pada terminal umumnya, keberadaan ojek/taksi online dilarang keras.
Jika hari sudah menjelang pagi, sekitar pukul 6-7, angkot-angkot baru mulai beroperasi. Dengan angkot-angkot itulah, kamu akan diantar ke tujuanmu.
Beruntung, saya di jemput teman di terminal kedatangan terminal Ubung, jadi saya hanya perlu ke terminal Ubung dan jika menggunakan ojek online skitar 20-23rb.
Pukul 05.40 saya baru sampai di penginapan di daerah Denpasar Selatan, yang telah saya booking sebelumnya. Bukan jenis penginapan backpaker sih. Tapi cukup terjangkau, Rp. 150.000-250.000/kamar dengan kapasitas 2 orang (tergantung kamu dapet promo dari aplikasi travel atau tidak). Jika kamu mencari penginapan yang lebih murah, di daerah Kuta Bali, ada penginapan yang cukup murah, yaitu homestay Arthawan di jalan Popies Lane II, 100.000/dua orang/kamar plus sarapan (saya tidak tahu sudah di aplikasi atau belum). Kedantangan ke Bali sebelumnya, saya menginap di penginapan tersebut dan sudah banyak backpaker yang merekomendasikannya.
Bagi kamu dengan tujuan wisata, banyak pilihan destinasi wisata di Bali, dan untuk mengeksplorenya, saya rekomendasikan menyewa sepeda motor. Penyewaan sepeda motor banyak ditemui di Kuta, dengan harga sewa 50-100rb per 24 jam.
Next, Solo Travel saya di Lombok..

Denpasar, 09 November 2018
Pukul 09.35 WIT

Ditulis ketika transit 3 jam di Bandara Ngurah Rai, setelah perjalanan dari Lombok dan akan menuju Yogyakarta. Sepertinya akan delay 1 jam. 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com