Saturday 16 March 2013

Bukan Dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih



Beberapa hari ini melihat bawang menjadi headline koran langganan asrama membuatku berfikir tentang bumbu masak yang satu ini. Hems, biasanya mana pernah. Meski ia (si Bawang Putih) sering sekali menjadi materi yang memanjakan lidah bersama bumbu-bumbu yang lain, tak pernah terbayangkan bahwa dia mampu membuat kekisruhan yang layak di jadikan headline sebuah koran nasional. Dua kali pula. Wah, sungguh. Mungkin ini belum berakhir. Bisa saja hari-hari berikutnya ia masih akan menjadi headline.
Tentu masalah utamanya bukan karena si bawang putih korupsi, ataupun ikut-ikutan berpolitik, nyalon jadi Cagub. Apalagi ikut-ikutan kasta kekuasaan. Ah, tentu juga bukan karena Si Bawang Putih melakukan kejahatan kemanusiaan. Eh, tapi mungkin saja iya. Tapi jelas bukan si Bawang Putih pelakunya. Dia hanya sebagai objek. Mungkin juga di oplos menjadi kambing hitam. Ngeri sekali. Si bawang putih yang seputih susu berubah menjadi kambing hitam yang segala rupanya hitam. Oplosan pula.
Masalah utamanya adalah karena harga Si putih ini melambung tinggi. Setelah sebelumnya di pusingkan dengan mahalnya harga daging, ternyata Si bawang ini tidak mau ketinggalan juga. Mungkin dia ingin kenaikan derajatnya sekelas daging biar lebih di perhatikan. Pasalnya, selama ini siapa yang memperhatikan bawang putih? Coba hitung saja, berapa siung bawang putih yang ibumu pakai untuk masak sayur dan bumbu lain setiap harinya. Tidak ada satu kilo. Ah, paling lima-enam siung. Pasti kalah dari penggunaan cabai ataupun bawang merah. Tapi kenapa ia mampu menjadi headline?
Saya jelas tidak tau, dan tidak akan membahas kebijakan koran akan hal ini. Tapi setidaknya saya tau, karena saking tidak di perhatikannnya, di Indonesia, bawang putih dalam negeri hanya mampu memenuhi 5% kebutuhan pasar. Wah, sediki sekali. Jelas saja. Karena bawang putih tidak terlalu di perhatikan petani sehingga petani enggan menanamnya. Petani lebih senang menanam bawang merah yang perawatannya dianggap lebih mudah.
Tak heran pemerintah membolehkan import untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. Yang menjadi masalah saat ini adalah ketika pemerintah membatasi jumlah import bawang. Tidak hanya bawang putih si, tapi juga import barang yang lain. Tapi dampak yang kini terasa adalah bawang yang melambung tinggi. Bagi kita-kita mungkin kenaikan harga bawang ini tidak menjadi masalah yang besar. Toh, ngga pake bawang juga ngga apa-apa. Asalkan makanan di warung bu Ida harganya tetap sama. Kecuali jika harganya naik, baru itu menjadi masalah yang harus di pecahkan dengan segera karena sifatnya yang mendesak.
Tapi, buat ibu-ibu di Kebumen kenaikan bawang putih ini menjadi masalah. Si Bawang Putih memaksa mereka tidak menumis sayuran, atau mengolah makanan lain yang menggunakan bawang putih. Mereka lebih suka membeli makanan matang di warung-warung. Akhirnya, pengeluaran rumah tangga pun bertambah. Bagi beberapa penjual, kenaikan bawang harga bawang putih ini memaksa mereka untuk menutup toko, buntutnya mereka tidak ada pemasukan. Dan untuk petani bawang merah, kenaikan bawang putih yang diikuti kenaikan harga bawang merah mencekik leher mereka.
Apa pasalnya petani bawang merah di bawa-bawa? Jelas ini bukan karena cerita tentang bawang putih dan bawang merah dalam dongeng klasik. Sama sekali bukan. Ini adalah cerita murni tentang bumbu masak yang jika kita tanpanya pun masih bisa hidup. Petani bawang merah merasa kesulitan menanam bawang merah karena harga bibit naik akibat kenaikan harga bawang merah. Yang dalam hal ini keduanya searah sejalan. Tapi entahlah. Padahal kebijakan pembatasan bawang untuk melindungi produksi lokal.
Saya setuju dengan pembatasa barang import. Bahkan jika perlu contoh saja Cina dengan politik isolasinya. Toh, jika di garap dengan serius, kita mampu memenuhi kebutuhan kita sendiri. Apa sih yang tidak tumbuh di Indonesia? Apa sih yang tidak tertanam di bumi indonesia. Apa sih yang tidak bisa di lakukan anak-anak cerdas Indonesia. Yang tidak bisa dilakukan saat ini hanyalah memaksimalkan potensi yang di miliki.
Ah, ternyata di tengah-tengah kekisruhan yang tengah melanda ibu-ibu rumah tangga, meski dalam kapasitas yang tidak terlalu besar, ternyata ada saja yang nakal. Importir-importir bawang dengan sengaja menimbun Si putih menunggu harga puncak, dan mereka akhirnya akan meraih keuntungan tertinggi. Keren sekali, dan sayangnya ini berlarut-larut. Pantas saja Presiden kita tercinta kecewa dengan kinerja mentrinya, dan ibu-ibu rumah tangga kecewa dengan presidennya. Kasian sekali.
Semoga tidak ada isu politik, konspirasi apalagi pengalihan isu disini hingga masalah kenaikan bawang putih mengalahkan berita-berita yang lebih mengenaskan, lebih membunuh ibu-ibu rumah tangga. Semoga saja, ini hanya masalah waktu, sehingga ketika sudah waktunya nanti bawang  putih dan bawang merah kembali menempati posisinya sebagai bumbu masakan.

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com