Sunday 27 October 2013

Menguak Ingatan Masa Lalu

Saya masih ingat, suatu pagi, ketika embun masih menempel manja pada daun, tujuh insan manusia dusuk manis di kursi mereka masing-masing menghadap seorang ustadz yang pagi itu memberikan setitik ilmu Allah diatara ilu-ilmu yag maha luas. Terkadang mata merayu untuk kembali terpejam. Tapi kali itu, seorang yang duduk dibarisan kedua mendengar ustadz itu bercerita tentang zakat, dan sayup-sayup ia mendegar pejelasan sang Ustadz.  Yah, sebentar lagi Ramadhan, dan kata zakat pasti akan lebih sering terlontar dan terdengar. Ah, bukan berarti pada bulan-bulan sebelumnya kata itu tak ada. Tapi mungkin hanya lebih jarang. Bukankah di bulan Ramdhan pahala berlipat. Ya, zakat pun berlipat dari bulan sebelumnya. Memang tak ada salahnya toh mengharap yang berlipat. Tapi, entahlah. Kantuk yang semakin menggelayut, gadis itu masih sempat mendengar tentang sebuah opsi yang diajukan oleh salah seorang ulama tentang alokasi zakat untuk orang miskin. Apa istimewanya? Di desa gadis itu biasanya zakat fitrah yang diterima oleh badan amil zakat di bagi rata kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun menurut pemikir Islam itu bagaimana jika metode pembagian zakat di buat berbeda agar zakat tidak hanya zakat.  Gadis itu yakin pembaca pun tau, tiap bulan Ramadhan, penerima zakat jumlahnya hampir selalu sama, bahkan bertambah. Jika berkurang pun karena orang yang berhak mendapat zakat tersebut wafat. Tiiiaaap tahun selalu orang-orang itu saja. Lalu bagaimana jika metode ini dipakai agar jumlah orang yg berhak mendapatkan zakat berkurang bukan karena kematian tapi karena dia sudah tak berhak lagi mendapat zakat, atau dengan kata lain dia sudah sukses. Yah, cara itu sederhana. Caranya yaitu dengan mengumpulkan zakat itu dan memberikan pada satu dua orang saja untuk modal usaha si penerima, dan tahun berikutnya di berikan kepada yang lainnya. Begitu seterusnya hingga tidak ada lagi yang berhak mendapat zakat karena semua orang didesa itu sukses. Maka, zakat bisa didonasikan kedesa lain yg membutuhkan. Nah, metode yang menjanjikan bukan. Ini memang masih wacana, dan bisa saja diterapkan untuk mengangkat taraf hidup penduduk desa. Namun, tentu kita tidak bisa mengabaikan, mengapa si miskin menerima zakat tiap tahunnya. Yah, misalkan saja disuatu daerah ada sepuluh penerima zakat. Lalu suatu kali zakat diberikan kepada salah satu dari mereka. Mungkin satu orang itu bisa sukses, namun bagaimana kesembilan orang yg lain. Apakah ia mampu bertahan melewati tahun2 sebelum ia mendapatkan jatah zakatnya? Apakah yang medapatkan porsi zakat benar-benar bisa berhasil denga jaminan? Masih pula teringat oleh salah satu ranting otak gadis iti ketika suatu pagi, teman sebelah kamarnya selepas membaca koran dia berkata bahwa harga bensin telah naik setelah beberapa hari sebelumnya wacana tentang kenaikannya menyulut kegalauan mahasiswa, kaum papa, rakyat jelata hingga bocah balita. Akhirnya fenomena antrian panjang di pom bensin yang berlangsung beberapa hari, berakhir. Apa kaitannya dengan zakat yang diingat gadis itu hingga penjelasannya panjang dan lebar hingga meluas kemana2?  Simpel saja. Dengan pencabutan subsidi BBM yang gadis itu dengar bahwa “ rakyat miskin” akan di beri bantuan langsung atau BLSM dan bantuan-bantuan lain yang katanya akan lebih tepat sasaran. Gadis itu tak ingin lagi membicarakan tentang pro kontra kenaikan BBM. Masing-masing punya pendapatnya sendiri karena mereka melihat dari sudut pandang mereka masing-masing. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah bantuan itu cukup? Apakah bantuan itu tepat sasaran? Apakah bantuan yang tujuannya akan menjadi modal itu benar-benar bisa mengangkat taraf hidup orang miskin? Gadis itu hanya ingin membuka ingatan pembaca bahwa BLT yang dulu pernah digelontorkan tak terdengar kabarnya bahwa dana itu berhasil mengangkat taraf hidup si miskin. Malah dampaknya rakyat seperti dimanjakan. Yang lebih menyedihkan lagi, sifat konsumtif masyarakat menjadi lebih tinggi karena uang yang diterima. Rakyat penerima BLT sepertinya sulit untuk berfikir tentang usaha untuk menjadikan dana itu sebagai modal. Yah, bahkan ada yang nyletuk usil, dana segitu memang cukup untuk modal apa? Dagang jajanan? Saingan sudah banyak, yang bermodal lebih besar pun banyak. Meding langsung dibelikan kebutuhan pokok, dan dalam sekejap uang itu raib. Namun kebutuhan pokok belum terpeuhi karena harga yang melambung. Dalam pikiran gadis itu, dengan dicabutnya subsidi BBM maka sama halnya dengan kasus opsi zakat. Bukankah tidak semua rakyat miskin mendapat bantuan BLSM ini. Belum lagi persyaratan untuk mendapatkan bantuan ini. Misalnya syarat harus memiliki kartu Perlindungan Sosial untuk mendapatkan bantuan BLSM. Bagaimana mengurus kartu ini? Bukan lagi rahasia tentang bagaimana birokrasi negara ini. Mulai dari KK higga surat keterangan RW. Iya kalau semua punya KK. Kalau tidak, mereka harus mengurusnya. Iya kalau mereka punya RT dan RW. Bagaimana pemilik penghuni pemukiman kumuh yang tak dianggap keberadaannya? Padahal mereka pun harus membeli makanan yang memiliki dampak akibat kenaikan BBM. Jika dihitung, dampak kenaikan harga BBM itu lebih luas dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah, empat ratus ribu berbanding dengan hampir 50% kenaikan BBM. Ah, gadis itu terlalu malas untuk menghitung harga-harga kebutuhan pokok yang melambung dan tarif angkutan umum yang turut naik hingga 50%, belum lagi tarif-tarif lain.             Dengar-dengar sih penerima kartu Perlindungan Sosial sebanyak 15,5 juta rumah tangga. Hems, rakyat miskin di Indonesia berapa ya? Bagaimana penyalurannya, dan perjalanan penyaluran bantuan ini pun masih misteri. Jika mandeg di salah satu pos pun tidak ada yang akan tahu. Semoga saja tidak.             Gadis itu tentu ingin yang terbaik untuk negaranya. Jika keputusan pemerintah sudah demikian, ia bisa apa. Ia hanya bisa mengingatkan dan kembali mengingatkan, menguak yang terlupakan akan sejarah, tentang sistem, tentang pelaksanaan, tentang kenyataan. Sistem tak perlu di kambing hitamkan. Memang, tidak ada yag sempurna di dunia ini jika datangnya dari manusia. Jika mereka yang berpendapat bahwa sistem Tuhan itu sudah ketiggalan jaman, mana sistem manusia yang mampu menyamai, atau mirip-mirip dikitlah denga sistemnya Tuhan yang memberikan kemakmuran kepada manusia? Hasilnya adalah kemelaratan, kekacauan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Menakutkan. Anehnya itu masih saja di elu-elukan sebagai sistem yang terbaik. Tak bisakah membaca sejarah? Ah.. Gadis itu gemas rasanya pada negeri nya ini.Ia merindukan makmurnya kota Mekah ketika Rasulullah dan Khulafaur Rosyidin memimpin. Ketika pemimpin negri berkeliling untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Ketika syariat Islam ditegakan pada masyarakat plural sekancah Jazirah Arab, bahkan merambah ke Eropa, Afrika dan Asia dengan penduduk Yahudi, Islam, kristen, pagan, penyembah berhala serta kabilah yang tak terbilang, tapi mereka hidup tentram, saling melindungi, saling berbagi dan itu bertahan hingga ratusan tahun, meluas pada belahan bumi lain. Ketika Raja Sriwijaya pun mengirimkan surat kepada Umar bin Abdul Aziz karena kemasyurannya, dan pengakuan atas sistem Islam yang memakmurkan rakyat hingga meminta utusan agar Umar bin Abdul Aziz mau mengirimkan utusan untuk mengajarkan Islam di negeri Sriwijaya. Cabang otak yang lain mencuat dan ia menunjukan pada suatu ingatan ketika mata kuliah sejarah. Seorang dosen sejarah mengatakan bahwa sejarah akan terulang, dan gadis iti percaya janji Allah pasti bahwa Islam akan mencapai kemenangan, entah bagaimanapun batu-batu itu mengahalangi langkahnya.  #Benarkan jika salah, dan jika ada Kebenaran itu datangnya dari Allah SWT..

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com