Thursday, 3 November 2016

Kubik-kubik Renungan 4 November 2016


            Rabu, 3 November 2016. Di jalanan depan sebuah kedai sederhana, deru kendaraan bermotor terdengar jelas. Jalanan seperti tak pernah lenggang oleh pengemudi. Mayoritas bergegas. Mendung telah lama menggelayut di langit, siap menerjunkan kubikal-kubikal tetes hujan.
            Benar saja, tak lama berselang, rintik hujan turun. Tak begitu deras, namun telah berhasil membuat sebagian pengendara berhenti, menepi. Beberapa ada yang mengambil jas hujan dan memakainnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Kemanapun mereka. Beberapa yang lain memilih menunggu. Mungkin mereka tidak membawa jas hujan, terlupa, atau malas memakainya. Tapi tak jarang yang terlihat menembus hujan begitu saja, membiarkan baju mereka basah. Padahal mungkin jarak tujuan mereka masih berkilo-kilo jauhnya.
            Saya memandang mereka. Mereka seumpama objek yang begitu menyenangkan. Memang tersebab sesuatu hal lain yang saya pikirkan. Namun melihat mereka membuat saya berfikir lebih dalam.
            Begitu banyak jawaban ketika saya melontarkan sebuah pertanyaan yang sama kepada beberapa orang di kontak media social saya. Latar belakang berbeda memang membentuk cara berfikir berbeda. Namun terkadang, sebuah jawaban yang tidak diduga terlontar dari mereka.
“Kita tidak bias mengeneralisir,” begitu kata seorang teman, dan itu memang benar adanya.
“Yang terlihat ungu, belum tentu mengeluarkan aroma ungu, yang pink pun belum tentu mengeluarkan aroma pink.”
Namun setidaknya jawaban mereka membuat saya puas. Tidak, bukan tersebab mereka memiliki paham yang sama dengan paham yang saya miliki. Jika demikian, mungkin terasa membosankan. Namun, banyak yang memiliki pandangan berbeda. Bagus. Setidaknya ada bahan yang bisa saya tulis disela hujan yang semakin mengguyur deras kota Yogyakarta.
Benar. Saya bertanya kepada mereka tentang aksi damai tanggal 4 November 2016 di Jakarta.
Seperti halnya ketika suatu pagi seorang bocah yang belum lagi tamat SD melontarkan pertanyaan sejenis kepada saya. Sebenarnya, ada rasa iri padanya. Ah, dia bisa bertanya demikian dengan bebasnya. Tidak ada penilaian, penghakiman, dan pendiktean. Dia bebas bertanya tanpa embel-embel apapun. Dia hanya bertanya untuk mendapatkan jawaban.
            Saya memandang beberapa pengendara di jalanan lagi. Mayoritas pengendara sudah menggunakan jas hujan. Berwarna-warni. Seperti warna-warni pendapat mereka terkait aksi 4 November.
           
“Heh, memang ada apa tanggal 4 November? Aku malah baru tahu dari kamu.”
       Apakah saya bertanya pada orang yang salah. Oh tidak, tidak. Saya bertanya pada orang yang benar. Saya bertanya pada kenalan saya yang orang Indonesia namun tengah bekerja di Singapura. Saya ingin tahu bagaimana pandangan dia tentang aksi tanggal 4 November. Mungkin dia punya pandangan berbeda, dan mungkin dia tahu bagaimana reaksi orang-orang di negara tersebut. Bisa orang Indonesia yang sedang disana, atau penduduk negara tersebut sendiri.
Redaksinya tidak seperti itu sih. Pakai bahasa ngapak. Tidak asik kan kalau ketahuan saya ngomong bahasa ngapak. Katanya nanti kadar cantiknya berkurang. *isshhh, apa sih?
     Jadi, memang beliau, si narasumber ini tidak tahu menahu tentang aksi 4 november 2016. Padahal aksi ini sedang heboh-hebohnya di media social. Apakah dia tidak membuka media social? Bukan. Dia bahkan tidak absen membuka media social yang didirikan tahun 2004. Masalahnya adalah ketika ia membuka akun media sosialnya tersebut tampilan muka media sosialnya adalah tampilan seminggu yang lalu. Selalu begitu. Kesalahan teknis media social tersebut atau? Entahlah.  Yang pasti akhirnya kami membahas hal yang lain, seperti bagaimana temannya bermain gitar dan bernyanyi. Temannya seorang pria dan penduduk asing. Mau dengar rekaman permainan gitarnya?

“Iman itu ada 77 cabang, dan tingkatan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Masa malah jadi gangguannya.”

Saya ingat sebuah kisah yang tersampaikan pada saya, ketika Rasulullah masih hidup. Ketika itu, beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Rasulullah dan para sahabat turun ke jalan-jalan. Menghalangi pejalan lain? Mengganggu ketertiban umum? Meresahkkan?
Ya, ya, ya. Mereka menghalangi pejalan lain. Yang semula hendak beraktifitas seperti biasa, aktifitasnya jadi terhenti. Yang tak tahu menahu hanya menonton, yang marah segera melapor ke pimpinan kaum kafir atau bahkan langsung menghalangi. Ah, ada juga yang melempari para sahabat dengan batu.
Ya. Mereka jelas mengganggu ketertiban umum. Karena kota Mekah yang tadinya anteng ayem, tiba-tiba ramai oleh teriakan takbir.
Ya. Mereka meresahkan. Mereka meresahkan kaum kafirin. Mereka kebakaran jenggot. Maka mereka mengumpulkan segenap pasukan untuk menghalangi Rasulullah dan para sahabat menuju Mekah.
Ya, saya akan menunggu berita sampah yang berhamburan, taman yang rusak, dan jalanan yang macet. Ya, seperti pada aksi-aksi sebelumnya. Selalu saja berita itu yang akhirnya keluar. Seperti memutar video yang sama setelah aksi yang berbeda. Saya penasaran, apakah tidak ada berita yang lain? Dari sudut pandang lain mungkin. Seperti papan reklame videotron yang di hack oleh peserta aksi dan tersiarlah adzan Asar.
“Lebay Jeng. Aku ngga suka malah nek kaum muslimin mau demo gitu. Ahok udah minta maaf.”
            Iya sih. Lebay juga memang. Mungkin selebay ekspresi wajah saya yang tidak puny ekspresi. Namun, sebenarnya lebay itu relative bukan.
            Mungkin bagi si A, suatu peristiwa 1 tidaklah penting, sehingga A mengabaikan. Namun mungkin bagi si B peristiwa 1 sangat penting sehingga reaksinya lebih dari yang seharusnya di anggap normal oleh si A. Bisa jadi peristiwa 2, bagi A adalah hal yang sangat mendesak sehingga ia harus menetukan sikap. Karena mungkin menyangkut prinsip bahkan kelangsungan hidupnya. Namun bagi si B, peristiwa 2 mungkin bukan apa-apa sehingga ia tidak menimbulkan reaksi sama sekali. Memang tergantung prinsip dan kepentingan masing-masing A dan si B.
            Hanya saja saya menyanyangkan ketika ada seseorang yang mengkafirkan sesama muslim karena tidak mengikuti aksi damai ini. Saya ingat pelajaran agama di SMA. Entah kenapa Allah mengijinkan saya mengingat materi ini, padahal materi-materi yang lain saya banyak yang lupa. Seseorang ketika mengkafirkan muslim yang lain kafir maka akan kembali padanya jika yang di vonis tidak demikian. Sayangnya, tentang riwayat ini saya lupa. *Plak!! Tapi insyaAllah shahih.
            Jika berbeda pendapat, boleh. Jika berbeda pandangan boleh. Ulama terdahulu pun demikian. Bahkan sahabat Rasulullah pun saling berbeda pendapat. Namun apa mereka saling mengkafirkan? Apa mereka saling menghujat, menghina, dan melecehkan?
            Mari kita kaji lagi jawabannya di sirah. Hukumnya di Al Qur’an. Jangan gegara penistaan agama dikemudian hari baru pada mencari tahu tentang ini yes.

Mmmm.. no coment.”
          Bukan satu dua yang menjawab serupa. Banyak.. banyakk. Saya tidak tahu pasti sebabnya. Namun sebagian dari mereka mengaku belum mempunyai kapasitas untuk memberikan pendapat. Ah, saya saluut dengan alasan ini. Bagaimana tidak, kalau saya mengintip-intip akun media social, betapa banyak komentar-komentar yang di tulis tanpa dasar ilmu, fakta dan logika. Mereka menulis atas pengetahuannya saja, namun pengetahuan yang belum tentu kebenarannya.
        Yang bikin gemes adalah, banyak dari mereka yang berkata bak ahli. Jumawa. Baik dari pihak yang pro, maupun pihak yang kontra. Tidak terima jika disalahkan, bahkan tidak jarang berkata kasar sambal membawa si musuhnya meong. Nah, kelihatan tidak pakai ilmu kan?
        Yah, jawaban ini menampar saya. Jika belum mempunyai kapsitas, lalu kenapa tidak mengejar kapasitas itu? Quota habis saja segera diisi, kenapa kapasitas keilmuan tridak? Heh! Bangun Ji! Bangun!

“Bagus sih, jika membela Islam. Tapi kalau kegiatannya berbau politik, saya kurang setuju.”

           Isu tentang politik memang tidak bisa terelakan. Ya, karena acara lima tahunan itu memang sudah di depan mata. Ini memang tidak bisa di benarkan ketika teman-teman saya yang sudah berniat sangat mulia, yang membela al Qur’an, membela Allah, dimanfaatkan begitu saja untuk kepentingan politik kotor. Ya, jika bukan politik kotor ya tidak apa-apa. Apalagi politik untuk kepentingan Allah.
           “Memang ada politik yang tidak kotor?”
           Ada. Seperti ketika kamu membujuk mamamu untuk membelikanmu hp baru dan mamamu mampu membelikannya. Itu politik, dan apakah itu kotor?

“Setuju. Penista agama harusnya di proses hukum. Ibu-ibu di Bali saja di hukum, masa ini engga. Kesannya ko yang berkuasa jadi kebal hukum ya? Tapi, saya dirumah saja ya. Ngga ikut kesana.”
Ya udah lah ya, dirumah saja. Mengajar anak-anak. Untuk investasi ke masa depan. Tanamkan baik-baik pada mereka, tentang iman, tentang perjuangan, tentang menghafal al Qur’an. Bukan hanya tahu salah satu ayat saja ketika ada yang menistakan. Mungkin suatu kali di masa depan aka ada hal yang lebih luar biasa, dan anak-anak kita lebih siap mengambil sikap karena telah lebih paham ilmu dan lebih paham hokum. Toh perempuan lebih utama di rumah. Apalagi yang sudah ibu-ibu.
“Tau sih. Tapi, aku ngga ngikutin beritanya ee. Ngga bisa koment.”
     Saya bisa memahami jawaban ini. Tidak seperti saya yang masih luntang lantung tak jelas kapan lulusnya, dan hanya bisa jadi penjaga kedai yang part time dan ngga jelas juga jam kerjanya, mereka jauh-jauh lebih sibuk.
     Dengan bebas saya bisa membaca artikel-artikel yang bertebaran dimana-mana. Seumpama berjuta-juta helai kertas yang dilemparkan dari atas gedung. Saya bebas memilih dan memilah tulisan mana yang hendak saya baca. Sesuka hati saya. Tidak perlu terburu-buru. Toh saya punya waktu luang yang teramat panjang.
     Namun kemudian pertanyaan menelisik saya ketika sebuah tulisan berbunyi, “Tidak ada orang yang sibuk, itu hanya soal prioritas.”
     Mungkin isu terhangat tentang pelecehan agama itu belum menjadi prioritas mereka. Mungkin nanti.
     Jangan tanya soal ngerjain skripsi! Out of konteks!
“Tidak ada yang salah dengan demo. Saya mendukung meski tidak ikut terlibat. Justru heran dengan yang menanggapi berlebihan. Mau ada demo kaya mau ada perang saja.”

            Saya jadi ingat ketika seorang teman yang sedang menonton video terkait sebab musabab dan prolog-prolog tercetusnya naskah panjang aksi 4 November beberapa hari yang lalu. Adegan saya dan dia seperti melihat video monokrom. Saya begitu datar, tanpa ekspresi. Sedangkan dia begitu heboh dan penuh emosi. Ketakutan-ketakutan akan adanya perang sesama muslim tercetus ketika ia mendengar sebuah kabar kalau organisasi si itu tidak mengijinkan anggotanya untuk ikut aksi. Bahkan menawarkan bantuan kepada polri untuk ikut menghalangi aksi (namun kemudian saya mnyangsikan sumber bacaan beliau).
            Memang merisaukan jika aksi tertanggal 4 November menjadi aksi yang brutal. Namun saya sangsi jika teman-teman saya yang berangkat, yang unyu-unyu itu akan bersikap brutal. Ah, saya tidak bias membayangkan ketika terhadap kecoak saja mereka jejeritan manja, apalagi menghadapi pasukan berseragam dan bertindak brutal. Kecuali jika ada oknum, mungkin. Penyusup? “Ah, lagi-lagi mode konspirasi.

“Menurut ulama ini di Arab sana, tidak boleh ada demo. Jika hendak menyampaikan sesuatu, utuslah beberapa diantara kalian.”

Ehm, btw, bukannya kamu biasanya anti wahabi ya? Itu ulama wahabi loh. Ko?
Kalo ini no coment deh.

Kamu, iya kamu. Punya pendapat lain? Jika iya, bolehlah engkau berbagi dengan saya yang fakir ilmu ini. Tidak, tidak dengan debat. Tapi kajian yang mendalam, jika perlu, mampirlah ke kedai sederhana tempat saya bernaung. Mungkin kita bisa membicarakan banyak hal seraya menyesap kopi dan menatap tetesan hujan yang membasuh jalanan.


Catatan : Banyak pendapat lain yang masuk ke meja penulis namun penulis tidak sampaikan ditulisan ini tersebab, sudah malam, ikan mau bobo dulu...


            
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 27 October 2016

Jalinan Benang Cinta



 Apakah ini cinta?
Aku bertanya pada lembaran kertas yang aku pegang. Banyak kata tercetak disana. Rangkaian kalimat menjalin, membentuk makna. Namun, mereka tak memberi jawab padaku. Mereka malah memberikan pertanyaan lain. Pertanyaan yang lebih rumit. Jika bukan cinta, lalu apa?
Aku mengedarkan pandangan pada waktu, menyusuri tiap detiknya, mencari sedikit petunjuk. Waktu menunjukanku pada video kenangan. Layaknya globe yang berputar, berputar dan berputar, yang terlihat hanya sekelebat garis berwarna-warni.  Semakin pepat dan semakin pepat. Semakin banyak rupa warnanya. Apakah aku harus menekan tombol atau sesuatu agar aku dapat melihat jelas? Lagi-lagi aku bertanya pada kekosongan. Aku mulai tak tahan. Aku harus menemukan.
“Muji, daftarini yuk!” telingaku menangkap suara. Samar. Tapi aku masih dapat mencium aroma tanah yang baru saja terguyur hujan. Petrichor. Hujan gerimis di bulan Januari memang sering membawa nuansa magis. Namun aku tidak sedang dalam pengaruh magis. Aku tidak sedang bermimpi.
“Ayuuk!!” Aku mengenali suaraku sendiri. Dari getarannya, dari nadanya, dari tekanannya, aku tahu, aku antusias. Seperti seorang bocah yang begitu menginginkan naik komedi putar kemudian diajak kepasar malam oleh sang bapak.
Kemudian hening.
Aku menajamkan telingaku. Lagi-lagi samar. Aku mendengar suara tuts yang beradu dengan ujung-ujung jari. Kadang-kadang suaranya beruntun. Jari-jari itu seperti tak  lelah untuk merentangkan kalimat pada lembaran layar putih.
“Selamat bergabung, selamat menjadi anggota keluarga baru,” sebuah suara penuh dengan kebanggan tiba-tiba membuyarkan suara tuts. Seperti sebuah penyakit endemik yang menular, kebanggan itu menjangkitku. Aku bergabung, aku menjadi bagian dari mereka!
Teater Pena FLP Yogyakarta (2012)
Hening lagi. Namun kini kulitku merasakan sesuatu yang nyaman. Aku merasakan kebahagiaan yang lembut mengusap kulitku. Seperti sutra yang dijalin begituhati-hati untuk sebuah selimut hangat. Sebuah kepompong? Benang-benang sutra itu merentang, melingkupi, menghangatkan. Aku tahu, aku menyukai perasaan yang tersalur dari mereka. Apakah aku ikut tersenyum?
Suara-suara tak lagi samar. Mulai jelas mereka menelusup. Layaknya sekumpulan laron yang menyerang masuk ketika lampu ruang tamu dinyalakan. Mengerubung, meminta perhatian meski akhirnya semua laron mendapatkan cahaya lampu. Suara itu mendapatkan perhatianku. Satu persatu kupilah, kuhafalkan pemiliknya, kuingat tekanan suaranya. Percakapan, permohonan, pujian, kritikan,candaan, masukan, nasehat, atau hanya percakapan tanpa makna. Aku menjadi penuh, aku menjadi kaya.
Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu menyebar. Menguasai warna-warna yang lain. Terdengar, tuts itu berbunyi begitu riang, seperti penari salsa yang menghentakkan kakinya sesuai dengan irama lagu. Cepat dan dinamis. Indah dan menyenangkan.
Suara ribut mulai reda dan kulitku mulai merasakannya. Satu persatu benang mengendur, tercerabut perlahan. Tidak menyakitkan, namun membuat sedikit khawatir. 
“Kau juga harus menjadi benang,”suara itu menggema. Sebuah permintaan lembut, namun telingaku merasakan itu adalah sebuah perintah. Darahku setuju, mereka mengalir, menggerakan kepalaku untuk mengangguk, menggerakan bibirku untuk berkata iya. Dengan begitu saja, aku merasakan kulitku tak lagi terselimuti, namun ia menjadi bagian yang menyelimuti. Tunggu! Apa aku siap menjadi benang? Suara itu tak menanggapi, namun sesuatu yang lain berbisik padaku, seperti angin di bulan Agustus, lembut. “Engkau akan siap. Engkau harus siap.”
Demisioner kepengurusan FLP YK tahun 2012-2014 dan pengangkatan ketua wilayah baru oleh Sinta Yudisia (Ketum FLP pusat)
Aku merasakan lembutnya kulit mereka. Mereka yang baru saja bergabung menjadi anggota keluarga. Lembut, namun penuh semangat membara. Semangat itu membakar, namun tidak menghanguskan, menjadikan benang-benang ikut memerah. Apa mereka merasa nyaman dengan jalinan dimana kulitku berada? Cukupkah kuatkah jalinan ini untuk menampung luapan optimisme dan mimpi mereka?
Serat-seratku menguat. Mungkin benar, aku akan siap.
Waktu kembali hadir. Ia sepertinya sedang memamerkan dirinya yang terus berputar dan mengubah segalanya, padaku. Tidak hanya merubah, namun menggantikan. Dan itulah fungsi keberadaannya.
Perlahan tekanan mereka berbeda, gelora semangat mereka berbeda. Meredupkah? Atau berganti wujud menjadi sebuah kekecewaan? Tidak hanya mereka yang terselimuti, namun benang-benang yang menyelimuti. Apakah selimut sutra baik-baik saja? Apa ini ulah keberadaanku? Aku memandang pada waktu, meminta penjelasannya. Mungkin dia akan menunjukan tentang masa lalu, tentang cerita selimut sutra yang lain sebelum keberadaanku. Waktu menghadirkan sekelebat warna.
Lagi-lagi jalinan benang menyusut satu demi satu. Layaknya sebuah rambut yang tercerabut. Mereka yang terselimuti pun satu per satu tiba-tiba mengempis. Seperti kerupuk yang terlalu lama berada di ruang terbuka, menyusut dan mengkerut. Benarkah selimut sudah tak berfungsi seperti plastik yang telah berlubang disana-sini? Sebuah sembilu tiba-tiba menusuk. Waktu menghadirkan kenyataan yang menyakitkan.
“Apa kamu akan bertahan atau turut melepaskan? Tidak ada yang akan menyalahkan. Waktulah yang bertanggungjawab.”
“Tidak. Aku tidak rela melepaskan!”tanpa sadar aku berteriak. Tapi teriakanku adalah keheningan yang berujung pada ruang hampa. Tangannya menggapai, mencari sebuah pegangan agar ia sampai pada suara. Keheningan itu butuh pertolongan. Sekonyong-konyong keheningan-keheningan lain menyerbu. Bukan milikku, namun dari benang-benang lain yang masih tinggal, atau doa-doa dari benang-benang yang terpaksa meninggalkan. Sekumpulan keheningan menggapai-gapai suara.
Waktu akan membawa pergi, namun ia yang telah terikat dengannya, akan selamanya bersama. Waktu tidak akan mengembalikan, ia akan kembali sendiri dengan sebuah nama lain, kenangan. Aku memencet tombol itu. Tepat pada kenangan tentang petrichor di bulan Januari, poster open rekrutiment , antusiasme selayaknya bocah, warna serupa pelangi, suara ribut yang berebut ingin masuk, kehangatan dan kenyamanan selimut sutra, dan begitu banyak kekayaan bertubi-tubi menghujani. Mereka adalah kenangan-kenangan yang akan aku pandang ketika benang kulitku mulai merasa renggang.
Kali ini aku memilih menjalin kembali selimut sutra bersama benang-benang yang lain. Membangun kisah-kisah baru, merangkul keluarga baru.Aku masih memilih bertahan.
Apakah ini cinta? 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 6 October 2016

Apa Yang Anda Pikirkan?



“Satu, dua, tiga,” aku mengangkat wajahku seirama dengan hitungan. Benar, ada dua buah bola mata tengah menatapku.
 Apa yang ia lihat?
Apa yang dia pikirkan?
Kenapa dengan beraninya ia balas menatapku?
Pertanyaan itu muncul tanpa berhasil mendapatkan jawaban.  Pemilik mata itu pun seakan tak peduli dengan serangan pertanyaan bertubi-tubi yang menyerang. Dengan seenaknya saja ia menatapku, tanpa ada niat untuk mengalihkan pandangan. Bahkan setelah ia tertangkap mata. Dia jelas tidak sedang mencuri pandang. Ia terang-terangan.
Aku tidak berkutik ditatap mata itu begitu lama. Aku kalah dan menyerah. Aku kembali menundukan wajah. Berpura-pura kembali asik dengan bukuku, berusaha berfikir dan pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa.
Perpustakaan masih hening. Pengunjung masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dinginnya udara karena suhu AC dipasang terlalu rendah sepertinya tak mengganggu mereka. Atau malah itu adalah suhu ternyaman ketika otak mereka panas karena dipaksa berfikir keras.
Kepura-puraanku tidak bisa bertahan lama. Aku masih bisa merasakan mata itu masih menatapku. Meski bukan tatapan tajam yang menghakimi dan menguliti, tetap saja tatapan itu mengganggu. Seenaknya saja ia menatap.
Aku kembali mengangkat wajah. Kali ini tanpa hitungan. Hanya spontan saja. Dan mata kami kembali bertemu. Mata tanpa cerita. Tidak ada yang bisa aku baca dari matanya. Bukan, bukan tatapan kosong. Namun, mata dengan begitu banyak cerita.
Apa yang kamu pikirkan dengan menatapku begitu?
Harus apa reaksiku?
Tidak ada jawaban. Tidak ada perubahan, bahkan dari ekspresi kami. Kami hanya saling menatap tanpa reaksi. Seperti tatapan yang lurus tanpa ada objek didepan kami, namun kami saling tahu, kami saling memandang. Kami saling membaca. Lalu, apa yang berhasil ia baca sedangkan aku tak bisa membaca apapun?
Sepertinya aku putus asa. Aku menyerah untuk membacanya.
Aku kembali menunduk seperti prajurit yang kalah dalam perang. Namun otak tak menyerah begitu saja. Ia masih saja berfikir, apa dan kenapa. Kesimpulan-kesimpulan baru terbentuk. Pemikiran-pemikiran baru terbersit. Namun semuanya tidak menjadi sebuah fakta. Hanya sebagai dugaan otak saja.
Aku harus mencari tahu, apa yang ia pikirkan. Kesimpulan inilah yang menuntunku untuk kembali mengangkat wajah. Keberanian telah terkumpul sebagai akumulasi rasa penasaran.
Aku mengangkat wajah, lagi-lagi tanpa komando. Mata itu, masih menatapku. Seakan tanpa bosan, seakan tanpa jengah, seakan tanpa takut. Dan kali ini, sebuah senyum terlukis dari sebuah bibir.

Kali ini aku benar-benar menyerah, pun menyerah mencari tahu apa yang ia pikirkan, ditambah dengan senyum terukir itu. Aku menyerah.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 29 September 2016

Parfume


Sebuah ruangan yang tidak begitu besar-kurang lebih 6 meter persegi- begitu sepi. Bukan tanpa penghuni, namun beberapa orang yang berada di dalamnya sedang sibuk dengan urusan dan pikirannya masing-masing.
Ruangan itu dipenuhi rak-rak, berisi buku. Berbagai macam buku dengan jumlah yang tak terbilang. Tidak terlalu banyak, namun juga tak sedikit. Ditengah ruangan, beberapa meja dan kursi ditata sedemikian rupa. Kursi-kursi itu sebagian telah berpenghuni, sebagian lain masih kosong, menunggu seseorang mendudukinya.
Diruangan itulah aku berada. Sebuah perpustakaan. Menatap layar leptop dan sesekali memandang ke depan. Tumpukan buku-buku pada rak yang menjulang dan sebuah misteri tentang kursi kosong. Ya, misteri siapa yang akan mendudukinya kali ini. Sebuah buku dengan judul Sejarah yang tercetak besar terkadang menarik perhatianku. Mengingatkanku pada sesuatu, namun hanya sesaat. Bosan bergulat dengan dunia internet aku beralih pada buku yang telah aku pinjam hari sebelumnya. Sebuah buku dari penulis Jepang.
Buku itu menarik perhatianku terlalu banyak. Mungkin karena aku harus memusatkan perhatian agar mengerti apa yang dimaksudkan penulis. Meski begitu aku masih menyadari ketika seseorang menarik kursi di sampingku yang sebelumnya kosong. Seorang pria dengan kemeja rapi berwarna abu-abu dan sepatu licin kemudian duduk disana. Aku tidak dapat melihat wajahnya, pun tidak tertarik untuk melihat. Aku masih memusatkan perhatiku pada buku.
Beberapa saat kemudian misteri kursi kosong di depanku terpecahkan. Seorang pria berkaos oblong duduk disana. Sebuah leptop ia letakan di meja, di depanku. Kami berhadapan, namun aku masih enggan untuk mengangkat wajah. Tidak terlalu perduli siapa yang berada disana. Tidak mengenalku, pasti. Karena ia tak menyapa.Namun, aku punya cerita lain dengan dia. Kini aku sedikit tertarik pada pria disampingku. Aroma parfum yang cukup kuat menguar keudara. Indra penciumanku menangkapnya, dan otak mulai memproses.
Baunya wangi. Khas laki-laki. Bukan wangi bunga -wangi-wangian yang aku suka-. Apalagi buah-ini aku lebih suka lagi-. Wangi yang bagiku abstrak. Bagaimanapun aku tidak terlalu mengenal parfum, macam-macamnya, namanya, apalagi membedakan merknya. Aku hanya tau, wangi parfum lelaki disampingku ini menyengat, dan aku tidak suka. Bukan apapun, tapi karena kepalaku tetiba pusing. Respon biasa ketika ada wangi yang terlalu menusuk- mungkin ini pun sebab aku tak menggunakan parfum-.
Aku jadi teringat bapak dirumah. Ya, pria satu-satunya yang aku kenal degan baik. Lelaki satu-satunya di keluarga kecil kami-yang kini mulai tumbuh menjadi besar-, sebelum kakak-kakak perempuanku menikah dan lahirlah seorang ponakan laki-laki. Bapak juga memakai parfum. Sebuah merk parfum murah namun cukup terkenal karena ada iklan parfum tersebut di TV. Bapak sering memakainya, apalagi jika bepergian. Meski begitu, aku tetap pusing mencium wanginya. Aku lebih suka bapak tanpa parfum.
Wangi parfum lelaki itu tidak seperti wangi parfum bapak. Tercium tidak murahan. Ah, apalagi mengingat penampilan pria itu. Kemeja tersetrika rapi, handphone hitam yang mengkilap dan sepatu yang tak kalah mengkilap juga. Sepertinya pria itu cukup perfeksionis. Sudut mataku pernah menangkap ia tengah membersihkan handpone kinclongnya dengan sapu tangan. Aku langsung melihat handphoneku yang, ehm, sangat malang.
Ada parfum seorang pria yang aku suka. Parfumnya beraroma coklat. Tidak menyengat, namun lembut. Apalagi jika menempel cukup lama di kulit. Wanginya mengingatkanku akan biskuit coklat. Akhirnya aku menanyakan parfum itu padanya dan tanpa pikir panjang aku meminta ia membelikannya untukku. Aku sempat memakainya. Beberapa kenalanku pun menyukai wanginya. Namun sayang, belum sampai habis, bahkan belum sampai setengah, parfum itu hilang. Mungkin sudah takdir yang terhubung dengan takdir yang lain. Dan aku tak lagi memakai parfum, tertarik membeli lagi pun tidak karena beberapa alasan.
Sebenarnya aku penasaran, bagaimana reaksi laki-laki ketika mencium aroma parfum wanita. Apakah akan sama sepertiku? Pusing dan mengingatkan akan banyak hal. Atau yang lain? Aku tidak punya banyak referensi, namun aku tau, seorang perempuan dilarang menggunakan parfum yang berbau menyengat ketika keluar rumah, dan bertemu dengan sekumpulan laki-laki. Aku percaya, akan ada banyak kerugian dan kelalaian yang akan terjadi jika perempuan melakukannya-memakai parfum berbau menyengat- sehingga pelarangan itu ada. Namun aku belum tau pasti. Mungkin aku harus bertanya pada Bapak.
Masih berhubungan dengan parfum dan perpustakaan, aku menemukan buku berjudul Parfum di perpustakaan itu. Aku langsung teringat pada film dengan judul yang sama. Film yang memang diadaptasi dari buku itu. Aku tertarik untuk membaca, namun buku penulis Jepang itu lebih menarik bagiku saat ini. Mungkin nanti jika aku meminjam buku lagi. Aku ingin membandingkan buku itu dengan filmnya.
Aku tidak akan merekomendasikan film itu ditonton. Meski sebenarnya filmnya cukup bagus, dari segi cerita. Mugkin bukunya. Namun aku pun belum membaca. Mungkin nanti.
Banyak orang yang mendapatkan inspirasi dari wangi parfum. Pun sepertinya diriku yang akhirnya menulis sesuatu yang random dan abstrak seperti ini. Yah, aku hanya mengaitkan ujung-ujung otakku saja. Sebelum ia benar-benar lepas dan benar-benar hilang.

Tapi, tetap saja parfum bagiku tidak menyenangkan. Aku lebih suka mencium wangi buah-buahan atau bunga sebelum diekstrak. 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 28 September 2016

Tua dan Hidup yang Mulus



“Karena hidup tidak selalu mulus,” ucap C ketika senja menyapa kota Yogya hari ini.   Bukannya tanpa sebab, ia mengucapkan kalimat itu seraya mengusap botol minumannya yang masih baru. Beberapa menit sebelumnya botol itu jatuh dari motor, meninggalkan baret-baret di badan botol.
Aku menatapnya geli. Bisa saja dia mendapatkan kalimat filsafah kehidupan tersebut hanya dari baret di botol minumannya. Namun sejurus kemudian wajahku ikut serius. Bahkan ketika kami melaju membelah jalanan Yogya. Aku merenungkannya, merenungkan kalimatnya dengan seksama.
Sejak malam sebelumnya aku telah mengagendakan beberapa hal dihari ini. Pergi kesana, ketemu dengan B, mengunjungi event ini, dan beberapa hal lain. Namun apa daya, pagi-pagi ketika aku hendak meninggalkan asrama, motor yang aku kendarai tak mau bekerja sama. Remnya rusak. Roda belakang tidak mau berputar. Beruntungnya aku masih berada di halaman asrama. Aku masih bisa meminjam motor teman satu asrama. Namun, tentu banyak hal yang berjalan mulus sesuai rencana karena aku tidak bisa meminjam motor itu seharian.
Hidup tidak selalu berjalan mulus. Pun dengan rencana-rencana besar yang telah tersusun bertahun-tahun lalu. Bisa jadi, hari ini rencana itu gagal, batal, tertunda, atau yang lain. Namun seyogyanya, meski kehidupan yang tak berjalan mulus itu tak menyurutkan semangat. Semangat untuk meneruskan mimpi. Jika mimpi yang satu tak terwujud, masih ada mimpi lain yang bisa diwujudkan.
‘Kehidupan yang tidak mulus’ku hari ini sebenarnya memberikan satu pelajaran lagi. Meski usia telah menua, bukan berarti kalah, dan mengalah pada kerentaan tubuh, dan kekuatan yang perlahan sirna. Aku dapatkan pelajaran ini dari seorang bapak tua, pensiunan PNS berusia 70 tahun yang menjadi teman perjalananku di Trans Jogja.
Tubuhnya ringkih, nafasnya pendek-pendek. Namun ia tak berdiam, dan membiarkan semua itu mengalahkannya. Gurat-gurat usia tua jelas tergambar di wajahnya, namun semangat muda seakan membara keluar dari jiwanya.
 Ia bekerja di sebuah univ swasta di Jogja. Berawal dari  permintaan bantuan dari temannya, ia membiarkan dirinya berangkat pagi dan pulang magrib, melupakan usianya yang sudah tak lagi senja. Membiarkan tubuhnya berdesakan dengan penumpang trans jogja lain setiap harinya. Beruntung jika mendapatkan tempat duduk, jika tidak kakinya yang lemah menopang tubuhya meski beratnya tak seberapa. Namun ia menikmatinya. “Daripada melamun dirumah, lebih baik berguna di luar,” begitu katanya.
Ah, tentu hidupnya tak mulus, seperti kulitnya yang mengeriput. Namun, optimistis tetap terpancar di matanya dan nada suaranya.

Tua. Memang bukan sebuah hal yang mutlak, karena maut bisa jadi penghalangnya. Namun jika bisa menjadi tua, mungkinkan bisa tetap memiliki semangat yang sama ketika masih muda meski jalan hidup tak selalu mulus? Semoga.  
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Dengar, Penampilan Bisa Saja Menipumu

Itulah yang membuat saya jarang menyimpulkan penilaian terhadap seseorang. Bagaimana sebenarnya orang yang saya hadapi, sifatnya, perangainya, dan lain hal. Pun kamu, yang mungkin sudah sangat lama saya kenal. Karena manusia punya rahasia-rahasia yang tak nampak atau ditampakan.
Saya masih ingat ketika Diah, dalam pernyataanya, “Penampilan Muji yang demikian akan menipumu. Ketika ia menemukan jalan dan sepeda motor, kau tidak akan menduganya sama sekali.” Ia mengatakan hal demikian setelah kami bersama-sama melakukan perjalanan Bali-Lombok dengan sepeda motor.
Pun saya masih ingat ketika Mas Angga menegaskan berkali-kali,”Kamu sudah pernah naik gunung, Ji? Beneran?” Ah, Mas Angga. Bukan lagi pernah, tapi sudah berkali-kali. Gunung di Jawa tengah sudah saya taklukan semua. Sungguh.
Dan yang terakhir, kemarin ketika saya menghadiri pernikahan seorang teman di Boyolali. Ketika saya sampai di rumah mempelai wanita, pertanyaanini menyambut saya,"Beneran sendiri? Kamu berani?”

Memangnya kenapa jika saya mengendarai motor dari Jogja ke Boyolali dengan sepeda motor sendiri? Tak nampakah bahwa saya adalah gadis yan berani-dan mungkin mandiri-? Toh hanya dekat. Dua minggu sekali saya pulang ke Kebumen, yang jaraknya dua kali lipat ke Boyolali, sendiri. Ya, mereka tidak tau itu saja.
Banyak hal yang tidak kita tahu tentang diri seseorang. Dan saya terus belajar tentang ini. Inilah yang membuat saya belajar tidak mengambil kesimpulan akhir. Pun ketika seseorang melakukan perbuatan yang sangat tidak menyenangkan kepada saya. Jika dia perempuan, ah mungkin sedang masa senitifnya. Atau jika lelaki, mungkin dia sedang banyak sekali masalah. Tentu sakit hati, namun dengan pemikiran-pemikiran itu akan mengurangi rasa sakit hati dan tentunya menghilangkan kebencian.
Saya tidak tau, apakah seseorang akan memiliki perangai yang mutlak atau tidak. Oh, hanya Allah yang memiliki hati manusia. Dia dengan mudah merubah hati makluk. Jika sekarang dia cinta, mungkin suatu hari dia benci. Dan, sayangnya ini selalu membuat saya berfikir ‘suatu hari hatinya akan berubah, dan berubah pula keniatannya.’ Hal ini berujung, saya tak pernah mempercayai perasaan mereka.

Semua bisa berubah. Semua memiliki kemungkinan untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dan tak akan pernah ada kesimpulan akhir kecuali Zat-Nya dan KeagunganNya.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday, 5 June 2016

Ramadhan di Kota Elantris

Masyaallah, sudah bulan Ramadhan. Alhamdulillah masih dipertemukan dengan bulan mulia ini. By te way, sudah menyiapkan apa saja untuk menyambut bulan Ramadhan?
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah novel yang cukup menarik. Elantris, karya Brandon Sanderson. Sebuah novel fantasy yang berlatarkan kota antah berantah. Saya katakan menarik karena ketika membacanya saya teringat akan bulan Ramadhan. Yah, meski sebenarnya saya tidak merekomendasikan buku ini, baik anak-anak maupun orang dewasa Karena, hai buku yang lebih kaya ilmu dan pengetahuan masih banyak di luar sana. Namun jika hanya untuk selingan saya pikir tak apa. Ingat ya, selingan. Tapi jika anak-anak yang membacanya harus dengan pengawasan orng tua ya. Beruntung saya bukan lagi anak-anak.

Jadi, apa hubungannya novel Elantris dengan Ramadhan?
Sebelum mejelaskan lebih lanjut, saya akan sedikit membocorkan isi buku ini. Buku setebal 544 halaman ini diawali dengan cerita sebuah kota bernama Elantris, sebuah kota para dewa karena penghuninya, para elantrian adalah makluk yang dipercaya abadi, atau kurang lebih demikian. Tubuh mereka mudah sembuh jika terluka atau sakit. Mereka juga dikaruniai kekuatan, pengetahuan dan kecepatan luar biasa. Mereka dapat mengeluarkan sihir hanya dengan menggerakan tangan mereka. Yang lebih seru lagi, semua orang bisa menjadi elantrian. Tapi bukan dengan mencalonkan diri seperti pemilu, sekolah tinggi, apalagi main suap. Tidak. Sebab mereka menjadi elantrian dengan cara sangat misterius. Tidak ada yang menduga.
Pengemis, pengrajin, bangsawan maupun prajurit bisa saja di malam-malam misterius mengalami shaod. Shaod adalah istilah dari transformasi manusia biasa mejadi elantrian. Setelah shaod terjadi, kehidupan baru orang terpilih itu dimulai. Dia akan meninggalkan kehidupan duniawinya.
Buku ini tidak menceritakan kejayaan Elantris namun tentang kota Elantris pasca keruntuhan. Shaod yang terjadi pasca keruntuhan sangat bertolak belakang. Elantrian tidak lagi menjadi dewa namun menjadi monster. Kulit mereka dipenuhi noda-noda hitam menjijikan mirip memar gelap, rambut rontok drastis, dan kulit nampak menua. Keriput mendadak. Mereka kemudian tidak lagi di elu-elukan sebagai dewa, namun sebagai orang buangan. Mereka dibuang ke kota elantris yang telah hancur, kumuh, penuh dengan kotoran dan berbahaya.
Meski mereka tak lagi membutuhkan makanan untuk hidup, namun rasa lapar terus medera mereka. Apalagi bagi mereka yang tak lagi memiliki tujuan teguh. Bahkan rasa lapar itu mengendalikan mereka menjadi makhluk barbar dan irasional. Apapun mereka lakukan untuk bisa makan. Akhirnya pada suatu titik mereka akan mengalami hoed. Ketika mereka kalah melawan rasa sakit dan nafsu, mereka akan kehilangan kesadaran. Hilang tujuan, kalah, terpuruk dan menderita tak berkesudahan.
Saya berfikir bahwa shaod dan elantris sama halnya dengan bulan Ramadhan. Ketika terjadi shaod para elantrian menjadi dewa. Sesiapapun dengan alasan misterius. Pun dengan Ramadhan. Sesiapa pun bisa menjadi ‘abadi’ ketika Ramadhan tiba. Ya, ketika Ramadhan, dibukakan pintu-pintu surga dimana keabadian berada. Tidak serta merta memang. Namun janji Allah itu pasti bukan? Keabadian yang indah di surga Allah.
Alasan yang misterus? Ya, misterius karena siapa yang tahu ketaqwaan seorang manusia ketika menjalani Ramadhan?
Elantris pasca keruntuhan pun mengingatkan saya tentang sifat manusia. Nafsu duniawi. Sebelum menjadi ‘abadi’, tentu banyak sekali ujiannya. Rasa lapar para elantrian bisa digambarkan sebagai nafsu manusia. Nafsu akan duniawi yang terkadang memang membutakan mata, menumpulkan hati dan memburamkan logika. Manusia bisa menjadi makhluk paling bar-bar ketika telah ditundukan oleh nafsunya. Maka ia akhirnya akan kalah, terpuruk dan menderita tak berkesudahan.
Mengutip ayat Al Qur’an surat An Nazi’at 37-39,” Maka adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh nerakalah tempat tinggalnya.”
Namun ketika seorang memiliki tujuan yang kuat, kepercayaan yang tinggi, iman yang kokoh, maka ia akan terhindarkan kekalahan akan nafsu duniawi. Di akhir cerita novel ini, seseorang yang memiliki kepercayaan tinggi, tekad yang kuat, berhasil mengembalikan kejayaan elantris. Dia terhindar dari hoed. Bahkan menyelamatkan banyak elantrian.


Jadi, mirip kan? Atau karena saya yang terlalu merindukan Ramadhan sehingga apapun saya kaitkan dengan bulan mulia ini? MasyaAllah, rindu terbayar. Semoga bisa memanfaatkan Ramadhan sebaik-baiknya hingga bisa mencapai keabadian sejati di Jannah Allah Azza wa Jalla.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 13 April 2016

Piknik Naik Motor

Sejujurnya saya bukan anak motor. Saya anak mama dan bapak saya. Namun entah kenapa saya lebih menyukai piknik naik motor dibanding moda transportasi lain. Alasannya? Ngga tau. Beneran ngga tau. Asik aja kemana-mana naik motor. Apalagi jadi supirnya alias bukan orang yang duduk di kursi penumpang. Bukan juga ngojek.
Beberapa tempat yang suda saya ‘pikniki’ dengan motor misalnya Bromo, Kawah Ijen, Bali, Lombok, Kawah Putih, Sabana Baluran dan sekitarnya,  dan tentu saja, spot-spot piknik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ya, belum terlalu banyak sih. Pengennya juga lintas Sumatera pake motor. Tapi belum kesampean. Alasannya? Belum lulus...T.T
Daaann...pengalaman luar biasa. Meski saya perempuan (asli loh), dan perginya seringnya juga sama perempuan, Alhamdulillah sejauh ini belum menjumpai yang namanya tindakan kriminalitas dijalanan. Semoga jangan pernah. Amiin. Pengalaman buruk tentu ada. Misalnya dari pelabuhan Padang Bai di Bali sampai Kuta hujan-hujananan. Atau ban gembos saat ke Bromo dan tidak ada tukang tambal ban sama sekali. Padahal jalannya nanjak. Itu tentu menjadi bumbu yang luar biasa menggurihkan perjalanan. Ingin mencoba piknik naik motor? Tunggu dulu...
Meski sejauh ini saya aman-aman saja piknik dengan motor, namun ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan sebelum menstater motor kamu.
1.      Miliki surat-surat motor dan tentu saja sim C
Pastikan kamu sudah punya SIM C. *dan pastikan juga bukan hasil nembak..hahaha. Meski terkesan formalitas saja dan hanya berlaku ketika ada pemeriksaan polisi, namun kamu ngga akan mau kan liburan kamu terganggu karena masalah tilang. Jika dekat mungkin bisa diurus, namun jika jauh? Mau nyogok oknum polisi? Jangan dehh...kamu benci korupsi namun jadi pegiat korupsi? Piknik kamu bakalan ngga asik. Bener deh..
Dan jika kamu sudah punya sim C otomatis kamu sudah berada di atas usia 17 tahun. Kenapa? Karena mayoritas kecelakaan terjadi pada pengendara motor di bawah 17 tahun. Datanya? Cari ndiri ya..:P
2.      Punya sejarah mengemudikan motor yang panjang.
Kamu baru bisa naik motor kemarin sore? Urungkan niatmu piknik pake motor. Piknik naik motor itu butuh skill yang tinggi men. *ceileh. Beneran loh. Karena kamu akan melintasi jalanan yang mungkin tidak kamau kenal sebelumnya. Bagaimana kondisinya, bagaimana keamanannya, dan bagaimana-bagaimana yang lain. Paling tidak jika kamu sudah terbiasa naik motor, kamu akan memiliki keahlian di bawah kesadaran apabila menghadapi situasi yang tidak diinginkan. Mungkin semacam insting ya..:D
3.      Periksa Kondisi Motor
Piknik naik motor itu berbahaya! Coba cek kecelakaan terbesar itu di bagian moda apa. Jawabannya motor. Kenapa? Ya, lihat saja motor. Rodanya cuma dua (apapula ini), keseimbangannya pinter-pinteran pengemudi. Belum lagi banyak pengendara motor yang mentang-mentang bisa selip sana selip sini, jadi asal-asalan naiknya. Dan yang paling sering jadi faktor utama kecelakaan adalah kondisi motor yang ngga fit. Ban gundul, rem mati, rante kendor, dll. Kalau kondisi motor ngga prima, maka mengendarainya pun jadi ngga asik.  
4.      Periksa Kondisi Tubuh
Ini nih.. Piknik naik motor itu perlu kondisi tubuh yang prima juga. Jika naik bus, kita bisa duduk leha-leha, cape, tinggal urut-urut pake balsem, kalau ngantuk tinggal tidur. Percaya saja sama sopir. Namun jika naik motor, mau ngantuk, mau cape, mau bosen, mau males, kamu ngga bisa ngapa-ngapain karena kamulah sopirnya. Pilihan satu-satunya adalah kamu harus berhenti dan istirahat. Otomatis perjalanan tertunda.
Ingat, jangan paksakan tubuh untuk mengemudi jika sudah cape dan ngantuk.
5.      Gunakan perlengkapan yang memadai
Presensi dulu ya... Helm SNI? Sepatu dan seperangkatnya? Jaket? Sarung Tangan? Masker/penutup wajah? Baju yang nyaman? Rok yang ngga nylimped di roda (bagi pengguna rok seperti saya)? Barang-barang bawaan yang tidak melebihi besarnya motor? Kacamata jika diperlukan? Jika minimal semua itu dipenuhi, yuk berangkat. Namun lebih bagus lagi jika menggunakan perlengkapan berkendara sepeda motor yang lengkap misal pelindung tulang kering kaki, jaket kulit, dll.
6.      Sadari Resiko Piknik Naik Motor
Perlu banget deh kamu sadar. :D
Piknik naik motor itu, rawan kena hujan. Jadi siapkan mantol. Piknik naik motor itu rawan motornya bermasalah dijalan, jadi tabahkan hati dan kuatkan kaki ketika harus nuntun motor. Piknik naik motor itu rawan kecelakaan, jadi berhati-hatilah. Mawas diri, kontrol emosi,. Piknik naik motor itu, ketika piknik berakhir badan kamu bisa pegel-pegel, jadi siapkan waktu untuk pija atau istirahat ekstra..:D
Dan...masih banyak lagi resikonya. Pahami ya gaes...
7.      Jangan Lupa Banyak-Banyak Berdoa
Tidak ada penjelasan..:D


Itu saja sih pesan dari saya yang bukan anak motor tapi sering piknik naik motor. Semoga bermanfaat...


Tulisan ini juga di publikasikan di 
http://kemana-mana09.blogspot.co.id/2015/08/kenapa-kamu-suka-travelling.html
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com