Di
bawah guyuran gerimis hujan yang menyambut kedatangan saya di Lombok Timur,
saya kembali jatuh cinta.
Sebuah
goncangan membangunkan saya. Diluar jendela sudah gelap, lampu-lampu jalanan
berpendar dan gerimis masih jatuh satu persatu. Jam di layar gawai saya telah
menunjukan pukul 20.08 WITA. Berarti saya sudah terlelap hampir satu setengah jam
di dalam bus Damri yang saya tumpangi. Saya menengok ke kursi sekitar.
Penumpang hampir masih sama dengan ketika saya naik di bandara tadi. Tiga orang
lelaki, dua orang perempuan, satu anak laki-laki dan bapak supir. Mungkin
mereka memiliki tujuan yang sama dengan saya, terminal Selong, Lombok Timur.
Benar
saja. Beberapa menit kemudian, ketika kami sampai di terminal Selong, hampir
semua penumpang beranjak turun. Ternyata terminal Selong adalah pemberhentian
terakhir dari bus Damri.
Gunung Rinjani dari bandara Lombok |
Terminal
nampak begitu sepi. Toko-toko yang berada di dalam terminal telah tutup. Bahkan
tidak ada petugas di pintu masuk. Bus-bus Damri yang berderet, tak lagi
berpenumpang. Hanya ada beberapa tukang ojek yang masih mengerubuti bus Damri
yang saya tumpangi.
Saya
kemudian mengecek gawai saya, mungkin ada pemberitahuan dari teman yang akan
menjemput saya. Ternyata belum ada. Saya kemudian langsung mengiriminya pesan
bahwa saya telah sampai di terminal Selong.
Sopir
bus yang sepertinya paham bahwa jemputan saya belum datang mempersilahkan saya
untuk menunggu di dalam bus. Dari kursi depan, seorang perempuan muda dengan
anaknya pun sepertinya menunggu jemputannya. Ia kemudian menanyakan kemana saya
akan pulang, dan saat itulah baru saya ingat, saya lupa menanyakan alamat rumah
teman saya!
Saya
kembali mengecek gawai, batrenya habis. Mati. Seperti biasa, saya masih
tenang-tenang saja. Ah, mungkin sebentar lagi teman saya sampai. Namun, setelah
menunggu hampir limabelas menit teman saya belum sampai. Apalagi ditambah
tukang ojek yang tak henti-hentinya menawarkan jasanya, saya mulai merasa tidak
nyaman. Gerimis, terminal yang sepi, tukang ojek yang nampak tidak bersahabat, mau
tidak mau menimbulkan kegelisahan di dalam hati saya.
Akhirnya
tawaran itu datang.
Dua
buah motor menghampiri bus Damri, saya pikir itu motor teman saya, namun bukan.
Mereka menjemput perempuan muda di depan saya dan anak laki-lakinya. Melihat
saya tinggal sendiri, perempuan itu nampaknya tidak tega. Ia mengajak saya
untuk mampir dan menunggu teman saya dirumahnya. Awalnya saya ragu, apalagi
saya berada di tempat asing, sendiri, tidak paham bahasa mereka dan lain
sebagainya. Namun lagi-lagi sisi naif (yang saya sebut husnudzon) saya menang,
saya mengikuti tawaran tersebut.
Rasa
dingin setelah sepuluh menit berada dibawah guyuran gerimis, dan terpaan angin
khas bulan November langsung hilang ketika saya bertemu dengan keluarga
perempuan itu, yang kemudian baru saya tahu namanya, Mbak Endah, perempuan
berusia dua puluh empat tahun, sudah menikah dan memiliki seorang anak
laki-laki lucu berusia dua tahun.
Keluarga
Mbak Endah sama ramahnya dengan dirinya. Mereka langsung membuatkan saya teh
manis, menawari saya makan dan memaksa saya yang malu-malu untuk makan. Masakan
khas Lombok yang pedas menyambut saya. Kemudian kami bercengkrama, berkelakar
dengan banyak hal, sesekali melempar guyonan dengan perbedaan bahasa yang ada, selayaknya
saya adalah keluarga mereka. Kecanggungan seakan sirna karena keramahan mereka.
Bagaimana
saya tidak akan jatuh cinta, jika saya yang asing ini diperlakukan selayaknya
keluarga. Saya yang berada di tempat yang belum pernah saya pijak sebelumnya,
sendirian, kedinginan, mendapatkan kehangatan yang luar biasa. Benar, saya
kembali jatuh cinta.
Jika
kedatangan pertama saya dulu, saya jatuh cinta dengan masjid-masjid Lombok dan
pantai-pantainya, kali ini saya jatuh cinta dengan keramahan penduduknya, dan
jatuh cinta itu bertambah pada hari-hari berikutnya.
Makasih udah share yah kak
ReplyDeletemusik