Thursday, 27 October 2016

Jalinan Benang Cinta



 Apakah ini cinta?
Aku bertanya pada lembaran kertas yang aku pegang. Banyak kata tercetak disana. Rangkaian kalimat menjalin, membentuk makna. Namun, mereka tak memberi jawab padaku. Mereka malah memberikan pertanyaan lain. Pertanyaan yang lebih rumit. Jika bukan cinta, lalu apa?
Aku mengedarkan pandangan pada waktu, menyusuri tiap detiknya, mencari sedikit petunjuk. Waktu menunjukanku pada video kenangan. Layaknya globe yang berputar, berputar dan berputar, yang terlihat hanya sekelebat garis berwarna-warni.  Semakin pepat dan semakin pepat. Semakin banyak rupa warnanya. Apakah aku harus menekan tombol atau sesuatu agar aku dapat melihat jelas? Lagi-lagi aku bertanya pada kekosongan. Aku mulai tak tahan. Aku harus menemukan.
“Muji, daftarini yuk!” telingaku menangkap suara. Samar. Tapi aku masih dapat mencium aroma tanah yang baru saja terguyur hujan. Petrichor. Hujan gerimis di bulan Januari memang sering membawa nuansa magis. Namun aku tidak sedang dalam pengaruh magis. Aku tidak sedang bermimpi.
“Ayuuk!!” Aku mengenali suaraku sendiri. Dari getarannya, dari nadanya, dari tekanannya, aku tahu, aku antusias. Seperti seorang bocah yang begitu menginginkan naik komedi putar kemudian diajak kepasar malam oleh sang bapak.
Kemudian hening.
Aku menajamkan telingaku. Lagi-lagi samar. Aku mendengar suara tuts yang beradu dengan ujung-ujung jari. Kadang-kadang suaranya beruntun. Jari-jari itu seperti tak  lelah untuk merentangkan kalimat pada lembaran layar putih.
“Selamat bergabung, selamat menjadi anggota keluarga baru,” sebuah suara penuh dengan kebanggan tiba-tiba membuyarkan suara tuts. Seperti sebuah penyakit endemik yang menular, kebanggan itu menjangkitku. Aku bergabung, aku menjadi bagian dari mereka!
Teater Pena FLP Yogyakarta (2012)
Hening lagi. Namun kini kulitku merasakan sesuatu yang nyaman. Aku merasakan kebahagiaan yang lembut mengusap kulitku. Seperti sutra yang dijalin begituhati-hati untuk sebuah selimut hangat. Sebuah kepompong? Benang-benang sutra itu merentang, melingkupi, menghangatkan. Aku tahu, aku menyukai perasaan yang tersalur dari mereka. Apakah aku ikut tersenyum?
Suara-suara tak lagi samar. Mulai jelas mereka menelusup. Layaknya sekumpulan laron yang menyerang masuk ketika lampu ruang tamu dinyalakan. Mengerubung, meminta perhatian meski akhirnya semua laron mendapatkan cahaya lampu. Suara itu mendapatkan perhatianku. Satu persatu kupilah, kuhafalkan pemiliknya, kuingat tekanan suaranya. Percakapan, permohonan, pujian, kritikan,candaan, masukan, nasehat, atau hanya percakapan tanpa makna. Aku menjadi penuh, aku menjadi kaya.
Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu menyebar. Menguasai warna-warna yang lain. Terdengar, tuts itu berbunyi begitu riang, seperti penari salsa yang menghentakkan kakinya sesuai dengan irama lagu. Cepat dan dinamis. Indah dan menyenangkan.
Suara ribut mulai reda dan kulitku mulai merasakannya. Satu persatu benang mengendur, tercerabut perlahan. Tidak menyakitkan, namun membuat sedikit khawatir. 
“Kau juga harus menjadi benang,”suara itu menggema. Sebuah permintaan lembut, namun telingaku merasakan itu adalah sebuah perintah. Darahku setuju, mereka mengalir, menggerakan kepalaku untuk mengangguk, menggerakan bibirku untuk berkata iya. Dengan begitu saja, aku merasakan kulitku tak lagi terselimuti, namun ia menjadi bagian yang menyelimuti. Tunggu! Apa aku siap menjadi benang? Suara itu tak menanggapi, namun sesuatu yang lain berbisik padaku, seperti angin di bulan Agustus, lembut. “Engkau akan siap. Engkau harus siap.”
Demisioner kepengurusan FLP YK tahun 2012-2014 dan pengangkatan ketua wilayah baru oleh Sinta Yudisia (Ketum FLP pusat)
Aku merasakan lembutnya kulit mereka. Mereka yang baru saja bergabung menjadi anggota keluarga. Lembut, namun penuh semangat membara. Semangat itu membakar, namun tidak menghanguskan, menjadikan benang-benang ikut memerah. Apa mereka merasa nyaman dengan jalinan dimana kulitku berada? Cukupkah kuatkah jalinan ini untuk menampung luapan optimisme dan mimpi mereka?
Serat-seratku menguat. Mungkin benar, aku akan siap.
Waktu kembali hadir. Ia sepertinya sedang memamerkan dirinya yang terus berputar dan mengubah segalanya, padaku. Tidak hanya merubah, namun menggantikan. Dan itulah fungsi keberadaannya.
Perlahan tekanan mereka berbeda, gelora semangat mereka berbeda. Meredupkah? Atau berganti wujud menjadi sebuah kekecewaan? Tidak hanya mereka yang terselimuti, namun benang-benang yang menyelimuti. Apakah selimut sutra baik-baik saja? Apa ini ulah keberadaanku? Aku memandang pada waktu, meminta penjelasannya. Mungkin dia akan menunjukan tentang masa lalu, tentang cerita selimut sutra yang lain sebelum keberadaanku. Waktu menghadirkan sekelebat warna.
Lagi-lagi jalinan benang menyusut satu demi satu. Layaknya sebuah rambut yang tercerabut. Mereka yang terselimuti pun satu per satu tiba-tiba mengempis. Seperti kerupuk yang terlalu lama berada di ruang terbuka, menyusut dan mengkerut. Benarkah selimut sudah tak berfungsi seperti plastik yang telah berlubang disana-sini? Sebuah sembilu tiba-tiba menusuk. Waktu menghadirkan kenyataan yang menyakitkan.
“Apa kamu akan bertahan atau turut melepaskan? Tidak ada yang akan menyalahkan. Waktulah yang bertanggungjawab.”
“Tidak. Aku tidak rela melepaskan!”tanpa sadar aku berteriak. Tapi teriakanku adalah keheningan yang berujung pada ruang hampa. Tangannya menggapai, mencari sebuah pegangan agar ia sampai pada suara. Keheningan itu butuh pertolongan. Sekonyong-konyong keheningan-keheningan lain menyerbu. Bukan milikku, namun dari benang-benang lain yang masih tinggal, atau doa-doa dari benang-benang yang terpaksa meninggalkan. Sekumpulan keheningan menggapai-gapai suara.
Waktu akan membawa pergi, namun ia yang telah terikat dengannya, akan selamanya bersama. Waktu tidak akan mengembalikan, ia akan kembali sendiri dengan sebuah nama lain, kenangan. Aku memencet tombol itu. Tepat pada kenangan tentang petrichor di bulan Januari, poster open rekrutiment , antusiasme selayaknya bocah, warna serupa pelangi, suara ribut yang berebut ingin masuk, kehangatan dan kenyamanan selimut sutra, dan begitu banyak kekayaan bertubi-tubi menghujani. Mereka adalah kenangan-kenangan yang akan aku pandang ketika benang kulitku mulai merasa renggang.
Kali ini aku memilih menjalin kembali selimut sutra bersama benang-benang yang lain. Membangun kisah-kisah baru, merangkul keluarga baru.Aku masih memilih bertahan.
Apakah ini cinta? 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 6 October 2016

Apa Yang Anda Pikirkan?



“Satu, dua, tiga,” aku mengangkat wajahku seirama dengan hitungan. Benar, ada dua buah bola mata tengah menatapku.
 Apa yang ia lihat?
Apa yang dia pikirkan?
Kenapa dengan beraninya ia balas menatapku?
Pertanyaan itu muncul tanpa berhasil mendapatkan jawaban.  Pemilik mata itu pun seakan tak peduli dengan serangan pertanyaan bertubi-tubi yang menyerang. Dengan seenaknya saja ia menatapku, tanpa ada niat untuk mengalihkan pandangan. Bahkan setelah ia tertangkap mata. Dia jelas tidak sedang mencuri pandang. Ia terang-terangan.
Aku tidak berkutik ditatap mata itu begitu lama. Aku kalah dan menyerah. Aku kembali menundukan wajah. Berpura-pura kembali asik dengan bukuku, berusaha berfikir dan pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa.
Perpustakaan masih hening. Pengunjung masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dinginnya udara karena suhu AC dipasang terlalu rendah sepertinya tak mengganggu mereka. Atau malah itu adalah suhu ternyaman ketika otak mereka panas karena dipaksa berfikir keras.
Kepura-puraanku tidak bisa bertahan lama. Aku masih bisa merasakan mata itu masih menatapku. Meski bukan tatapan tajam yang menghakimi dan menguliti, tetap saja tatapan itu mengganggu. Seenaknya saja ia menatap.
Aku kembali mengangkat wajah. Kali ini tanpa hitungan. Hanya spontan saja. Dan mata kami kembali bertemu. Mata tanpa cerita. Tidak ada yang bisa aku baca dari matanya. Bukan, bukan tatapan kosong. Namun, mata dengan begitu banyak cerita.
Apa yang kamu pikirkan dengan menatapku begitu?
Harus apa reaksiku?
Tidak ada jawaban. Tidak ada perubahan, bahkan dari ekspresi kami. Kami hanya saling menatap tanpa reaksi. Seperti tatapan yang lurus tanpa ada objek didepan kami, namun kami saling tahu, kami saling memandang. Kami saling membaca. Lalu, apa yang berhasil ia baca sedangkan aku tak bisa membaca apapun?
Sepertinya aku putus asa. Aku menyerah untuk membacanya.
Aku kembali menunduk seperti prajurit yang kalah dalam perang. Namun otak tak menyerah begitu saja. Ia masih saja berfikir, apa dan kenapa. Kesimpulan-kesimpulan baru terbentuk. Pemikiran-pemikiran baru terbersit. Namun semuanya tidak menjadi sebuah fakta. Hanya sebagai dugaan otak saja.
Aku harus mencari tahu, apa yang ia pikirkan. Kesimpulan inilah yang menuntunku untuk kembali mengangkat wajah. Keberanian telah terkumpul sebagai akumulasi rasa penasaran.
Aku mengangkat wajah, lagi-lagi tanpa komando. Mata itu, masih menatapku. Seakan tanpa bosan, seakan tanpa jengah, seakan tanpa takut. Dan kali ini, sebuah senyum terlukis dari sebuah bibir.

Kali ini aku benar-benar menyerah, pun menyerah mencari tahu apa yang ia pikirkan, ditambah dengan senyum terukir itu. Aku menyerah.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 29 September 2016

Parfume


Sebuah ruangan yang tidak begitu besar-kurang lebih 6 meter persegi- begitu sepi. Bukan tanpa penghuni, namun beberapa orang yang berada di dalamnya sedang sibuk dengan urusan dan pikirannya masing-masing.
Ruangan itu dipenuhi rak-rak, berisi buku. Berbagai macam buku dengan jumlah yang tak terbilang. Tidak terlalu banyak, namun juga tak sedikit. Ditengah ruangan, beberapa meja dan kursi ditata sedemikian rupa. Kursi-kursi itu sebagian telah berpenghuni, sebagian lain masih kosong, menunggu seseorang mendudukinya.
Diruangan itulah aku berada. Sebuah perpustakaan. Menatap layar leptop dan sesekali memandang ke depan. Tumpukan buku-buku pada rak yang menjulang dan sebuah misteri tentang kursi kosong. Ya, misteri siapa yang akan mendudukinya kali ini. Sebuah buku dengan judul Sejarah yang tercetak besar terkadang menarik perhatianku. Mengingatkanku pada sesuatu, namun hanya sesaat. Bosan bergulat dengan dunia internet aku beralih pada buku yang telah aku pinjam hari sebelumnya. Sebuah buku dari penulis Jepang.
Buku itu menarik perhatianku terlalu banyak. Mungkin karena aku harus memusatkan perhatian agar mengerti apa yang dimaksudkan penulis. Meski begitu aku masih menyadari ketika seseorang menarik kursi di sampingku yang sebelumnya kosong. Seorang pria dengan kemeja rapi berwarna abu-abu dan sepatu licin kemudian duduk disana. Aku tidak dapat melihat wajahnya, pun tidak tertarik untuk melihat. Aku masih memusatkan perhatiku pada buku.
Beberapa saat kemudian misteri kursi kosong di depanku terpecahkan. Seorang pria berkaos oblong duduk disana. Sebuah leptop ia letakan di meja, di depanku. Kami berhadapan, namun aku masih enggan untuk mengangkat wajah. Tidak terlalu perduli siapa yang berada disana. Tidak mengenalku, pasti. Karena ia tak menyapa.Namun, aku punya cerita lain dengan dia. Kini aku sedikit tertarik pada pria disampingku. Aroma parfum yang cukup kuat menguar keudara. Indra penciumanku menangkapnya, dan otak mulai memproses.
Baunya wangi. Khas laki-laki. Bukan wangi bunga -wangi-wangian yang aku suka-. Apalagi buah-ini aku lebih suka lagi-. Wangi yang bagiku abstrak. Bagaimanapun aku tidak terlalu mengenal parfum, macam-macamnya, namanya, apalagi membedakan merknya. Aku hanya tau, wangi parfum lelaki disampingku ini menyengat, dan aku tidak suka. Bukan apapun, tapi karena kepalaku tetiba pusing. Respon biasa ketika ada wangi yang terlalu menusuk- mungkin ini pun sebab aku tak menggunakan parfum-.
Aku jadi teringat bapak dirumah. Ya, pria satu-satunya yang aku kenal degan baik. Lelaki satu-satunya di keluarga kecil kami-yang kini mulai tumbuh menjadi besar-, sebelum kakak-kakak perempuanku menikah dan lahirlah seorang ponakan laki-laki. Bapak juga memakai parfum. Sebuah merk parfum murah namun cukup terkenal karena ada iklan parfum tersebut di TV. Bapak sering memakainya, apalagi jika bepergian. Meski begitu, aku tetap pusing mencium wanginya. Aku lebih suka bapak tanpa parfum.
Wangi parfum lelaki itu tidak seperti wangi parfum bapak. Tercium tidak murahan. Ah, apalagi mengingat penampilan pria itu. Kemeja tersetrika rapi, handphone hitam yang mengkilap dan sepatu yang tak kalah mengkilap juga. Sepertinya pria itu cukup perfeksionis. Sudut mataku pernah menangkap ia tengah membersihkan handpone kinclongnya dengan sapu tangan. Aku langsung melihat handphoneku yang, ehm, sangat malang.
Ada parfum seorang pria yang aku suka. Parfumnya beraroma coklat. Tidak menyengat, namun lembut. Apalagi jika menempel cukup lama di kulit. Wanginya mengingatkanku akan biskuit coklat. Akhirnya aku menanyakan parfum itu padanya dan tanpa pikir panjang aku meminta ia membelikannya untukku. Aku sempat memakainya. Beberapa kenalanku pun menyukai wanginya. Namun sayang, belum sampai habis, bahkan belum sampai setengah, parfum itu hilang. Mungkin sudah takdir yang terhubung dengan takdir yang lain. Dan aku tak lagi memakai parfum, tertarik membeli lagi pun tidak karena beberapa alasan.
Sebenarnya aku penasaran, bagaimana reaksi laki-laki ketika mencium aroma parfum wanita. Apakah akan sama sepertiku? Pusing dan mengingatkan akan banyak hal. Atau yang lain? Aku tidak punya banyak referensi, namun aku tau, seorang perempuan dilarang menggunakan parfum yang berbau menyengat ketika keluar rumah, dan bertemu dengan sekumpulan laki-laki. Aku percaya, akan ada banyak kerugian dan kelalaian yang akan terjadi jika perempuan melakukannya-memakai parfum berbau menyengat- sehingga pelarangan itu ada. Namun aku belum tau pasti. Mungkin aku harus bertanya pada Bapak.
Masih berhubungan dengan parfum dan perpustakaan, aku menemukan buku berjudul Parfum di perpustakaan itu. Aku langsung teringat pada film dengan judul yang sama. Film yang memang diadaptasi dari buku itu. Aku tertarik untuk membaca, namun buku penulis Jepang itu lebih menarik bagiku saat ini. Mungkin nanti jika aku meminjam buku lagi. Aku ingin membandingkan buku itu dengan filmnya.
Aku tidak akan merekomendasikan film itu ditonton. Meski sebenarnya filmnya cukup bagus, dari segi cerita. Mugkin bukunya. Namun aku pun belum membaca. Mungkin nanti.
Banyak orang yang mendapatkan inspirasi dari wangi parfum. Pun sepertinya diriku yang akhirnya menulis sesuatu yang random dan abstrak seperti ini. Yah, aku hanya mengaitkan ujung-ujung otakku saja. Sebelum ia benar-benar lepas dan benar-benar hilang.

Tapi, tetap saja parfum bagiku tidak menyenangkan. Aku lebih suka mencium wangi buah-buahan atau bunga sebelum diekstrak. 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 28 September 2016

Tua dan Hidup yang Mulus



“Karena hidup tidak selalu mulus,” ucap C ketika senja menyapa kota Yogya hari ini.   Bukannya tanpa sebab, ia mengucapkan kalimat itu seraya mengusap botol minumannya yang masih baru. Beberapa menit sebelumnya botol itu jatuh dari motor, meninggalkan baret-baret di badan botol.
Aku menatapnya geli. Bisa saja dia mendapatkan kalimat filsafah kehidupan tersebut hanya dari baret di botol minumannya. Namun sejurus kemudian wajahku ikut serius. Bahkan ketika kami melaju membelah jalanan Yogya. Aku merenungkannya, merenungkan kalimatnya dengan seksama.
Sejak malam sebelumnya aku telah mengagendakan beberapa hal dihari ini. Pergi kesana, ketemu dengan B, mengunjungi event ini, dan beberapa hal lain. Namun apa daya, pagi-pagi ketika aku hendak meninggalkan asrama, motor yang aku kendarai tak mau bekerja sama. Remnya rusak. Roda belakang tidak mau berputar. Beruntungnya aku masih berada di halaman asrama. Aku masih bisa meminjam motor teman satu asrama. Namun, tentu banyak hal yang berjalan mulus sesuai rencana karena aku tidak bisa meminjam motor itu seharian.
Hidup tidak selalu berjalan mulus. Pun dengan rencana-rencana besar yang telah tersusun bertahun-tahun lalu. Bisa jadi, hari ini rencana itu gagal, batal, tertunda, atau yang lain. Namun seyogyanya, meski kehidupan yang tak berjalan mulus itu tak menyurutkan semangat. Semangat untuk meneruskan mimpi. Jika mimpi yang satu tak terwujud, masih ada mimpi lain yang bisa diwujudkan.
‘Kehidupan yang tidak mulus’ku hari ini sebenarnya memberikan satu pelajaran lagi. Meski usia telah menua, bukan berarti kalah, dan mengalah pada kerentaan tubuh, dan kekuatan yang perlahan sirna. Aku dapatkan pelajaran ini dari seorang bapak tua, pensiunan PNS berusia 70 tahun yang menjadi teman perjalananku di Trans Jogja.
Tubuhnya ringkih, nafasnya pendek-pendek. Namun ia tak berdiam, dan membiarkan semua itu mengalahkannya. Gurat-gurat usia tua jelas tergambar di wajahnya, namun semangat muda seakan membara keluar dari jiwanya.
 Ia bekerja di sebuah univ swasta di Jogja. Berawal dari  permintaan bantuan dari temannya, ia membiarkan dirinya berangkat pagi dan pulang magrib, melupakan usianya yang sudah tak lagi senja. Membiarkan tubuhnya berdesakan dengan penumpang trans jogja lain setiap harinya. Beruntung jika mendapatkan tempat duduk, jika tidak kakinya yang lemah menopang tubuhya meski beratnya tak seberapa. Namun ia menikmatinya. “Daripada melamun dirumah, lebih baik berguna di luar,” begitu katanya.
Ah, tentu hidupnya tak mulus, seperti kulitnya yang mengeriput. Namun, optimistis tetap terpancar di matanya dan nada suaranya.

Tua. Memang bukan sebuah hal yang mutlak, karena maut bisa jadi penghalangnya. Namun jika bisa menjadi tua, mungkinkan bisa tetap memiliki semangat yang sama ketika masih muda meski jalan hidup tak selalu mulus? Semoga.  
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Dengar, Penampilan Bisa Saja Menipumu

Itulah yang membuat saya jarang menyimpulkan penilaian terhadap seseorang. Bagaimana sebenarnya orang yang saya hadapi, sifatnya, perangainya, dan lain hal. Pun kamu, yang mungkin sudah sangat lama saya kenal. Karena manusia punya rahasia-rahasia yang tak nampak atau ditampakan.
Saya masih ingat ketika Diah, dalam pernyataanya, “Penampilan Muji yang demikian akan menipumu. Ketika ia menemukan jalan dan sepeda motor, kau tidak akan menduganya sama sekali.” Ia mengatakan hal demikian setelah kami bersama-sama melakukan perjalanan Bali-Lombok dengan sepeda motor.
Pun saya masih ingat ketika Mas Angga menegaskan berkali-kali,”Kamu sudah pernah naik gunung, Ji? Beneran?” Ah, Mas Angga. Bukan lagi pernah, tapi sudah berkali-kali. Gunung di Jawa tengah sudah saya taklukan semua. Sungguh.
Dan yang terakhir, kemarin ketika saya menghadiri pernikahan seorang teman di Boyolali. Ketika saya sampai di rumah mempelai wanita, pertanyaanini menyambut saya,"Beneran sendiri? Kamu berani?”

Memangnya kenapa jika saya mengendarai motor dari Jogja ke Boyolali dengan sepeda motor sendiri? Tak nampakah bahwa saya adalah gadis yan berani-dan mungkin mandiri-? Toh hanya dekat. Dua minggu sekali saya pulang ke Kebumen, yang jaraknya dua kali lipat ke Boyolali, sendiri. Ya, mereka tidak tau itu saja.
Banyak hal yang tidak kita tahu tentang diri seseorang. Dan saya terus belajar tentang ini. Inilah yang membuat saya belajar tidak mengambil kesimpulan akhir. Pun ketika seseorang melakukan perbuatan yang sangat tidak menyenangkan kepada saya. Jika dia perempuan, ah mungkin sedang masa senitifnya. Atau jika lelaki, mungkin dia sedang banyak sekali masalah. Tentu sakit hati, namun dengan pemikiran-pemikiran itu akan mengurangi rasa sakit hati dan tentunya menghilangkan kebencian.
Saya tidak tau, apakah seseorang akan memiliki perangai yang mutlak atau tidak. Oh, hanya Allah yang memiliki hati manusia. Dia dengan mudah merubah hati makluk. Jika sekarang dia cinta, mungkin suatu hari dia benci. Dan, sayangnya ini selalu membuat saya berfikir ‘suatu hari hatinya akan berubah, dan berubah pula keniatannya.’ Hal ini berujung, saya tak pernah mempercayai perasaan mereka.

Semua bisa berubah. Semua memiliki kemungkinan untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dan tak akan pernah ada kesimpulan akhir kecuali Zat-Nya dan KeagunganNya.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday, 5 June 2016

Ramadhan di Kota Elantris

Masyaallah, sudah bulan Ramadhan. Alhamdulillah masih dipertemukan dengan bulan mulia ini. By te way, sudah menyiapkan apa saja untuk menyambut bulan Ramadhan?
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah novel yang cukup menarik. Elantris, karya Brandon Sanderson. Sebuah novel fantasy yang berlatarkan kota antah berantah. Saya katakan menarik karena ketika membacanya saya teringat akan bulan Ramadhan. Yah, meski sebenarnya saya tidak merekomendasikan buku ini, baik anak-anak maupun orang dewasa Karena, hai buku yang lebih kaya ilmu dan pengetahuan masih banyak di luar sana. Namun jika hanya untuk selingan saya pikir tak apa. Ingat ya, selingan. Tapi jika anak-anak yang membacanya harus dengan pengawasan orng tua ya. Beruntung saya bukan lagi anak-anak.

Jadi, apa hubungannya novel Elantris dengan Ramadhan?
Sebelum mejelaskan lebih lanjut, saya akan sedikit membocorkan isi buku ini. Buku setebal 544 halaman ini diawali dengan cerita sebuah kota bernama Elantris, sebuah kota para dewa karena penghuninya, para elantrian adalah makluk yang dipercaya abadi, atau kurang lebih demikian. Tubuh mereka mudah sembuh jika terluka atau sakit. Mereka juga dikaruniai kekuatan, pengetahuan dan kecepatan luar biasa. Mereka dapat mengeluarkan sihir hanya dengan menggerakan tangan mereka. Yang lebih seru lagi, semua orang bisa menjadi elantrian. Tapi bukan dengan mencalonkan diri seperti pemilu, sekolah tinggi, apalagi main suap. Tidak. Sebab mereka menjadi elantrian dengan cara sangat misterius. Tidak ada yang menduga.
Pengemis, pengrajin, bangsawan maupun prajurit bisa saja di malam-malam misterius mengalami shaod. Shaod adalah istilah dari transformasi manusia biasa mejadi elantrian. Setelah shaod terjadi, kehidupan baru orang terpilih itu dimulai. Dia akan meninggalkan kehidupan duniawinya.
Buku ini tidak menceritakan kejayaan Elantris namun tentang kota Elantris pasca keruntuhan. Shaod yang terjadi pasca keruntuhan sangat bertolak belakang. Elantrian tidak lagi menjadi dewa namun menjadi monster. Kulit mereka dipenuhi noda-noda hitam menjijikan mirip memar gelap, rambut rontok drastis, dan kulit nampak menua. Keriput mendadak. Mereka kemudian tidak lagi di elu-elukan sebagai dewa, namun sebagai orang buangan. Mereka dibuang ke kota elantris yang telah hancur, kumuh, penuh dengan kotoran dan berbahaya.
Meski mereka tak lagi membutuhkan makanan untuk hidup, namun rasa lapar terus medera mereka. Apalagi bagi mereka yang tak lagi memiliki tujuan teguh. Bahkan rasa lapar itu mengendalikan mereka menjadi makhluk barbar dan irasional. Apapun mereka lakukan untuk bisa makan. Akhirnya pada suatu titik mereka akan mengalami hoed. Ketika mereka kalah melawan rasa sakit dan nafsu, mereka akan kehilangan kesadaran. Hilang tujuan, kalah, terpuruk dan menderita tak berkesudahan.
Saya berfikir bahwa shaod dan elantris sama halnya dengan bulan Ramadhan. Ketika terjadi shaod para elantrian menjadi dewa. Sesiapapun dengan alasan misterius. Pun dengan Ramadhan. Sesiapa pun bisa menjadi ‘abadi’ ketika Ramadhan tiba. Ya, ketika Ramadhan, dibukakan pintu-pintu surga dimana keabadian berada. Tidak serta merta memang. Namun janji Allah itu pasti bukan? Keabadian yang indah di surga Allah.
Alasan yang misterus? Ya, misterius karena siapa yang tahu ketaqwaan seorang manusia ketika menjalani Ramadhan?
Elantris pasca keruntuhan pun mengingatkan saya tentang sifat manusia. Nafsu duniawi. Sebelum menjadi ‘abadi’, tentu banyak sekali ujiannya. Rasa lapar para elantrian bisa digambarkan sebagai nafsu manusia. Nafsu akan duniawi yang terkadang memang membutakan mata, menumpulkan hati dan memburamkan logika. Manusia bisa menjadi makhluk paling bar-bar ketika telah ditundukan oleh nafsunya. Maka ia akhirnya akan kalah, terpuruk dan menderita tak berkesudahan.
Mengutip ayat Al Qur’an surat An Nazi’at 37-39,” Maka adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh nerakalah tempat tinggalnya.”
Namun ketika seorang memiliki tujuan yang kuat, kepercayaan yang tinggi, iman yang kokoh, maka ia akan terhindarkan kekalahan akan nafsu duniawi. Di akhir cerita novel ini, seseorang yang memiliki kepercayaan tinggi, tekad yang kuat, berhasil mengembalikan kejayaan elantris. Dia terhindar dari hoed. Bahkan menyelamatkan banyak elantrian.


Jadi, mirip kan? Atau karena saya yang terlalu merindukan Ramadhan sehingga apapun saya kaitkan dengan bulan mulia ini? MasyaAllah, rindu terbayar. Semoga bisa memanfaatkan Ramadhan sebaik-baiknya hingga bisa mencapai keabadian sejati di Jannah Allah Azza wa Jalla.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 13 April 2016

Piknik Naik Motor

Sejujurnya saya bukan anak motor. Saya anak mama dan bapak saya. Namun entah kenapa saya lebih menyukai piknik naik motor dibanding moda transportasi lain. Alasannya? Ngga tau. Beneran ngga tau. Asik aja kemana-mana naik motor. Apalagi jadi supirnya alias bukan orang yang duduk di kursi penumpang. Bukan juga ngojek.
Beberapa tempat yang suda saya ‘pikniki’ dengan motor misalnya Bromo, Kawah Ijen, Bali, Lombok, Kawah Putih, Sabana Baluran dan sekitarnya,  dan tentu saja, spot-spot piknik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ya, belum terlalu banyak sih. Pengennya juga lintas Sumatera pake motor. Tapi belum kesampean. Alasannya? Belum lulus...T.T
Daaann...pengalaman luar biasa. Meski saya perempuan (asli loh), dan perginya seringnya juga sama perempuan, Alhamdulillah sejauh ini belum menjumpai yang namanya tindakan kriminalitas dijalanan. Semoga jangan pernah. Amiin. Pengalaman buruk tentu ada. Misalnya dari pelabuhan Padang Bai di Bali sampai Kuta hujan-hujananan. Atau ban gembos saat ke Bromo dan tidak ada tukang tambal ban sama sekali. Padahal jalannya nanjak. Itu tentu menjadi bumbu yang luar biasa menggurihkan perjalanan. Ingin mencoba piknik naik motor? Tunggu dulu...
Meski sejauh ini saya aman-aman saja piknik dengan motor, namun ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan sebelum menstater motor kamu.
1.      Miliki surat-surat motor dan tentu saja sim C
Pastikan kamu sudah punya SIM C. *dan pastikan juga bukan hasil nembak..hahaha. Meski terkesan formalitas saja dan hanya berlaku ketika ada pemeriksaan polisi, namun kamu ngga akan mau kan liburan kamu terganggu karena masalah tilang. Jika dekat mungkin bisa diurus, namun jika jauh? Mau nyogok oknum polisi? Jangan dehh...kamu benci korupsi namun jadi pegiat korupsi? Piknik kamu bakalan ngga asik. Bener deh..
Dan jika kamu sudah punya sim C otomatis kamu sudah berada di atas usia 17 tahun. Kenapa? Karena mayoritas kecelakaan terjadi pada pengendara motor di bawah 17 tahun. Datanya? Cari ndiri ya..:P
2.      Punya sejarah mengemudikan motor yang panjang.
Kamu baru bisa naik motor kemarin sore? Urungkan niatmu piknik pake motor. Piknik naik motor itu butuh skill yang tinggi men. *ceileh. Beneran loh. Karena kamu akan melintasi jalanan yang mungkin tidak kamau kenal sebelumnya. Bagaimana kondisinya, bagaimana keamanannya, dan bagaimana-bagaimana yang lain. Paling tidak jika kamu sudah terbiasa naik motor, kamu akan memiliki keahlian di bawah kesadaran apabila menghadapi situasi yang tidak diinginkan. Mungkin semacam insting ya..:D
3.      Periksa Kondisi Motor
Piknik naik motor itu berbahaya! Coba cek kecelakaan terbesar itu di bagian moda apa. Jawabannya motor. Kenapa? Ya, lihat saja motor. Rodanya cuma dua (apapula ini), keseimbangannya pinter-pinteran pengemudi. Belum lagi banyak pengendara motor yang mentang-mentang bisa selip sana selip sini, jadi asal-asalan naiknya. Dan yang paling sering jadi faktor utama kecelakaan adalah kondisi motor yang ngga fit. Ban gundul, rem mati, rante kendor, dll. Kalau kondisi motor ngga prima, maka mengendarainya pun jadi ngga asik.  
4.      Periksa Kondisi Tubuh
Ini nih.. Piknik naik motor itu perlu kondisi tubuh yang prima juga. Jika naik bus, kita bisa duduk leha-leha, cape, tinggal urut-urut pake balsem, kalau ngantuk tinggal tidur. Percaya saja sama sopir. Namun jika naik motor, mau ngantuk, mau cape, mau bosen, mau males, kamu ngga bisa ngapa-ngapain karena kamulah sopirnya. Pilihan satu-satunya adalah kamu harus berhenti dan istirahat. Otomatis perjalanan tertunda.
Ingat, jangan paksakan tubuh untuk mengemudi jika sudah cape dan ngantuk.
5.      Gunakan perlengkapan yang memadai
Presensi dulu ya... Helm SNI? Sepatu dan seperangkatnya? Jaket? Sarung Tangan? Masker/penutup wajah? Baju yang nyaman? Rok yang ngga nylimped di roda (bagi pengguna rok seperti saya)? Barang-barang bawaan yang tidak melebihi besarnya motor? Kacamata jika diperlukan? Jika minimal semua itu dipenuhi, yuk berangkat. Namun lebih bagus lagi jika menggunakan perlengkapan berkendara sepeda motor yang lengkap misal pelindung tulang kering kaki, jaket kulit, dll.
6.      Sadari Resiko Piknik Naik Motor
Perlu banget deh kamu sadar. :D
Piknik naik motor itu, rawan kena hujan. Jadi siapkan mantol. Piknik naik motor itu rawan motornya bermasalah dijalan, jadi tabahkan hati dan kuatkan kaki ketika harus nuntun motor. Piknik naik motor itu rawan kecelakaan, jadi berhati-hatilah. Mawas diri, kontrol emosi,. Piknik naik motor itu, ketika piknik berakhir badan kamu bisa pegel-pegel, jadi siapkan waktu untuk pija atau istirahat ekstra..:D
Dan...masih banyak lagi resikonya. Pahami ya gaes...
7.      Jangan Lupa Banyak-Banyak Berdoa
Tidak ada penjelasan..:D


Itu saja sih pesan dari saya yang bukan anak motor tapi sering piknik naik motor. Semoga bermanfaat...


Tulisan ini juga di publikasikan di 
http://kemana-mana09.blogspot.co.id/2015/08/kenapa-kamu-suka-travelling.html
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Saturday, 14 November 2015

Senja Menginspirasi Bersama Tokoh Inspiratif


 

            Senja masih seperti biasanya. Jingga masih benderang di ufuk Barat dan burung terbang menuju sarang. Namun, bagi saya senja ini tidak seperti biasanya. Ada setangkup kisah yang telah terencana.
            Ada nuansa romatis ketika saya menunggu ditepi jalan. Ada resah, gelisah, dan khawatir. Gelisah pertemuan yang ditunggu tak sampai pada pelampiasannya. Gagal. Dua puluh menit menanti membuat saya khawatir sesuatu yang diluar dugaan terjadi. Seperti rindu yang bertemu, dua sosok yang menghampiri saya menjadi pelepas segala rasa. Umi Yuni, pengasuh Pondok Rabingah Prawoto dan Mbak Rissa, senior saya sekaligus musrifah di pondok. Namun, masih ada sesosok lagi yang masih berselimut banyak tanya.
            Sebuah rumah dengan pintu tertutup menjadi penyambut. Sejenak kemudian pintu terbuka, setelah salam yang ketiga. Kami bertiga bernafas lega. Pertemuan akan menemukan ujungnya.
            Prof. Aliyah Rasyid Baswedan. Saya mencium tangan beliau takzim. Memang Rencana Tuhan luar biasa. Indah dan menakjubkan. Rencana kami hanya meminta testimoni namun RencanaNya berkata lain. Lewat beliau, Ilmu MilikNya mengalir deras. Testimoni yang kami rencanakan semenit dua menit, akhirnya berbuah kuliah singkat lebih dari setengah jam. Kuliah kehidupan, kuliah untuk peradapan dimasa yang akan datang.
            “Mahasiswa. Kedepan akan mau apa? Ketika kita sudah punya banyak hal sekarang sebagai mahasiswa. Harus kita rencanakan. Seseorang yang sudah punya rencana pasti akan lebih baik daripada yang tidak punya rencana,” kata Bu Aliyah. Kami takzim memperhatikan.
            “Bukan tentang karir saja. Namun juga sampai kita meninggal kita mau bagaimana. Harus dipikirkan dan dilakukan persiapannya. Ilmunya harus membawa kita sukses dunia dan akherat.”
            “Manfaatkan waktu sebaik-baiknya, harus banyak membaca, harus banyak bergaul, harus berorganisasi. Karena disana akan dihadapkan banyak sekali masalah. Masalah-masalah itulah sebagai bekal tahap selanjutnya,” lanjut Bu Aliyah.
            “Berikanlah kebermanfaatan untuk masyarakat. Berperanlah untuk membuat baik orang, membuat baik organisasi, membuat baik lingkungan.”
            Saya terhenyak. Saya teringat banyak hal yang telah tangan dan kaki saya lakukan. Namun, tidak banyak yang telah saya manfaatkan untuk memberikan manfaat. Mungkin sudah terlalu banyak kesia-siaan yang saya lakukan.
            Ya, saya dibelai dan ditampar dalam waktu bersamaan. Dibelai oleh kenyataan saya pernah di lingkungan terbaik dimana lulusannya diharapkan menjadi pemimpin muslimah tangguh yang akan membangun peradaban. Ditampar, karena saya belum bisa melakukan apa-apa.
            Perbincangan dengan beliau masih berlanjut. Namun pikiran saya telah terbelah.  Biarlah, saya akan kembali mendengarkan apa yang beliau sampaikan di asrama lewat file video yang saya rekam.
            Ingin saya menjadi rakus dan berlama-lama disisi beliau. Menyerap saripati ilmu yang beliau miliki. Namun Adzan magrib menjadi pertanda, pengingat bagi saya. Saya harus lebih berusaha lagi mencari serpihan-serpihan ilmuNya yang bertebaran. Ya, saya akan berusaha.
            Romantisme Jogja membersamai saya pulang. Senandung lagu Yogyakarta yang dinyanyikan band ternama seperti mengiringi, terngiang begitu saja. Nostalgia. Suatu hari, saya akan merindukan kota ini dengan segala romantisme dariNya.


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com