Ini mama dan cucu pertamanya.
Mama seorang
pedagang. Sebuah warung kopi berdiri di tengah desa berpenduduk tak seberapa.
Jauh dari jalan raya, jauh dari sekolah, jauh dari tempat wisata. Bukan letak
yang strategis yang banyak pembelinya. Tapi dari petak 8x3meter ada rejeki dari
Yang Maha Rahman.
Mama hanya
sekolah SD. Hanya sekolah. Karena ia tidak lulus. Ia tak punya selembar ijasah
pun. Bukan hanya Mama, banyak tetangga yang juga demikian. Bersyukur mereka
bisa baca dan tulis. Tapi, pekerjaan pun ala kadarnya. Buruh tani, buruh pritil,
buruh tandur, dan buruh-buruh lainnya. Ya, pekerjaan yang nyaman dan
penghasilan tinggi sebagian besar butuh ijasah kan?
Mama pekerja
keras. Rela tidak tidur untuk membuat panganan pesananan tetangga. Padahal
untungnya tidak seberapa jika dibanding uang jajan anak kuliah. Apalagi gaji
petinggi negara. Tunjangan pulsa, mungkin hanya seperseratusnya.
Namanya juga
itu jalan rejekinya. Mungkin berbeda dengan pejabat negara. Tapi mama tak lelah
bekerja. Jarang mengeluh meski terkadang terzolimi terasa.
Ah, masih
ingat, ketika pulang aku kena omelnya. Gara-garanya, aku lupa mematikan air
yang di masak di atas api membara. Katanya mencari gas susah. Harus irit penggunaanya. Jika tidak
kami masak air dengan apa? Jika tidak ada air bagaimana kopi menyeduhnya? Kayu
bakar? Akan sangit terasa. Kompor minyak? Minyak tak tahu entah dimana
keberadaannya. Ya, gas sudah di subsidi pemerintah, dan minyak mahal harganya. Tapi kenapa mencari gas susah
jadinya? Minyak mahal, dan gas susah mendapatkannya, lalu harus kembali ke kayu
bakar kah?
Tapi mama tak
pernah mengeluh demikian. Tak pernah mengatakan yang begini dan begitu,
menyalakan pemerintah. Mungkin mama sudah terlalu lelah. Atau memang sudah
paham tabiat pemerintah. Tapi suatu kali pernah kudengar darinya. Mereka yang
pintar saja kesulitan mengatur negara, apalagi ia. Jadi ia tak punya hak untuk
menghujat mereka.
Hidup jalani
saja. Berusaha sebaiknya. Soal rejeki, ada Tuhan yang Maha Bijaksana. Jika
pemerintah tak bisa di beri amanah, ada Tuhan yang akan menghukumnya. Karena
mama hanya perempuan biasa. Bukan perempuan pintar yang tau politik dan segala
hukumnya. Bukankah lebih baik diam daripada sok tau dan salah rupanya. Tapi
bukan berarti dia diam segalanya. Dia berusaha, menyekolahkan anaknya agar
pintar dan tau rupa-rupa. Itulah yang ia bisa, dan ia telah melakukannya.
Mama juga tak
suka banyak bicara. Jika ada sesuatu, dan ia mampu, dia sendiri akan
melakukannya. Ya, karena mama memang berbeda dari yang pandai menghujat tapi
tak pernah memberi solusi apalagi kontribusi. Mintanya hanya didengar, dan
menuntut semua keinginan terealisasi.
Berdoa pada
Tuhan pun ada aturannya, apalagi peng-Ijabahan doa. Apalagi pada manusia, yang
kekuasaannya terbatas daya dan segala macamnya.
Ya, mama
memang seorang pedagang warung biasa dan aku bangga menjadi anaknya.
0 Apa Kata Mereka???:
Post a Comment