Beberapa hari ini melihat bawang menjadi headline koran langganan
asrama membuatku berfikir tentang bumbu masak yang satu ini. Hems, biasanya
mana pernah. Meski ia (si Bawang Putih) sering sekali menjadi materi yang
memanjakan lidah bersama bumbu-bumbu yang lain, tak pernah terbayangkan bahwa
dia mampu membuat kekisruhan yang layak di jadikan headline sebuah koran
nasional. Dua kali pula. Wah, sungguh. Mungkin ini belum berakhir. Bisa saja
hari-hari berikutnya ia masih akan menjadi headline.
Tentu masalah utamanya bukan karena si bawang putih korupsi,
ataupun ikut-ikutan berpolitik, nyalon jadi Cagub. Apalagi ikut-ikutan kasta kekuasaan.
Ah, tentu juga bukan karena Si Bawang Putih melakukan kejahatan kemanusiaan.
Eh, tapi mungkin saja iya. Tapi jelas bukan si Bawang Putih pelakunya. Dia
hanya sebagai objek. Mungkin juga di oplos menjadi kambing hitam. Ngeri sekali.
Si bawang putih yang seputih susu berubah menjadi kambing hitam yang segala
rupanya hitam. Oplosan pula.
Masalah utamanya adalah karena harga Si putih ini melambung tinggi.
Setelah sebelumnya di pusingkan dengan mahalnya harga daging, ternyata Si
bawang ini tidak mau ketinggalan juga. Mungkin dia ingin kenaikan derajatnya
sekelas daging biar lebih di perhatikan. Pasalnya, selama ini siapa yang
memperhatikan bawang putih? Coba hitung saja, berapa siung bawang putih yang
ibumu pakai untuk masak sayur dan bumbu lain setiap harinya. Tidak ada satu
kilo. Ah, paling lima-enam siung. Pasti kalah dari penggunaan cabai ataupun
bawang merah. Tapi kenapa ia mampu menjadi headline?
Saya jelas tidak tau, dan tidak akan membahas kebijakan koran akan
hal ini. Tapi setidaknya saya tau, karena saking tidak di perhatikannnya, di
Indonesia, bawang putih dalam negeri hanya mampu memenuhi 5% kebutuhan pasar.
Wah, sediki sekali. Jelas saja. Karena bawang putih tidak terlalu di perhatikan
petani sehingga petani enggan menanamnya. Petani lebih senang menanam bawang
merah yang perawatannya dianggap lebih mudah.
Tak heran pemerintah membolehkan import untuk memenuhi kebutuhan
pasar nasional. Yang menjadi masalah saat ini adalah ketika pemerintah
membatasi jumlah import bawang. Tidak hanya bawang putih si, tapi juga import
barang yang lain. Tapi dampak yang kini terasa adalah bawang yang melambung
tinggi. Bagi kita-kita mungkin kenaikan harga bawang ini tidak menjadi masalah
yang besar. Toh, ngga pake bawang juga ngga apa-apa. Asalkan makanan di warung
bu Ida harganya tetap sama. Kecuali jika harganya naik, baru itu menjadi
masalah yang harus di pecahkan dengan segera karena sifatnya yang mendesak.
Tapi, buat ibu-ibu di Kebumen kenaikan bawang putih ini menjadi
masalah. Si Bawang Putih memaksa mereka tidak menumis sayuran, atau mengolah
makanan lain yang menggunakan bawang putih. Mereka lebih suka membeli makanan
matang di warung-warung. Akhirnya, pengeluaran rumah tangga pun bertambah. Bagi
beberapa penjual, kenaikan bawang harga bawang putih ini memaksa mereka untuk
menutup toko, buntutnya mereka tidak ada pemasukan. Dan untuk petani bawang
merah, kenaikan bawang putih yang diikuti kenaikan harga bawang merah mencekik
leher mereka.
Apa pasalnya petani bawang merah di bawa-bawa? Jelas ini bukan
karena cerita tentang bawang putih dan bawang merah dalam dongeng klasik. Sama
sekali bukan. Ini adalah cerita murni tentang bumbu masak yang jika kita
tanpanya pun masih bisa hidup. Petani bawang merah merasa kesulitan menanam
bawang merah karena harga bibit naik akibat kenaikan harga bawang merah. Yang
dalam hal ini keduanya searah sejalan. Tapi entahlah. Padahal kebijakan
pembatasan bawang untuk melindungi produksi lokal.
Saya setuju dengan pembatasa barang import. Bahkan jika perlu
contoh saja Cina dengan politik isolasinya. Toh, jika di garap dengan serius,
kita mampu memenuhi kebutuhan kita sendiri. Apa sih yang tidak tumbuh di
Indonesia? Apa sih yang tidak tertanam di bumi indonesia. Apa sih yang tidak
bisa di lakukan anak-anak cerdas Indonesia. Yang tidak bisa dilakukan saat ini
hanyalah memaksimalkan potensi yang di miliki.
Ah, ternyata di tengah-tengah kekisruhan yang tengah melanda
ibu-ibu rumah tangga, meski dalam kapasitas yang tidak terlalu besar, ternyata
ada saja yang nakal. Importir-importir bawang dengan sengaja menimbun Si putih
menunggu harga puncak, dan mereka akhirnya akan meraih keuntungan tertinggi.
Keren sekali, dan sayangnya ini berlarut-larut. Pantas saja Presiden kita
tercinta kecewa dengan kinerja mentrinya, dan ibu-ibu rumah tangga kecewa
dengan presidennya. Kasian sekali.
Semoga tidak ada isu politik, konspirasi apalagi pengalihan isu
disini hingga masalah kenaikan bawang putih mengalahkan berita-berita yang
lebih mengenaskan, lebih membunuh ibu-ibu rumah tangga. Semoga saja, ini hanya
masalah waktu, sehingga ketika sudah waktunya nanti bawang putih dan bawang merah kembali menempati
posisinya sebagai bumbu masakan.
0 Apa Kata Mereka???:
Post a Comment