Tuesday, 7 February 2017

Bali-Lombok: Ketika Aku Hilang dan Menemukan Part 3

 PS: Part ini akan penuh dengan gambar, karena banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata.        

 Q:“Bagaimana persiapan sebelum backpakeran ke Bali-Lombok?”
          A:”Ngga ada persiapan apa-apa.”


          Saya tidak ada persiapan khusus. Jika biasanya orang-orang yang akan melakukan perjalanan jauh, paling tidak sudah bikin itin, saya mah boro-boro. Kan mottonya, liat aja dilapangan. Soal barang yang akan dibawa, karena saya orangnya simpel, saya tidak pernah kerepotan soal packing. Lagipula, masih di Indonesia ini.

          Mungkin karena sudah terbiasa packing untuk naik gunung, jadi soal packing itu sudah bukan hal ‘istimewa’ lagi. Bahkan kadang kalau mau naik gunung itu, satu jam sebelum berangkat, baru packing. Anehnya, barang yang saya bawa cukup lengkap sampai jarum benang biasanya ngga ketinggalan.
Untuk perjalanan Bali-Lombok pun demikian. Tas, baru disiapkan malam sebelum hari H. Untuk ‘kostum’, baju bersih yang ada saja. Padahal waktu itu baru mudik lebaran dan banyak baju yang masih kotor. Jadi bawa bajunya ya yang ada saja. Apalagi karena ngga punya itin, jadi ngga bisa nyesuain kostum sama tempat. Jangan heran kalau nanti ada salah kostum. Ini tidak baik untuk di contoh.
Sebenarnya, yang paling penting untuk persiapan perjalanan jauh itu adalah mengenal diri sendiri, dan juga tempat yang dituju. Kalau kita naik gunung tentunya sebelum naik, kita persiapkan fisik kita dulu. Harus benar-benar fit. Perbekalan pun demikian. Jangan sampai kelaparan dan kehausan. Jadi bawa makanan dan minuman secukupnya. Secukupnya, jangan kebanyakan juga, seperti orang yang takut kelaparan. Semua-mua dibawa. Malah nanti bikin bawaan terlalu berat.
Kalau naik gunung, karena udaranya dingin, wajib hukumnya untuk bawa jaket. Bisa ditambah dengan penutup kepala, masker, syal, sarung tangan, atau gel penghangat ala-ala orang Jepang gitu. Gunakan baju yang hangat, tapi ringan, dan mudah kering. Jangan pakai baju atau bawahan dari jeans. Kalau perjalanan Bali-Lombok? Bawa aja baju yang nyaman dan bagus untuk foto-foto.
**
Adzan Subuh berkumandang dengan merdu, saling bersahutan. Setelah hari sebelumnya tidak mendengarkan suara Adzan sama sekali, Adzan pagi ini terdengar syahdu. Saya jadi penasaran, bagaimana rasanya muslim-muslim Indonesia yang tinggal di negara minoritas muslim sehingga tidak bisa mendengarkan Adzan lima kali sehari. Pasti rindu sekali dengan suara Adzan. Meski kadang suara Adzan Subuh diabaikan (sering malahan ya).

Salah satu masjid yang kami temui dijalan menuju pasar tradisional.
Perjalanan menuju pasar tradisional
Aktifitas di rumah Mas Haris sudah dimulai. Setelah sholat dan membersihkan diri kami bergabung dengan keluarga Mas Haris di ruang tamu. Mengobrol sana sini, tentang Lombok, tentang tempat-tempat wisatanya, dan lain-lain. Hingga kami memutuskan ikut Ayah dan Ibu Mas Haris yang akan ke pasar untuk belanja. Sepertinya menyenangkan jika perjalanan ini tidak hanya melihat pemandangan indah saja.
Ibu-ibu tangguh Lombok
Pasar tradisional di Lombok itu hampir sama dengan pasar-pasar tradisional di Jawa. Hanya beberapa barang dagangan yang nampak asing bagi saya dan cara menjualnya. Mungkin ini terkait kebiasaan dan kebudayaan mereka. Namun, mengikuti Ibu belanja di pasar itu mengingatkan saya dengan Mama di rumah. Mama setiap hari harus kepasar untuk belanja sayuran dan barang-barang lain untuk dijual lagi dirumah.
Biasa, Ibu-ibu mah nawar-nawar dulu.
Oya, selama perjalanan ke pasar, kami takjub dengan bangunan masjid yang ada dimana-mana. Sungguh berbeda sekali dengan Bali. Di Bali kami melihat pura dimana-mana, kalau di Lombok, masjid dimana-mana. Maka tak heran jika Lombok dijuluki dengan pulau seribu masjid, karena saking banyaknya masjid disini. Saya jadi seneng.
Kantor pemerintahannya aja berkubah gini.

Selepas belanja, kami langsung berguru pada sang ahli untuk memasak makanan khas Lombok. Plecing Kakung. Ternyata mudah saja membuat makanan enak ini. Bahan dasarnya tentu saja kangkung, dan dicampur bumbu khas Lombok. Sedikit berbeda dengan plecing kangkung yang pernah saya buat di Jogja. Oh, jadi begini toh aslinya. Dan hasilnya, mantap. Saya nambah. 
Ini namanya plecing kangkung khas Lombok. Dijamin, maknyuss.
Selesai makan, kami bersiap-siap melanjutkan petualangan kami. Kami bersiap menjelajah Lombok Utara, dan kali ini kami tidak berdua. Mas Haris, istri dan adiknya, mas Helmi akan bersama dengan kami. By the way, ternyata mereka belum pernah berwisata ke Lombok Utara.
Siap melaju dijalanan Lombok. Hai! aku pake jaket FLP. Saking cintanya atau..:D 


Lombok Utara, mau kemana? Tujuan kami adalah pulau-pulau yang telah termahsyur namanya, pulau Gili Trawangan dan teman-temannya. Kami melewati jalan sepanjang bibir pantai Lombok Utara. Bener-bener di bibir. 
Pemandangan disepanjang perjalanan. Gimana ngga tergoda coba.

Pemandangan disepanjang perjalanan. Gimana ngga tergoda coba

Disisi kiri kami terbentang laut biru yang menggoda, pemandangan yang luar biasa. Jika kami hanya berdua, saya percaya, waktu kami akan habis berfoto-foto di jalan ini. Setiap seratus meter sekali kami akan berhenti dan mamandangi pantai yang begitu mempesonakan. Beruntung ada mas Haris dan Istri yang berada di depan kami sebagai pemandu jalan, sehingga kami tetap pada jalur utama, menuju Gili Trawangan.
Mbak Maryam dan Mas Haris yang baik hati sekali (biar boleh nginep lagi kapan-kapan)
Setelah berada diatas motor sekitar dua jam akhirny kami sampai di pelabuhan Bangsal. Pelabuhan Bangsal ini adalah pelabuhan kecil dengan beberapa bangunan saja. Namun, ada yang berbeda dari apa yang saya baca di internet sebelumnya. Jika di internet, dikatakan bahwa pelabuhan Bangsal ini adalah pelabuhan yang kecil dengan bangunan yang terbuat dari kayu. Selain itu, banyak kejadian scam di pelabuhan ini. Namun ternyata tidak demikian.
Peta tiga Gili di pelabuhan Bangsal
Ko agak kagok ya dengan istilah Fast Boat, berasa mau bilang Fast Food.

Di pelabuhan Bangsal ini telah dibangun bangunan permanen dari batu bata, di plester dan di cat. Petugasnya juga sudah ada yang berseragam dinas. Bangunan utama yang berukuran kurang lebih sepuluh meter persegi digunakan untuk menjual tiket kapal, pusat informasi juga tempat menunggu kapal. Selain itu, di Pelabuhan ini juga sudah ada ATM, dan penginapan. Pokoknya ramai. Jika soal scam, karena saya tidak mengalaminya sendiri, jadi saya tidak bisa memberi kesaksian soal ini. Mungkin beruntungnya saya karena ditemani orang Lombok asli. 
ABK kapal menuju Gili Trawangan

Setelah bertanya tentang kapal mana yang akan kami naiki dan ini itu, kami akhirnya melakukan transaksi pembelian tiket kapal sedang dengan kecepatan sedang pula. Namun kami harus menunggu beberapa waktu karena kami harus antri dengan penumpang yang lain.
Didalam kapal
Tujuan pertama kami tentu saja Gili Trawangan, pulau terbesar dari dua pulau lainnya. Menaiki kapal dengan mesin kapal sedang membutuhkan waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Empat puluh lima menit yang kami habiskan diatas kapal tidak berlalu begitu saja. Laut, laut, lau dan laut menjadi pemandangan yang sama sekali tidak membosankan. Apalagi warnanya yang jernih sehingga kami bisa melihat apa yang ada dibawah sana. 

Gili Trawangan!!!
Gili Trawangan!!!! 
Duhh, ini sih bikin baper...

Sesampainya di Gili Trawangan kami sudah disambut dengan tugu Gili Trawangan yang berwarna-warni. Gili trawangan bukanlah pulau yang besar. Mungkin hanya sebesar kota Yogyakarta. Pasir pantainya berwarna putih dengan tekstur yang kasar. 
Pantaiii!!
Pantaiii lagii!!
Pantaiiiiiii lagi lagi lagi!!

Gili Trawangan cukup ramai, terutama disepanjang pantai. Hotel, penginapan, kafe, klub, berjejer berderet membentuk gugusan dengan konsep dan ornamen masing-masing.  
Salah satu konsep kafe di bibir pantai Gili Trawangan
Selanjutnya, kami langsung mencari penginapan untuk saya dan Diah. Ya, rencananya saya dan Diah akan menginap di pulau ini selama semalam.
Cidomo, kendaraan mirip dokar. Transportasi di Gili Trawangan karena di pulau ini tidak boleh ada kendaraan bermesin. 

Mencari penginapan di Gili Trawangan tentu saja mudah. Namun mencari penginapan yang sesuai dengan kantog backpaker miskin kami, tentu harus memilih dan memilah. Kami menemukan penginapan yang letaknya sedikit masuk ke daratan, bersebelahan dengan masjid. Duaratus ribu per malam dengan dua bed, kamar mandi dalam, dan kipas angin. Jika di bandingkan dengan Bali, memang lebih mahal, namun karena sudah lelah juga untuk mencari, apa boleh buat. Saya pun tidak berani membuka internet, mencari tahu harga-harga penginapan di Gili Trawangan ini. Takut menyesal. Biasakan cewe. Meski bedanya cuma lima ribu perak.
Baper? Saya FLP saja.

Duhh, jadi pengen nih.. pengen minum es kelapa muda. Panas.

Ini kisah (cinta) gue. Tau kan gue yang mana?
Agggrr...
Saya menyusuri pantai saja biar ngga panas, e tapi malah tambah panas ini..:D

Dia lagi ngapain? Entahlah.
Setelah sholat dan yang lain, kami berlima menuju pantai, berfoto, berfoto dan berfoto. Menyusuri pantai di Gili Trawangan dengan pasir putih itu menyenangkan. Apalagi air laut yang jernih. Inginnya segera diving saja. Tapi sayang, Diah yang tidak bisa berenang tidak berkenan. Okelah, kita nikmati pemandangan dari atas. 
Kakak-Adik yang baik hati.



Pantai Gili Trawangan dipenuhi wisatawan-wisatawan mancanegara. Hanya satu dua yang merupakan wisatawan lokal.


Senja mulai turun. Mas Haris, Mba Maryam dan Mas Helmi memutuskan untuk pulang sebelum kapal terakhir pergi. Maka tinggalah kami berdua. Selanjutnya apa? Kami memutuskan untuk kembali kepenginapan, merebahkan tubuh sejenak dan menunggu saat-saat sunset.
Mari bersepeda!

Senja dan pantai. Jika hanya kata senja saja mampu menghadirkan nuansa romatis, lalu bagaimana jika bersanding dengan kata pantai? Romantisnya dobel, dan bersepeda di pinggir pantai adalah romantis maksimal. Tak henti-henti hati saya menyebut kebesaranNya.
Berburu senja

Sunset in picture.

Langit cerah, pantai yang surut, dan matahari yang benar-benar bulat dan tenggelam dilaut, adalah suguhan yang luar biasa. Saya tidak heran jika pemandangan ini mampu melemparkan seorang anak manusia kedalam ingatan masa lalu, bahkan yang sudah jauh terkubur sekalipun.
Whats in your mind, Diyah?
Aku disini loh!!

Teringat sebuah quote di buku Tere Liye, Diah mulai menghitung berapa menit yang dibutuhkan matahari yang bulat total hingga benar-benar tenggelam. Entahlah apa yang dipikirkannya. Akhirnya matahari benar-benar tenggelam sempurna dan kami harus meninggalkan pantai.
Menghitung detik

Malam di Gili Trawangan dipenuhi suara pesta. Tapi kami tidak berada didalamnya. Kami berdua memilih asik dengan gadget kami masing-masing. Jelas, saya bukan anak party, meski pernah juga mengikuti party, Pesta Siaga pas jadi pramuka SMP. Dan Diah nampaknya tidak tertarik, mungkin dia masih terbuai dengan kenangan yang berhasil timbul ketika menatap sunset tadi. Entahlah. Akhirnya kami memilih menyudahi hari ini. Besok masih ada hari lain yang ingin kamu jelajahi.

To be continue..
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Saturday, 28 January 2017

Bali-Lombok: Ketika Aku Hilang dan Menemukan Part 2

Mari kita mulai dari awal.
“Fiks. Lebaran kita ke Bali Lombok ya!”
Kurang lebih begitu chat yang dikirimkan Diah pada saya, dua bulan sebelum hari H.
Saya yang terbiasa pergi tanpa planing pun hanya mengiyakan, tanpa kemudian membuat itin atau yang lain. Bahkan baru sebulan kemudian mulai mencari tiket pesawat ke Bali.
Kenapa pakai pesawat? Kan mahal. Katanya Backpaker miskin. Mungkin jika menggunakan bus atau kereta akan lebih murah. Namun, waktu yang kami miliki tidak banyak. Lebih tepatnya waktu yang dimiliki Diah untuk ‘melarikan diri’. Jadi, dari pertimbangan waktu akhirnya kami memilih pesawat, dan mencari tanggal dimana harga tiket pesawat masih murah. Terkadang waktu memang bisa dibeli dengan uang, guys. Lagi pun, sudah ada sponsor ini. Haha.
Memangnya, tanggal-tanggal lebaran gitu tiket pesawat ada yang murah? Ada. Rajin-rajin saja cek website maskapai penerbangan. Bahkan sekarang ngecekin website maskapai penerbangan itu jadi semacam keisengan tersendiri. Kali aja tiba-tiba mereka ngadain promo yang harga tiketnya sama kaya kalau beli makan di warung padang, sebelum pajak bandara.
Tapi, karena booking sebulan sebelum keberangkatan, harga tidak terlalu memuaskan. Tapi lumayanlah mengingat tanggal itu adalah tanggalnya orang liburan. Yap, ngga ada seminggu setelah lebaran. Sekitar satu juta untuk dua orang telah membeli sekian jam perjalanan dibandingkan menggunakan moda transportasi lain.
**
“Di, katanya berangkat jam 5,” ucapku pada Diah yang masih terbaring di kasur. Jam di handphone menunjukan waktu subuhnya WITA.
“Sebentar lagi ya.”
Pagi ini kami berencana menelusuri Bali bagian Selatan. Setelah browsing semalam, ada dua destinasi wisata yang akan kami tuju. GWK dan Ulu Watu. Jangann tanya, tentu kami tidak tahu jalannya. Tapi, masih ada GPS dan mulut yang bisa kami gunakan untuk bertanya kan?
Pukul enam akhirnya kami keluar dari penginapan dengan hanya membawa kamera dan beberapa hal penting yang ditaruh di tas kecil yang dibawa Diah. Tas besar kami tinggalkan di kamar. InsyaAllah aman. Lagipun ngga ada benda berharga. Kami meluncur ke Selatan mengikuti panduan Map di HP.
Pagi di Bali itu, menyenangkan. Sama seperti di tempat-tempat lain, jalanan masih lenggang dan udara masih segar. Pemandangan juga terlihat lebih menyenangkan di bandingkan di siang hari meski dalam kondisi yang sama.
Namun, kami ada masalah. Memori penyimpanan kamera kami limit. Padahal, tujuan jalan-jalan itu selain untuk melihat pemandangan baru, apalagi kalau bukan untuk foto-foto. Kamu juga gitu kan? Jadi sepanjang perjalanan kami melihat kanan kiri, mencari toko elektronik yang sudah buka dan menjual kartu memori penyimpanan data kamera. Hasilnya nihil. Sepagian ini, jarang sekali toko-toko yang sudah buka. Adanya pasar pagi yang menjual sayuran mayur. Kami berpasrah, berusaha memutar haluan, foto yang penting saja.
Seorang penduduk lokal yang sedang berdoa diarea GWK.
GWK atau Garuda Wisnu Kencana adalah tujuan pertama kami. Tentu nama ini sudah tidak asing. Biasanya kalau anak-anak sekolah study tour, salah satu andalan tujuan wisata, ya GWK ini. Sering sekali foto berlatar patung Wisnu raksasa mejeng di wall medsos. Maka, karena ingin pula merasakan study tour yang tidak pernah saya rasakan, jadilah kami study tour ala-ala.

Ngga asing dengan patung ini kan?
Tapi kami punya masalah lagi. Map di HP sepertinya menuntun kami ke jalan yang mmm, tidak salah. Bener sekali malahan. Karena Map ini menuntun kami menggunakan jalur tercepat, maka kami pun melewati jalanan yang jika dilihat, bener ngga sih ini menuju GWK yang terkenal itu? Ya, kami melewati gang sempit, jalan sekitar persawahan, jalan yang masih tanah dan tidak ada petunjuk jalan sama sekali. Kami sempat sangsi. Tentu saja. Namun, kepercayaan pada map masih ada. Soalnya, tidak ada pilihan lain kan? Dan, akhirnya kami sampai juga di depan pintu gerbang GWK dengan jalur tercepat karena bebas macet dan lampu lalulintas. Pyuh, leganya.
Tebing Kapur

GWK pagi, juga masih sepi. Hanya ada pengunjung satu dua, termasuk kami, dan beberapa penduduk lokal. Sepertinya penjaganya juga belum siap-siap amat. Kami yang tidak tahu menahu, dan sebelumnya tidak mencari tahu ada apa saja di GWK termangu-mangu. Kita mau ngapain di tempat seperti ini ketika memori penyimpanan kamera limit? 
Diapit tebing

Setelah membayar tiket yang saya lupa harganya, kami memasuki area GWK yang luaas. Karena bingung mau ngapain, kami bertanya pada petugas tiket, mba-mba cantik berbaju adat Bali. Siang nanti akan ada pertunjukan tarian. Ternyata kami datang kepagian. Sedikit kecewa karena itu diluar rencana. Akhirnya kami memutuskan berjalan-jalan saja dan memenuhi ambisi saya untuk study tour ala-ala, wujud balas dendam karena SMA ngga study tour ke Bali.
Ini nih si Garuda



GWK itu, ya seperti itu. Ada pura, ada sesaji, ada mbak-mbak yang lagi berdoa, ada dua patung besar, ada taman-taman bunga, bukit kapur yang dibelah dan dibuat jalan di tengahnya, lapangan, dan pemandangan dari ketinggian. Tidak bisa dibilang indah banget, tapi tidak juga jelek. Namun, jika jauh-jauh dari Jawa hanya untuk kesini dan membayar tiket yang cukup tinggi, rasanya sayang. Apalagi jika tanpa menonton pertunjukan seperti kami dan tanpa guide. Sayang bangettt. GWK, menurut saya baik untuk alternatif tujuan saja.
Setelah sekitar satu jam, dan merasa sudah puas mengeskplor GWK tanpa tahu apa-apa, kami memutuskan untuk menuju destinasi selanjutnya. Kami masih harus ke Selatan lagi. Ulu Watu.
Jalan menuju Ulu Watu mengingatkan saya pada jalan menuju pantai Gunungkidul, Yogyakarta. Bukit, jalan berkelok-kelok dan pemandangan khas tanah kapur. Yang paling menyenangkan adalah, jalanannya sepi.
Stair to Heaven. Siapa yang kasih nama? Diaaah!
 Kami akhirnya sampai di Ulu Watu tanpa insiden kesasar dan sebagainya. Dan, Ulu Watu itu, membuat Diah terpesona.
Diah yang sedang terpesona
Pura di atas tebing
Uluwatu adalah sebuah bukit di bibir pantai selatan pulau Bali. Dari Ulu Watu kita bisa melihat laut Bali yang berwana percampuran antara hijau dan biru. Diah menyebutkan namanya berkali-kali, namun saya lupa. Bagi saya, kalau tidak hijau ya biru atau percampuran keduanya. Yah, otak setengah laki-laki. Pantas saja Ulu Watu membuat Diah terpesona, karena pemandangannya memang mempesonakan.
Laut, memandangnya memang menenangkan. Perpaduan angin sepoi sepoi, suara deburan ombak dan hampir nihil suara kendaraan. Suasana yang tepat untuk mengheningkan cipta sejenak. Mengingat kembali kesalahan-kesalahan, nikmat-nikmat yang diberikan hingga hari ini dan mungkin juga kenangan masa lalu. Eh, jangan baper. Tapi sepertinya Diah mulai baper. Haha.


Sepatu saya ngeksis dulu yes.
Di Ulu Watu kami bertemu keluarga yang sedang berdoa di salah satu pura yang terletak diatas tebing. Pura ini sering nongol di foto-foto loh. Memang, pemandangannya aduhai jika diabadikan.
Setelah puas berkeliling sepanjang bibir tebing pantai, dan foto-foto yang penting saja, kami memutuskan untuk makan. Ya, kami sepagian belum makan apa-apa. Tadi pagi sebelum meninggalkan penginapan kami tidak mengambil jatah makan kami yang disediakan penginapan. Masih kepagian, sarapan belum siap. Saat itulah turis-turis mulai berdatangan dan mulai ramai. Jadi seneng karena dateng pagi dan bisa mengambil gambar tanpa ada backgroud orang yang lagi foto juga.
TInggal Diah yang ngeksis.
Lagi-lagi memilih makanan menjadi permasalahan. Namun, melihat sebuah warung dengan ibu-ibu yang mengenakan hijab sebagai penjaganya membuat kami tenang. Salah satu rejeki ya begini. Mudah mencari makanan yang insyaAllah halal.
Akhirnya, bye-bye Ulu Watu. Mungkin kita akan bertemu lagi lain waktu karena nampaknya Diah masih kesengsem dengan tempat yang satu ini.
Sebelum Dzuhur, kami kembali lagi ke penginapan. Kasur melambai-lambai, menggoda kami untuk meringkuk diatasnya. Namun godaan itu harus dienyahkan karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Timur mencari kitab pengalaman. Lagipula, sebentar lagi kami harus cek out atau membayar lagi.
Warna lautnya namanya apa Di?
Kami meninggalkan pantai Kuta kearah Denpasar. Kami berniat untuk mampir makan siang di SS Denpasar (OMG, lagi-lagi SS?). Masih berpedoman pada Map, kami memacu motor dengan kecepatan sedang. Sayangnya, kami kesasar. Map di handpone memandu kami memasuki jalan yang salah. Awalnya sih percaya-percaya saja ketika di bawa blusukan ke perumahan bergang sempit mengingat perjalanan tadi pagi. Namun kali ini kami harus mengakui, Map ini tidak selalu benar.
Namun, apalah arti perjalanan tanpa kesasar. Itu adalah bumbu yang akan menyedapkan sebuah pengalaman. Namun ya jangan lama-lama lah kesasarnya. Cape tau. Akhirnya kami berhasil kembali kejalur yang benar setelah memulihkan signal provider. Mbak-mbak pelayan berompi merah menyambut kami dengan ramah, dan sambal belut dengan pasti di pesan sama Diah.
Perjalanan dilanjutkan ketika hari mulai beranjak senja. Kami menuju pelabuhan Padang Bai yang berjarak sekitar 48 Km dari Denpasar. Jalan yang kami lalui lurus saja, mirip jalur alternatif Yogyakarta-Kebumen.
Pelabuhan Padang Bai, Bali.
Nah, sekali lagi ini enaknya naik motor/kendaraan sendiri. Bebas menikmati jalan, bebas mau pelan atau cepet, bebas mau berhenti atau lanjut tanpa di buru-buru dan diperintah agar cepet-cepet.
Sejam kemudian kami sudah sampai di Padang Bai. Suara ombak pantai dan klakson (atau entah apa namanya) bersahutan. Yeeey, naik kapal setelah sekian lama. Terakhir yang saya ingat naik kapal itu pas ke Kulon Progo. Itu pun kapal kecil. Kapal besar, pas dari atau ke Kalimantan. Tapi itu ukuran kapalnya jauh-jauh lebih besar. 

Kapal-kapal speed boat. Sayang kami harus menghemat uang.
Ada dua pilihan sebenarnya. Naik perahu very penyebrangan atau naik speedboot yang cepat namun harganya mahal. Karena kami sudah mengeluarkan banyak dana untuk naik pesawat, akhirnya kami memutuskan untuk naik very penyebrangan yang memakan waktu 4 jam diatas laut. Belum terhitung menunggu perahu berangkat. Kami membayar sekitar Rp 120.000 untuk berdua plus motor.
Beruntung, ketika kami sampai di pelabuhan, sebuah kapal akan segera berangkat. Jadi, hanya menunggu sebentar saja, akhirnya kapal menarik jangkar.
Pada moment-moment seperti ini saya  membayangkan diri sebagai Luffy, si bajak laut. Makanya saya memilih duduk di dek atas bagian depan meskipun angin yang berhembus cukup kencang. Karena saya orangnya tidak romantis, film Titanik tidak terfikirkan oleh saya.


Kakinya Luffy dan Sanji. Eh, Diah dan Muji.
Kapal very penyebrangan Padang Bai-Lembar (nama pelabuhan di Lombok) menurut saya cukup baik. Meski tidak baru, namun cukup bersih. Namun, tetap saja, toilet masih perlu perhatian. Ada beberapa toilet yang rusak, dan belum lagi kran yang bocor sehingga lantai area kamar mandi basah. Ini sedikit meriweuhkan (aduh bahasa mana ini) saya yang harus berwudhu dan memakai kaos kaki. Yeyy, akhirnya saya sholat diatas kapal!
Menggalau lagi.
Senja di atas kapal itu indah. Tapi karena kali ini perjalanan menuju arah timur dan matahari harus tenggelam diatas pulau Bali, tidak terlalu menakjubkan. Coba jika pagi, matahari keluar dari atas laut, kan amazing sekali.
Senja di atas kapal
Tapi, malam di kapal tidak terlalu menyenangkan. Angin darat berhembus kencang. Eh, ko angin darat? Kan sedang di laut. Iyap, namanya angin darat, karena angin berhembus dari darat ke laut. Ituloh, pelajaran Geografi. Ada dua angin akibat perbedaaan tekanan dan suhu antara darat dan laut, yaitu angin darat dan angin laut. Angin Laut yaitu angin yang terjadi akibat tekanan udara di darat lebih rendah. Sebagaimana sifat angin yaitu bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, begitupun angin Laut. Tekanan ini terjadi akibat suhu di lautan yang lebih rendah akibat laut yang lambat menerima panas dan lambat melepaskannya. Ingat ya, tekanan berbanding terbalik dengan suhu. Maka angin laut terjadi pada siang hari. Lalu, pada malam hari terjadilah angin darat karena tekanan udara di daratan lebih tinggi daripada di laut.
Angin darat ini menyebabkan ombak yang cukup tinggi. Berkali-kali ombak menghantam lambung kapal sehingga kapal terombang-ambing di tengah lautan. Bukan karena apa-apa. Saya pun tidak membayangkan yang macam-macam. Hanya saja, perut saya mulai berontak karena diombang-ambingkan. Ternyata tidak Cuma perasaan saja yang lelah ketika terlalu lama diombang-ambingkan.
Pada saat itulah saya teringat, di Lombok nanti kami menginap dimana?
Ombak yang mengombang ambingkan kapal. Bukan hati ya..
Sebelumnya saya sudah browsing tentang penginapan di Mataram. Ada beberapa penginapan backpaker murah, namun jaraknya memang agak jauh dari pelabuhan. Sedangkan perkiraan kedatangan kami di pelabuhan Lembar adalah jam sepuluh lebih. Jam sepuluh ukhti. Masih kelayaban aja. Sepasang suami istri, penumpang yang mengobrol akrab dengan kami pun menyarankan agar kami mencari penginapan di dekat pelabuhan saja. Tapi kami masih zonk dengan penginapan dekat pelabuhan.
Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi penduduk lokal. Namanya Mas Haris. ‘Sesepuh’ yang saya kenal di FLP. Semoga saja dia tahu penginapan dekat pelabuhan.
Tak disangka, Mas Haris menyarankan kami untuk menginap dirumah beliau saja. Begitupun kedua orang tua beliau. Iya, dua gadis malam-malam mau keluyuran di tempat yang tidak dikenal itu bahaya. Penumpang suami istri itu pun menyarankan demikian. Akhirnya setelah dengan pertimbangan ini itu, dan menghilangkan ego karena akan merepotkan orang lain, kami menyetujui. Lagian, backpaker miskin ditawarin penginapan gratis, masa nolak (ehh).
Malam di kapal. Angin terlalu kencang untuk tetap berada di luar.
Benar, jam sepuluh kami tiba di pelabuhan lembar. Sepasang suami istri yang kami temui di kapal selanjutnya menjadi pemandu kami menyusuri jalan ke Ibukota NTB, Mataram. Ditengah jalan, kami akan di jemput Mas Haris. Tepatnya di dekat patung landmark Lombok Barat, Giri Menang.
Pulau Lombok di malam hari, tidak terlalu jelas. Apalagi kondisi saya yang setengah mabuk laut. Yang ada dipikiran saya hanyalah bagaimana secepatnya merebahkan diri diatas kasur. Mengendarai sepeda motor pun rasanya sedikit oleng. Ditengah-tengah ketidakjelasan, akhirnya kami bertemu dengan Mas Haris dan langsung diajak ke rumahnya.
Sesampainya di rumah Mas Haris, sambutan hangat keluarga beliau membuat saya terharu. Apalagi akhirnya saya bertemu dengan istri baru beliau. Ya, jadi ceritanya Mas Haris itu masih jadi pengantin baru, dan malam ini mereka rela kami ganggu. Mba Maryam, istri Mas Haris menyambut kami dengan teh hangat.
Karena hari sudah malam, tuan rumah langsung mempersilahkan kami untuk istirahat. Yah, besok pagi akan ada tempat lain untuk dijelajahi dan yang paling menyenangkan adalah, besok kami akan ditemani Mas Haris, Mba Maryam dan adik Mas Haris, Mas Fahmi. Yeey.
Besok kami mau kemana?

To be continue.. 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Friday, 20 January 2017

Bali-Lombok: Ketika Aku Hilang dan Menemukan Part 1

Tahun berlalu, hiruk pihuk berganti dengan kesunyian dan berganti lagi dengan keramaian. Berputar terus menerus bersama waktu. Akhirnya, saya memutuskan untuk melengkapi cerita ini dan mempublikasikannya. Ini adalah penebusan atas dosa yang saya lakukan. Dosa karena tidak ijin pada orang tua ataupun keluarga, ataupun organisasi yang saat itu mengamanahkan saya jadi ketua. Bukan ijin, Cuma pemberitahuan. Duh, bocah bandel memang.
Ya, ini kisah perjalanan saya mbolang selama enam hari di Bali dan Lombok. Backpaker lokal ala-ala. Bertanggal 24 Juli 2015- 29 Juli 2015. Kisah nekad saya yang kesekian.
Enam hari di Bali Lombok ngapain? Habis Berapa duit? Perjalanan naik apa? Bagaimana disana? Kemana aja? Dapet pengalaman apa aja?
Dan, beginilah kisahnya.
Day 1
Setelah semalaman ngrepotin Nik sama Aeni karena saya dan partner in crime saya (baca. Diah) nginep di kos mereka, paginya mereka kami repotan untuk mengantar kami ke bandara. Pagi buta!
Tentu saja jalanan lenggang. Dingin-dingin semribit, tapi, tunggu. Kapan lagi bisa kebut-kebutan di jalanan Jogja yang akhir-akhir ini mulai memadat. Dan, benar saja. Gas sepeda motor mulai ditarik, dan mulai melaju dengan kekuatan hampir penuh. Tak heranlah, kami sampai kurang dari setengah jam. Dari jalan Kaliurang km 8 hingga jalan solo km 9, atau bandara Adi Sucipto Yogyakarta yang berjarak 13 km.
Setelah cipika cipiki, saya dan Diah segera menuju bagian keberangkatan. Setelah cek in, kami segera ke mushola bandara. Iya, tadi kebut-kebutannya kita belum Sholat Subuh. Alhamdulillahnya selamat.
Saya ngga perlu ngurusin koper ke bagasi deelel karena memang ngga bawa. Jadi bawaan saya itu hanya backpack ukuran 20 liter yang biasanya dipake buat sekolah atau kuliah. Bukan untuk jalan-jalan. Isinya cuma 3 baju, 3 rok, 3 jilbab dan pernak pernik, kaos kaki agak banyak, alat mandi (yang cuma sabun cair, sikat, odol sama face wash), obat-obatan, charger hp, dompet kecil, buku, pulpen dan alat make up yang hanya lipgloss dan lotion. That simple. Lebih sedikit daripada bawaan kalau mau naik gunung yang cuma sehari semalem. Karena apa? Karena perjalanan kali ini insyaAllah tidak akan jauh dari peradaban.
Dan, setelah beberapa lama menunggu, Ini dia! Saya akhirya menginjakan kaki pertama kali di pesawat ‘beneran’. Norak? Ngga ko. Saya ngga foto-foto selfie dulu di deket pesawat atau jejingkrakan. Kalem aja. Alasannya, besok-besok juga mau naik lagi. Sering. Ngapain selfie (ini doa). Lagipula, naik maskapai pesawat yang tingkat kecelakaannya tinggi. Duh, mau bangga gimana coba. Alhamdulillahnya sih, ngga menggigil ketakutan, parno dst. Berasa udah biasa aja naik pesawat. Pas mau take off juga biasa aja. Mungkin ini efek keseringan naik komidi putar pas kecil. Jadi, pengalaman naik pesawat pertaa kali itu, biasa.

Dua jam kemudian, saya sudah berpindah pulau. Bali!!!
Selamat datang di Bali. Pic by Diah.


Iya, ini pertama kalinya juga saya ke Bali, plesiran. Dulu SMA ngga ada studytour ke Bali. Padahal angkatan sebelumnya dan sesudah ada studytour ke Bali. Kenapa angkatan saya ngga ada? Entahlah, saya sudah lupa. Jadi memang exited juga untuk menjelajah Bali. Apalagi kita akan menjelajah Bali dengan motor!
Setelah keluar dari pesawat, handpone pintar nan tangguh langsung saya aktifkan, segera menghubungi Mas Bayu, pemilik rental motor yang nomornya saya dapat di internet.
Dengan berbagai pilihan rental motor di Bali entah kenapa saya mantap dengan sewa motor Mas Bayu. Setelah bertemu dengan orangnya, istrinya dan anaknya, hati saya bergumam, ini takdirnya Allah. Seneng juga, ketemu Mas Bayu dan keluarganya yang muslim ditengah-tengah masyarakat non muslim.
Sewa motor sama Mas Bayu itu Rp 50.000/hari/24jam. Bisa serah terima langsung di parkiran bandara. Kami dapat motor Next tahun 2014, warna hijau, include helm 2 buah, stnk, mantol/jas hujan. Ada beberapa motor yang lain. Yah, meski biasanya saya naik motor ‘gigi’, mengingat ini perjalanan jauh, motor matic jadi pilihan. Syarat sewa gampang banget, cuma KTP saya di foto. Mas Bayu pokoknya sudah tsiqoh sekali sama pelanggannya. Yang mungkin mau ke Bali dan mau nyewa motor, bisa hubungi Mas Bayu (087860985449)
Motor sudah dikendarai. Selanjutnya, kita kemana?
Sebuah tugu di tengah jalanan Bali.
Tebakan, namanya apa?


Entah karena males, atau emang males, kami berdua belum booking penginapan. Mottonya, ntar lihat di lapangan aja. Jadi, setelah keluar dari bandara, kami ngga tahu harus kemana. Apalagi saya yang buta Bali. Orang belum pernah ke Bali. Diah juga sepertinya. Sepertinya bingung, padahal dia udah sering ke Bali. Aduh. Jadilah kami mbolang beneran. Cuma ngikutin petunjuk jalan yang ngga jelas tanpa arah tujuan yang pasti. Setelah sedikit berdiskusi, dan bertanya teman sana sini, akhirnya diputuskan kami menuju Pantai Kuta. Denger-denger disana banyak penginapan backpaker murah.
Sampai di Pantai Kuta, benar, banyak penginapan. Tapi yang murah yang mana? Ditengah kebingungan nyari penginapan murah, perut yang memang belum diisi sedikitpun mulai protes. Masalah selanjutnya, dimana nyari tempat makan halal? Scara, kita di Bali dan kita berdua muslim. Akhirnya, setelah mlipir sana sini, nemu juga rumah makan Padang! InsyaAllah halal. Tenyata, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Setelah perut kenyang, kami juga dapat informasi penginapan murah dari mas-mas yang jaga rumah makan Padang tadi. Memang ya, tanya sama penduduk lokal itu, the best. Kami segera meluncur ke lokasi penginapan yang Cuma beda satu blok sama rumah makan padang.
Penginapan itu bernama Losmen Arthawan di jalan pompies II. Kalau mau di cari di Google Map, ada. Kami dapat kamar, dua bed dengan sewa Rp.100.000/24 jam/jam cek in sampai jam 12 siang (cek out). Kamarnya biasa kamar kos-kosan Jogja tingkat menengah, ada kamar mandi dalem, ada lemari, ada handuk bersih. Yang paling penting sih ada colokan. Scara, HP yang tangguh sudah mulai kehabisan energi setelah sepagian buat browsing ini itu.
Setelah sholat Dzuhur dan Asar yang dijamak, dengan permasalahn klasik menentukan arah kiblat, kami putuskan untuk istirahat sejenak sebelum keliling (sebagian) Bali. Saya ambil note kecil bergambar One Piece untuk membuat itinerary sederhana. Iyah, kita baru bikin itin pas udah sampai di tempat tujuan. Kan, mottonya lihat aja ntar dilapangan. Ini sungguh jangan diikuti kalau kamu pengen liburan dan perjalanana kamu terjadwal, tertata dan terencana. Tapi karena kami berdua orangnya sama, ngga punya planing dan males bikin planing akhirnya ya begini.
Setelah browsing-browsing, liat apa yang agak aneh di Bali akhirnya diambil beberapa keputusan. Sore nanti kita akan pergi kearah Utara. Tujuannya belum tahu. Pokoknya ke arah Utara. Entah nanti ada apa.
Sejenaknya itu ternyata dua jam lebih. Pukul 14.30 WITA kami baru tersadar tujuan kami ke Bali itu bukan pindah tidur. Kadang saya kalo jalan-jalan gini bingung sendiri, tujuannya itu pindah tidur atau eksplore tempa baru sih. Bagi saya, tidur itu adalah sosok yang sulit sekali dikalahkan. Dimanapun berada.
Kami membelah jalanan Bali yang nampak asing. Tentu saja berbekal aplikasi map di handpone pintar.
Bali itu, jalanannya lebih unggul daripada Jawa Tengah dan Jawa Timur. Aspalnya sudah bagus. Ngga ngenjal-grenjul dan bolong-bolong. Meski tetap masih khas Indonesia. Kalau pemakainya, baik pengendara sepeda motor maupun mobil, masih kalah sama DIY soal ketertibannya. Tapi sudah mendinglah. Selama perjalanan sore itu saya ngga menemukan macet berkepanjangan.
Saya dan Diah sempat berganti mengendarai. Dia di depan, menjadi sopir dan saya bertugas sebagai penunjuk arah. Tapi, baru beberapa kilo, saya menyerah. Saya masih mau jalan-jalan ke Lombok dan naik pesawat lagi, dan yang terpenting, saya masih ingin menikah sebelum kenapa-kenapa. Saya lalu ‘merebut’ kemudi.
Lewat pedesaan di Bali itu tentu nuansanya berbeda dengan di Jawa. Setiap rumah, bukan gapura 17an tapi gapura selayaknya gapura candi. Eksotik gitu ukirannya. Belum lagi wangi kembang dan dupa dimana-mana. Mrinding-merinding sedap. Tapi jadi inget jalanan disekitar pasar kranggan. Duh, Jogja lagi. Kelamaan di Jogja nih kayaknya. Sawah di Bali juga berbeda, meski ngga beda-beda jauh. Tapi karena saya berasal dari desa yang 10 meter dari rumah itu sawah, jadi tidak terlalu perhatian dengan sawah-sawah disana dengan sistem subaknya. Satu lagi, kayaknya di Bali semua rumah punya pohon bunga frangipani.
Ada yang mau kenalan?
Setelah menempuh perjalanan hampir 35 km akhirnya kami sampai di Monkey Forestnya Bali. Duh, jauh-jauh ke Bali cuma mau liat monyet? Habisnya kami sudah bingung mau kemana lagi. Keburu sore. Ini nih, akibat ngga punya rencana sebelum-sebelumnya. Tapi ini menariknya, kami ngga punya ekspetasi apa-apa, jadi ngga kecewa.


Diah in action. Beruntung,
jembatannya belum ditambahin
atribut alay. Semoga saja tidak pernah!
Monkey Forest, seperti namanya, isinya ya hutan dan kera. Keranya banyaakk. Beneran banyak. Kita bisa langsung interaksi juga sama mereka. Mau elus-elus mereka bisa, tapi hati-hati, bisa-bisa dielus-elus mereka terlebih dahulu, alias dicakar. Biasa, monyet kan agresif. Loncat sini loncat sana. Yang menarik itu ketika ada petugas yang bawa makan sore banyak. Semua kera ngumpul. Mulai dari yang simbah-simbah kera, sampai yang bayi masih nyusu sama ibunya. Ngumpul semua. Rebutan makanan sampai berbagi makanan. Dan yang iconik dari Monkey Forest di Bali itu, ya tentu saja, bayak sekali pura nya. Setiap sudut selalu aja ada. Jadi bener-bener Bali deh. Meski di dalam hutan sekalipun.

Setelah puas menjadikan monyet sebagai objek foto, kami berjalan kaki dijalanan sekitar area hutan. Jalan sekitar dua meter itu cukup ramai. Kanan kiri jalan merderet pertokoan modern. Baju-baju ataupun berbagai pernak-pernik dipajang di etalase kaca. Mungkin pasar mereka adalah orang-orang menengah diatas. Bisa dilihat sih, mayoritas turis di Monkey Forest ini adalah turis asing. 
Jalanan di dekat Monkey Forest

Puas berjalan dan melihat-lihat, kami memutuskan kembali kepenginapan. Senja yang jingga sudah mulai berganti warna menjadi gelap. Kami kembali menyusuri jalanan yang asing tapi menyenangkan. Sebelum sampai ke penginapan kami memutuskan untuk mampir makan, dan saya ingat, diperjalanan berangkat saya melihat sebuah rumah makan yang tidak asing dan pasti halalnya. Tepat di jalan Tukad Barito Timur No. 33 saya membelokan kemudi.
Pelayan Warung Spesial Sambal dengan rompinya yang berwarna merah menyambut saya.
Apppppppaaaa??? Jauh-jauh ke Bali makannya di SS? Kayak di Jogja ngga pernah aja. Yah, daripada susah-susah nyari makanan halal dan tempat sholat. Dan, semoga saja harganya semurah di Jogja. Tapi ternyata harga sudah disesuaikan dengan standar hidup di Bali. Tapi masih terjangkau kok sama dompet bakcpaker kere macam saya.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Hari sudah benar-benar gelap, dan kami lupa jalan pulang!!!

Akhirnya dan akhirnya kami kesasar. Belum lagi GPS handphone yang kayaknya tidak mau bekerja sama. Tapi kami tetap optimis. Kami pasti sampai. Alhamdulillah, benar juga. Kuta Bali itu ternyata cukup mudah ditemukan. Tidak salah jika mencari penginapan disini (menghibur diri). Pukul 19.00 WITA kami sudah kembali ke penginapan. 
Numpang Foto dulu ya, Hard Rock Hotel.
Nginepnya ngga tau kapan.

Setelah rehat sejenak (ini benar-benar sejenak), kami memutuskan menikmati malam Kuta. Kami keluar penginapan dan berjalan kaki kearah pantai. Mampir ke toko pinggir jalan dan beli sendal jepit KW tapi harganya ngga KW, foto-foto di icon HardRock Kafe, trus lanjut ke Matahari mall belanja perlengkapannya Diah. 
Suasan Pantai Kuta malam hari,
sendu-sendu gimana gitu.
Selanjutnya kami menuju pantai. Gelap dan sunyi. Tidak ada lampu yang terang benderang. Hanya ada kelip lampu dari kejauhan. Hanya ada beberapa orang yang terduduk di pasir. Mendengar deburan ombak atau memandang langit. Dilangit, rembulan menggantung hampir sempurna, dan laut menjadi refleksi yang aneh. Tak terlalu sempurna indah namun menghasilkan gambaran magis.
Pantai di malam hari memang selalu menarik. Sayangnya bintang tak ikut menyemarakan malam itu. Terhalang awan-awan.
Setelah puas melihat kehidupan malam yang belum malam-malam banget, kami memutuskan pulang. Saya yang kebiasaan punya jam malam jam 9 dan sering berusaha patuh, berada di luar rumah lebih dari jam segitu agak tidak nyaman juga. Pukul 10 lewat sedikit kami sudah kembali ke penginapan. Membersihkan diri dan tidur. Besok masih ada hari yang harus di sambut dan tempat-tempat yang harus di jelajahi.
Besok, akan ada Bali selatan dan menyebrang Selat Bali-Lombok. Masih dengan motor!

To Be Continue...
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Saturday, 26 November 2016

Selamat ber-PDKT angkatan 17 FLP Yogya

Selamat ber-PDKT angkatan 17 FLP Yogya.
Saya masih ingat, tahun 2012 saya pun tersedot dalam gelombang nuansa yang sama. Bertanya-tanya tentang apa itu PDKT, bertanya-tanya tempat dimana PDKT dilakukan karena panitia sama sekali tak mau memberi bocoran, atau pun tentang pilihan yang harus saya ambil dari pilihan-pilihan kegiatan di akhir minggu itu. Ya, saya ada agenda lain di hari yang sama.
Saya pun masih ingat tentang technical meeting pertama di balairung Utara UGM. Tempat yang begitu asing bagi saya yang kuliah di kampus sebelah. Di TM itulah saya bertemu anggota-anggota baru FLP Yogya. Meski baru pertama kali bertemu, namun saya sudah yakin bersama mereka dimasa depan pasti menyenangkan. Di TM itu pun saya mengenal anggota kelompok saya. Erna yang kuliah di UGM, Nisa yang masih SMA, dan Mpik, teman SMA, dan teman mendaftar FLP dan tentu saja pemandu saya, Mbak Dwinna yang sekarang tengah menempuh study di Jepang.
Tentu saya pun masih ingat, pukul 06.00 dengan diantar seorang sahabat kos, ditemani rinai gerimis pagi, saya menuju titik kumpul pemberangkatan PDKT. Lagi-lagi di balairung Utara UGM. Dan mungkin tanpa saya sadari, benih-benih kecintaan pada bangunan kampus itu mulai tumbuh.
Dengan menaiki kopata, kami melaju ke arah Selatan. Pantai. Begitu kata otak saya. Kata Selatan selalu mengingatkan saya akan pantai seperti pantai di Selatan rumah saya yang hanya berjarak dua kilo. Benar saja, lokasi PDKT yang sebelumnya selalu mengisi ruang pertanyaan, terjawab sudah. Pantai Parangtritis menyambut kami dengan gemerisik angin bersapu dengan pasir.
Hal-hal baru terjadi. Ilmu-ilmu baru menghampiri, seakan menawarkan diri untuk direngkuh. Saya tak akan bercerita banyak tentang bab ini karena, akan lebih menyenangkan jika engkau merasainya sendiri dan bangun sendiri penilaian penilaiamu.
Ketika sore menjelang, saya sudah tidak lagi dapat berkonsentrasi.
PDKT yang awalnya berjalan begitu menyenangkan, tibatiba menjadi muram. Bukan, bukan PDKT dan hal-hal baru itu, namun saya. Sebuah SMS masuk ke handphone saya, saat itulah pikiran dan hati saya seketika berubah. Otak saya terbelah menjadi dua. Saya lupa redaksinya, namun intinya, si pengirim, SMS, meminta pertanggung jawaban saya sebagai salah satu orang yang akan memaparkan visi dan misi amanah yang saya emban satu tahun ke depan. SMS itu, mengingatkan apa yang sedang saya upayakan untuk terlupakan paling tidak untuk satu hari itu saja. Ya, minggu itu harusnya saya menghadiri musyawarah tahunan LDK kampus, menjadi salah satu orang yang harusnya wajib hadir. Namun saya mangkir dan memilih untuk mengikuti PDKT.
Sebegitu pentingkah PDKT hingga menjadi prioritas di banding musyawarah tahunan dimana saya seharusnya presentasi? Atau sebegitu bernafsunya saya masuk FLP hingga mengabaikan tanggung jawab yang jelas-jelas sudah di depan mata. Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu, jelas. Dan saya ingat, sebuah nasehat dari seseorang. “Apa yang kamu mulai, tuntaskanlah hingga akhir, seberapapun beratnya, seberapapun tak menyenangkannya.”
 Saya sudah memulai untuk mengikuti FLP, mendaftar, menulis aku, FLP dan Dakwah kepenulisan, mengikuti seleksi karya dan seleksi wawancara.  Ketika PDKT adalah gerbang untuk memulainya, saya memilih untuk menyelesaikannya. Paling tidak untuk menyelesaikan PDKT hingga akhir. Masalah akan bertahan di FLP berapa tahun atau berapa bulan, saya harap hingga akhir saya bisa bertahan. Amanah di kampus akan saya selesaikan meski tidak mengikuti musyawarah tahunan. Begitu janji saya.
Saya tahu, pengorbanan -jika itu bisa disebut pengorbanan- tidaklah seberapa dibandingkan mereka-mereka yang mengorbankan banyak hal untuk bisa ikut PDKT, untuk bisa masuk FLP dan saya mengagumi mereka. Dan rasa kagum itu menguatkan saya hingga PDKT berakhir, hingga tahun-tahun saya di FLP berlalu begitu saja. Akhirnya, sudah 4 tahun saya menjadi bagian FLP Jogja.
Tentang apa saja yang terjadi selama empat tahun itu, akan saya ceritakan kemudian.
Euforia itu, percayalah..akan bertahan hingga waktu-waktu yang menakjubkan. Maka nikmatilah. Nikmatilah PDKTmu, persiapannya, prosesnya, dan akhirnya, karena itu adalah sebuah cerita yang akan tersusun dan menggenapkan puzzle-puzzle keberadaanmu di FLP Jogja.
Saya menunggu, saya menunggu kalian untuk dapat mengatakan selamat bergabung di keluarga FLP Yogyakarta.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 9 November 2016

No Face, si Tokoh Tanpa Karakter


Beberapa hari yang lalu, selain event 4 November, ada juga yang jadi trending topik di media sosial. Kehadiran cosplay lucu nan imut seorang bocah di hari "kudus". Meski bukan bagian yang merayakan hari tersebut (hai, siapa yang mau merayakan acara kekristenan sedangkan saya muslim. Ups, SARA ya?), namun kemunculan sosok ini membuat saya tersenyum geli. Beberapa ada yang mengatakan itu hantu valak junior, tapi saya tentu masih ingat, itu hantu Kaonashi atau bahasa Inggrisnya No Face, di anime Sprited Away (2001).  Bagaimana tidak tersenyum geli, cosplaynya lucu sekali.


Dan, hari ini saya memutuskan untuk menonton anime ini kembali.

Seperti kebanyakan film garapan Gibli, film anime ini juga memiliki alur cerita yang menurut saya mengagumkan. Fantasynya ngga biasa. Jangan bandingkan dengan film animasi barat. Kalau menurut saya, mereka beda kelas. Tentu, saya masih suka animasi Jepang, atau sebut saja anime.
Spirited away sendiri mengisahkan tentang petualangan seorang bocah bernama Chihiro di dunia roh. Cerita ini diawali dengan perjalanan Chihiro dan Papa Mamanya ke rumah baru mereka. Diperjalanan ternyata mereka tersasar dan masuk ke area perbukitan yang rimbun dengan pepohonan. Akhirnya mereka sampai diujung jalan. Diujung jalan tersebut berdiri sebuah bangunan megah namun terlihat tua.
Mereka memutuskan untuk memasuki tempat tersebut lebih jauh. Mereka menemukan banyak sekali restoran yang buka, dengan makanan yang terhidang, namun tanpa penunggu. Papa dan Mama Chihiro memutuskan untuk makan, dan membayar ketika penunggu restoran itu tiba. Meski diajak, dan makanan terlihat begitu enak, namun Chihiro menolak. Ia memilih meninggalkan mereka.
Chihiro menemukan sebuah bangunan yang berdiri megah di ujung jembatan. Ketika berada di jembatan tersebut, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki yang memakai pakaian khas Jepang dan menyuruh Chihiro untuk meninggalkan tempat itu secepatnya karena hari sudah gelap. Namun terlambat, ketika Chihiro sampai ke tempat orang tuanya berada, yang ia temui adalah dua ekor babi yang sedang makan degan begitu lahap. Disisi lain, mulai berdatangan sosok-sosok hitam yang digambarkan sebagai arwah. Chihiro berlari menuju arah ia dan papa mamanya datang, memanggil-manggi nama mereka. Namun jalan yang tadi mereka lalui telah berubah menjadi lautan. Tanpa Chihiro sadari, tubuhnya menjadi transparan dan ia berlari tanpa tujuan. Ketika ia sudah lelah, ia terduduk dan menangis. Saat itulah anak laki-laki yang ditemui Chihiro dijembatan menolongnya.
Untuk menyelamatkan Papa dan Mama serta kembali ke dunia manusia, Chihiro harus bekerja pada Yuu Baba, seorang penyihir wanita yang menguasai sebuah rumah pemandian.
Bagaimana selanjutnya? Tonton saja animenya.
            Chihiro, tokoh utama di anime ini sendiri bertemu dengan Kaonashi di jembatan ketika ia hendak menyusup. Dilain kesempatan, Chihiro membukakan pintu untuk Kaonashi yang sedang kehujanan diluar. Disinilah si Kaonashi jatuh hati kepada Chihiro. Kaonashi ingin memberikan apapun untuk Chihiro. Awalnya Kaonashi membantu Chihiro untuk mengambil papan pesanan air herbal, namun kemudian Kaokashi ini menimbulkan masalah.
            Kaonashi, seperti namanya adalah sesosok yang tidak memiliki wajah, tidak memiliki karakter. Suatu kali ia memakan seekor kodok pelayan pemandian yang rakus, dan Kaonashi berubah menjadi sosok yang rakus. Ia memakan apa saja, seakan tak pernah kenyang. Apa saja ia lahap, apa saja ia makan, tidak pernah merasa puas. Yah, seperti orang rakus. Mungkin jika ia tidak memakan kodok itu, dan memakan kodok lain yang memiliki sifat yang berbeda, akan berbeda pula karakter turunannya. Ketika si kodok ia muntahkan, kaonashi kembali menjadi sosok awalnya. Tanpa karakter.
            Sosok  Kaonashi ini tentu mengingatkan saya tentang banyak hal, dan tentang banyak orang. Seperti tentang teko yang diisi dengan teh, tentu akan mengeluarkan teh. Jika diisi jus, tentu akan mengeluarkan jus.
            Ada berapa orang Kaonashi diluar sana? Banyak. Banyak..
            Ada banyak orang yang belum memiliki karakter, teko-teko kosong sehingga begitu mudah mereka di pengaruhi oleh karakter-karakter baru yang bersinggungan dengan mereka. Mayoritas adalah anak-anak muda yang baru keluar dari cangkang mereka. Sebut saja cangkang ini keluarga mereka. Mereka adalah sasaran-sasaran empuk kodok-kodok berkarakter.
Hedonis, pluralis, liberal, sekuleris, apatis, adalah sebagian karakter yang bisa saya sebutkan sebagai karakter-karakter yang mengkhawatirkan.
            Namun ada pula orang-orang yang sudah memiliki karakter ketika mereka keluar dari cangkang mereka. Ternyata di dalam cangkang mereka telah di tempa dengan begitu baik sehingga membentuk karakter mereka sedemikian rupa. Tak heran, yang sudah berkarakter ini berpotensi mengisi teko-teko yang kosong. Pun karakter yang mengkhawatirkan itu. Karena telah ditempa dengan sedemikian rupa, akan sulit sekali mengatakan bahwa karakter bawaan mereka mengkhawatirkan. Bahkan mungkin membanggakan dan perlu di bagi kepada teko-teko lain, terutama teko-teko tanpa isi.
            Masing-masing karakter ini akan tumbuh dan tumbuh. Berkembang biak karena begitu banyak teko yang berhasil di isi, atau mati karena tak satupun berhasil terpengaruhi. Karakter-karakter pun akan saling berbenturan. Karater yang belum matang bisa jadi berfikiran pendek, mengambil jalan pintas, terpengaruh karakter yang lain, membelot, atau kembali ke asal. Karakter yang sudah matang, berpotensi sebagai penggerak karakter yang lain dan bekerja di balik layar.
            Lalu, apakah yang sudah berkarakter buruk, tak bisa di ubah karakternya?
            Kembali lagi ke anime Spirited Away. Kaonashi akhirnya berhasil kembali ke karakter awalnya setelah Chihiro memberikan kue ramuan yang ia dapatkan dari seorang dewa. Saya percaya, ada kue ramuan atau formula-formula yang dapat digunakan untuk mengebalikan karakter asli mereka (yang tanpa karakter sekalipun). Tidak serta merta memang, seperti kue Chihiro. Namun saya percaya dengan tindakan, lisan dan hati yang berdoa, akan  berhasil menemukan formula terbaik untuk mengembalikan mereka ke hakekat karakter sesungguhnya.  Hanya saja masalahnya, bagaimana menumbuhkan karakter yang akan mengembalikan karakter mereka. Siapa yang akan membuat kue sejenis kue chihiro?
            Disinilah PR sebenarnya. PR siapa? PR saya, dan mungkin kamu yang masih peduli dengan teko-teko.
            Btw, ngomongin teko, kapan kita ngeteh bareng?

            
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com