“Satu, dua, tiga,” aku mengangkat wajahku
seirama dengan hitungan. Benar, ada dua buah bola mata tengah menatapku.
Apa
yang ia lihat?
Apa yang dia pikirkan?
Kenapa dengan beraninya ia balas menatapku?
Pertanyaan itu muncul tanpa berhasil mendapatkan
jawaban. Pemilik mata itu pun seakan tak
peduli dengan serangan pertanyaan bertubi-tubi yang menyerang. Dengan seenaknya
saja ia menatapku, tanpa ada niat untuk mengalihkan pandangan. Bahkan setelah
ia tertangkap mata. Dia jelas tidak sedang mencuri pandang. Ia terang-terangan.
Aku tidak berkutik ditatap mata itu begitu
lama. Aku kalah dan menyerah. Aku kembali menundukan wajah. Berpura-pura
kembali asik dengan bukuku, berusaha berfikir dan pura-pura tidak pernah
terjadi apa-apa.
Perpustakaan masih hening. Pengunjung masih
sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dinginnya udara karena suhu AC
dipasang terlalu rendah sepertinya tak mengganggu mereka. Atau malah itu adalah
suhu ternyaman ketika otak mereka panas karena dipaksa berfikir keras.
Kepura-puraanku tidak bisa bertahan lama. Aku
masih bisa merasakan mata itu masih menatapku. Meski bukan tatapan tajam yang
menghakimi dan menguliti, tetap saja tatapan itu mengganggu. Seenaknya saja ia
menatap.
Aku kembali mengangkat wajah. Kali ini tanpa
hitungan. Hanya spontan saja. Dan mata kami kembali bertemu. Mata tanpa cerita.
Tidak ada yang bisa aku baca dari matanya. Bukan, bukan tatapan kosong. Namun,
mata dengan begitu banyak cerita.
Apa yang kamu pikirkan dengan menatapku
begitu?
Harus apa reaksiku?
Tidak ada jawaban. Tidak ada perubahan,
bahkan dari ekspresi kami. Kami hanya saling menatap tanpa reaksi. Seperti
tatapan yang lurus tanpa ada objek didepan kami, namun kami saling tahu, kami
saling memandang. Kami saling membaca. Lalu, apa yang berhasil ia baca
sedangkan aku tak bisa membaca apapun?
Sepertinya aku putus asa. Aku menyerah untuk
membacanya.
Aku kembali menunduk seperti prajurit yang
kalah dalam perang. Namun otak tak menyerah begitu saja. Ia masih saja
berfikir, apa dan kenapa. Kesimpulan-kesimpulan baru terbentuk.
Pemikiran-pemikiran baru terbersit. Namun semuanya tidak menjadi sebuah fakta.
Hanya sebagai dugaan otak saja.
Aku harus mencari tahu, apa yang ia pikirkan.
Kesimpulan inilah yang menuntunku untuk kembali mengangkat wajah. Keberanian telah
terkumpul sebagai akumulasi rasa penasaran.
Aku mengangkat wajah, lagi-lagi tanpa
komando. Mata itu, masih menatapku. Seakan tanpa bosan, seakan tanpa jengah,
seakan tanpa takut. Dan kali ini, sebuah senyum terlukis dari sebuah bibir.
Kali ini aku benar-benar menyerah, pun
menyerah mencari tahu apa yang ia pikirkan, ditambah dengan senyum terukir itu.
Aku menyerah.
0 Apa Kata Mereka???:
Post a Comment