Tuesday 10 April 2012

Mungkinkah?

Pernahkah kamu bertanya, Mungkinkah? Atau apakah aku bisa? Aku sering melakukanya ketika aku menginginkan sesuatu. Ya, itu sebagai bentuk ketidak optimisan yang sering membuat langkahku terhenti, ah, bahkan sebelum langkah pertama diambil. Apalagi, aku memang bukan orang yang dapat begitu saja optimis terhadap suatu hal. Bahkan terkadang minder, tidak pede dengan apa yang ada pada diriku. Ini adalah penyakit pembunuh yang paling utama. Penyakit ini adalah penghalang untuk eksistensi di dunia. Bukan hanya ‘aku’ yang menjadi tokoh disini. Bisa saja kamu, mereka atau dia. Ketika sebuah keraguan menjadi arah pikiranmu, silahkan saja tunggu hasilnya. Tapi disisi lain, tentu kita juga ingin menyisikan penyakit ini sejauh mungkin yang kita bisa. Apa segampang itu? Mudah sekali berteori, tapi sunggguh sulit realisasi. Kembali, sedikit cerita, sewaktu aku di bangku SMA, menjalani hari-hari yang semakin dekat dengan Ujian Nasional, aku selalu bertanya dalam hati, mungkinkah aku bisa kuliah? Meneruskan menuntut ilmu, mungkinkah aku bisa mencapai mimpi-mimpiku? Kemudian aku pun memikirkan hal-hal yang membuat hal-hal tersebut menjadi semakin tidak mungkin. Sebuah pemikiran bodoh yang akan menghancurkan mimpi itu sendiri. Aku berfikir, siapa aku? Aku hanyalah anak dari seorang petani yang hasil sawahnya tidak bisa di prediksi. Aku hanyalah seorang siswa dengan nilai pas-pasan, dan tak punya relasi banyak. Aku hanya anak kampung yang tak pernah menginjakan kaki ke Mal-mal, berbelanja, ataupun makan-makan di kafe-kafe mewah, seperti yang sering aku lihat di cerita TV (baca sinetron). Apakah itu yang aku butuhkan? Background keluarga? Relasi? Daerah asal? Tidak, bukan itu yang aku butuhkan dalam meraih mimpi itu. Ah, kata menyerah tentu ada. Ketika kelelahan setelah berjuang seharian, Ketika harus bergulat siang malam dengan material-material pabrik, terjatuh, dehidrasi, sakit, opname, atau mungkin seribu halangan, ketika akhirnya ada iming-iming gaji yang menjanjikan, sejatinya Ia tak pernah padam, karena ada satu keyakinan, Allah selalu ada untuk hambanya. Ya, langkah pertama, gantilah kata mungkinkah dengan “tiada yang tak mungkin bagi Allah azza Wa Jalla.” Bangku kuliah yang semestinya, teman-teman yang baik, keluarga baru yang hangat, suasana yang kondusif, bukan lagi mimpi. Sungguh, perjalanan panjang yang melelahkan. Tapi apakah sudah berakhir? Tidak sungguh masih panjang. Kata mungkinkah itu kembali hadir membayangi langkah kaki yang sudah berat dan di tambah berat lagi. Kemudian, hal yang paling sulit adalah aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sungguh sulit. Aku seperti menderita sindrom anti tempat baru sejak dulu. Mungkin sejenis fobia. Dan lagi-lagi aku bertanya, mungkinkah aku dapat diterima dengan keadaanku yang seperti ini. Fisik (ah, apa sih pentingnya fisik?) yang jauh dari kesempurnaan versi manusia, tutur kata yang manis, guyonan ringan tapi menghibur. Ah, aku tidak punya. Aku tak pada menyapa seseorang meski hanya berkata “hai” dan memulai percakapan yang berakhir pada persahabatan. Akhirnya aku hanya menjadi golongan yang mungkin lebih senang duduk di pojok dan menjadi penonton. Sungguh tidak asik bukan jika hanya menjadi penonton? Kata mungkinkah itu pun menjadi momok yang menyeramkan. Tapi apakah semudah itu aku menyerah, setelah satu tahun bergulat dengan peluh dan debu, setelah satu tahun menjadi manusia paling kritis dengan buku tabungan? (metafora lah..) Sungguh sia-sia, jika mungkinkah itu menjadi penghalang dan aku hanya terlempar disudut. Kaki ini harus bergerak, bibir ini harus berbicara, tangan ini harus terangkat, dan hilangkan ketakutan bahwa engkau adalah sendiri. Ya, langkah kedua, ingatlah dan camkan dengan baik-baik, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat....” Ya, Allah selalu dekat dimana pun engkau berada (backsong Allah always be There-Maher Zain..hehehe). Luar biasa, keberanian itu muncul. Seperti ada yang tak kasat mata, mengangkat tanganku, menyeret kakiku, dan menyuruhku berbicara meski tergagap, dan keyakinan itu hadir, aku siap menjadi guru dengan resiko bercerita di depan banyak orang, banyak mata yang memandang, meski dalam keadaan asing sekalipun. InsyaAllah. Selanjutnya, aku bermimpi, Aku ingin menjadi penulis. Dan lagi-lagi, pertanyaan itu menghantuiku. Mungkinkah? Sungguh, hidupku tak semulus jalan tol. Kata menyerah sering kali mampir. Tidak hanya menenggak air, tapi juga tertidur dan berdiam cukup lama. Hingga akhirnya, kata lelah tak terelakan. Aku lelah ketika harus menjalani hidup yang sering kali terhalang karang, aku lelah menjadi debu yang di terbangkan angin, dan tak cukup sampai disitu. Kesedihan datang bertubi, menjadi sebuah sandungan yang menyakitkan. Ketika sebuah kerikil membawa bala bantuannya. Sungguh, melelahkan. Tapi haruskah aku berhenti setelah sekian jalan yang telah terlewati? Haruskah berbalik arah dan menyerah? Jawabannya pasti sudah, TIDAK! Ketika semua upaya, daya tenaga, pikiran, dan jiwa telah tercurahkan, apalagi yang bisa dilakukan, kecuali berdoa padaNya? Ya, harapkanlah dengan pengharapan sebesar-besarnya. “Berdoalah padaKu, niscaya akan Aku kabulkan,” Ya, yang terakhir adalah, Berdoalah. Libatkan Allah dalam setiap urusanmu. Ingatlah Dia yang menggenggam segalanya. Dia pemilik alam semesta, dan terlantunlah sebuah doa sederhana, “Jika menulis bukan jadi jalanku, aku meminta Allah menunjukan apa yang terbaik untukku. Jika Menulis memang jalanku, berikanlah aku sedikit saja keyakinan bahwa itu memang jalanku,” Dan Allah menjawab doaku. Dia memberiku inspirasi ketika aku tengah bosan untuk menulis. Lelah dalam aktivitas harian. Dia memberiku ide dan kegigihan. Meski tanpa edit sebelumnya, dengan kondisi baru terlahir dari dalam telurnya, sebuah naskah tanpa ada tujuan akan mendapat apresiasi, penghargaan, atau pujian, telah terkirim pada sebuah majalah online dengan bacaan tasmiah. Dan Allah menjawab doaku. Satu hari berselang, sebuah email masuk dalam inbok Pemberitahuan, naskah yang aku kirim di tayangkan. Bukan prestasi besar, tapi aku pikir tiga ribu pembaca, dengan tiga puluh komentar hangat (padahal pengennya kripik pedas), sebuah pencapaian yang luar biasa, apalagi untuk aku, yang sungguh tak mengerti hakekat menulis sesungguhnya. Ya, libatkan Allah dalam setiap urusanmu. Apakah sudah selesai? Aku pikir belum. Masih banyak hal yang masih harus di capai, tentunya tanpa ada embel-embel kata Mungkinkah? membayangi langkah-langkah keyakinan akan Dia. Akhirnya, sebuah pesan dari seorang sahabat, jangan pernah menyerah! Jangan pernah ragu dengan bertanya, Mungkinkah? Tak ada yang tak mungkin bagi Allah azza Wa jalla. Selanjutnya, aku akan membuat novel. Mungkinkah? Sangat jelas mungkin jika Allah menghendaki itu terjadi. Salam... Mujiku Hibiniu Kamar Mimpi Revisi 10 April 2012

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com