Friday 4 November 2016

Bapak Kemana?

Bapak Kemana?

Sore baru saja hendak turun. Matahari yang semula terik, mulai terasa sejuk. Seperti hari-hari yang lain, warung pun sepi. Hanya satu dua yang sesekali datang, atau anak-anak tetangga yang membeli jajan. Nanti, sebetar lagi, ketika ibu-ibu akan memulai aktifitas memasak makan malam, disitulah warung akan diserbu pembeli.

Ketika aku pulang kerumah, pada jam-jam seperti inilah aku menjaga warung. Bapak, yang pekerjaan utamanya bertani, tentu saja kesawah. Mama juga ke sawah membantu bapak merawat sawah yang tidak seberapa lebarnya. Menyiangi rumput, memetik sayuran, atau sekedar membersihkan ranting-ranting pohon jeruk yang sudah mengering. Kaka pertamaku yang biasanya membantu segala hal urusan mama di rumah, sedang istirahat bersama anak-anaknya di rumah yang lain. Jadilah hanya aku penunggu satu-satunya di warung.

"Assalamu'alaykum, dek."
Aku yang sedang asik menonton acara TV segera menoleh. Seorang bapak separuh baya berdiri di depan pintu warung.

"Wa'alaykumusalam. Nggeh, pripun Pak?" tanyaku dengan bahasa Jawa alus.
Biasanya dengan pelanggan warung aku menggunakan bahasa ngapak saja. Namun, bapak yang satu ini aku yakin bukan pelanggan warung. Bukan pula orang desa. Penampilannya rapi, meski baju putihnya tidak bagus dan baru namun setidaknya bersih. Tentu saja pelanggan warung yang biasanya baru pulang dari sawah tak serapi ini. Dan, barusan dia mengucapkan salam. Kalau pelanggan warung sih langsung duduk saja dan berteriak,"Kopi arang, Ji!"

"Bapak wonten?"
"Bapak teng sabin, Pak. Pripun nggeh? Monggo mlebet rumiyin." Ucapku mempersilahkan bapak itu masuk. Tidak enak kan melihat dia berdiri di pintu begitu. Dia pun masuk kewarung dan duduk di kursi pelanggan.
"Kulo mpun janjian kalih bapake sampean sonten meniki. Onten urusan penting."

Aku berfikir sejenak. Urusan penting apa ya? Jual beli hasil sawah kah? Sepertinya tidak perlu seresmi ini kalau urusannya itu. Tiba-tiba aku pun dilema. Jika urusannya penting, tentu saja aku harus segera memanggil bapak di sawah. Duh, bapak. Sudah janjian ko malah pergi. Tidak ada orang lain di warung.
Menghubungi bapak lewat handphone jelas tidak mungkin. Meski punya handphone bapak tergeletak dirumah. Bapak bukan bapak-bapak yang selalu aktif membawa handphone kemana-mana. Maklum lah, hanya petani. Bukan orang penting. Mama, apalagi. Mama enggan menggunakan handphone.
Lalu, tidak mungkin juga kan memanggil bapak dengan pengeras suara. Meski akan sampai padanya, urusan ini tentu tak segenting itu.

"Es teh, Ji!" seorang lelaki di awal tiga puluhan masuk kewarung dan langsung duduk di pangkeng. Khas pelanggan warung.
Aku pun segera bergegas membuatkan lelaki itu pesanannya.

"Mas A, aku nitip warung disit ya. Arep meng sawah, bapak ana tamu," ujarku seraya meletakan es teh di depan pelanggan itu.

"Oh ya." kata Mas A sigap. Ia lalu terlibat obrolan dengan tamu bapak.

Aku segera melesat ke sawah denga motor silver. Lima menit saja sudah sampai.

"Pak, ana tamu," kataku ketika sampai di dekat bapak yang tengah mencangkul sawah.

"Sapa?" tanya bapak seraya menghentikan aktifitasnya.
"Embuh. Ora reti. Bapak-bapak. Jere wis janjian."
Bapak terdiam sejenak. Mama yang tengah mencabuti rumput ikut mendongak.
"Sapa?" tanya mama.
"Ora reti." jawabku seraya memandang bapak.
"Dulure si kae. Urusan pak RT," jawab bapak akhirnya.
"Ya wis nganah bali," perintah mama.
"Ngko sit tek ngrampungna kie."
"Wis di enteni koh. Jere penting." kataku mendesak. Tak enak kan membiarkan tamu lama menunggu. Mama sepertinya pun sependapat denganku.
Terlihat bapak hendak membantah, namun diurungkan. Sepertinya ia ingat sesuatu. Ia segera mengemasi peralatan-peralatan kerjanya.

Aku mendahului bapak untuk pulang, teringat warung yang tanpa penunggu dan tamu yang tengah menunggu. Sampai di warung si tamu masih berada di tempat ketika aku meninggalkannya. Namun ia sudah tak lagi mengobrol dengan si pelanggan. Si pelanggan sedang asik mengobrol dengan pelanggan lain yang baru datang.
Mungkin dia resah, mungkin tidak. Tapi tak elok kan membiarkan seorang yang jauh-jauh bertamu menunggu, apalagi tanpa kepastian.
Pun dengan ibu-ibu pelanggan warung yang perlu kepastian dimana penjual warung berada. Hai bu, aku disini, siap melayani.

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com