“Karena hidup tidak selalu mulus,” ucap C ketika senja menyapa kota Yogya hari ini. Bukannya tanpa sebab, ia mengucapkan kalimat itu seraya mengusap botol minumannya yang masih baru. Beberapa menit sebelumnya botol itu jatuh dari motor, meninggalkan baret-baret di badan botol.
Aku
menatapnya geli. Bisa saja dia mendapatkan kalimat filsafah kehidupan tersebut
hanya dari baret di botol minumannya. Namun sejurus kemudian wajahku ikut
serius. Bahkan ketika kami melaju membelah jalanan Yogya. Aku merenungkannya,
merenungkan kalimatnya dengan seksama.
Sejak
malam sebelumnya aku telah mengagendakan beberapa hal dihari ini. Pergi kesana,
ketemu dengan B, mengunjungi event ini, dan beberapa hal lain. Namun apa daya,
pagi-pagi ketika aku hendak meninggalkan asrama, motor yang aku kendarai tak
mau bekerja sama. Remnya rusak. Roda belakang tidak mau berputar. Beruntungnya
aku masih berada di halaman asrama. Aku masih bisa meminjam motor teman satu
asrama. Namun, tentu banyak hal yang berjalan mulus sesuai rencana karena aku
tidak bisa meminjam motor itu seharian.
Hidup
tidak selalu berjalan mulus. Pun dengan rencana-rencana besar yang telah
tersusun bertahun-tahun lalu. Bisa jadi, hari ini rencana itu gagal, batal,
tertunda, atau yang lain. Namun seyogyanya, meski kehidupan yang tak berjalan
mulus itu tak menyurutkan semangat. Semangat untuk meneruskan mimpi. Jika mimpi
yang satu tak terwujud, masih ada mimpi lain yang bisa diwujudkan.
‘Kehidupan
yang tidak mulus’ku hari ini sebenarnya memberikan satu pelajaran lagi. Meski
usia telah menua, bukan berarti kalah, dan mengalah pada kerentaan tubuh, dan
kekuatan yang perlahan sirna. Aku dapatkan pelajaran ini dari seorang bapak
tua, pensiunan PNS berusia 70 tahun yang menjadi teman perjalananku di Trans
Jogja.
Tubuhnya
ringkih, nafasnya pendek-pendek. Namun ia tak berdiam, dan membiarkan semua itu
mengalahkannya. Gurat-gurat usia tua jelas tergambar di wajahnya, namun
semangat muda seakan membara keluar dari jiwanya.
Ia bekerja di sebuah univ swasta di Jogja.
Berawal dari permintaan bantuan dari
temannya, ia membiarkan dirinya berangkat pagi dan pulang magrib, melupakan
usianya yang sudah tak lagi senja. Membiarkan tubuhnya berdesakan dengan
penumpang trans jogja lain setiap harinya. Beruntung jika mendapatkan tempat duduk,
jika tidak kakinya yang lemah menopang tubuhya meski beratnya tak seberapa.
Namun ia menikmatinya. “Daripada melamun dirumah, lebih baik berguna di luar,”
begitu katanya.
Ah,
tentu hidupnya tak mulus, seperti kulitnya yang mengeriput. Namun, optimistis
tetap terpancar di matanya dan nada suaranya.
Tua.
Memang bukan sebuah hal yang mutlak, karena maut bisa jadi penghalangnya. Namun
jika bisa menjadi tua, mungkinkan bisa tetap memiliki semangat yang sama ketika
masih muda meski jalan hidup tak selalu mulus? Semoga.
0 Apa Kata Mereka???:
Post a Comment