Tuesday 21 February 2012

GERIMIS


“Aku percaya, meski sebenarnya aku tak percaya pada siapapun, malaikat Allah akan menjagamu.”
Mungkin kini ia tengah menangis tertahan. Badannya sedikit terguncang, tapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya yang memar. Ia menoleh padaku. Sejenak mata kami bertemu. Tidak ada suara. Tidak ada air mata. Lalu ia berjalan menghampiriku.
“Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu segera bergegas sebelum hujan kembali deras.”
“Dia minta apa lagi, Bu?”
Wanita separuh baya itu tercenung menatapku. Tentu ia tau apa yang aku maksud. Laki-laki itu baru saja kutemui di ambang pintu.
“Jangan seperti itu nak. Sudah, kamu berangkat sekolah saja.” Ibu memalingkan tubuhnya. Mungkin kali ini dia mau menangis. Aku menurut. Tak ada gunanya berdebat dengan Ibu. Bukankah itu akan membuatnya tambah sedih? Atau sebenarnya aku yang tak terlalu perduli dengannya?
Aku menerobos hujan gerimis pagi ini. Langit seakan tengah sendu. Jika ingin menyamakan, mungkin pagi ini sama dengan Ibuku. Tapi bukankah kesedihan Ibu setiap hari? Tapi aku tak perduli.
**
“Hendi, besok kamu antar ibu kerumah tante Maya ya. Ibu ada sedikit perlu.”
Aku menoleh. Kulihat ibu tengah menata kain-kain yang akan di jahitnya.
“Mau hutang lagi bu? Memang dia minta uang berapa? Hendi ada tabungan kalau ibu mau pake dulu.”
Ibu menoleh. Mukanya mengisyaratkan kemarahan. Tapi aku tak perduli. Aku beranjak dari dudukku menuju lemari. Kuambil sebuah amplop coklat. Isinya tabunganku beberapa tahun ini. Tidak terlalu banyak memang. Tapi aku pikir cukup untuk mendiamkan pria itu beberapa minggu.
“Ini, tabungan Hendi dari kerja. Ibu pake dulu. Ngga perlu hutang sama tante Maya. Hutang Ibu yang lalu juga belum di bayar kan. Kasih aja ke dia. Biar dia ngga balik untuk sementara waktu. Bosan aku ngliat dia.” Kusodorkn amplop itu kepada Ibu. Ibu menatapku. Matanya mengisyaratkan ia terluka.
“Hendi, apa maksud kamu?” Bibir ibu bergetar.
Aku kembali ke meja belajarku. Amplop itu aku letakan disamping ibu. Tangan ibu tak mau menerimanya. Jelas, aku tau reaksi ibu akan seperti ini. Tapi aku enggan kerumah tante Maya. Bau alkohol memuakanku. Juga wanita itu.
“Dipakai saja dulu. Tadinya buat biaya kuliah Hendi. Tapi kemarin Hendi dengar ada beasiswa. Jadi ngga pake duit-duitan segala. Sudah, hendi mau belajar. Kalau nilai Hendi turun, ibu juga kan yang repot. Bisa-bisa beasiswa hendi di cabut.”
Plukk
Amplop coklat itu mendarat di mejaku. Aku mengangkat wajah. Ibu memandangku. Mungkin antara marah, terluka, atau kecewa. Kemungkinan besar ketiga-tiganya.
“Kenapa Bu? Masih kurang? Emang dia mau apa?”
“Hendi, kamu sudah keterlaluan. Ibu capek berurusan dengan kamu.”
Ibu meninggalkanku. Kudengar langkahnya meninggalkan rumah kontrakan kami yang hanya satu petak. Mungkin dia akan menemui pria itu. Atau ketempat-tempat yang lain yang belum aku ketahui sebelumnya.
Kutatap amplop coklat. Hening. Benar-benar hening. Jauh didalam hatiku.
**
Dia ibu kandungku, setidaknya begitu yang aku tau, dan aku tidak berusaha menyangkalnya. Kami memiliki banyak kemiripan. Dia buakan tipe Ibu tiri yang suka menyiksa anaknya. Memang sedari kecil aku bekerja. Tapi itu atas kemauanku. Lalu apa aku anak yang durhaka? Mungkin. Aku tak keberatan jika ada orang yang mengatakan itu padaku. Bahkan mungkin aku akan tersenyum ponggah. Tapi aku ingin bertanya, lalu apakah ada sebutan untuk ibu ketika ia “kurang ajar” pada anaknya?
Bagaimana perasaanmu ketika kamu belum genap berusia 4 bulan dalam kandungan tapi hendak di musnahkan? Bagaimana perasaanmu ketika kamu lahir tapi tidak diharapkan dan hendak di buang? Dan bagaimana perasaanmu ketika kamu tumbuh, begitu banyak orang yang mencabik-cabik hatimu hingga kamu selalu di hantui mimpi-mimpi buruk. Semua karena ulah ibumu. Semua dari Ibumu, yang kata orang-orang “normal” adalah malaikat. Apakah masih ada alasan agar aku tidak durhaka?
Aku tau pekerjaan ibuku dulu. Aku tau siapa laki-laki itu. Dulu sewaktu masih kecil dia sering bersama Ibu. Apakah dia ayahku? Pertanyaan itu memburuku. Ibu tak menjawab ketika aku tanya. Kusimpulkan dia ayahku, dan aku memanggil laki-laki itu Ayah. Pria itu tertawa. Ibu tersenyum masam. Lalu pria itu mengeluarkan umpatan yang membuat ibu marah. Mereka bertengkar. Sejak itu, aku menjadi sering melihat mereka bertengkar. Entah apa yang diributkan dan entah mengapa Ibu tetap bertahan dengan pria itu padahal dia slalu memukul ibu ketika mereka bertengkar. Pemandangan yang sudah sangat biasa.
Laki-laki itu sempat menghilang beberapa tahun. Kupikir ia menghilang selamanya, tapi beberapa bulan ini dia datang kembali sambil membawa kepalan tangan jika ibu tak memberinya uang. Tante Maya, tempat ibu bekerja dulu lah yang sering jadi tempatnya berlindung dari kepalan tangan itu.
Aku tau, sejak keluar dari tempat kerjanya dulu, ibu bekerja mati-matian. Ia mengandalkan satu-satunya keahlian yang di bawanya dari desa, menjahit. Aku ingat benar dulu, ketika aku berusia 9 tahun, ia sering tak tidur untuk menyelesaikan jahitannya. Aku memang anak durhaka, tapi bukan berarti tanpa perasaan. Aku bekerja sehabis sekolah. Apa saja untuk membantunya. Hingga kebutuhan sekolah aku penuhi sendiri. Tak jarang, kebutuhan rumah tangga pun aku ikut membantu. Tapi karena laki-laki itu, dia tetap kepayahan.
**
Kamis, 05 Januari 2012
“Ibu, tadi pak Burhan nanyain uang kontrakan. Duitnya ngga di kasih ke dia kan?” Aku meletakan tasku dikursi. Sepi. Biasanya ibu akan tergopoh-gopoh menghampiriku ketika aku pulang. Menanyakan ini itu lalu menyuruhku makan.
Aku beranjak ke dapur. Ibu tak ada. Di kamarnya pun kosong. Aku kembali keruang depan. Untuk apa aku perduli?
“Nak Hendi...”
“Ya?” aku menoleh. Pak Burhan yang tadi menanyaiku soal uang kontrakan di tikungan jalan kini sudah di ambang pintu. “Ibu ngga ada pak. Nanti Hendi tanyaian. Mungkin lagi di pake dulu. Tapi pasti hari ini kami bayar.” Sungguh ngga sabaran benar orang ini.
“Bukan itu nak...” Pak burhan nampak ragu-ragu.
“Lalu apa pak? Mau masuk dulu?”
Pak Burhan menggeleng. Raut wajahnya seperti orang khawatir.
“Tadi Bapak di kasih tau istri Bapak, katanya Ibu kamu diseret-seret sama Pak Anton. Kayanya Pak Anton marah-marah.”
“Trus, ibu kemana?”
“Ya ikut sama bapak Anton. Istri bapak ngga tau kemana. Mau nyegah tapi katanya takut. Pak Anton kan galak. Apalagi habis keluar dari penjara.”
“Penjara?”
“Iya, kan Pak Anton keluar dari penjara. Katanya habis bunuh orang. Memang Nak Hendi tidak tahu?” Pria berusia tiga puluhan itu seperti bingung sendiri. Ya, kami memang dulu tinggal serumah. Tapi apa aku peduli padanya? Tidak.
“Ya sudah, Bapak pamit dulu. Bapak Cuma mau ngasih tau itu. Soal uang kontrakan, besok juga ngga apa-apa.”
Aku tak bergeming saat ia mengucapkan salam dan pergi. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyerangku. Kawatir. Gerimis tiba-tiba turun.
**
Lagi-lagi aku menerobos gerimis. Baju seragam putih abu-abuku belum aku ganti.
“Aku percaya, meski sebenarnya aku tak percaya pada siapapun, malaikat Allah akan menjagamu.”
Kalimat itu kembali terngiang dikepalaku yang telah basah oleh air hujan. Kalimat itu kalimat yang ibu tulis sebagai pesan perpisahan. Aku menemukanya di balik amplop coklat yang isinya masih utuh ditambah uang kontrakan untuk Pak Burhan. Aku tak tau apa yang ibu rencanakan. Kemungkinan besar dia akan meninggalkanku. Tapi bukankah itu yang aku mau. Bukankah itu doaku setiap malam? Tapi kakiku membantah. Ia terus berlari menyusuri jalan aspal yang telah basah.

Hendi, anakku tersayang..
Ibu memang bersalah padamu. Tapi sungguh, melihatmu tumbuh, melihatmu menjadi remaja, membuat ibu sangat merasa berdosa telah berusaha untuk menghilangkanmu dari sisi ibu dulu. Memang tetap tidak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan ibu dulu.Ibu sungguh menyesal Tapi satu hal yang tak pernah Ibu sesali kini adalah telah di beri kesempatan Tuhan untuk menjadi Ibumu.
Hendi, Ibu tau kamu membenci Ibu. Dan mungkin doamu tiap malam adalah agar Ibu pergi dari kehidupanmu. Ibu tau kamu terlalu terluka. Oleh karena itulah ibu kali ini hendak mengabulkan keinginanmu, kini Ibu pergi. Semoga kamu bahagia dengan kepergian Ibu.
Ibu memang bukan Ibu yang baik. Tapi Ibu selalu berusaha untuk menjagamu. Kini kamu sudah dewasa. Ibu tau, dunia itu terlalu kejam. Tapi Ibu tak pernah kawatir, ibu percaya, meski sebenarnya ibu tak percaya pada siapapun, malaikat Allah akan menjagamu.
Ibumu

**
Minggu, 08 Januari 2012
Hari ini media-media ramai memberitakan peristiwa pembunuhan. Seorang anak SMA membunuh ayah tirinya setelah ayah tirinya membunuh Ibu kandungnya. Apa itu tentang beritaku? Cepat sekali ia di cetak. Padahal aku pikir tidak ada yang akan tahu kecuali aku dan Ibu. Iya kan bu? Ibu menatapku lembut. Ia tersenyum di sampingku. Tangannya sibuk menyulam sesuatu. Mungkin sebuah sweter untukku. Aku cukup kedinginan dengan baju bertuliskan TAHANAN di punggungku. Apalagi sekarang gerimis turun diluar. Terimaksih Ibu.
_END_
Di muat di Annida Online tanggal 09 Januari 2012

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com