Wednesday 3 December 2014

Keringat di Keping Seratus Rupiah


            Mungkin tidak masalah jika tersesat di suatu tempat padan siang hari, karena kemungkinan besar akan ada orang yang lewat dan kita bisa bertanya arah mana jalan yang benar. Sayangnya kali ini saya dan kedua teman saya tengah tersesat di waktu malam hari, lewat dari tengah malam. Alih-alih manusia yang lewat, kucing pun sepertinya enggan untuk keluar.
            Belum lagi medan yang benar-benar asing. Jalan tempat kami berada kini adalah jalan setapak berbatu. Kanan kirinya hutan rimbun. Bisa saja kami bertanya pada GPS yang terpasang di perangkat handpone. Sayangnya, signal terhalang pepohonan. Jadilah kami manusia-manusia tersesat yang sesungguhnya.
            Putus asa. Mungkin itu salah satu pilihan yang bisa kami ambil saat itu. Tapi ternyata skenario lain menanti kami.
            Dari arah belakang sebuah sepeda motor meraung, mendekat. Ada rasa sedikit was-was. Bagaimana tidak, kami, tiga perempuan biasa tanpa bekal ilmu bela diri. Ditambah lagi waktu sudah lebih dari tengah malam. Kejahatan bisa saja datang menyambangi kami.
            Pengendara sepeda motor itu berhenti disamping kami yang sudah memasang alarm siaga. Seorang bapak muda dengan pakaian sederhana bertanya dengan ramah. Kami menceritakan apa yang terjadi dan tempat tujuan kami. Bapak itu pun menunjukan arah yang kami tuju. Tak sampai disitu, bapak itu pun bersedia untuk mengawal kami untuk sampai tujuan.
            Perjalanan di lanjutkan dengan bapak yang belum kami ketahui namanya sebagai pemandu jalan. Jalan lebih menanjak dan hutan menjadi lebih lebat. Kewaspadaanku meningkat. Apalagi salah satu temanku dibonceng bapak itu. Pikiran buruk pun semakin liar. Kata jangan-jangan semakin banyak berkumpul di otak. Bagaimana tidak, alih-alih mendekati jalan yang ramai, kami malah semakin masuk ke dalam hutan.
            Saya sepertinya harus sujud sungkem dan meminta maaf kepadanya karena telah berpikiran buruk. Ternyata ia benar-benar mengantarkan kami ke jalan yang benar. Kami kembali ke jalan yang lebar dan beraspal. Beberapa mobil dan motor lewat mendahului kami. Hingga akhirnya sebuah papan besar terlihat. “Anda Memasuki Kawasan Kawah Ijen.”
            Kami berhenti dipertigaan jalan. Bapak tadi menjelaskan beberapa petunjuk untuk sampai di Kawah Ijen. Namun, ia terpaksa berhenti karena motornya tidak sempat dibelikan bensin. Maka dia harus menunggu mobil temannya untuk bisa sampai kesana.
            Ternyata bapak itu adalah penambang belerang di Kawah Ijen, sebuah  kawah gunung aktif yang memiliki kandungan asam tertinggi di dunia. Kawah Ijen terletak di Kabupaten Banyumas, Jawa Timur. Coba saja anda cari di internet dengan kata kunci Kawah Ijen, akan banyak sekali hal yang anda dapatkan. Belum lagi foto-fotonya yang menakjubkan. Tidak dari warga lokal saja, namun banyak masyarakat manca negara yang memiliki fotonya.
Tempat wisata yang telah mendunia ini ternyata menyimpan cerita lokal yang luar biasa. Cerita bapak ini salah satunya. Sudah sepuluh tahun lebih dia menjadi penambang belerang. Pekerjaannya memang dimulai pagi-pagi sekali. Setiap malam, dia keluar dengan motornya, menembus dinginnya udara pegunungan dan jalan yang terjal menuju sebuah tempat dengan ketinggian 2368 mdpl.
Tidak hanya ketinggian yang harus dilawan. Bapak itu dan penambang-penambang belerang yang lain pun harus menahan gas belerang yang tersembur di Kawah Ijen. Tentu saja gas belerang berbahaya untuk kesehatan. Belum lagi, mereka memikul hasil belerang dengan menggunakan dua buah keranjang yang di satukan dengan bambu. Dengan medan yang cukup terjal, mereka harus membawa belerang dengan bobot hampir 50 kilogram. Luar biasa bukan?
Ternyata, di balik itu semua masih ada kisah yang lebih memprihatinkan. Satu kilo belerang hanya dihargai seribu delapan ratus rupiah oleh pengepul. Jika di bandingkan dengan perjuangan yang harus dilakukan, tentu harga itu tak sebanding. Sering bapak itu dan rekan-rekannya berusaha berdiskusi dengan pengepul agar menaikan harga belerang. Yah, paling tidak biar genap dua ribu rupiah agar kebutuhan pokok yang semakin naik bisa terbeli. Namun sayang, usaha mereka sering sia-sia. Dua ratus rupiah yang mereka perjuangkan kandas. Harga belerang tetap mandeg di tempatnya. 

Pada akhirnya, saya tak sempat menanyakan namanya. Namun cukuplah cerita tentang hidupnya, tentang seratus rupiah yang diperjuangkannya menjadi pelajaran berharga buat saya. Seratus rupiah bisa tak berarti apa-apa buat saya, tapi buat mereka, seratus rupiah adalah harapan mereka untuk kehidupan yang lebih baik.

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com