Sunday 27 October 2013

Refleksi Secangkir Kopi

Pagi ini aku seperti diundang kembali untuk berhadapan dengan si mesin pintar. Ah, rasanya jari-jari ini sudah kaku, namun akhirnya ia menari juga mengikuti perintah sang majikan pengendali segala. Otak, sang tuan motorik. Kemudian kalimat itu tersusun dengan susah payah. Sempat terfikir bahwa aku lupa bagaimana caranya menulis. Jelas, sudah seperti bertahun-tahun lalu sejak terakhir kali aku menulis apa yang menjadi khayalanku. Bukan paper atau esai. Tapi karanganku belaka yang tersusun dalam sederetan cerita.  Beberapa menit kemudian aku akhirnya menyerah. Perut sudah meronta untuk diisi. Jam di pojok layar leptop menunjuk pukul 09.57. Sudah saatnya makan? Aku akhirnya beranjak juga, mengambil jaket merah kebanggaan mahasiswa pendidikan Geografi UNY dan jilbab langsung yang terlalu sering digunakan hingga warnanya pudar.
Nasi dan telor beserta segelas susu menjadi sarapan yang istimewa. Rasa syukur kembali bertabur. Aku bisa makan pagi ini. Coba jika tidak seperti tokoh-tokoh yang sering aku tulis. Ah, apa aku kejam?
Namun, belum lengkap rasanya jika aku kembali ke lantai dua, ke dalam singgasanaku jika tak ada yang menemani. Maka sebungkus kopi instans akhirnya mengisi sebuah gelas sedang. Bukan air panas, melainkan air dingin yang ditambah beberapa kotak es batu menjadi pilihan.
Aku kembali duduk terpekur didepan leptope. Berusaha merangkai kata lagi untuk menyelesaikan cerita yang baru setengah. Akhir cerita sudah aku dapat, tapi yang aku bingung adalah bagaimana menuliskannya. Jangan-jangan aku lupa untuk menulis ending cerita?
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di dalam program komputer, merapikan file-file yang berantakan karena agenda KKN beberapa minggu yang lalu.
Pointerku akhirnya mengambil keputusan dengan memainkan sebuah musik yang baru aku tau keberadaannya. Owl City. Api tidak akan aku bahas, jadi di skip saja. Yang pasti bisa kau bayangkan sekarang ini kamarku tengah dipenuhi suara musik elektrik dari band  Amerika. Oh, itu diluar kebiasaanku memang. Tapi sesekali mencoba hal baru tak apa kupikir.
Aku menenggak kopi buatanku. Ternyata terasa pahitnya. Airnya terlalu banyak, atau mungkin es yang telah mencair mempengaruhi volume air yang seharusnya untuk takaran sebungkus kopi instans. Tapi aku masih merasakan manis disana. Meski samar. Akhirnya aku meninggalkan ceritaku yang baru setengah jadi dan membuka lembar baru. Kertas kosong yang akhirnya tertulis deskripsi apa yang terjadi pagi ini. Tentang sebungkus kopi yang terlalu banyak dituangkan air. Ah, tidak, tentang manis diantara rasa pahit kopi.
Aku membayangkan tentang kehidupan yang mungkin ada disekitarku, ah tidak. Simpelnya tentang apa yang aku alami. Kehidupan yang tak selamanya manis seperti gula yang membuatku tersenyum atau bahkan tertawa, atau mengucap syukur. Namun tak selamanya pula air mata yang berderai atau pahitnya kehidupan akibat berbagai macam hal. Bahkan oleh perasaan sendiri yang sebenarnya secara nyata tidak terjadi. Hanya prasangka, atau perasaan saja.
Keduanya saling berputar seperti roda yang salah satu sisinya akan ada diatas suatu kali namun suatu kali nanti ia akan berada di bawah.
Manis dan pahit. Aku jadi terfikir pada simbol Cina. Yin dan Yang. Baik dan buruk. Atau terbalik? Tak apalah. Namun aku lebih senang menyamakannya dengan surga dan neraka. Ah, terlalu jauh kah? Baik lah, mungkin dengan kata air mata dan tawa. Padahal tak semua yang pahit itu air mata kan? Berarti tidak cocok. Aku mulai kesulitan mencari perumpamaan. Ada yang bisa membantu?
Kalau begitu diskip saja perumpamaannya. Pokoknya manis dan pahit. Namun bagaimana jika keduanya menjadi satu dan terasa bersamaan pada lidah yang sama pada waktu yang sama? Jika asin dan tawar bertemu akan menjadi payau, namun jika pahit dan manis bertemu? Mungkin yang menang adalah yang lebih banyak kadarnya. Namun bagaimana jika keduanya bertemu dengan masing-masing identitasnya. Pahit ya pahit, manis ya manis.
Aku teguk kembali kopiku, sedikit mencari alasan bagaimana itu bisa terjadi dan mengapa bisa?
Berfikir sejenak aku jadi teringat suatu hal. Kadang ketika kita berada dalam suatu masalah atau kesulitan, akan ada rasa manis disana. Mungkin nikmatnya perjuangan, nikmatnya bekerja sama dengan teman-teman. Nikmatnya menagis bersama mungkin. Yang tidak akan terasa manis jika kita tidak berada dalam keadaan pahit. Aku meneguknya kembali dan memikirkan hal lain. Aku akhirnya menemukan judul untuk tulisan ini. Tapi aku rasa kurang komersial, jadi nanti akan aku ganti saja.
Aku menegak kopiku lagi untuk yang kesekian. Aku masih merasakan pahit didalam lidahku, dan entah mengapa tidak dengan rasa yang manis. Apakah karena kita terbiasa mengingat-ingat hal yang pahit dan melupakan hal-hal yang manis, hingga suatu kali ketika kita tertimpa kesialan kita akan mengatakan, “Kenapa hidupku selalu malang begini.” Padahal banyak kejadian menyenangkan lain yang membuat kita tertawa. Apa karena ketika menangis kita mengeluarkan air mata dan akan membekas di sapu tangan kita, sedangkan ketika tertawa apa yang tertinggal? Sejam kemudian kita mungkin lupa karena tidak ada kenang-kenangan nyata yang tertinggal.
Aku sudah menulis banyak tanpa makna. Aku menenggak kopiku untuk kesekian kali. Aku mencoba tidak merasainya. Aku mencoba melumpuhkan lidahku hingga ia tak merasakan apa-apa. Kopi itu lewat saja masuk ketenggorokanku seperti aku tak pernah menenggak kopi sebelumnya. Hanya air putih dan tak meninggalkan rasa.
Mungkinkah kita pernah suatu kali, mungkin suatu kejadian yang luar biasa yang dapat membuat kita tertawa bahagia, namun kita mencegah diri. Kita menarik diri untuk merasakan lebih. Mungkin karena takut akan rasanya yang pahit. Padahal belum tentu. Mungkin rasa yang tertinggal nanti adalah rasa yang manis. Hingga akhirnya kejadian itu terlewat begitu saja. Tanpa ada manfaat apapun yang dapat kita ambil, padahal jelas-jelas ia telah melewati kita. Mungkin saja.
Satu teguk terakhir, dan kemudian aku akan beranjak bersiap-siap berangkat kuliah. Ternyata manisnya mengendap di bawah. Sedari tadi yang aku rasakan adalah pahit dan pahit. Yah, mungkin massa gula lebih berat daripada massa kopi. Entahlah, namun pernah tidak terfikir olehmu bahwa kejadian memilukan yang terjadi secara bertubi-tubi, atau ujian yang sering kali membuat terluka dan menangis, atau kehilangan suatu hari nanti akan berbuah manis. Kebahagiaan yang tiada akhir.
Aku sampaikan suatu rahasia. Aku percaya akan hal itu. Suatu hari nanti, apa yang kita upayakan, apa yang kita usahakan, akan menghasilkan buah yang manis. Mungkin tidak di dunia yang hanya sejenak, namun di akherat nanti. Allah menyiapkan JannahNya untu hamba yang senantiasa bersabar menghadapi pahitnya hidup. InsyaAllah..
Ayo kuliah..........

1 comment:

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com