Mari
kita mulai dari awal.
“Fiks.
Lebaran kita ke Bali Lombok ya!”
Kurang
lebih begitu chat yang dikirimkan Diah pada saya, dua bulan sebelum hari H.
Saya
yang terbiasa pergi tanpa planing pun hanya mengiyakan, tanpa kemudian membuat
itin atau yang lain. Bahkan baru sebulan kemudian mulai mencari tiket pesawat
ke Bali.
Kenapa
pakai pesawat? Kan mahal. Katanya Backpaker miskin. Mungkin jika menggunakan
bus atau kereta akan lebih murah. Namun, waktu yang kami miliki tidak banyak.
Lebih tepatnya waktu yang dimiliki Diah untuk ‘melarikan diri’. Jadi, dari
pertimbangan waktu akhirnya kami memilih pesawat, dan mencari tanggal dimana
harga tiket pesawat masih murah. Terkadang waktu memang bisa dibeli dengan
uang, guys. Lagi pun, sudah ada sponsor ini. Haha.
Memangnya,
tanggal-tanggal lebaran gitu tiket pesawat ada yang murah? Ada. Rajin-rajin
saja cek website maskapai penerbangan. Bahkan sekarang ngecekin website
maskapai penerbangan itu jadi semacam keisengan tersendiri. Kali aja tiba-tiba
mereka ngadain promo yang harga tiketnya sama kaya kalau beli makan di warung
padang, sebelum pajak bandara.
Tapi,
karena booking sebulan sebelum keberangkatan, harga tidak terlalu memuaskan.
Tapi lumayanlah mengingat tanggal itu adalah tanggalnya orang liburan. Yap,
ngga ada seminggu setelah lebaran. Sekitar satu juta untuk dua orang telah
membeli sekian jam perjalanan dibandingkan menggunakan moda transportasi lain.
**
“Di,
katanya berangkat jam 5,” ucapku pada Diah yang masih terbaring di kasur. Jam
di handphone menunjukan waktu subuhnya WITA.
“Sebentar
lagi ya.”
Pagi
ini kami berencana menelusuri Bali bagian Selatan. Setelah browsing semalam,
ada dua destinasi wisata yang akan kami tuju. GWK dan Ulu Watu. Jangann tanya,
tentu kami tidak tahu jalannya. Tapi, masih ada GPS dan mulut yang bisa kami gunakan
untuk bertanya kan?
Pukul
enam akhirnya kami keluar dari penginapan dengan hanya membawa kamera dan
beberapa hal penting yang ditaruh di tas kecil yang dibawa Diah. Tas besar kami
tinggalkan di kamar. InsyaAllah aman. Lagipun ngga ada benda berharga. Kami
meluncur ke Selatan mengikuti panduan Map di HP.
Pagi di Bali itu, menyenangkan. Sama seperti di tempat-tempat lain, jalanan masih lenggang dan udara masih segar. Pemandangan juga terlihat lebih menyenangkan di bandingkan di siang hari meski dalam kondisi yang sama.
Namun, kami ada masalah. Memori penyimpanan kamera kami limit. Padahal, tujuan jalan-jalan itu selain untuk melihat pemandangan baru, apalagi kalau bukan untuk foto-foto. Kamu juga gitu kan? Jadi sepanjang perjalanan kami melihat kanan kiri, mencari toko elektronik yang sudah buka dan menjual kartu memori penyimpanan data kamera. Hasilnya nihil. Sepagian ini, jarang sekali toko-toko yang sudah buka. Adanya pasar pagi yang menjual sayuran mayur. Kami berpasrah, berusaha memutar haluan, foto yang penting saja.
Namun, kami ada masalah. Memori penyimpanan kamera kami limit. Padahal, tujuan jalan-jalan itu selain untuk melihat pemandangan baru, apalagi kalau bukan untuk foto-foto. Kamu juga gitu kan? Jadi sepanjang perjalanan kami melihat kanan kiri, mencari toko elektronik yang sudah buka dan menjual kartu memori penyimpanan data kamera. Hasilnya nihil. Sepagian ini, jarang sekali toko-toko yang sudah buka. Adanya pasar pagi yang menjual sayuran mayur. Kami berpasrah, berusaha memutar haluan, foto yang penting saja.
Seorang penduduk lokal yang sedang berdoa diarea GWK. |
GWK
atau Garuda Wisnu Kencana adalah tujuan pertama kami. Tentu nama ini sudah tidak
asing. Biasanya kalau anak-anak sekolah study tour, salah satu andalan tujuan
wisata, ya GWK ini. Sering sekali foto berlatar patung Wisnu raksasa mejeng di
wall medsos. Maka, karena ingin pula merasakan study tour yang tidak pernah
saya rasakan, jadilah kami study tour ala-ala.
Ngga asing dengan patung ini kan? |
Tapi
kami punya masalah lagi. Map di HP sepertinya menuntun kami ke jalan yang mmm,
tidak salah. Bener sekali malahan. Karena Map ini menuntun kami menggunakan
jalur tercepat, maka kami pun melewati jalanan yang jika dilihat, bener ngga
sih ini menuju GWK yang terkenal itu? Ya, kami melewati gang sempit, jalan
sekitar persawahan, jalan yang masih tanah dan tidak ada petunjuk jalan sama
sekali. Kami sempat sangsi. Tentu saja. Namun, kepercayaan pada map masih ada.
Soalnya, tidak ada pilihan lain kan? Dan, akhirnya kami sampai juga di depan
pintu gerbang GWK dengan jalur tercepat karena bebas macet dan lampu lalulintas.
Pyuh, leganya.
Tebing Kapur |
GWK
pagi, juga masih sepi. Hanya ada pengunjung satu dua, termasuk kami, dan
beberapa penduduk lokal. Sepertinya penjaganya juga belum siap-siap amat. Kami
yang tidak tahu menahu, dan sebelumnya tidak mencari tahu ada apa saja di GWK
termangu-mangu. Kita mau ngapain di tempat seperti ini ketika memori
penyimpanan kamera limit?
Diapit tebing |
Setelah
membayar tiket yang saya lupa harganya, kami memasuki area GWK yang luaas. Karena
bingung mau ngapain, kami bertanya pada petugas tiket, mba-mba cantik berbaju
adat Bali. Siang nanti akan ada pertunjukan tarian. Ternyata kami datang
kepagian. Sedikit kecewa karena itu diluar rencana. Akhirnya kami memutuskan
berjalan-jalan saja dan memenuhi ambisi saya untuk study tour ala-ala, wujud
balas dendam karena SMA ngga study tour ke Bali.
GWK itu, ya seperti itu. Ada pura, ada sesaji, ada mbak-mbak yang lagi berdoa, ada dua patung besar, ada taman-taman bunga, bukit kapur yang dibelah dan dibuat jalan di tengahnya, lapangan, dan pemandangan dari ketinggian. Tidak bisa dibilang indah banget, tapi tidak juga jelek. Namun, jika jauh-jauh dari Jawa hanya untuk kesini dan membayar tiket yang cukup tinggi, rasanya sayang. Apalagi jika tanpa menonton pertunjukan seperti kami dan tanpa guide. Sayang bangettt. GWK, menurut saya baik untuk alternatif tujuan saja.
Setelah
sekitar satu jam, dan merasa sudah puas mengeskplor GWK tanpa tahu apa-apa,
kami memutuskan untuk menuju destinasi selanjutnya. Kami masih harus ke Selatan
lagi. Ulu Watu.
Jalan
menuju Ulu Watu mengingatkan saya pada jalan menuju pantai Gunungkidul, Yogyakarta.
Bukit, jalan berkelok-kelok dan pemandangan khas tanah kapur. Yang paling
menyenangkan adalah, jalanannya sepi.
Kami
akhirnya sampai di Ulu Watu tanpa insiden kesasar dan sebagainya. Dan, Ulu Watu
itu, membuat Diah terpesona.
Stair to Heaven. Siapa yang kasih nama? Diaaah! |
Diah yang sedang terpesona |
Pura di atas tebing |
Laut,
memandangnya memang menenangkan. Perpaduan angin sepoi sepoi, suara deburan
ombak dan hampir nihil suara kendaraan. Suasana yang tepat untuk mengheningkan
cipta sejenak. Mengingat kembali kesalahan-kesalahan, nikmat-nikmat yang
diberikan hingga hari ini dan mungkin juga kenangan masa lalu. Eh, jangan
baper. Tapi sepertinya Diah mulai baper. Haha.
Sepatu saya ngeksis dulu yes. |
Setelah puas berkeliling sepanjang bibir tebing pantai, dan foto-foto yang penting saja, kami memutuskan untuk makan. Ya, kami sepagian belum makan apa-apa. Tadi pagi sebelum meninggalkan penginapan kami tidak mengambil jatah makan kami yang disediakan penginapan. Masih kepagian, sarapan belum siap. Saat itulah turis-turis mulai berdatangan dan mulai ramai. Jadi seneng karena dateng pagi dan bisa mengambil gambar tanpa ada backgroud orang yang lagi foto juga.
TInggal Diah yang ngeksis. |
Akhirnya,
bye-bye Ulu Watu. Mungkin kita akan bertemu lagi lain waktu karena nampaknya
Diah masih kesengsem dengan tempat yang satu ini.
Sebelum
Dzuhur, kami kembali lagi ke penginapan. Kasur melambai-lambai, menggoda kami
untuk meringkuk diatasnya. Namun godaan itu harus dienyahkan karena kami harus
melanjutkan perjalanan ke Timur mencari kitab pengalaman. Lagipula, sebentar
lagi kami harus cek out atau membayar lagi.
Warna lautnya namanya apa Di? |
Namun,
apalah arti perjalanan tanpa kesasar. Itu adalah bumbu yang akan menyedapkan
sebuah pengalaman. Namun ya jangan lama-lama lah kesasarnya. Cape tau. Akhirnya
kami berhasil kembali kejalur yang benar setelah memulihkan signal provider. Mbak-mbak
pelayan berompi merah menyambut kami dengan ramah, dan sambal belut dengan
pasti di pesan sama Diah.
Perjalanan
dilanjutkan ketika hari mulai beranjak senja. Kami menuju pelabuhan Padang Bai
yang berjarak sekitar 48 Km dari Denpasar. Jalan yang kami lalui lurus saja,
mirip jalur alternatif Yogyakarta-Kebumen.
Pelabuhan Padang Bai, Bali. |
Sejam
kemudian kami sudah sampai di Padang Bai. Suara ombak pantai dan klakson (atau
entah apa namanya) bersahutan. Yeeey, naik kapal setelah sekian lama. Terakhir
yang saya ingat naik kapal itu pas ke Kulon Progo. Itu pun kapal kecil. Kapal
besar, pas dari atau ke Kalimantan. Tapi itu ukuran kapalnya jauh-jauh lebih
besar.
Kapal-kapal speed boat. Sayang kami harus menghemat uang. |
Beruntung,
ketika kami sampai di pelabuhan, sebuah kapal akan segera berangkat. Jadi,
hanya menunggu sebentar saja, akhirnya kapal menarik jangkar.
Pada
moment-moment seperti ini saya membayangkan
diri sebagai Luffy, si bajak laut. Makanya saya memilih duduk di dek atas
bagian depan meskipun angin yang berhembus cukup kencang. Karena saya orangnya
tidak romantis, film Titanik tidak terfikirkan oleh saya.
Kakinya Luffy dan Sanji. Eh, Diah dan Muji. |
Menggalau lagi. |
Senja di atas kapal |
Angin
darat ini menyebabkan ombak yang cukup tinggi. Berkali-kali ombak menghantam
lambung kapal sehingga kapal terombang-ambing di tengah lautan. Bukan karena
apa-apa. Saya pun tidak membayangkan yang macam-macam. Hanya saja, perut saya
mulai berontak karena diombang-ambingkan. Ternyata tidak Cuma perasaan saja
yang lelah ketika terlalu lama diombang-ambingkan.
Pada
saat itulah saya teringat, di Lombok nanti kami menginap dimana?
Ombak yang mengombang ambingkan kapal. Bukan hati ya.. |
Akhirnya
saya memutuskan untuk menghubungi penduduk lokal. Namanya Mas Haris. ‘Sesepuh’
yang saya kenal di FLP. Semoga saja dia tahu penginapan dekat pelabuhan.
Tak
disangka, Mas Haris menyarankan kami untuk menginap dirumah beliau saja.
Begitupun kedua orang tua beliau. Iya, dua gadis malam-malam mau keluyuran di
tempat yang tidak dikenal itu bahaya. Penumpang suami istri itu pun menyarankan
demikian. Akhirnya setelah dengan pertimbangan ini itu, dan menghilangkan ego
karena akan merepotkan orang lain, kami menyetujui. Lagian, backpaker miskin
ditawarin penginapan gratis, masa nolak (ehh).
Malam di kapal. Angin terlalu kencang untuk tetap berada di luar. |
Pulau
Lombok di malam hari, tidak terlalu jelas. Apalagi kondisi saya yang setengah
mabuk laut. Yang ada dipikiran saya hanyalah bagaimana secepatnya merebahkan
diri diatas kasur. Mengendarai sepeda motor pun rasanya sedikit oleng. Ditengah-tengah
ketidakjelasan, akhirnya kami bertemu dengan Mas Haris dan langsung diajak ke
rumahnya.
Sesampainya
di rumah Mas Haris, sambutan hangat keluarga beliau membuat saya terharu.
Apalagi akhirnya saya bertemu dengan istri baru beliau. Ya, jadi ceritanya Mas
Haris itu masih jadi pengantin baru, dan malam ini mereka rela kami ganggu. Mba
Maryam, istri Mas Haris menyambut kami dengan teh hangat.
Karena
hari sudah malam, tuan rumah langsung mempersilahkan kami untuk istirahat. Yah,
besok pagi akan ada tempat lain untuk dijelajahi dan yang paling menyenangkan
adalah, besok kami akan ditemani Mas Haris, Mba Maryam dan adik Mas Haris, Mas
Fahmi. Yeey.
Besok
kami mau kemana?
To
be continue..
0 Apa Kata Mereka???:
Post a Comment