Sunday 27 October 2013

Pilihan Gue

Setelah sekian lama, gue akhirnya naik bus lagi.
Njug ngopo, nduk?
Gue cuma mau ngasih tau aja sih. Selebihnya tentang apa yang terjadi di dalam bus bisa lo rancang sendiri. Kalo elo udah pernah naik bus kelas ekonomi yang mengeluarkan asap super pekat, dan kernet yang berteriak hinggar binggar lo pasti tahu kondisi gue yang tiga jam lewat berada di dalamnya. Belum lagi dengan hiburan setengah gratis yang ditawarkan artis-artis panggung lantai bus.
Oke, gue udah sering cerita. Tapi, tetap saja cerita itu ngga pernah habis untuk gue bagi ke elo yang demen baca note gue. Padahal sih ngga ada ya. Paling Cuma liat judulnya doang langsung di skip. Ngga penting. Tapi anggap saja gue lagi cerita sama kertas. Ok, itu cukupfair buat gue. Paling ngga ada yang nampung pikiran gue sebelum otak gue meledak karena terlalu banyak pikiran.
Langsung ke intinya aja. Gue ngga bisa nebak apa yang akan terjadi pada saat gue di bus. Banyak hal bisa terjadi. Gue udah pernah bilang belum kalo sopir itu umpamanya pemimpin? Oke, sudah. Anggap saja selesai. Gue ngga akan mbahas itu lagi. But, agak nyambung dikit sih.

Ada yang terjadi sebelum gue naik bus. Dua buah bus dengan tujuan yang sama mendarat bersama di depan gue (lu kira layangan?). Gue ngga sempet nanya diri gue sendiri buat milih mana bus yang pengen gue tumpangi. Masing-masing bus pengen cepet-cepet jalan, paling ngga meninggalkan bus saingannya dibelakang biar mereka bisa mendapatkan penumpang lebih dulu. Gue sih cuek bilang rejeki sudah ada yang ngatur, kenapa harus susul-susulan gitu, kan mbahayain penumpang juga. Tapi mungkin mereka sudah ahli dan punya alasan yang lebih logis dan diterima manusia manapun. Oke, selanjutnya gue tinggal naik aja tanpa memilih. Yang terdekat dengan gue lah yang gue pilih tanpa melihat momok si bus, raut si sopir, kursi penumpang, apalagi kaca spion. Ngga gue perhatiin.
Lebih lama dari beberapa menit, gue udah duduk dengan nyaman diposisi yang paling gue minati seumur hidup kalo naik bus, dekat jendela. Paling ngga gue bisa liat kalo ada topeng monyet yang lagi beraksi pergi kepasar. Setelah bayar kewajiban gue ke kondektur, gue pules. Tidur. Soal tidur gue seperti apa, gue ngga tau. Ngga ada yang cerita ke gue. Sungguh.

Gue tidur cuma sejam. Habis itu mata gue melek karena harap-harap cemas ngga bisa dateng ke acara “kumpul-kumpul mbahas masa depan” yang gue adain. Awalnya gue yakin pasti sempet, apalagi bus yang satu lagi ketinggalan dibelakang. Si Sopir ternyata ahli juga. Tapi satu jam berlalu, dan bus berhenti disebuah pemberhentian absurd di pinggir jalan. Bukan halte, dan ngga enaknya itu, bus yang tadinya di belakang menyusul dengan lancarnya.

Lebih panjang dari setengah jam pun berlalu, dan bus belum menandakan akan melaju. Gue liat jam. Mungkin masih sempet, tapi ketar ketir juga sih, dan beberapa saat kemudian sang sopir yang dari tadi gue liat nongkrong di warung akhirnya menduduki singgasanannya, memegang kendali, siap menjadi pemimpin busnya lagi, dan gue hanya bisa tersenyum kecut. Padahal pengen tanya apa alasannya. Apa coba? Jelasin ke gue apa alasan elo pak sopir. Tapi gue cukup sopan dan hanya duduk manut di kursi penumpang. Toh gue juga cuma penumpang. Gue udah milih dia sebagai sopir gue. Makanya gue harus patuh, tapi belum selesai kejengkelan gue, bus ternyata lajunya sepersekian lebih lambat dari sebelumnya. Ujian apa lagi ini.

Mungkin karena udah ngga balapan sama bus satunya, si sopir santai-santai aja, tanpa tau gue yang ngga bisa santai. Gue akhirnya sms “atasan” gue, kemungkinan gue telat atau ngga datang sama sekali. Ah, padahal gue yang minta mereka kumpul.

Gue telat satu jam dari jadwal seharusnya, dan bus yang gue tumpangi selanjutnya biasanya akan menurunkan penumpang di tengah perjalananan jika sudah sore. Dugaan gue benar. Gue diturunin di tengah jalan. Sendiri. Akhirnya gue sms ke “atasan” gue kalo gue ngga bisa datang ke acara kumpul-kumpul, dan penyesalan kenapa gue ngga ngga naik bus satunya pun menyerang tiba-tiba. Jika boleh berandai, pasti deretan kata andai itu sudah memenuhi kertas HVS A4 yang lagi gue ketik.

Gue ngga bisa milih. Tapi ketika lo punya pilihan untuk nentuin sopir elo, harusnya lo bisa nentuin sopir yang lebih baik, lebih profesional dan lebih mementingkan efisiensi waktu. Tentu dalam kasus lain juga. Jika lo cukup ada waktu untuk berfikir mungkin lo tau maksud gue. Tapi bisa saja engga. Pikiran gue kan terlalu abstrak untuk dipahami. Tapi terserah elo sih. Kalo elo pengen dibawa kesituasi yang ngga enak buat masa sekarang dan masa depan lo, ya terserah aja. Toh, semua pilihan udah disodorin ke elo, dan elo tinggal nentuin jalan lo. Gue harap sih lo bukan orang yang apatis yang ngga peduli sekitar, apalagi diri elo sendiri, karena nanti ujung-ujungnya apa yang elo pilih akan kembali ke elo juga.

Jadi, selama lo bisa milih, kenapa lo ngga milih yang terbaik. Kenapa lo harus nyerahin masa depan lo sebagai ajang coba-coba, atau karena melihat keuntungan semu. Misalnya karena jarak loe yang lebih dekat dengan bus. Emang sih ngga ada yang akan tahu tentang masa depan. Tapi ketika lo punya pilihan berarti lo punya waktu untuk berfikir dan menimbang secara rasional untung ruginya.
Terserah elo sih..gue tidur aja..












Kunjungi juga blok gue ziimujikuhibiniu.blogspot.com...:)




“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Ali Imran, 3:28)

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com