Monday 12 March 2012

Janeng, yang Hilang di Telan Jaman

Banyak sekali budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan berbagai nilai yang terkandung didalamnya. Misalnya saja budaya gotong royong, yang mana setiap masyarakat saling bekerja sama dalam melakukan sebuah pekerjaan tanpa ada imbalan berupa materi. Semuanya dilakukan sukarela. Tentu hal ini akan semakin mengeratkan silaturahmi antar penduduk. Selain itu, akan terasa sekali rasa kekeluargaan di dalam diri mereka. Susah sama dirasa, senang sama tertawa. Namun, sayangnya sesuai dengan perkembangan teknologi budaya yang banyak mengandung nilai-nilai kebaikan ini pun mulai luntur.

Kini jarang sekali ditemui budaya gotong royong seperti membuat rumah salah satu penduduk, memanen padi bersama, ataupun membangun jalan. Kini semuanya di nilai dengan materi. Apalagi di dalam masyarakat perkotaan. Budaya gotong royong ini sudah hilang dari permukaan karena masing-masing penduduknya tidak perduli satu sama lain.

Budaya-budaya yang lain pun demikian. Banyak kebudayaan-kebudayaan tradisional yang ditinggalkan warganya. Contohnya saja Janeng. Ya, Janeng. Kata ini pasti asing ditelinga kita. Ya, banyak yang tidak mengenal salah satu kesenian musik tradisional ini. Bahkan di kalangan penduduk Kebumen sendiri, musik Janeng seperti barang asing yang sangat asing. Jika ingin mengkaji tentang kesenian ini pun sumber tertulis yang ada sangatlah minim. Apalagi di dunia maya. Jarang sekali ada yang menyinggung kesenian tradisional Islam ini. Padahal budaya ini memiliki nilai-nilai yang sangat baik.

Janeng sendiri adalah kesenian musik daerah yang bernuansa Islami. Musik tradisional yang beralat musik pukul seperti kendang dan rebana ini biasa mendendangkan lagu-lagu puji-pujian yang ditujukan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW, dan pada umumnya musik janeng di lantunkan dengan rasa syukur yang teramat.

Karena lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu sholawat kepada Rasulullah, maka lagu ini berbeda dengan lagu-lagu yang sering kita dengar sekarang ini. Lagu-lagu janeng memiliki pesan-pesan yang sangat baik dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Selain itu juga mengingatkan kita terhadap Keagungan Sang Pencipta, Allah Azza Wa Jalla. Sehingga lagu-lagu yang dinyanyikan pun tidak sembarangan. Banyak lagu yang diambil dari hadist-hadist shahih. Sehingga tidak heran jika para pemain janeng banyak menghafal hadist-hadist shahih.

Pada awalnya musik janeng digunakan sebagai sarana dakwah oleh para ulama. Kemudian berkembang menjadi musik yang menyatu dengan kehidupan masyarakat. Dahulu, sekitar 1980-an, sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janeng sering dimainkan di mana-mana. Musik ini menjadi primadona. Seperti di balai desa, Kantor kecamatan, Pendopo Kabupaten, dan di tempat orang yang mempunyai hajatan.

Setiap ada pertunjukan Janeng, orang-orang berbondong-bondong untuk menonton. Dalam pertunjukan inilah sering terjadi interaksi yang mendekatkan masyarakat. Pertunjukan janeng sering di barengi dengan pembicaraan santai para penontonnya. Baik mengenai sawah mereka, maupun kehidupan rumah tangga mereka. Maka dari itu, terjadilah komunikasi yang baik serta tak lupa tentang esensi kehidupan mereka didunia ini.

Kini, Janeng tidak setenar dahulu. Jasanya jarang sekali di gunakan. Hanya sesekali dalam acara peringatan Maulud Nabi atau peringatan hari-hari Islam lain yang biasa dirayakan masyarakat. Bahkan karena sepinya jop, terkadang grup janeng ini menawarkan diri untuk tampil meski tidak di bayar.

Kebumen sendiri mempunyai banyak klub musik Janeng. Ini menandakan bahwa Kabupaten Kebumen adalah jantung dari Kesenian Janeng. Contohnya adalah klub janeng dari desa Bumirejo, Panggel, Peniron dan Klegenrejo. Tapi sayangnya yang tergabung dalam klub janeng adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut. Contohnya saja klub janeng yang berada di desa Klegenrejo, Kecamatan Klirong. Grup Janeng yang di motori oleh Pak Roso ini terdiri dari beberapa warga yang rambutnya telah memutih. Bahkan beberapa dari mereka telah hidup sejak penjajahan Jepang.
Mereka mengaku, meski kini jarang sekali mendapat panggilan untuk mengisi acara, mereka tetap sering berlatih. Hal itu semata-mata mereka lakukan karena mereka mencintai kebudayaan ini. Mereka mengaku bahwa kebudayaan ini seperti sarana untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Amat disayangkan memang, sebuah kebudayaan yang memiliki nilai-nilai positif ditinggalkan warganya. Anak-anak muda lebih memilih mempelajari musik-musik modern yang hinggar binggar dan hedonis. Kebudayaan ini pun tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Tidak ada upaya pengenalan kepada masyarakat luas. Padahal nilai-nilai yang terkandung sangat baik. Bahkan kebudayaan-kebudayaan ini lebih banyak ditampilkan di dalam kelas internasional daripada di wilayah domestik sendiri.

1 comment:

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com