Wednesday 29 February 2012

Akhi, Ukhti, nyamankah kamu?

Sebuah sms masuk ke handponeku. Seorang saudara memberiku sms motivasi. Alhamdulillah, memberikan semangat baru ditengah suasana ujian yang kalut. Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Ia memanggilku akhi. Tentu aku protes. Selama ini sepengetahuanku kan akhi itu panggilan untuk laki-laki. Pendapatnya, panggilan akhi itu sama dengan panggilan anda dalam bahasa Indonesia.
Hems, panggilan akhi, ukhti, antum, antumna, memang sudah sering mampir di mata ataupun ditelinga (baca sms kan pake mata ya?). Apalagi yang sering bergaul dengan para aktifis dakwah sejak memasuki bangku SMA (bukannya sombong loh). Tapi anehnya, aku tetap ngga ‘nggeh’ kalau di panggil demikian (ukhti –red). Dan akibatnya, aku juga jarang memanggil saudara-saudaraku dengan panggilan itu (Maap kalo ada yang ngga nyaman). Aku lebih suka memanggil mereka dengan panggilan mbak atau mas. Emang sih, kesannya umum banget. Tapi, bukankah artinya juga sama dengan ukhti atau akhi?
Secara bahasa kata ukhti itu adalah panggilan untuk saudara perempuan atau اختي dalam bahasa arab. Sama seperti kata Noung dalam bahasa Thailand dan Mbak dalam bahasa Jawa. Tanpa membedakan apakah dia muslim atau bukan. Di Arab sana (asal bahasa, red) perempuan-perempuan Arab biasa memanggil Ukhti pada mereka yang non muslim.
Nah, untuk kasus diatas, saya akhirnya searcing di internet dan hasilnya panggilan akhi atau dalam bahasa arab اخي berarti saudara lelaki. Tapi, di Indonesia banyak yang mengartikan panggilan akhi khusus untuk memanggil saudara lelaki yang beragama muslim padahal kenyataannya tidak begitu.
Memang bukan sebuah masalah yang besar karena ketika saya dipanggil ukhti (ataupun akhi?), karena biasanya saya pun biasa-biasa aja. Alasan untuk mempererat ukhuwah pun saya terima. Hanya kadang-kadang ada garis diskriminasi yang saya rasakan. Kadang-kadang panggilan akhi dan ukhti itu seperti sebuah panggilan khusus untuk kalangan aktivis dakwah saja. Seperti sebutan akhwat untuk menyebut mereka yang berjilbab besar, bergamis dan rajin ngajinya. Sedangkan untuk mereka yang masih ‘biasa’ lantas bukan akhwat? Mereka kan muslim juga.
Akhirnya, di mata masyarakat pun berkembang istilah bahwa mereka yang alim sajalah yang berhak di panggil ikhwan dan akhwat. Bahkan saya pernah mendengar cerita, seorang akhwat di tegur temannya karena memanggil dik pada adik angkatnya yang seorang al-akh. Kenapa ngga panggil ustadz atau ustadzah aja? Karena orang-orang Mesir biasa memanggil orang lain dengan panggilan ustadz, termasuk kepada orang-orang yang belum dikenal, jadi kata ‘ustadz’ di sini bukan hanya identik dengan seorang guru biasa atau guru agama saja. Seperti kata Sampeyan dalam bahasa Jawa. Saya ingat percakapan saya dengan seorang teman. Suatu kali saya tengah mengabarkan sesuatu pada teman saya (bukan ghibah loh..), kemudian dia bertanya, emang dia ikhwan ya? Ya iyalah, namanya saja Anto, masa akhwat..
Dan kesimpulannya, saya bukannya keberatan, apalagi kalau yang manggil saya ukhti itu niatnya mendoakan saya agar saya lebih sholehah. Tapi paling tidak, panggil juga perempuan-perempuan muslim yang notebene bukan aktivis dakwah dengan sebutan itu juga (ukhti, not akhi, hehehe). Biar diantara kami tidak ada jarak dan tidak salah kaprah. Bukankah dengan demikian dakwah akan lebih berkenan? Atau jika tidak, biarkan saya memanggil akuw-kammu, atau loe-gue, dan mas atau mbak. Harap dimaklumi ya....

1 comment:

  1. Assalammu'alaikum ukhti, terima kasih sudah berbagi :)

    ReplyDelete

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com