Mungkin tidak
masalah jika tersesat di suatu tempat padan siang hari, karena kemungkinan
besar akan ada orang yang lewat dan kita bisa bertanya arah mana jalan yang
benar. Sayangnya kali ini saya dan kedua teman saya tengah tersesat di waktu
malam hari, lewat dari tengah malam. Alih-alih manusia yang lewat, kucing pun
sepertinya enggan untuk keluar.
Belum lagi medan
yang benar-benar asing. Jalan tempat kami berada kini adalah jalan setapak
berbatu. Kanan kirinya hutan rimbun. Bisa saja kami bertanya pada GPS yang terpasang
di perangkat handpone. Sayangnya, signal terhalang pepohonan. Jadilah kami
manusia-manusia tersesat yang sesungguhnya.
Putus asa. Mungkin
itu salah satu pilihan yang bisa kami ambil saat itu. Tapi ternyata skenario
lain menanti kami.
Dari arah belakang
sebuah sepeda motor meraung, mendekat. Ada rasa sedikit was-was. Bagaimana
tidak, kami, tiga perempuan biasa tanpa bekal ilmu bela diri. Ditambah lagi waktu
sudah lebih dari tengah malam. Kejahatan bisa saja datang menyambangi kami.
Pengendara sepeda
motor itu berhenti disamping kami yang sudah memasang alarm siaga. Seorang
bapak muda dengan pakaian sederhana bertanya dengan ramah. Kami menceritakan
apa yang terjadi dan tempat tujuan kami. Bapak itu pun menunjukan arah yang
kami tuju. Tak sampai disitu, bapak itu pun bersedia untuk mengawal kami untuk
sampai tujuan.
Perjalanan di lanjutkan
dengan bapak yang belum kami ketahui namanya sebagai pemandu jalan. Jalan lebih
menanjak dan hutan menjadi lebih lebat. Kewaspadaanku meningkat. Apalagi salah
satu temanku dibonceng bapak itu. Pikiran buruk pun semakin liar. Kata
jangan-jangan semakin banyak berkumpul di otak. Bagaimana tidak, alih-alih
mendekati jalan yang ramai, kami malah semakin masuk ke dalam hutan.
Saya sepertinya
harus sujud sungkem dan meminta maaf kepadanya karena telah berpikiran buruk. Ternyata
ia benar-benar mengantarkan kami ke jalan yang benar. Kami kembali ke jalan
yang lebar dan beraspal. Beberapa mobil dan motor lewat mendahului kami. Hingga
akhirnya sebuah papan besar terlihat. “Anda Memasuki Kawasan Kawah Ijen.”
Kami berhenti dipertigaan
jalan. Bapak tadi menjelaskan beberapa petunjuk untuk sampai di Kawah Ijen.
Namun, ia terpaksa berhenti karena motornya tidak sempat dibelikan bensin. Maka
dia harus menunggu mobil temannya untuk bisa sampai kesana.
Ternyata bapak itu
adalah penambang belerang di Kawah Ijen, sebuah
kawah gunung aktif yang memiliki kandungan asam tertinggi di dunia.
Kawah Ijen terletak di Kabupaten Banyumas, Jawa Timur. Coba saja anda cari di
internet dengan kata kunci Kawah Ijen, akan banyak sekali hal yang anda
dapatkan. Belum lagi foto-fotonya yang menakjubkan. Tidak dari warga lokal
saja, namun banyak masyarakat manca negara yang memiliki fotonya.
Tempat wisata yang telah mendunia ini ternyata menyimpan cerita
lokal yang luar biasa. Cerita bapak ini salah satunya. Sudah sepuluh tahun
lebih dia menjadi penambang belerang. Pekerjaannya memang dimulai pagi-pagi
sekali. Setiap malam, dia keluar dengan motornya, menembus dinginnya udara pegunungan
dan jalan yang terjal menuju sebuah tempat dengan ketinggian 2368 mdpl.
Tidak hanya ketinggian yang harus dilawan. Bapak itu
dan penambang-penambang belerang yang lain pun harus menahan gas belerang yang
tersembur di Kawah Ijen. Tentu saja gas belerang berbahaya untuk kesehatan.
Belum lagi, mereka memikul hasil belerang dengan menggunakan dua buah keranjang
yang di satukan dengan bambu. Dengan medan yang cukup terjal, mereka harus
membawa belerang dengan bobot hampir 50 kilogram. Luar biasa bukan?
Ternyata, di balik itu semua masih ada kisah yang lebih
memprihatinkan. Satu kilo belerang hanya dihargai seribu delapan ratus rupiah
oleh pengepul. Jika di bandingkan dengan perjuangan yang harus dilakukan, tentu
harga itu tak sebanding. Sering bapak itu dan rekan-rekannya berusaha
berdiskusi dengan pengepul agar menaikan harga belerang. Yah, paling tidak biar
genap dua ribu rupiah agar kebutuhan pokok yang semakin naik bisa terbeli.
Namun sayang, usaha mereka sering sia-sia. Dua ratus rupiah yang mereka
perjuangkan kandas. Harga belerang tetap mandeg di tempatnya.
Pada akhirnya, saya tak sempat menanyakan namanya. Namun cukuplah
cerita tentang hidupnya, tentang seratus rupiah yang diperjuangkannya menjadi
pelajaran berharga buat saya. Seratus rupiah bisa tak berarti apa-apa buat
saya, tapi buat mereka, seratus rupiah adalah harapan mereka untuk kehidupan
yang lebih baik.
0 Apa Kata Mereka???:
Post a Comment