Monday, 16 July 2012

Numero Uno

 Celoteh pagi membangunkanku, menghabiskan mimpi yang tiba-tiba hilang dari ingatan. Entah apa yang aku mimpikan tadi. Mataku menyapu seluruh ruangan. Lampu kamar masih menyala, namun cahayanya meredup karena sinar matahari sudah mulai menerobos dari jendela. Jam berapa sekarang? Tak ada jam yang terpasang didinding kamar. Satu-satunya penunjuk waktu yang ada adalah handpone jadulku.

 “Astagfirullah!!!!!!!!!!!!!!” mataku yang semula redup dan ingin terpejam lagi langsung terbuka lebar. Seratus watt full. Pukul 05.43. Aku melewatkan sholat Subuh ku. Ah, tidak, semoga masih ada waktu. Aku terbirit-birit kekamar mandi. Menabrak pintu kamar, sandal selen, terantuk pintu kamar mandi yang hanya setinggi telingaku dan tragisnya, semua kamar mandi telah terisi.

 “Buruk Cip,” kataku seraya duduk disamping Cipa, teman sekelasku. Ia menoleh. Mengernyitkan dahi, tak mengerti.

 “Kesiangan lagi?”

Aku mengangguk. Ia nampak prihatin. Tapi sesaat. Ia kembali asyik dengan sesuatu yang berada di tangannya. Buku, novel tentunya. Aneh sekali jika yang ia baca buku pelajaran meski ditengah pelajaran sekalipun.

 “Cip, kasih solusi napa? Sholat Subuh jadi ngga tepat waktu nih,” rengekku. Meski aku tau sia-sia. Jika Cipa sudah memeggang buku, segala urusan adalah sampingan. Tak ada yang penting. Menyebalkan.

 Tuh kan, dia hanya menengok mukaku yang memelas, sedetik. Tak lebih, lalu kembali lagi ke bukunya. Sungguh tega! Apakah ini yang disebut sahabat? Jerit batinku. Tak serius tentunya. Ia sahabat yang paling baik yang pernah aku kenal. Aku menatapnya yang tak bergeming. Mangkel. Tapi ya sudahlah. Nanti jika sudah waktunya dia pasti akan memberiku solusi. Semoga saja solusinya tepat.

 ”Tanya si numero uno,” bisik Cipa di tengah-tengah perkuliahan. Aku menatapnya sejenak, tak mengerti arah pembicaraannya. Namun, setelah ku ikuti arah matanya yang tak setajam silet, baru aku paham apa yang ia maksud. Benar kata pepatah, setiap solusi pasti ada jalannya. Eh, setiap masalah pasti ada solusinya. Tinggal kita mencari kuncinya, dan kunci permasalahanku berada di depan sana. Duduk tenang di barisan kursi paling depan.

 Namanya Mandala, tapi kami sering menyebutnya si Numero uno. Nama yang sangat cocok untuknya, mengalahkan nama pemberian orang tua yang mungkin membutuhkan waktu berbualan-bulan untuk meracik nama itu. Tapi kami, atau mungkin seluruh makhluk di bumi hanya membutuhkan waktu sepuluh detik untuk menyebutnya Si Numero Uno.

 Si kurus berwajah tirus itu memang memiliki hal nomor satu hampir dalam segala hal. Contohnya saja tempat duduknya, ia tak pernah absen untuk menempatkan dirinya di kursi paling depan. Bahkan ia mungkin akan rela menggusur, ataupun menggunakan trik licik milik para penjahat tengik hanya untuk mendapatkan kursi paling depan. Tapi sepertinya ia tak usah mengguras tenaganya untuk mengeluarkan triknya tersebut. Selama ini dia selalu datang paling awal ketika pintu kelas belum terbuka, bahkan mungkin ketika pintu gerbang belum terbuka. Kadang aku jadi penasaran, jam berapa sih dia bangun?

 Nah, tepat sekali. Si nomor satu dalam segala hal ini pasti punya trik jitu. Namun ternyata hari ini aku tengah sial, si nomor satu telah melesat pergi paling pertama ketika perkuliahan telah usai. Dia memang the numero uno.

 Sepedaku melaju pelan melewati beberapa pertokoan. Matahari seakan tersenyum mengejek. Dia melambai-lambaikan sinarnya dan nampak enggan untuk bersembunyi lama-lama dibalik awan yang sesekali lewat. Beberapa klakson motor atau mobil terdengar nyaring. Ah, masa sama sepeda aja dzalim. Suruh siapa tak ada jalur khusus sepeda. Aku tetap mengayuh sepedaku santai dan sesekali tersenyum mengejek pada mereka yang menggerutu dibalik kemudi.

 “Santai sekali? Sepertinya pengemudi di belakang sana sudah kehabisan persediaan sabar,” suara seseorang mengusikku. Mandala. Dia mengayuh sepeda di sampingku. Namun kemudian ia melesat pergi. Wah, kunciku. Aku harus mengejarnya.

 Meski jauh dari adegan seru ala film action saat berkejar-kejaran, apalagi kami hanya menaiki sepeda ontel, namun mengejarnya sudah cukup membuat keringatku mengucur deras dan membasahi jilbab yang kukenakan. Tapi tak sia-sia, aku berhasil mengejarnya dan kini kami mengayuh sepeda bersamaan.

 “Baru pulang?”tanyanya.

 Aku hanya mengangguk. Aku belum berhasil mengatur nafasku.

 Kami terdiam cukup lama. Mengayuh dalam bisu. Wah, kaya orang marahan. Akhirnya kubuka pembicaraan.

 “Aku boleh minta tolong ngga, Man?”

 “Apa?” jawabnya singkat. Wajahnya tetap tertuju pada jalanan yang mulai lenggang. Kami mulai meninggalkan padatnya kota.

 “Ehmss…” keraguan tiba-tiba saja menghujamku. Aku takut dia akan menertawakanku dan berlalu pergi. Atau bahkan ia akan menceritakan pada teman-temannya bahwa aku sering kesiangan. Tapi segera kutepis bayangan itu. Setahun sekelas dengannya sepertinya sudah cukup untukku mengetahui wataknya.

 “Ngga jadi?” dia menoleh. Ah, aku harus cepat bicara. Jangan sampai ia menjadi the numero uno dalam hal meninggalkan teman.

 “Jadi…Aku Cuma pengen tanya, apa sih rahasia kamu selalu bangun pagi?”

Dia menoleh, mengernyitkan keningnya. Apa pertanyaanku konyol?

 “Yia, kamu kan selalu dateng paling pagi. Otomatis kamu harus bangun pagi dong? Nah, apa nih rahasianya supaya kamu bisa bangun pagi?” jelasku. Wajahnya kembali menghadap ke depan. Nampaknya ia tengah berfikir. “Aku hanya dalam keadaan terdesak,” jawabnya singkat.

 Aku menatapnya bingung. Kupikir dia akan membeberkan trik jitunya seperti jangan tidur terlalu malem lah, jangan minum kopi malem-malem lah, pasang alarm yang keras lah, yang semuanya pernah ku coba namun gagal total. Hampir saja sepedaku menabrak sepeda motor yang terparkir.

 “Maksudnya?” tanyaku dengan wajah terbodoh yang pernah ada di bumi.

 “Ehms…” dia berfikir lagi. Nampaknya dia paham, dia harus menjelaskan sangat terperinci agar aku mengerti apa yang ia maksudkan. Pengalaman di dalam kelas.

 “Ayo ikut aku,” jawab Mandala akhirnya. Ia membelokkan sepeda menyebrangi jalanan. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, aku membuntuti kemana ia pergi. Kami melewati sebuah jalan sempit dengan pemukiman kumuh disana-sini. Baru aku tau ada tempat seperti ini didaerahku.

 “Kita kemana?” aku sedikit berteriak. Jalanan sempit ini tak memungkinkan kami berjalan beriringan. Dia tidak menjawab, namun malah memperlambat laju sepedanya.

 “Ini tempat apa?” tanyaku lagi layaknya nenek-nenek renta yang paling cerewet melihat sebuah bangunan tua yang nampak lapuk, namun terawat. Ada banyak pohon bunga di tamannya. Jelas ini bukan rumah Mandala. Rumah Mandala sangat besar, mirip rumah di film-film. Dia anak orang kaya, dan yang buat aku salut dia bukan orang yang suka memamerkan kekayaan orang tuanya. Dia juga anak yang rajin, yah, si numero uno. Selalu mendapat nilai tertinggi, selalu paling awal menyerahkan tugas, selalu nomor satu aktif di kelas. Namanya juga numero uno.

 Lagi-lagi dia diam, hanya menyeringai kecil penuh misteri. Ah, baru aku tau, ada sisi lain pada dirinya. Aku kembali mengikutinya memasuki halaman bangunan tua itu. Seorang anak kecil menyambutnya.

 “Ibu ada Wen?” Tanya Mandala pada gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun. Bocah itu menggelang, lalu ia berceloteh riang. Mandala menoleh kearahku, matanya menyuruhku untuk mengikutinya.

 Kami memasuki sebuah ruangan luas dengan beberapa kursi di sudut-sudutnya. Mungkin ini ruang tamu.

 “Selamat datang di rumahku,” ujarnya. Ia meletakan pantatnya di kursi yang terbuat dari kayu. Aku menatapnya tak mengerti. Pasti nampak sangat bodoh.

 Tanpa menunggu waktu lama, ia lalu menjelaskan panjang lebar tentang rumah itu. Itu memang rumahnya. Lalu rumah besar itu? Pemilik rumah itu adalah orang tua angkatnya yang berbaik hati mau menyekolahkan Mandala. Mandala hanyalah seorang anak miskin yang sedikit beruntung. Ayahnya telah meninggal sejak adiknya, Weni lahir. Ia terpaksa membantu perekonomian keluarganya, sampai-sampai ia terancam putus sekolah. Beruntung, seorang keluarga kaya menawarkan bantuan untuk membantu biaya sekolahnya. Namun tetap saja perekonomian keluarganya tak cukup membaik. Oleh karena itulah ia tetap bekerja di sela-sela kesibukannya. Setiap pagi ketika aku masih sibuk dengan mimpi-mimpiku, ia telah bersiap mengantarkan beberapa dagangan milik ibunya kepasar pagi dan membantu berjualan disana. Ketika matahari mulai menampakan batang hidunganya ia langsung meluncur ke kampus dengan sepeda ontelnya. Padahal jarak pasar dengan kampus bukanlah jarak yang dekat. Pekerjaanya belum usai. Ketika perkuliahan selesai ia harus bergegas menuju sebuah toko elektronik. Ia bekerja disana hingga matahari bersembunyi kembali.

 “Oke, jika ada alasan yang membenarkan aku bangun siang, pasti aku akan melakukannya. Namun sayangnya tidak. Waktu terus berpacu, dan aku harus mengejarnya agar aku tak menelan kerugian. Bukankah Rasulullah pun selalu bangun pagi? Kenapa aku tak mengikutinya, bukankah Ia panutan nomor satu di dunia?”

 Aku tercengang. Mandala mencontoh Rasulullah padahal ia non muslim. Sedang aku yang telah berikrar berkali-kali bahwa ia adalah Rasulku? Memalukan. Aku menatap taman melalui sela-sela jendela. Tak mungkin kubiarkan manusia nomor satu, the real Numero Uno, bukan Mandala, namun Rasulullah bersedih karena pengikutnya yang malas.

-End-
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 11 July 2012

Dari Kolong Langit

 "Ibu, hari ini kita buka sama apa?"

 Ah, andai saja bisa memilih, tapi ini bukan pertanyaan atas sebuah pernyataan yang telah tersedia, tapi ini adalah pertanyaan atas ketiadaan, dan aku hanya bisa tersenyum sambil terus mengemasi penyambung nyawaku yang aku temukan. Kardus-kardus kosong tumpuan hidup kami hari ini. Tapi sepertinya harta karun ini belum cukup untuk mengganjal perut yang sewaktu-waktu minta diisi. Apa-apa sekarang mahal. Ah, tapi kenapa harta karunku ini tak bisa terjual mahal?

 "Ibu, kemarin Ayi lihat ada yang bagi-bagi kardus putih di persimpangan. Bu, nanti kita kesana ya," rajuk anak semata wayangku, bocah kecil berusia delapan tahun yang menjadi alasanku untuk tetap berusaha hidup hari demi hari.

 Ia menatapku. Ah, indah binar matanya. Masih bening sebening embun pagi. Andai dia tak terlahir disini, kolong langit yang sering mempersembahkan hujan mengguyur, mengigilkan badan, panas matahari yang terik, dan asap menyesakan dada. Mata indah itu pasti akan sangat dikagumi. Aku mengangguk. Ada harapan untuk sore nanti.

**

 Tiga puluh menit lagi. Kulihat jam di toko tempat biasanya aku meminta harta karunku. Tapi ternyata hari ini harta karunku tak aku jumpai. Hanya senyum ganjil yang aku terima dari si empunya toko. Dia tak pernah bicara sepatah katapun denganku. Hanya tangan dan kakinya yang bergerak seperlunya. Sungguh enak hidupnya. Hanya duduk dibelakang meja, tapi sudah mendapatkan uang. Ah, lalu bgaimana hidup orang-orang diatas sana yang berebut mendapatkan meja dibangunan yg sangat luar biasa itu. Aku tak mampu memikirkannya.

 "Ibu, kardus putihnya sedang dibagi. Ramai sekali disana. Ayo Bu, nanti ngga kebagian,"ucapnya penuh semangat. Ia menarik tanganku erat, dan aku hanya mengikutinya. Namun dihatiku juga tak kalah semangat. Perutku sudah berteriak minta diisi, tak mungkin aku abaikan. Kami berlari-lari kecil, dengan bayangan sekardus makanan lezat yang akan kami nikmati sore ini. Ah, lama sekali lidahku tak dirasai rasa-rasa sedap. Seringkali hanya aku temuai rasa hambar nasi dari beras untuk si miskin dan taburan kristal putih bernama garam.

 "Ibu, ayo, disana," Anakku menunjuk kerumunan orang-orang. Aku kenal banyak dari mereka, si Ibang pengumpul harta karun TPA, Si Sumi, musisi yang sering konser ditemani lampu merah kuning hijau, dan masih banyak lagi tetanggaku di kolong jembatan. Mereka antri dengan manis didepan seorang wanita muda yang begitu cantik dan anggun. Kulitnya putih, bajunya bagus, Senyumnya mengembang ramah. Ah, inikah malaikat itu?

 "Ibu, ayo!" Ayi menarikku mendekati kerumunan itu.

 “Tentu, ayo nak, kita bertemu dengan malaikat itu dan doakan yang terbaik untuknya,” kataku dengan senyum mengembang.

 "Ibu, maaf. Kami mau mewawancarai ibu ya," seseorang tiba-tiba mencegatku. Ia mengenakan tanda pengenal yang menggantung di lehernya. Sebuah microphone tergenggam di tangan kanannya. Dia ditemani seorang lelaki muda yang membawa benda hitam dengan ujung kaca dipundaknya, yang biasa mereka sebut kamera.

 "Ibu, pekerjaan Ibu sehari-hari sebagai apa? Bagaimana menurut Ibu dengan pembagian makanan untuk berbuka ini." Ia terus mengajukan pertanyaan yang tak aku mengerti. Untuk apa ia bertanya seperti itu? Apa ini syarat untuk mendapatkan kotak putih berisi makanan lezat itu? Aku tatap wanita muda disana, seseorang mengelap keningnya beberapa kali, ia juga dikelilingi orang-orang pembawa kamera. Cahaya-cahaya seperti kilat sering terlihat disana. Ayi berlari sendri tak sabar. Ia akhirnya berkumpul dengan mereka yang kini aku lihat mulai berebut. Apa tubuh Ayi yang kecil bisa ikut berebut. Harusnya aku membantu Ayi. Ah, sedang apa orang ini. Dia terus bertanya. Tak membiarkanku mendekati makanan lezat itu. Hingga kerumunan itu merenggang. Si wanita anggun pergi dengan mobil mewahnya. Orang itu pun turut berhenti bertanya dan meningglkanku dengan cepat-cepat.

 Mana Ayi? Apa ia berhasil dapatkan kotak putih itu? Aku lihat ia. Bajunya bertambah compang-camping, rambutnya bertambah kusut. Ia menatapku dengan air mata yang bersimbah. Tangannya kosong.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 24 May 2012

Chroma



Keluh itu bukan karena peluh
Meski telah membanjir luruh
Seperti debu yang tersepuh,
Mengahantam, menjadi grumosol, regosol, dan spodosols

Layaknya aphelium, renggang tanpa pegangan
Layaknya apparent, mundur selangkah demi selangkah
Menjauh, dari barisan yang berjajar

Memang, aral itu bukan sekedar elfata
Yang menggores kaki dan mengotorinya
Bukan sekedar lapili yang menghujani
Tapi karang dan tebing
Juga badai hurricane di garis tropis

Tapi sungguh, kita bukan asteroid tanpa jalur
Bukan meteor yang terkikis saat jatuh,
Bukan pluto, tanpa induk
Bukan premeval yang melayang menjauhi matahari.
Tapi sungguh, jalan ini berujung tanpa jerih,
Bersemai manis, serangkai kamboja, semerbak pada kasturi.

Lalu, tak bisakah kita kembali sedekat layaknya perihelium
Dengan chroma yang berpijar meski berbeda
Bukan fault yang terpisah dan tercacah
Merangkai jemari dan melangkah
Pada satu ikatan ukhuwah
Kembali menjadi perca-perca Jundullah.




Zii Mujiku Hibiniu
24 Mei 2012
Ruang kuliah 214
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 23 May 2012

Dinding

Dinding -Dinding
Kita selalu berbicara disini. Berfikir luas, mengembara jauh tentang dunia kita, mengkritik, menghujat, dan bahkan mencaci. Ketidak puasan itu terluncur pasti, dan seperti tanpa aling-aling lagi, kita menuntut mereka. Luar biasa, bukan main, betapa beraninya kita. Ya, kita, karena aku pun bergabung bersama kalian disini. Hati yang bergejolak menentang penindasan dan ketidak adilan, hati yang sedih menatap perut-perut membuncit karena busung lapar, mata-mata yang nanar menatap mayat-mayat hancur berantakan, namun hati ini pun slalu bertanya, kapan kita buka pintu itu, dan kita berteriak lantang di luar? Kapan kita bergerak melawan ketidak adilan? Kapan kita kumandangkan perang pada mereka sang penjahat?
Selalu, yang aku temui kosong. Dinding-dinding kelas seperti sebuah batas pemikiran kita. Dinding-dinding kelas seperti pemisah antara jiwa kita yang radikal, peduli, berani, dan tangkas, dan jiwa kita yang masa bodoh, apatis, dan terlalu penurut pada keadaan.
Tentu, ingin aku usung idiologi kalian yang hebat keluar dari kungkuman ruang bernama kelas. Tentu ingin aku robohkan dinding-dinding batas sehingga kita tak lagi perlu menjadi orang lain. Aku ingin kita bergerak, mencabik-cabik mereka yang telah mengoyak-koyak tubuh ibu pertiwi dengan rakusnya. Kita berjalan, membawa spanduk-spanduk keadilan, kita teriakan, kita kumandangkan, kita kibarkan bendera perang pada mereka yang memenjara kita dengan dinding-dinding peradaban buatan tangan mereka.
Aku ingiiiiinnnnn sekali kawan. Tidak hanya berdemo dipinggir jalan, atau memutari kota dengan seribu tuntutan. Tapi kita benar-benar bertindak. Bukan menuntut, tapi kita yang melakukannya sendiri. Aku inngiiiiiiiin sekali kawan, kita sama-sama berjalan, menyusuri jalan-jalan terjal, menghampiri mereka yang membutuhkan, mendengar suara mereka, bukan sok tau dan menganggap kita sudah sangat paham. Aku ingiiiiiin sekali kawan.
Tapi akhirnya aku harus kembali pada kenyataan. Anganku yang melambung harus kembali pada raganya yang masih duduk manis di dalam kelas. Kosong dan kecewa karena aku hanya bisa diam, dan kita hanya bisa bicara.

#Ayo lakukan perubahan Kawan!!!!

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 10 May 2012

Hujan yang Melengkung


Masih ingat tentang hasil wawancara Justin Bieber yang gue baca di http://id.omg.yahoo.com/news/justin-bieber-sebut-indonesia-sebagai-negeri-antah-berantah.html. Mungkin setelah ini, gue juga bakalan di hujat sama fansnya Justin Bieber mengenai hal ini. (hah, mana gue peduli).Bukan mengenai negeri antah berantah , tapi mengenai perkatan Justin "Kata 'think' itu menggunakan 'th', bukan 'f',".
Gue emang bukan orang yang pinter pake bahasa Inggris, karena ngga mahir itulah gue jadi enggan. Knapa? Lidah gue sering kesleo kalau ngomong bahasa inggris, belum lagi kalo di ketawain sama mereka yang ndengerin. Mendingan ngga usah ngomong. Hahaha, sebenarnya itu pun gue ngga peduli.

Lagi pula kenapa harus bahasa Inggris? Kenapa ngga pake bahasa Indonesia aja? Kenapa harus berkiblat pada bahasa yang ngga tau juntrung dan asal muasalnya. Bahasa Indonesia itu keren loh. Ngga Tau? (meski masih kerenan bahasa Jawa sih, juga bahasa daerah-daerah lain yang penuh dengan keunikan dan seni tersendiri).

Gue sendiri bukan ahli bahasa. Jurusan gue Geografi man!! Tapi gue pengen berfikir kritis layaknya profesor. Gue cuma seorang Mahasiswi tingkat rendah yang ngga tau apa-apa tentang dunia luar. Kita bandingkan saja antara bahasa Inggris dan bahasa nenek moyang kita yang harus kita junjung tinggi-tinggi dan kita gunakan sehari-hari (jangan malah sok-sokan pake bahasa Inggris)

Contohnya saja yang mirip-mirip nama gue, pelangi. Pelangi, bahasa inggrisnya apa? Rainbow. Rain, hujan, bow, melengkung. Hujan yang melengkung. Apakah hujan bisa melengkung? Lagi pula ngga kreatif banget karena menjiplak dari kata lain. Rain dan BOw. Sedangkan bahasa Indonesia itu kreatif, dengan memberi nama lain pada hal yang baru. Nenek moyang kita itu pinter-pinter dan pemikir kelas berat. Maka munculah kata pelangi untuk warna yang berwarna-warni setelah hujan reda yang melengkung indah di langit yang cerah. Hahaha....

Satu lagi, Bahasa Inggris itu ngga konsisten. Really!!! Coba deh, cari di kamus, atau buku bacaan apa saja yang ada bau English di dalamnya. Lu akan nemuin kata-kata yang ngga konsisten, dari segi pengucapan. Misal nih, Kenapa dalam bahasa Inggris Cat, C-A-T, diucapkan Kat, K-A-T??? Lalu guna huruf C itu untuk apa? Apa untuk memperindah. Jadi gue mulai berfikir, sebenarnya bahasa inggris itu hanya memiliki sedikit kosakata, sehingga untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain, ya pake perbedaan pengucapan. Wah, beda sekali dengan bahasa Indonesia. K ya di ucapkan K, C ya di ucapkan C, begitupun dengan Z, th ya tetep th, so ngga perlu ada perdebatan antara th di baca th atau f. ckckckc, bener-bener kreatif nenek moyang kita sehingga membuat kosakata yang beraneka ragam.

Sebenarnya, bukan karena keberatan menggunakan bahasa Inggris, tapi gue pengen menghimbau aja (ceila, bahasanya, kaya udah jadi presiden aja, "saya menghimbau kepada segenap masyarakat indonesia dan bla bla bla' hahaha) bahwa bahasa Indonesia itu ngga kalah keren dengan bahasa-bahasa lain, terutama bahasa Inggris, so, kenapa harus berusaha beringgris-inggris ria, kalau kita memiliki bahasa yang super duper keren. Berbahasa Inggris boleh, tapi pada tempat dan situasi yang tepat. Ngga melulu harus bahasa Inggris, sampe-sampe yang sebenernya hanya bisa ngomong yes no, sok-sokan pake bahasa Inggris. Aneh bukan? Niatnya sih biar di bilang keren, tapi nyatanya, bikin wajah mupeng alias muka pengen ketawa.hehehe

Kita negeri yang bermartabat guys, so tunjukan martabat kita pada dunia. Kalo aku sih, sangat setuju dengan negeri Prancis yang tetep keukeuh mempertahankan bahasanya. Ngga ada salahnya kalau kita ikuti langkah mereka. Gunakan bahasa Indonesia. Takut dikucilkan dan sebagainya? Kalo aku sih lebih takut azab Allah (apa coba hubungannya? Ya dihubung-hubungin aja, iya ngga coy...Hahahaha), dan gue amat sangat sekali mendukung Bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional. Kesempatannya besar loh, coba di hitung seluruh penduduk Indonesia, dan juga penduduk Indonesia yang ada di luar negeri. Hampir seluruh penduduk Indonesia tersebar di seluruh dunia dengan jumlah yang besar.
So, ayo perjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional. dan tentu, gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar ya...hehehe
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tuesday, 8 May 2012

At Taman Pancasila

Habis baca buku keren langsung pengen nulis. Keren, meski sepertinya ngga best seller. Tapi itu bukan acuan untuk menyatakan kualitas buku kan. Ah, mungkin hanya sebagian yang tau. Atau hanya malah hanya aku yang tahu buku itu ada? Ya ngga lah. Masa buku itu cuma di cetak satu eksemplar aja. (Jadi ingat antologiku yang baru dicetak 2 eksemplar. Kabarnya sekarang gimana ya? Jangan-janang tulisanku udah di garis merah semua. Wa...bahaya, siaga 14.)
Akhirnya aku punya kesempatan nulis juga, setelah berhari-hari lalu, dikalahkan dengan game online (ya ampun aku sudah adicted..huwaaaa..), Alhamdulillah, Allah menyelamatkanku. Aku ngga bisa buka FB. Tapi diambil ibrohnya saja. Jadi bisa nulis blog kan. Ya, setelah sekian lama blognya ngga disambangi. (ih, semutnya nakal. Nggodain aku mulu..(bukan semut di game, tapi semut beneran, la wong posisi nulisnya lagi di bawah pohon kelengkeng yang ngga pernah kelihatan kelengkengannya. Katanya sudah sepuh)).
Back to the book. Sebenarnya bukan bukunya yang hendak aku bahas. Tapi, efek samping setelah nuklis itu buku. Jadi rasa-rasanya langsung pengen nulis. Kayaknya gampang banget gitu loh. Mulus seperti tol tanpa hambatan yang berarti (paling kambing yang lagi pada bejemur, mirip bule-bule gitu) Ya, mudah banget kayanya, masih kayaknya karena aku belum praktek langsung. penasaran sama bukunya? Hubungi saya di nomor 087xxxxxxxxx, hahahahaha.
Dari buku itu, bisa diambil kesimpulan bahwa seorang penulis haruslah memiliki mata dewa. harus mampu melihat hal sekecil apapun yang akan di kembangkan oleh imajinasinya. Sayangnya memang tak mudah menemukan/ memiliki mata dewa itu (itu pendapatku sendiri). Perlu kepekaan tersendiri pada kehidupan sekitar. Ya, saya setuju dengan hal itu. Seorang penulis harus mampu melihat berbagai sudut pandang dari satu peristiwa, sesederhana apapun peristiwa tersebut. Misalnya aja nih, coz aku lagi ditaman, ehm, kita lihat aja di sekitar. Ada seorang mahasiswa duduk sendirian di tengah-tengah taman. Tangannya memegang laptop tapi matanya menerawang. Ah, siapa yang peduli dengan kejadian itu. Tapi bagi seorang penulis, hal itu bisa menjadi sebuah inspirasi. Kita kembangkan, kenapa mahasswa itu bisa termenung padahal di tangannya ada laptope yang sedang menyala. Apakah dia lapar, apakah ia tengah memikirkan tugasnya yang belum kelar, atau bahkan tengah merasai perutnya yang terasa nyeri karena pengen kebelakang. Atau yang lebih romantis, dia tengah teringat pada seseorang disana. Entah dimana. Itu silahkan di kembangkan, bagi kamu-kamu yang pengen jadi penulis cerpen. Atau bahkan novel. Hanya dari melihat seorang mahasiswi yang tengah termenung kita bisa mengembangkan banyak cerita. (katanya sih begitu)
Pengen tau apa bukunya? dan kenapa aku sampai betah bacanya?
lihat aja di toko buku terdekat. banyak sebenarnya buku-buku bagus tentang menulis. Tapi kita sungguh enggan meluangkan waktu dan tentu doku untuk hal yang satu ini. Ya buku. Kita (karena gue juga termasuk brow..heheh) seringkali memilih membeli pulsa yang akan seketika habis, daripada buku yang seumur hidup pun bisa utuh. Asal pinter ngrawatnya aja. Jadinya? Kita jadi buta akan dunia, sedangkan pengeluaran pulsa membengkak dan memperkaya mereka (pemilik penyedia layanan pulsa,hehehe). Seorang guru pernah berkata, musuh utama penulis adalah pulsa. Hems, iya ya...
Hah, sudah adzan dzhuhur. Saatnya sholat dulu Sob. Mungkin besok, kalo FBnya ngga bisa kebuka lagi bisa disambung lagi, mungkin dengan menu yang berbeda, aturan berbeda dan nuansa yang berbeda.
Assalamu'alaykum...(tadi ngga di buka dengan salam ya...hahahaha)



Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday, 23 April 2012

Dari Kotak Sampah Masa Lalu


"Belagu kamu. Kerja mash lelet kaya keong aja udah berani ga masuk. Knapa kamu ga
masuk??" tanyanya, lebih tepatnya bentaknya, tiba-tiba di hadapanku.
Dengan tenang aku jawab,"Sakit, Pak!"
"Sakit?? Sakit apa kamu??"
Masih dengan tenang aku jawab,"Demam,pak."
"Demam panggung? Hebat kamu. Demam sehari sudah sembuh. Kurang lama kamu liburnya??" tanyanya, ah tidak, tepatny, bentaknya lagi. Sekarang semua mata sepertinya tertuju padaku.
"Sudah dari Sabtu, Pak." Aku mulai gemetar.
Huuh, knapa pula harus gemetar. Dia ini! Tapi tanganku tetap saja gmetar, meski sbenarnya perasaanku biasa saja. Bukankah dia sudah sering seperti ini? Hanya risih berhadapan dengan manusia seperti dia.
"Mau mati kamu?? Kalo kamu udah ga bisa jalan, baru ga masuk. Demam saja ko absen!!" bentaknya lagi yang membuat emosiku memuncak.
“Eh, kamu siapa? Aku disini bukan budak yang bisa diperlakukan begitu saja. Aku bukan robot yang bisa kamu kendalikan sesuka hatimu tanpa merasa lelah.” Tapi sayangnya kata-kata itu hanya bisa tersendat di tenggrokanku. Aku tau saat ini posisiku dimana. Aku hanya seorang buruh rendahan, dan dia seorang manager yang memiliki kekuasaan. Bisa saja ia mengadukanku pada atasannya, dan bukan mustahil jika aku kehilangan pekerjaan ini. Aku hanya bisa diam. Kembali menekuri pekerjaanku, meski bening kristal sepertinya hendak menetes dan kaki yang lemas karena lelahnya berdiri.
Ah, cerita lama, sepotong episode yang telah terlanjur terukir dalam hidupku yang panjang (sudah dua puluh tahun loh..:D). Sungguh saat-saat yang paling pahit dalam kehidupanku. Tapi ini bukan lagi cerita duka, kini cerita itu adalah cerita faforitku ketika aku tengah terpekur pada keputus asaan. Itu hanya sepenggal kisah laluku ketika sebuah harapan tak mampu menjadi kenyataan begitu saja.
Hems, mungkin sebagian besar dari kalian mengalami kehidupan yang cukup mulus, bahkan mungkin semulus jalan tol. Jikapun ada batu sandungan, batu itu bisa tersingkirkan dengan mudah. Tapi bagi sebagian orang lain, batu itu tak hanya sebagai batu sandungan, namun karang penghalang yang sangat kuat dan tak sedikit yang berbalik dan pergi. Ya, mereka memilih memutar arah dan menyerah. Tapi aku tidak ingin menjadi bagian orang kebanyakan itu. Aku tidak ingin menyerah ditengah keterbatasan, ditengah halangan, dan mungkin rintangan. Jalan Allah akan selalu ada.
Ya, kisah itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu ( baru dua tahun sih). Ketika itu, suatu malam yang gelap, dingin dan bintang yang malu-malu mengintip dari tebalnya malam. Tapi sayangnya aku tak bisa menikmati mereka. Aku terpaksa berdiri di bawah sebuah bangunan dengan dunia luar yang mulai tertidur karena telah larut. Ya, aku berdiri menghadap sebuah meja dan beberapa peralatan kerjaku, dengan tangan yang tak pernah berhenti meski mata sejak beberapa jam lalu tak bisa lagi diajak kompromi.
Bangunan itu adalah sebuah pabrik elektronik. Bangunan kokoh diantara bangunan-bangunan kokoh lain di tengah-tengah kawasan industri ibu kota. Disitulah tempatku bekerja hampir 9 bulan (10 hari lagi lahiran loh..:P). Siang dan malam tergantung sift yang aku dapat. Jika kebagian sift siang, jam 6 pagi aku harus stay di pinggir jalan menunggu jemputan pabrik, setelah sepuluh jam bekerja (jika tidak lembur, dan jika lembur di tambah dua jam lagi, dan sayangnya seringkali kita tidak bisa menawar jam lembur. Hal itu seperti sudah keharusan), jemputan itu akan mengantarkan kembali ke tempat dimana ia menjemput kita. Pukul 8 malam biasanya aku sampai di kontrakan. Kemudian, apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi tubuh yang telah lelah karena sesiangan bekerja dengan posisi berdiri dan tangan yang tak pernah berhenti? Tubuh itu tak jarang hanya mampu terkapar di kasur tipis. Beristirahat, mengumpulkan kembali tenaga, untuk kembali berjuang esok pagi.
Jika kebagian sift malam, sehabis sholat magrib aku harus stay di pinggir jalan. Menunggu jemputan yang biasanya telah penuh sesak. Menunggu macet yang tak kunjung lenggang, dan kembali bekerja, berdiri dengan tangan yang tak berhenti memproses berbagai material elektronik. Meski jika sift malam hanya 8 jam kerja, namun sungguh, sift malam bukanlah sift yang mudah. Kita harus menjaga agar mata tetap terjaga, kita harus menjaga naluri untuk tidur, dan menjaga agar pekerjaan kita tetap benar (kopi sudah tidak mempan). Jam 7 pagi, bus jemputan itu kembali mengantarkanku ke tempat semula. Aku kembali ke kontrakan dengan aktifitas siang yang sebagian besar aku gunakan untuk mengumpulkan energi agar tetap terjaga dimalam hari. Jika bos sedang “berbaik hati” mereka akan mewajibkan bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Memang hasilnya cukup lumayan, tapi seorang buruh akan benar-benar bekerja tujuh hari dalam satu minggu.
Itulah rutinitasku selama 9 bulan itu. Bekerja siang dan malam mengabaikan pembagian hari. Siang untuk bekerja, malam untuk beristirahat. Hal itu tidak ada. Kesenangan- kesenangan lai pun terabaikan, misalnya saja kesenanganku menulis benar-benar aku tinggalkan. Aku sangat jarang menyentuh pena dan kertas. Sangat jarang berjalan-jalan, sangat jarang membaca, sangat jarang berdiskusi, sangat jarang naik gunung (tidak pernah). Tujuh hari dalam seminggu benar-benar digunakan untuk bekerja.
Aku bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang melakukan hal tersebut tentunya. Aku memiliki teman yang senasib. Lulus SMA, langsung melamar kerja. Bekerja tujuh hari dalam seminggu demi cita-cita di kemudian hari. Ya, beberapa dari teman-temanku juga memiliki impian yang sama. Kami hanya bekerja disini sementara. Jika uang telah mencukupi, kami akan kembali mengejar mimpi kami. Mimpi kami bukanlah disini, tentu. Kami ingin melanjutkan kuliah, menjadi mahasiswa berprestasi, kuliah di luar negeri, mendapat pekerjaan yang mendapatkan jatah kursi untuk kami duduk. Aku sedikit demi sedikit berhasil. Aku meninggalkan pabrik itu setelah sembilan bulan bekerja dan melanjutkan mimpiku, menjadi mahasiswa yang semoga dapat berprestasi, berharap menjadi guru yang menginspirasi, dan jikalau dapat menjadi penulis yang memotivasi. Tapi tidak untuk mereka. Teman-teman yang aku kenal selama sembilan bulan. Teman-teman yang menghiburku ketika aku mendapatkan makian dari atasan, teman-teman yang menemaniku bergadang, teman-teman yang membersamaiku berdiri dengan kaki pegal.
Sebagian dari mereka kini masih bekerja. Ada beberapa yang bekerja di tempat yang sama, ada beberapa yang pindah namun dengan tipe pekerjaan yanng hampir sama, dan ada sebagian dari mereka yang menikah dan menjadi ibu rumah tangga, menunggu suami yang juga bekerja sebagai buruh sebuah pabrik, dan hanya segelintir orang saja yang menyusulku menapaki bangku kuliah setelah satu tahun mereka aku tinggalkan.
Aku memang bukan Tuhan yang tahu segala, tapi sungguh, kalian yang memiliki jalan mulus seperti jalan tol. Kalian yang tidak perlu memikirkan biaya untuk kuliah, kalian yang tidak perlu memikirkan biaya untuk membeli pulsa, kalian yang tidak perlu memikirkan biaya untuk makan sehari-hari, karena orang tua kalian telah menyediakan segala, sungguh kalian akan membuat kami kecewa, buruh-buruh yang mengubur mimpi-mimpi masa depan, jika kalian berleha-leha, menerima segalanya dengan pikiran masa bodoh, membiarkan waktu-waktu terbuang percuma, meratapi nasib yang sebenarnya tak seberapa, meneriaki dunia karena keputus asaan kalian, membenci dunia karena putus cinta, dan membiarkan ‘mereka’ merenggut milik kita, sungguh kami kecewa.
Kalian adalah wujud-wujud mimpi kami, jika kami tidak bisa menjadi kalian, biarlah kalian yang menjadi diri kalian sendiri. Menjadi penerus bangsa yang bisa memperjuangkan nasib rakyatnya, memperjuangkan nasib buruh-buruhnya, memperjuangkan pendidikan untuk semua, dan yang terpenting menjadikan negri kaya ini menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Tugas itu kami serahkan pada kalian yang memiliki kesempatan, maka, bangunlah dari sekarang, pedulilah pada kami buruh-buruh mlarat yang mengubur mimpi dalam-dalam, pedulilah pada masa depan kalian. Jangan menyerah hanya karena masalah kalian, jangan berputus asa hanya karena satu masalah.

“...sesungguhnya Aku dekat...” (Q.S. Al Baqarah: 186)


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tuesday, 10 April 2012

Pertanyaan-Pertanyaan Ngga Penting Gueh



Kenapa kalo di sinetron-sinetron, orang tanda ketika seorang aktor atau aktris kena penyakit kangker rambutnya pada rontok? Padahal rambut rontok kan karena di kemoterapi. Kalo ngga di kemo ya ngga rontok. Kenapa bisa begitu? Apakah itu sebuah pembodohan? Lalu ketika rambut kita banyak yang rontok, terus bilang, jangan-jangan aku kena kangker. Panik, gigit jari, nangis-nangis sendiri di kamar, guling-guling ngga karu-karuan, jadi pendiem, menarik diri dari peredaran kaya majalah yang udah bangkrut atau artis yang kena skandal. Ujung-ujungnya bikin status geje di FB.. “Pren, maapin yeah kalo selama ini gueh ada salah,” terus ntar ada yang koment, “lebaran masih lama coy, ngapain maap-maapan sekarang?” Terus ada yang ngga nyambung lagi, “eah, gueh maapin, tapi beliin coklat dulu ya..xixixixi,” Becous si empunya status ikut geng jempol, jempol bertubi-tubi pun menghampiri statusnya. Pada seneng ya kalo temennya mau mati? (meski hanya dugaan)
Ini yang salah yang bikin status atau yang komen? Yang bikin status, padahal dulunya metal abis, status-statusnya penuh dengan makian, entah pada dunia, pada anjing yang lewat, atau pada burung-burung yang terbang tanpa dosa (kasian tuh burung), baru nyadar kalo udah mau mati (padahal hanya dugaan, kasian...) Yang bikin status, aneh, yang koment, tambah aneh. Emang kite maap-maapan cuma lebaran doang? Dikiranya dosa bisa dirapel dalam satu hari yaitu lebaran. Kaya gaji aja rapelan. Ckckckck, anak muda jaman sekarang. Untung gue mudanya jaman dahulu..hahahahaha..
Tapi ada baiknya juga sih, paling tidak meski hanya sementara, si empunya status bersikap ‘baik’. Sementara, karena nanti dua atau tiga hari lagi di juga paham, kalo paham, tanda-tanda kena penyakit kangker itu bukan dengan rambut rontok. Kali aja si empunya malas kramas, jadi rambutnya pada lari, males dengan baunya sendiri. ckckckc
Kenapa sih, kita sering kali hanya menjadi pengikut sebuah trend? Coba, trend apa yang kita tidak ikuti? Dari yang mulai boysband ala Korea, hingga chaya-chaya ala India. Ngga Cuma lagunya, gaya-gayanya juga. Mulai gaya fasion, bicara, sampe mungkin cara duduk cowok-cowok Korea yang bagi gue ngga banget.
Sebuah status mampir di beranda Gue, “Hari ini jalan bareng oppa liat pesawat ulang-aling. Baju kita kembaran loh, couple gitu. Lucu deh warna pinknya, Saranghai Oppa..” Herannya, jempolnya banyak banget. Mungkin dia juga anggota Genk Jempol. Gue sebenernya pengen koment, “Lu jalan ama kakek lu? Keren dong kakek-kakek pake baju pink, kembaran lagi. Sungguh cucu yang berbakti.”
Tapi, karena alasan etika dan tidak mau mencari perkara, gue biarin aja. Sambil menjadi pengamat, akhirnya gue ketemu juga sama yang namanya Oppa. Dia muncul sebagai komentator pertama. “Aku juga seneng Unni, besok lagi ya. Eh, tapi pake baju yang warna ungu ya..Saranghai juga.:*.” Kalian kakak beradik yang kompak.. Uni itu kakak kan? Ternyata yang namanya Oppa itu namanya Sami’un dari desa sebelah.
Ada-ada sahaja. Bener-bener ngga penting untuk diurusin. Tapi kenapa kita sok mengurusi hal-hal besar ketika hal-hal kecil yang sejatinya mengikis sedikit demi sedikit kepribadian kita dibiarkan begitu saja.
A
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com