Wednesday, 28 September 2016

Tua dan Hidup yang Mulus



“Karena hidup tidak selalu mulus,” ucap C ketika senja menyapa kota Yogya hari ini.   Bukannya tanpa sebab, ia mengucapkan kalimat itu seraya mengusap botol minumannya yang masih baru. Beberapa menit sebelumnya botol itu jatuh dari motor, meninggalkan baret-baret di badan botol.
Aku menatapnya geli. Bisa saja dia mendapatkan kalimat filsafah kehidupan tersebut hanya dari baret di botol minumannya. Namun sejurus kemudian wajahku ikut serius. Bahkan ketika kami melaju membelah jalanan Yogya. Aku merenungkannya, merenungkan kalimatnya dengan seksama.
Sejak malam sebelumnya aku telah mengagendakan beberapa hal dihari ini. Pergi kesana, ketemu dengan B, mengunjungi event ini, dan beberapa hal lain. Namun apa daya, pagi-pagi ketika aku hendak meninggalkan asrama, motor yang aku kendarai tak mau bekerja sama. Remnya rusak. Roda belakang tidak mau berputar. Beruntungnya aku masih berada di halaman asrama. Aku masih bisa meminjam motor teman satu asrama. Namun, tentu banyak hal yang berjalan mulus sesuai rencana karena aku tidak bisa meminjam motor itu seharian.
Hidup tidak selalu berjalan mulus. Pun dengan rencana-rencana besar yang telah tersusun bertahun-tahun lalu. Bisa jadi, hari ini rencana itu gagal, batal, tertunda, atau yang lain. Namun seyogyanya, meski kehidupan yang tak berjalan mulus itu tak menyurutkan semangat. Semangat untuk meneruskan mimpi. Jika mimpi yang satu tak terwujud, masih ada mimpi lain yang bisa diwujudkan.
‘Kehidupan yang tidak mulus’ku hari ini sebenarnya memberikan satu pelajaran lagi. Meski usia telah menua, bukan berarti kalah, dan mengalah pada kerentaan tubuh, dan kekuatan yang perlahan sirna. Aku dapatkan pelajaran ini dari seorang bapak tua, pensiunan PNS berusia 70 tahun yang menjadi teman perjalananku di Trans Jogja.
Tubuhnya ringkih, nafasnya pendek-pendek. Namun ia tak berdiam, dan membiarkan semua itu mengalahkannya. Gurat-gurat usia tua jelas tergambar di wajahnya, namun semangat muda seakan membara keluar dari jiwanya.
 Ia bekerja di sebuah univ swasta di Jogja. Berawal dari  permintaan bantuan dari temannya, ia membiarkan dirinya berangkat pagi dan pulang magrib, melupakan usianya yang sudah tak lagi senja. Membiarkan tubuhnya berdesakan dengan penumpang trans jogja lain setiap harinya. Beruntung jika mendapatkan tempat duduk, jika tidak kakinya yang lemah menopang tubuhya meski beratnya tak seberapa. Namun ia menikmatinya. “Daripada melamun dirumah, lebih baik berguna di luar,” begitu katanya.
Ah, tentu hidupnya tak mulus, seperti kulitnya yang mengeriput. Namun, optimistis tetap terpancar di matanya dan nada suaranya.

Tua. Memang bukan sebuah hal yang mutlak, karena maut bisa jadi penghalangnya. Namun jika bisa menjadi tua, mungkinkan bisa tetap memiliki semangat yang sama ketika masih muda meski jalan hidup tak selalu mulus? Semoga.  
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Dengar, Penampilan Bisa Saja Menipumu

Itulah yang membuat saya jarang menyimpulkan penilaian terhadap seseorang. Bagaimana sebenarnya orang yang saya hadapi, sifatnya, perangainya, dan lain hal. Pun kamu, yang mungkin sudah sangat lama saya kenal. Karena manusia punya rahasia-rahasia yang tak nampak atau ditampakan.
Saya masih ingat ketika Diah, dalam pernyataanya, “Penampilan Muji yang demikian akan menipumu. Ketika ia menemukan jalan dan sepeda motor, kau tidak akan menduganya sama sekali.” Ia mengatakan hal demikian setelah kami bersama-sama melakukan perjalanan Bali-Lombok dengan sepeda motor.
Pun saya masih ingat ketika Mas Angga menegaskan berkali-kali,”Kamu sudah pernah naik gunung, Ji? Beneran?” Ah, Mas Angga. Bukan lagi pernah, tapi sudah berkali-kali. Gunung di Jawa tengah sudah saya taklukan semua. Sungguh.
Dan yang terakhir, kemarin ketika saya menghadiri pernikahan seorang teman di Boyolali. Ketika saya sampai di rumah mempelai wanita, pertanyaanini menyambut saya,"Beneran sendiri? Kamu berani?”

Memangnya kenapa jika saya mengendarai motor dari Jogja ke Boyolali dengan sepeda motor sendiri? Tak nampakah bahwa saya adalah gadis yan berani-dan mungkin mandiri-? Toh hanya dekat. Dua minggu sekali saya pulang ke Kebumen, yang jaraknya dua kali lipat ke Boyolali, sendiri. Ya, mereka tidak tau itu saja.
Banyak hal yang tidak kita tahu tentang diri seseorang. Dan saya terus belajar tentang ini. Inilah yang membuat saya belajar tidak mengambil kesimpulan akhir. Pun ketika seseorang melakukan perbuatan yang sangat tidak menyenangkan kepada saya. Jika dia perempuan, ah mungkin sedang masa senitifnya. Atau jika lelaki, mungkin dia sedang banyak sekali masalah. Tentu sakit hati, namun dengan pemikiran-pemikiran itu akan mengurangi rasa sakit hati dan tentunya menghilangkan kebencian.
Saya tidak tau, apakah seseorang akan memiliki perangai yang mutlak atau tidak. Oh, hanya Allah yang memiliki hati manusia. Dia dengan mudah merubah hati makluk. Jika sekarang dia cinta, mungkin suatu hari dia benci. Dan, sayangnya ini selalu membuat saya berfikir ‘suatu hari hatinya akan berubah, dan berubah pula keniatannya.’ Hal ini berujung, saya tak pernah mempercayai perasaan mereka.

Semua bisa berubah. Semua memiliki kemungkinan untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dan tak akan pernah ada kesimpulan akhir kecuali Zat-Nya dan KeagunganNya.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday, 5 June 2016

Ramadhan di Kota Elantris

Masyaallah, sudah bulan Ramadhan. Alhamdulillah masih dipertemukan dengan bulan mulia ini. By te way, sudah menyiapkan apa saja untuk menyambut bulan Ramadhan?
Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah novel yang cukup menarik. Elantris, karya Brandon Sanderson. Sebuah novel fantasy yang berlatarkan kota antah berantah. Saya katakan menarik karena ketika membacanya saya teringat akan bulan Ramadhan. Yah, meski sebenarnya saya tidak merekomendasikan buku ini, baik anak-anak maupun orang dewasa Karena, hai buku yang lebih kaya ilmu dan pengetahuan masih banyak di luar sana. Namun jika hanya untuk selingan saya pikir tak apa. Ingat ya, selingan. Tapi jika anak-anak yang membacanya harus dengan pengawasan orng tua ya. Beruntung saya bukan lagi anak-anak.

Jadi, apa hubungannya novel Elantris dengan Ramadhan?
Sebelum mejelaskan lebih lanjut, saya akan sedikit membocorkan isi buku ini. Buku setebal 544 halaman ini diawali dengan cerita sebuah kota bernama Elantris, sebuah kota para dewa karena penghuninya, para elantrian adalah makluk yang dipercaya abadi, atau kurang lebih demikian. Tubuh mereka mudah sembuh jika terluka atau sakit. Mereka juga dikaruniai kekuatan, pengetahuan dan kecepatan luar biasa. Mereka dapat mengeluarkan sihir hanya dengan menggerakan tangan mereka. Yang lebih seru lagi, semua orang bisa menjadi elantrian. Tapi bukan dengan mencalonkan diri seperti pemilu, sekolah tinggi, apalagi main suap. Tidak. Sebab mereka menjadi elantrian dengan cara sangat misterius. Tidak ada yang menduga.
Pengemis, pengrajin, bangsawan maupun prajurit bisa saja di malam-malam misterius mengalami shaod. Shaod adalah istilah dari transformasi manusia biasa mejadi elantrian. Setelah shaod terjadi, kehidupan baru orang terpilih itu dimulai. Dia akan meninggalkan kehidupan duniawinya.
Buku ini tidak menceritakan kejayaan Elantris namun tentang kota Elantris pasca keruntuhan. Shaod yang terjadi pasca keruntuhan sangat bertolak belakang. Elantrian tidak lagi menjadi dewa namun menjadi monster. Kulit mereka dipenuhi noda-noda hitam menjijikan mirip memar gelap, rambut rontok drastis, dan kulit nampak menua. Keriput mendadak. Mereka kemudian tidak lagi di elu-elukan sebagai dewa, namun sebagai orang buangan. Mereka dibuang ke kota elantris yang telah hancur, kumuh, penuh dengan kotoran dan berbahaya.
Meski mereka tak lagi membutuhkan makanan untuk hidup, namun rasa lapar terus medera mereka. Apalagi bagi mereka yang tak lagi memiliki tujuan teguh. Bahkan rasa lapar itu mengendalikan mereka menjadi makhluk barbar dan irasional. Apapun mereka lakukan untuk bisa makan. Akhirnya pada suatu titik mereka akan mengalami hoed. Ketika mereka kalah melawan rasa sakit dan nafsu, mereka akan kehilangan kesadaran. Hilang tujuan, kalah, terpuruk dan menderita tak berkesudahan.
Saya berfikir bahwa shaod dan elantris sama halnya dengan bulan Ramadhan. Ketika terjadi shaod para elantrian menjadi dewa. Sesiapapun dengan alasan misterius. Pun dengan Ramadhan. Sesiapa pun bisa menjadi ‘abadi’ ketika Ramadhan tiba. Ya, ketika Ramadhan, dibukakan pintu-pintu surga dimana keabadian berada. Tidak serta merta memang. Namun janji Allah itu pasti bukan? Keabadian yang indah di surga Allah.
Alasan yang misterus? Ya, misterius karena siapa yang tahu ketaqwaan seorang manusia ketika menjalani Ramadhan?
Elantris pasca keruntuhan pun mengingatkan saya tentang sifat manusia. Nafsu duniawi. Sebelum menjadi ‘abadi’, tentu banyak sekali ujiannya. Rasa lapar para elantrian bisa digambarkan sebagai nafsu manusia. Nafsu akan duniawi yang terkadang memang membutakan mata, menumpulkan hati dan memburamkan logika. Manusia bisa menjadi makhluk paling bar-bar ketika telah ditundukan oleh nafsunya. Maka ia akhirnya akan kalah, terpuruk dan menderita tak berkesudahan.
Mengutip ayat Al Qur’an surat An Nazi’at 37-39,” Maka adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh nerakalah tempat tinggalnya.”
Namun ketika seorang memiliki tujuan yang kuat, kepercayaan yang tinggi, iman yang kokoh, maka ia akan terhindarkan kekalahan akan nafsu duniawi. Di akhir cerita novel ini, seseorang yang memiliki kepercayaan tinggi, tekad yang kuat, berhasil mengembalikan kejayaan elantris. Dia terhindar dari hoed. Bahkan menyelamatkan banyak elantrian.


Jadi, mirip kan? Atau karena saya yang terlalu merindukan Ramadhan sehingga apapun saya kaitkan dengan bulan mulia ini? MasyaAllah, rindu terbayar. Semoga bisa memanfaatkan Ramadhan sebaik-baiknya hingga bisa mencapai keabadian sejati di Jannah Allah Azza wa Jalla.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 13 April 2016

Piknik Naik Motor

Sejujurnya saya bukan anak motor. Saya anak mama dan bapak saya. Namun entah kenapa saya lebih menyukai piknik naik motor dibanding moda transportasi lain. Alasannya? Ngga tau. Beneran ngga tau. Asik aja kemana-mana naik motor. Apalagi jadi supirnya alias bukan orang yang duduk di kursi penumpang. Bukan juga ngojek.
Beberapa tempat yang suda saya ‘pikniki’ dengan motor misalnya Bromo, Kawah Ijen, Bali, Lombok, Kawah Putih, Sabana Baluran dan sekitarnya,  dan tentu saja, spot-spot piknik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ya, belum terlalu banyak sih. Pengennya juga lintas Sumatera pake motor. Tapi belum kesampean. Alasannya? Belum lulus...T.T
Daaann...pengalaman luar biasa. Meski saya perempuan (asli loh), dan perginya seringnya juga sama perempuan, Alhamdulillah sejauh ini belum menjumpai yang namanya tindakan kriminalitas dijalanan. Semoga jangan pernah. Amiin. Pengalaman buruk tentu ada. Misalnya dari pelabuhan Padang Bai di Bali sampai Kuta hujan-hujananan. Atau ban gembos saat ke Bromo dan tidak ada tukang tambal ban sama sekali. Padahal jalannya nanjak. Itu tentu menjadi bumbu yang luar biasa menggurihkan perjalanan. Ingin mencoba piknik naik motor? Tunggu dulu...
Meski sejauh ini saya aman-aman saja piknik dengan motor, namun ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan sebelum menstater motor kamu.
1.      Miliki surat-surat motor dan tentu saja sim C
Pastikan kamu sudah punya SIM C. *dan pastikan juga bukan hasil nembak..hahaha. Meski terkesan formalitas saja dan hanya berlaku ketika ada pemeriksaan polisi, namun kamu ngga akan mau kan liburan kamu terganggu karena masalah tilang. Jika dekat mungkin bisa diurus, namun jika jauh? Mau nyogok oknum polisi? Jangan dehh...kamu benci korupsi namun jadi pegiat korupsi? Piknik kamu bakalan ngga asik. Bener deh..
Dan jika kamu sudah punya sim C otomatis kamu sudah berada di atas usia 17 tahun. Kenapa? Karena mayoritas kecelakaan terjadi pada pengendara motor di bawah 17 tahun. Datanya? Cari ndiri ya..:P
2.      Punya sejarah mengemudikan motor yang panjang.
Kamu baru bisa naik motor kemarin sore? Urungkan niatmu piknik pake motor. Piknik naik motor itu butuh skill yang tinggi men. *ceileh. Beneran loh. Karena kamu akan melintasi jalanan yang mungkin tidak kamau kenal sebelumnya. Bagaimana kondisinya, bagaimana keamanannya, dan bagaimana-bagaimana yang lain. Paling tidak jika kamu sudah terbiasa naik motor, kamu akan memiliki keahlian di bawah kesadaran apabila menghadapi situasi yang tidak diinginkan. Mungkin semacam insting ya..:D
3.      Periksa Kondisi Motor
Piknik naik motor itu berbahaya! Coba cek kecelakaan terbesar itu di bagian moda apa. Jawabannya motor. Kenapa? Ya, lihat saja motor. Rodanya cuma dua (apapula ini), keseimbangannya pinter-pinteran pengemudi. Belum lagi banyak pengendara motor yang mentang-mentang bisa selip sana selip sini, jadi asal-asalan naiknya. Dan yang paling sering jadi faktor utama kecelakaan adalah kondisi motor yang ngga fit. Ban gundul, rem mati, rante kendor, dll. Kalau kondisi motor ngga prima, maka mengendarainya pun jadi ngga asik.  
4.      Periksa Kondisi Tubuh
Ini nih.. Piknik naik motor itu perlu kondisi tubuh yang prima juga. Jika naik bus, kita bisa duduk leha-leha, cape, tinggal urut-urut pake balsem, kalau ngantuk tinggal tidur. Percaya saja sama sopir. Namun jika naik motor, mau ngantuk, mau cape, mau bosen, mau males, kamu ngga bisa ngapa-ngapain karena kamulah sopirnya. Pilihan satu-satunya adalah kamu harus berhenti dan istirahat. Otomatis perjalanan tertunda.
Ingat, jangan paksakan tubuh untuk mengemudi jika sudah cape dan ngantuk.
5.      Gunakan perlengkapan yang memadai
Presensi dulu ya... Helm SNI? Sepatu dan seperangkatnya? Jaket? Sarung Tangan? Masker/penutup wajah? Baju yang nyaman? Rok yang ngga nylimped di roda (bagi pengguna rok seperti saya)? Barang-barang bawaan yang tidak melebihi besarnya motor? Kacamata jika diperlukan? Jika minimal semua itu dipenuhi, yuk berangkat. Namun lebih bagus lagi jika menggunakan perlengkapan berkendara sepeda motor yang lengkap misal pelindung tulang kering kaki, jaket kulit, dll.
6.      Sadari Resiko Piknik Naik Motor
Perlu banget deh kamu sadar. :D
Piknik naik motor itu, rawan kena hujan. Jadi siapkan mantol. Piknik naik motor itu rawan motornya bermasalah dijalan, jadi tabahkan hati dan kuatkan kaki ketika harus nuntun motor. Piknik naik motor itu rawan kecelakaan, jadi berhati-hatilah. Mawas diri, kontrol emosi,. Piknik naik motor itu, ketika piknik berakhir badan kamu bisa pegel-pegel, jadi siapkan waktu untuk pija atau istirahat ekstra..:D
Dan...masih banyak lagi resikonya. Pahami ya gaes...
7.      Jangan Lupa Banyak-Banyak Berdoa
Tidak ada penjelasan..:D


Itu saja sih pesan dari saya yang bukan anak motor tapi sering piknik naik motor. Semoga bermanfaat...


Tulisan ini juga di publikasikan di 
http://kemana-mana09.blogspot.co.id/2015/08/kenapa-kamu-suka-travelling.html
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Saturday, 14 November 2015

Senja Menginspirasi Bersama Tokoh Inspiratif


 

            Senja masih seperti biasanya. Jingga masih benderang di ufuk Barat dan burung terbang menuju sarang. Namun, bagi saya senja ini tidak seperti biasanya. Ada setangkup kisah yang telah terencana.
            Ada nuansa romatis ketika saya menunggu ditepi jalan. Ada resah, gelisah, dan khawatir. Gelisah pertemuan yang ditunggu tak sampai pada pelampiasannya. Gagal. Dua puluh menit menanti membuat saya khawatir sesuatu yang diluar dugaan terjadi. Seperti rindu yang bertemu, dua sosok yang menghampiri saya menjadi pelepas segala rasa. Umi Yuni, pengasuh Pondok Rabingah Prawoto dan Mbak Rissa, senior saya sekaligus musrifah di pondok. Namun, masih ada sesosok lagi yang masih berselimut banyak tanya.
            Sebuah rumah dengan pintu tertutup menjadi penyambut. Sejenak kemudian pintu terbuka, setelah salam yang ketiga. Kami bertiga bernafas lega. Pertemuan akan menemukan ujungnya.
            Prof. Aliyah Rasyid Baswedan. Saya mencium tangan beliau takzim. Memang Rencana Tuhan luar biasa. Indah dan menakjubkan. Rencana kami hanya meminta testimoni namun RencanaNya berkata lain. Lewat beliau, Ilmu MilikNya mengalir deras. Testimoni yang kami rencanakan semenit dua menit, akhirnya berbuah kuliah singkat lebih dari setengah jam. Kuliah kehidupan, kuliah untuk peradapan dimasa yang akan datang.
            “Mahasiswa. Kedepan akan mau apa? Ketika kita sudah punya banyak hal sekarang sebagai mahasiswa. Harus kita rencanakan. Seseorang yang sudah punya rencana pasti akan lebih baik daripada yang tidak punya rencana,” kata Bu Aliyah. Kami takzim memperhatikan.
            “Bukan tentang karir saja. Namun juga sampai kita meninggal kita mau bagaimana. Harus dipikirkan dan dilakukan persiapannya. Ilmunya harus membawa kita sukses dunia dan akherat.”
            “Manfaatkan waktu sebaik-baiknya, harus banyak membaca, harus banyak bergaul, harus berorganisasi. Karena disana akan dihadapkan banyak sekali masalah. Masalah-masalah itulah sebagai bekal tahap selanjutnya,” lanjut Bu Aliyah.
            “Berikanlah kebermanfaatan untuk masyarakat. Berperanlah untuk membuat baik orang, membuat baik organisasi, membuat baik lingkungan.”
            Saya terhenyak. Saya teringat banyak hal yang telah tangan dan kaki saya lakukan. Namun, tidak banyak yang telah saya manfaatkan untuk memberikan manfaat. Mungkin sudah terlalu banyak kesia-siaan yang saya lakukan.
            Ya, saya dibelai dan ditampar dalam waktu bersamaan. Dibelai oleh kenyataan saya pernah di lingkungan terbaik dimana lulusannya diharapkan menjadi pemimpin muslimah tangguh yang akan membangun peradaban. Ditampar, karena saya belum bisa melakukan apa-apa.
            Perbincangan dengan beliau masih berlanjut. Namun pikiran saya telah terbelah.  Biarlah, saya akan kembali mendengarkan apa yang beliau sampaikan di asrama lewat file video yang saya rekam.
            Ingin saya menjadi rakus dan berlama-lama disisi beliau. Menyerap saripati ilmu yang beliau miliki. Namun Adzan magrib menjadi pertanda, pengingat bagi saya. Saya harus lebih berusaha lagi mencari serpihan-serpihan ilmuNya yang bertebaran. Ya, saya akan berusaha.
            Romantisme Jogja membersamai saya pulang. Senandung lagu Yogyakarta yang dinyanyikan band ternama seperti mengiringi, terngiang begitu saja. Nostalgia. Suatu hari, saya akan merindukan kota ini dengan segala romantisme dariNya.


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday, 29 March 2015

Neraka tak Akan Menjadi Surga, Meskipun yang Menghuninya Banyak


Keren ya fotonya, seperti penuh makna dan penghayatan. Haha....

Jika mengurainya satu demi satu, akan ada serentetan cerita menarik. Ada cerita ketika sang muda-mudi pergi berdua ke tempat wisata. Dari wajah mereka, nampaknya mereka lulus SMA pun belum. Ah, muda-mudi yang masih dibakar semangatnya, darahnya masih mendidih, pikirannya masih jernih.

Tanpa malu-malu, salah satu dari merea menyodorkan kamera pada pegunjung lain,"Bisa minta tolong difotokan?"
Kebetulan, seorang teman yang pergi bersama saya adalah pengunjung lain itu. Saya pun bisa menangkap moment ketika mereka beraksi di depan layar kamera saku mereka.

Romantis ya gayanya. Seperti pasangan yang tak pernah ada pertengkaran. Seperti pasangan yang sampai mati akan selalu bersama. Mungkin nanti ketika mereka pulang kerumah, mereka akan segera meng-upload foto mereka ke media sosial. Bahkan menjadikn foto itu sebagai profile picture mereka. Pasti bikin iri mereka-mereka yang belum berpasangan. Seperti saya dan teman saya?? :D

Ya, itu cerita yang lain. Saya dan teman saya yang langsung berpandangan ketika mereka meminta tolong untuk difotokan. Arti dari pandangan itu, biar hanya kami yang tahu..haha..

Cerita terakhir adalah cerita saya, cerita yang mengalir di ranting-ranting pohon beringin yang saya miliki. Tak hanya si muda-mudi yang mengunjungi tempat wisata itu dengan berdua, dengan ikatan “sepasang kekasih”. Ada banyak. Saya tak sempat menghitung, tapi diam-diam terkadang melirik kearah mereka, jika menemukan mereka duduk dipojokan. Hahaha.. beruntunglah tak melihat apa-apa kecuali tatapan yang saya artikan “Apa sih mba, liat-liat.”

Pacaran. Begitu mereka menyebutnya. Siapa pula yang tak  mengerti istilah ini. Bahkan sampa-sampai jika muda-mudi ta menjalaninya dianggap “tidak kekinian”. Tidak mengikuti perkembangan jaman. Bahkan yang paling aneh itu, jika ada yang mengatakan “saya ngga pacaran” kening langsung berkerut.

“Kamu masih normal kan?”
“Kamu ngga lesbi kan?”
“Kamu masih suka cowok kan?

Aduh.

Pacaran, istilah yang meluncur hebat, yang akhirnya bagaikan berada dialiran darah masyarakat. Ingin sekali saya mencari tahu sejarah penggunaan kata ini ataupun aktivitasnya. Tapi saya belum beruntung, pencarian saya yang pendek tak menemukan hasil yang memuaskan. Namun, dari cerita mama suatu ketika, ketika mama masih remaja, aktivitas acaran itu tak sesemarak sekarang. Kini setiap sudut kota sering dijumpai muda-mudi, tanpa merasa risih atau pun malu. Berbeda dengan jaman dulu. Malu mereka ketika terpergok sedang berduaan. Entah mereka tengah pacaran ataupun hanya ngobrol biasa.

Yah, saya bisa membayangkan ketika dulu, sepasang muda mudi yang tengah dibakar api asmara saling mengirim surat, karena memandang pun malu. Apalagi berduaan. Jika memandang lebih jauh lagi kebelakang, saya bisa membayangkan bahwa ketika mereka saling suka, maka langsung saja mendatangi orang tua. Wah gentle sekali ya.

Pacaran jaman dahulu memang tabu, karena mereka masih tahu dan mematuhi, pacaran tak ada dalam tuntunan adat istiadat, apalagi tuntunan agama. Maka mereka malu jika melanggar. Pemuka adat dan pemuka agama pun tak segan bertindak. Apakah kini tuntunan adat istiadat dan agama sudah berubah? Tentu saja tidak. Hanya saja, sesuatu yang sudah dilakukan ramai-ramai seperti telah mengaburkan tuntunan yang sesungguhnya. Yang tidak boleh jadi boleh, yang haram jadi halal, bahkan yang halal jadi haram.

Memang apa salahnya pacaran? Lihat saja di tv, acara-acara mereka menampilkan aktivitas pacaran, dan itu biasa saja. Tidak ada yang protes. Bukankah lebih bahaya situs-situs yang mengatasnamakan Islam, buktinya saja mereka yang diperingatkan oleh Kementrian Komunikasi dan
Informatika. Kalau tayanangan pacaran “berlebih” paling KPI saja.

Neraka tak akan menjadi surga, meskipun yang menghuninya banyak.

Bukan lagi rahasia ketika banyak aktifitas pacaran menyalahi tuntutan agama. Bukankah berjabat tangan dengan yang bukan muhrim saja sudah begitu mendapat perhatian dari Rasulullah. Beliau lebih memilih dihunus tangannya dengan besi panas, daripada harus berjabat tangan dengan yang bukan muhrim. Ah, jangankan berjabat tangan, berpandangan, dan sebagainya. Hati pun bisa saja teralihkan dari tuntunan agama.

Tidak hanya urusan pacaran dan “aktivitas-aktivitasnya”, yang tadinya salah menjadi benar karena dilakukan banyak orang. Contohnya saja tentang nama menu makanan yang sedang ramai dibicarakan di media sosial. Yah, tentang kata-kata porno yang digunakan sebagai menu makanan. Banyak cerita dari pengunjung yang kesana. Bukannya kaget, marah, atau pun menggugat, namun hanya tertawa cekikian, geli. Itu saja. Bukankah kata-kata porno itu tak mendidik, apalagi jika di saksikan anak-anak yang masih gampang saja menyerap segala. Coba bayangkan, jika suatu hari nanti, anak-anak sangat mahir mengucapkan kata “onani”, daripada mengucapkan nama Tuhannya. Atau karena kata-kata ‘vulgar’ itu sudah terlalu biasa digunakan sehingga gampang saja untuk membenarkan? Entahlah.

Saya mulai berfikir, jangan-jangan suatu hari nanti, membunuh, korupsi, memperkosa, mencuri adalah hal yang benar karena dilakukan beramai-ramai.

Sebenarnya apa keinginan saya? Mudah saja. Saya hanya ingin semua kembali seperti tuntunan agama. Bukan membenarkan yang salah, dan menghalalkan yang haram ketika sudah dilakukan beramai-ramai.

Sekali lagi, neraka tak akan menjadi surga, meskipun yang menghuninya banyak. Pikirkanlah.


Rumah Cahaya,
13.07 WIB, 30 Maret 2015
Picture by Jie
Location Tamansari Yogyakarta
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday, 15 December 2014

TV, Warung Kopi, dan Pengunjung

Pulang. Lagi-lagi saya pulang ke rumah, mengunjungi orang tua tercinta dan tentu warung kopi yang tetap berdiri kokoh, setia.
Tidak ada bosannya, duduk berlama-lama di dalam warung kopi. Apalagi jika pengunjung tengah ramai. Bukan. Bukan saja karena kotak uang mama akan penuh,yang artinya ketika saya kembali ke Jogja, uang saku ikut penuh juga. Tapi lebih dari itu.  Otak saya pun akan penuh jika jeli menangkap cerita-cerita yang mengawang-awang diudara. Cerita mereka, para pengunjung warung kopi milik mama. Maka dari itu, ketika saya pulang ke rumah, malamnya saya akan berjaga di warung, melayani pembeli-pembeli yang sebagian besar adalah petani.
Ketika sholat Isya di mushola Pak Pingi usai, mereka akan menyerbu warung. Satu persatu. Namun hingga jarum jam menjelang angka sembilan, hanya ada tiga empat orang yang bertahan duduk di kursi warung.
Saya hanya bisa menghela nafas. Besok saya akan kembali ke Jogja dengan uang saku ala kadarnya.
Obrolan malam itu pun dimulai ketika ada sebuah berita singkat di TV. Ya, di dalam warung mama ada TV berukuran 21 inci untuk menemani para pengunjung. Beberapa kapal nelayan asing ditenggelamkan.
Kemudian, pujian-pujian itu pun terlontar. Seorang pengunjung memuji presiden baru kami karena ia berani. Pengunjung yang lain memuji presiden yang baru kami karena dia memperhatikan orang kecil. Pengunjung yang lain tak kalah, ia menimpali dengan pujian bahwa presiden kami tegas terhadap negara asing. Yah, presiden kami yang baru memang presidennya wong cilik.
Saya kala itu iseng nyletuk saja, "Amerika dan Cina belum ada kabarnya," Tidak ada yang menimpali. Biasa. Saya, masih dianggap anak ingusan yang tidak tahu apa-apa.
Acara TV berganti. Malam semakin larut, satu persatu dari mereka meninggalkan warung. Pulang menuju rumah mereka masing-masing. Warung di tutup. Besok masih ada hari yang harus di jalani.

Pagi, biasa. Warung sudah sibuk oleh pembeli. Tidak hanya bapak-bapak yang memesan kopi dan sarapan, tapi ibu-ibu yang sibuk memilih sayuran. Anak-anak berlarian menuju sekolah dengan baju yang tak rapi, karena tak ada setrika dirumah. Ada beberapa dari mereka yang menaiki sepeda ontel karatan dengar mur dan baut yang copot entah dimana, menempuh jalan berbatu yang akhirnya akan meninggalkan suara berisik.
Yang lebih biasa lagi adalah mendengar ibu-ibu mulai bergosip asik. Tapi tak melulu gosip. Banyak informasi menarik, dan pagi itu heboh berita pembunuhan ketua RT kecamatan tetangga oleh warganya. Masalahnya, boleh dibilang sepele. Gara-gara Ketua RT itu tak memasukan nama si warga ke daftar calon penerima bantuan subsidi BBM.
Ya. itu biasa. Cerita tentang pembunuhan apalagi berlatar belakang masalah ekonomi sudah biasa. Bukankah kita sering meilhatnya di layar kaca. Tapi tetap saja hal itu membuatku geleng-geleng kepala.
Yang tidak biasa pagi ini adalah, bibir mama yang mengkeret. Dompetnya tipis. Pengunjung sepi karena kemampuan mereka membeli menurun. Bagaimana tidak, karena harga-harga melambung tinggi, kopi di warung mama pun ikut naik. Meski hanya limaratus perak. Tapi tetap saja itu masalah.
Mama bingung, bagaimana menukar gul dan kopi hari ini.

Kau tau, pengunjung warung kopi mama sudah pintar. Mereka tak begitu lagi percaya pada media begitu saja.
Ini diawali ketika musim pemilu tiba. Dengan jelas mereka bisa membandingkan dua kubu yang berseteru dan dua media yang memberitakannya. Tidak objektif, sesuai siapa pemiliknya.
Mereka pun mengambil kesimpulan, Chanel TV A milik Ini, jadi akan memberitakan yang baik-baik tentang ini dan calon yang diusung. Chanel TV B milik itu jadi akan memberitakan kebaikan si itu atau yang calon yang diusungnya.
Ya, mereka jadi pintar. Tapi, karena pengunjung warung kopi memang pendukung calon yang diusung pemilik chanel A, tak keberatan tentang isi berita yang baik-baik saja itu. Kemudian, meski musim pemilu sudah berakhir, benci mereka dengan si chanel TV B tak berakhir. Mereka tak lagi percaya, meski si chanel sudah memberitakan yang sesungguhnya. Bahkan berita yang sepele.
Sayang, pintarnya mereka tak bisa melihat dari kacamata yang berbeda. Sumber mereka hanya TV. Koran tentu tak terfikirkan untuk membeli. Internet, mereka saja bingung apa itu internet. Buku, apalagi. Yang mereka tahu, buku hanya untuk anak sekolahan yang berisi perkalian.
Jika si Tv memberitakan tentang kejadian A, kemudian setelah di telusuri, tenyata kejadiannya B, dan cerita B tidak di tayangkan di TV, maka pengunjung warung kopi mama tetap akan menganggap cerita A adalah kebenaran.
Jadi, apa yang terlihat di TV itulah yang mereka lihat sebagai kebenaran. Jika saya bekata sesuatu yang berbeda dari apa yang diberitakan di TV, mereka akan mengernyitkan dahi sejenak, kemudian menganggap saya tak pernah berkata apa-apa.

Ketika saya sudah bisa terhubung ke internet, saya membaca sebuah berita. Kapal-kapal yang di bakar itu hanyalah "perahu". Ya, kapal berukuran kecil. Bukan kapal dalam artian sesungguhnya.
Entahlah, apa yang terjadi. Apakah benar pemerintahan kali ini terlalu di make up media, atau memang kenyataannya demikian.
Yang pasti pengunjung warung mama tetap memuji presiden barunya.


Ps : Saya hanya menceritakan apa yang benar-benar terjadi ketika saya pulang. Hanya itu saja. Makanya, tulisan ini begitu polos. Seperti bayi yang baru lahir. Tapi itulah kenyataannya.



Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 3 December 2014

Keringat di Keping Seratus Rupiah


            Mungkin tidak masalah jika tersesat di suatu tempat padan siang hari, karena kemungkinan besar akan ada orang yang lewat dan kita bisa bertanya arah mana jalan yang benar. Sayangnya kali ini saya dan kedua teman saya tengah tersesat di waktu malam hari, lewat dari tengah malam. Alih-alih manusia yang lewat, kucing pun sepertinya enggan untuk keluar.
            Belum lagi medan yang benar-benar asing. Jalan tempat kami berada kini adalah jalan setapak berbatu. Kanan kirinya hutan rimbun. Bisa saja kami bertanya pada GPS yang terpasang di perangkat handpone. Sayangnya, signal terhalang pepohonan. Jadilah kami manusia-manusia tersesat yang sesungguhnya.
            Putus asa. Mungkin itu salah satu pilihan yang bisa kami ambil saat itu. Tapi ternyata skenario lain menanti kami.
            Dari arah belakang sebuah sepeda motor meraung, mendekat. Ada rasa sedikit was-was. Bagaimana tidak, kami, tiga perempuan biasa tanpa bekal ilmu bela diri. Ditambah lagi waktu sudah lebih dari tengah malam. Kejahatan bisa saja datang menyambangi kami.
            Pengendara sepeda motor itu berhenti disamping kami yang sudah memasang alarm siaga. Seorang bapak muda dengan pakaian sederhana bertanya dengan ramah. Kami menceritakan apa yang terjadi dan tempat tujuan kami. Bapak itu pun menunjukan arah yang kami tuju. Tak sampai disitu, bapak itu pun bersedia untuk mengawal kami untuk sampai tujuan.
            Perjalanan di lanjutkan dengan bapak yang belum kami ketahui namanya sebagai pemandu jalan. Jalan lebih menanjak dan hutan menjadi lebih lebat. Kewaspadaanku meningkat. Apalagi salah satu temanku dibonceng bapak itu. Pikiran buruk pun semakin liar. Kata jangan-jangan semakin banyak berkumpul di otak. Bagaimana tidak, alih-alih mendekati jalan yang ramai, kami malah semakin masuk ke dalam hutan.
            Saya sepertinya harus sujud sungkem dan meminta maaf kepadanya karena telah berpikiran buruk. Ternyata ia benar-benar mengantarkan kami ke jalan yang benar. Kami kembali ke jalan yang lebar dan beraspal. Beberapa mobil dan motor lewat mendahului kami. Hingga akhirnya sebuah papan besar terlihat. “Anda Memasuki Kawasan Kawah Ijen.”
            Kami berhenti dipertigaan jalan. Bapak tadi menjelaskan beberapa petunjuk untuk sampai di Kawah Ijen. Namun, ia terpaksa berhenti karena motornya tidak sempat dibelikan bensin. Maka dia harus menunggu mobil temannya untuk bisa sampai kesana.
            Ternyata bapak itu adalah penambang belerang di Kawah Ijen, sebuah  kawah gunung aktif yang memiliki kandungan asam tertinggi di dunia. Kawah Ijen terletak di Kabupaten Banyumas, Jawa Timur. Coba saja anda cari di internet dengan kata kunci Kawah Ijen, akan banyak sekali hal yang anda dapatkan. Belum lagi foto-fotonya yang menakjubkan. Tidak dari warga lokal saja, namun banyak masyarakat manca negara yang memiliki fotonya.
Tempat wisata yang telah mendunia ini ternyata menyimpan cerita lokal yang luar biasa. Cerita bapak ini salah satunya. Sudah sepuluh tahun lebih dia menjadi penambang belerang. Pekerjaannya memang dimulai pagi-pagi sekali. Setiap malam, dia keluar dengan motornya, menembus dinginnya udara pegunungan dan jalan yang terjal menuju sebuah tempat dengan ketinggian 2368 mdpl.
Tidak hanya ketinggian yang harus dilawan. Bapak itu dan penambang-penambang belerang yang lain pun harus menahan gas belerang yang tersembur di Kawah Ijen. Tentu saja gas belerang berbahaya untuk kesehatan. Belum lagi, mereka memikul hasil belerang dengan menggunakan dua buah keranjang yang di satukan dengan bambu. Dengan medan yang cukup terjal, mereka harus membawa belerang dengan bobot hampir 50 kilogram. Luar biasa bukan?
Ternyata, di balik itu semua masih ada kisah yang lebih memprihatinkan. Satu kilo belerang hanya dihargai seribu delapan ratus rupiah oleh pengepul. Jika di bandingkan dengan perjuangan yang harus dilakukan, tentu harga itu tak sebanding. Sering bapak itu dan rekan-rekannya berusaha berdiskusi dengan pengepul agar menaikan harga belerang. Yah, paling tidak biar genap dua ribu rupiah agar kebutuhan pokok yang semakin naik bisa terbeli. Namun sayang, usaha mereka sering sia-sia. Dua ratus rupiah yang mereka perjuangkan kandas. Harga belerang tetap mandeg di tempatnya. 

Pada akhirnya, saya tak sempat menanyakan namanya. Namun cukuplah cerita tentang hidupnya, tentang seratus rupiah yang diperjuangkannya menjadi pelajaran berharga buat saya. Seratus rupiah bisa tak berarti apa-apa buat saya, tapi buat mereka, seratus rupiah adalah harapan mereka untuk kehidupan yang lebih baik.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com