Saturday, 23 February 2013

Belantara Otak


Saya berada di dunia yang sama dengan anda. Apakah saya merasa senyaman anda? Merasakan nyamanya kasur empuk dan selimut tebal ketika gelap menyergap, menyeruput secangkir kopi susu dan membaca koran di pagi hari. Kita mungkin melakukan hal yang sama. Tapi aku merasakan ada sebuah perasaan yang membuatku tak nyaman. Aku tak nyaman dengan dunia. Aku merasa terancam olehnya. Aku merasa asing dengan dunia yang telah menampungku lebih dari 20 tahun ini.
Aku berusaha tidak perduli. Bukankah anda dan mereka juga tidak perduli. Aku bisa melihatnya dari binar mata anda ketika melihat kembang api mengisi langit kota, yang pada saat itu aku ketakutan setengah mati (Bukankah asapnya bisa membunuhmu? Tidak serta merta, namun kemudian hari). Tapi aku tak mampu mengabaikan pemikiran yang kian hebat berterbangan di belantara urat-urat otak. Apa aku terlalu paranoid, mengada-ada dan berlebihan? Mungkin, tapi tidakkah pernah terfikirkan oleh anda, ketika anda berada di dalam dunia yang memiliki begitu banyak bahasa, bangsa, dan negara, anda hanya sendiri saja? Tidak semua bahasa aku mengerti. Tidak, aku hanya menguasai satu dua bahasa saja. Itu pun dengan keterbatasan. Bagaimana nanti jika ada yang berbicara dengan bahasa asing dan aku tidak memahami tentang apa yang mereka bicarakan, sedang keberadaanku terancam. Aku tidak mampu waspada, aku tidak mampu mempertahankan diri.
Semakin hari, semuanya semakin membuatku merasa tak nyaman. Saya enggan berlangganan koran pagi, atau menonton TV, apalagi membuka internet. Bukan tentang apa yang mereka sampaikan, namun tentang kebenaran yang sama sekali tidak mereka singgung. Bukankah itu lebih menakutkan?
Berita-berita itu, politik, budaya, dan ekonomi, membuat saya tak tenang. Satu persatu seperti mencemooh saya. Bagaimana saya bisa tenang, ketika negara saya di jadikan permainan. Seperti pion-pion catur yang sedang diadu, dan saya tidak mengetahui manusia yang berada di belakangnya. Saya tidak tahu apa tujuannya. Mungkin saja, suatu kali saya akan bertemu dia di mall, dan saya tidak mengenalinya. Padahal dia telah menusuk saya dari belakang layar. Memainkan perannya menghancurkan tanah kelahiran saya, memporak-porandakan, dan mengambil kehidupan dari diri saya. Saya tak pernah tau, dan tak mampu mempertahankan, bahkan untuk diri saya sendiri.
Masihkan anda merasa kenyamanan itu milik anda. Mungkin anda memang beruntung, dan anda akan tetap berada di dalam cangkang kenyamanan anda. Tapi saya khawatir itu tidak akan berlangsung lama lagi. Tanpa anda inginkan, anda harus keluar, dan yang saya takutkan anda belum siap dengan semuanya. Seperti bayi prematur.
Saya hanya sedang mengingatkan. Tentu bukan ingin menyeret anda memasuki dunia saya yang gila. Tapi untuk mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang mungkin bisa saja terjadi. Karena saya dan anda tidak benar-benar aman berada di dunia ini.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tuesday, 19 February 2013

Iklan Produk Kecantikan VS Produk Kejelekan


Kalo lihat iklan di TV bikin nyesek hati. Kayak kena timpukan palu hingga bikin depresi. Apalagi kalau apa yang di tampilkan di TV itu banget-banget bertentangan sama diri. Bikin galau. Tapi, jadi kepikiran sendiri, kalau semisal nih berbondong-bondong media massa, yang entah sebabnya apa (mungkin aja penguasa dunia saat itu adalah orang yang merasakan hal yang sama dengan apa yang perempuan yang berkebalikan dengan iklan rasakan. Terintimidasi oleh iklan), dengan tiba-tiba menampilkan iklan-iklan yang berkebalikan dengan iklan yang ada sekarang. Yang mudahnya, produk-produk kecantikan.
Pernah menghitung perbandingan jumlah iklan yang ditujukan untuk perempuan dan untuk laki-laki di sela sinetron yang ibu kamu atau kamu tonton? Perbandingannya cukup besar. Mayoritas sasaran adalah perempuan. Bukan rahasia sih, perempuan itu memang lebih suka belanja (sebut saja konsumtif) daripada laki-laki.  Baru-baru ini aja muncul iklan untuk cowok. Habisnya, cowok-cowok sekarang juga pengen "cantik" sih. Ngga heran, produsen memberikan apa yang mereka harapkan. Penawaran akibat adanya permintaan (meski hukum ini tidak selalu benar, karena nyatanya banyak barang yang ditawarkan bukan atas dasar permintaan, namun karena ada maksud tertentu (apa ya?).
Silahkan deh, bagi yang punya waktu berdiam di depan TV buat ngehitung. Mulai dari yang pemutih, penghilang jerawat, penghilang komedo, penghilang minyak wajah, penghilang noda (kaya sabun cuci aja), penghilang kerut, pelangsing badan, peninggi tubuh, pelurus rambut, penghitam rambut, penguat rambut, hingga hal remeh-temeh lainnya tentang kecantikan yang target utamanya perempuan. Ketika semua itu di balik (Kayak di negeri cermin aja), apa yang akan terjadi? 
"Hitam itu cantik"
“Yang kelam yang bersinar” (Maksa banget)
"Berjerawat itu menarik"
"Berkomedo itu komersil"
"Yang tua makin jadi”
"Pendek itu lucu"
"Wajah berminyak itu mengkilat" (jelasss)

"Rambut berantakan itu keren"

“Tumbuh itu kesamping, bukan ke atas”
Mungkin, perempuan-perempuan di dunia (khususnya sih di Indonesia) akan lebih memilih berpanas-panasan di sawah daripada kerja di dalam kantor ber-AC. Mereka tidak takut berkotor-kotor ria dengan bergulat lumpur. Hemssss, petani desa tidak perlu khawatir tidak adanya regenerasi karena ngga ada lagi gengsi bekerja di di sawah. Perempuan-perempuan dunia tidak perlu lagi sibuk-sibuk ke salon hingga lupa ngurus anak dan suami. Pendidikan anak juga jadi lebih terkondisi. Apalagi tentang nutrisi. Ibu-ibu jadi suka masak sendiri, karena wajah berminyak itu mengkilat.
Perempuan-perempuan tidak perlu lagi rame-rame ke mall beli baju-baju mahal, hingga kartu kredit jebol (kalo yang punya). Bikin suami stress. Mungkin ujung-ujungnya korupsi, habis istri ngomel tiap hari karena iri hati sama artis di TV. Tak perlulah ada kontes kecantikan karena semua bisa cantik dengan mudah. Mudah toh bikin kulit berjerawat. Mudah toh bikin kulit hitam sekelam batu bara, dan hal itu bisa sangat mudah terjadi jika media massa melakukannya.
Mudah sekali. Tau lah, pengaruh media massa itu ruaaarrr biasa. Opini gampang banget di belokan. Dari yang kanan ke kiriiii banget, dari yang lurus jadi bengkooookkkk banget, dari yang bersih bisa kotor bangetttt. Tapi bisa juga sebaliknya. Tergantung siapa yang memegang kuasa. Apa lagi media massa banget-banget gampangnya di akses. Beli TV yang tadinya harganya juta-jutaan, sekarang? Sudah macam jamu. Gampang dapatnya. belum lagi internet yang dipenuhi iklan. Wi-Fi aja nyangsang dimana-mana, udah kaya jaring laba-laba. 
Ini contoh kecilnya aja sih. Contoh yang lebih gede, kalian cari aja sendiri. Bersyukurlah yang ngga punya TV. Ngga perlu takut terintimidasi hingga masuk ke alam mimpi (Wah, ada produsen TV ngga nih) Eits, bukan karena TVnya. Tapi karena kontens-kontens di dalamnya. Karena ngga hanya teroris yang bisa mencuci otak, kenyataannya pencuci otak yang paling nyata adalah Media massa. Mungkin untuk reverensi, bisa baca buku “Dosa-dosa Media Amerika”. Lupa gue penulisnya siapa. Isinya aja lupa. :D. Dibaca gih, nanti kasih tau ke gue. Kali aja gue salah. Kali aja, bukan media massa yang salah (dosa kah?), kali aja otak gue yang sudah keblandarang kemana-mana hingga sulit mencerna mana yang salah dan mana yang benar. Pesan singkat gue sih, jadilah pengkonsumsi cerdas.

^^


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Just writing


Kegalauan ini membuncah semakin parah. Aku ingin menulis!
Tapi jari ini masih kaku untuk menari diatas tuts, otak ini masih kusut mengurai satu persatu kata yang terangkai dalam kalimat.
Entahlah, aku hanya ingin menulis. Meledak-ledakan rasa biar tak bertumpuk Tidak hanya tentang ada tidaknya keberadaan, namun tentang cerita yang mampu menggemparkan dunia. Muluk, ya, larut dalam mimpi kosong. Aku ingin seperti dia, hingga langkahku seketika terhenti. Aku tak bisa seperti dia, aku adalah aku seutuhnya. Tak mampu menjelma menjadi manusia seperti dia. Namun apa salahnya mencoba mencicipi nikmat Tuhan yang terlebih dulu diberikan padanya. Aku tak hanya ingin menulis. Tapi aku ingin aku menjadi orang yang mampu menulis. Tujuan yang kabur, gambaran yang kabur, penat yang mengubur, serta kemalasan dan keengganan memupuk benih yang tersemai. Aku harus memberinya nutrisi. Membaca.
Sungguh! Rasanya ingin meledak pada suatu titik. Aku jenuh pada keterpasrahan. Aku jenuh menjadi bayang-bayang yang tak dikenal. Aku jenuh berada di barisan belakang. Aku jenuh hanya berdiam.
Sungguh, aku akan meledak. Mungkin tidak detik ini juga. Namun emosi ini telah mencapai ubun-ubun tertinggi.
Aku hanya ingin menulis, lalu kenapa harus ada keinginan yang lain? Ini tidak akan berhasil. Aku tak akan mampu menulis, tanpa mimpi!
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday, 18 February 2013

Sopir Oh Pak Sopir



Wah, propinsi tetangga kayaknya mau pemilu nih, dan sebentar lagi gue juga jadi pemilih di rimba sendiri. Tinggal menunggu hitungan bulan aja. Dan, kayaknya ngga ada matinya kalo cerita tentang hal yang satu ini.
Tentang pemilu?
Tentu aja bukan. Soal pemilu sih, pasti ada matinya, soalnya yang di pilih itu kan manusia juga, pasti suatu saat nanti ada aja yang mati. Ya ngga?
Terus?
Ini nih, masih tentang Bus Ekonomi.
Biasa si, setiap weekend, orang kayak gue yang ngga punya kegiatan di kampus, yang ngga ada kerjaan, yang ngga ada tuh yang namanya rapat-rapat, apalagi merapat di rektorat, melenggang menuju tempat pemberhentian bus kelas ekonomi. Dimana aja, namanya juga bus ekonomi. Ngga etis kan kalo punya halte. So, dimana aja boleh deh, asal busnya lewat situ aja.
Ckittttttttt!!!
Bus berhenti tepat di depan gue, dengan rem super duper kenceng. Bisa di bayangkan manusia-manusia yang berada di dalamnya. Mungkin ada yang memaki, mengelus dada, mengelus kepala, mengelus rambut, dan yang ingat, menyebut Asma-Nya. Atau bahkan reflek melakukan hal yang lain. Mungkin. Gue ngga berada di dalam sana. Namun semenit kemudian, tubuh ini sudah terhuyung-huyung memasuki area seribu cerita. Dan cerita itu dimulai.
Bus melaju lebih kencang dari yang aku bayangkan dan perkirakan. Seneng sih. Lebih cepet sampai tujuan, namun berkali-kali tubuh ringkih ini di ombang-ambingkan bak berada di kapal bersambut gelombang badai yang garang. Mending kalau dapet tempat duduk. Kalau sudah berdiri, berimpit dengan penumpang yang lain, matahari terik menyengat, sungguh ceritanya menjadi ruar biasa.
Dan sebuah bus menyalip. Syuhhhh... keren. Macam di sirkuit balapan kelas internasional. Padahal bus ini udah kencengnya ampun-ampunan, masih ada yang bisa nyalip. Sopirnya kerennnnnn. Tapi, ternyata si sopir bus yang gue naiki ngga tinggal diem aja. Di suporteri oleh kondektur, si sopir menginjak gas kencang-kencang. Dan benar saja, jalanan Jogja-Kebumen menjadi sirkuit internasional.
Seok ke kanan, rem mendadak, gas kencang, seok ke kiri, rem mendadak lagi, mau nyalip ngga jadi karena ada mobil nyempil, nyempil nyampe turun dari aspal, guncangan besar karena lobang di terjang, sungguh menjadi pemandangan yang menakjubkan alias membuat jantung deg-degan.
Apakah bus baik-baik saja?
Ngga tau juga sih. Yang gue tau, telinga ini mulai mendengar keluh kesah dari beberapa ibu-ibu, nenek renta, dan kakek tua. Yang muda si diem-diem aja. Kayaknya memang asik kan kebut-kebutan gini. Yang payah yang berada di tengah, yang berdiri, dan yang berimpit. Beruntung yang dapat PW, bagi yang ngga, harus mati-matian menjaga tubuhnya biar ngga roboh ke tubuh orang lain atau malah terjerembab ke lantai bus, maka jadilah, tangan menjadi lebih kuat dari biasanya, kaki lebih sigap dari biasanya. Sayang (Alhamdulillah..), gue harus keluar dari arena sebelum pertandingan ini di ketahui pemenangnya (turunnya itu pun nyampe keblandrang jauhhh).
Sopir itu penentu kelangsungan hidup bus dan penumpangnya. Dialah yang menentukan busnya, apakah akan melaju kencang, lamban, sedang, terseok-seok, aman untuk penumpang, membahayakan jantung penumpang, membuat nyaman penumpang, atau membuat takut penumpang. Bahkan menyusahkan penumpang. Belum lagi kalau kondekturnya, yang berada di bawah si sopir minta tarif lebih dari biasa. Waaaaah...
Begitulah seorang sopir yang menjadi pemimpin bus, manusia menjadi pemimpin dirinya sendiri, ayah pemimpin keluarga, lurah pemimpin desa, camat pemimpin kecamatan, bupati pemimpin kabupaten, gubernur pemimpin propinsi. Bagi gue ngga ada bedanya kecuali nama-namanya dan cakupan tanggung jawabnya. Intinya sama. Mereka adalah sama-sama pemimpin yang menentukan nasip (b) penumpangnya.
Bukan hal baru, ketika sopir mengantuk, sopir ugal-ugalan, puluhan nyawa penumpang melayang, di jemput malaikat pencabut nyawa. Atau, yang lebih menyedihkan lagi adalah luka, patah tulang, gegar otak, amnesia, hingga kehilangan dompet di celana.
Memang sih, ketika kita menaiki bus tidak serta merta bisa memilih bus yang tipe sopirnya pas dengan kita. Namun kalau sudah biasa dan hafal macam anak sekolah naik angkot, pasti sudah tau, mobil yang warnanya ini sopirnya begini, yang gambarnya itu sopirnya begitu. Yah, kita bisa menilainya dari pengalaman. Seperti pemimpin, kita bisa melihat dari apa yang telah ia lakukan di hari yang lalu. Jangan serta merta percaya dengan janji, karena yang akan terjadi nanti siapa tahu. Tapi paling tidak jangan asal naik bus (kalo ngga ke buru-buru) tanpa mengenal sopirnya, bisa-bisa beneran kena jantungan. Kalau perlu, sebelum naik wawancara dulu tuh sama si sopir. Kira-kira laju busnya itu kecepatannya berapa, remnya cakram ngga, busnya kuat ngga, bannya bocor ngga, dan yang paling penting adalah, sopirnya waras atau tidak. Syukur-skyukur kalau sampai tahu apakah si sopir itu ingat mati atau tidak, so bisa tau, apakah si sopir akan mempertaruhkan nyawanya sediri, minimal, hanya untuk mendahului bus lain atau tidak.
So, jadilah penumpang cerdas. Nyawamu taruhannya. :D
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 13 February 2013

Jangan Ganggu Banci (Chapter Hijab Day)


Jreng!! Jreng!! Jreng!!
Bunyi gitar yang sumbang mengisi ruang dengar pemirsa sekalian. Namanya juga bus kota kelas ekonomi, kalau ngga pengasong ya pengamen. Tapi yang bikin mata memicing kali ini adalah tipe pengamen yang berdiri tepat di samping gue. (What the orange?!!). Karena si pengamen bukan perempuan, dan laki-laki namun tidak mengakui dirinya sebagai laki-laki, tanpa pikir panjang, diri ini pun menggeser tubuh untuk duduk lebih menjauh, meski harus menyesak pada Ibu-ibu yang juga nampaknya mahfum.
Sebuah lagu selesai di nyanyikan dengan suaranya yang serak dan agak banjir karena dipaksakan menyerupai suara perempuan, dan yang selanjutnya terjadi adalah, tak ubahnya seperti pemalakan, dengan wajah garang dan bibir yang menyumpah halus, serta omelan galak, dia meminta uang ngamen dari penumpang bus mulai dari posisi terdepan. Bahkan serunya itu, ia sempat bersitegang dengan seorang bapak tua. Oh tidak, apa yang harus aku lakukan? Ngga punya receh nih. Padahal tadinya sih duitnya receh semua, tapi kan udah buat bayar ongkos bus.
“Prok..prok..prok..” suara langkahnya semakin mendekat. Keringat dingin pun mengucur deras, membanjir luruh. Akhirnya, aku hanya mampu memutuskan menggerakan tangan sebagai isyarat tidak ketika ia telah berada di sampingku, dan sebuah keajaiban terjadi. Dia tidak marah apalagi menyumpah. Ia berlalu begitu saja seperti aku tidak ada. (Haruskah saya berteriak girang dan berkeliling bus?)
Pyuh, leganya. Tapi apa yang terjadi membuatku penasaran. Akhirnya aku melihat penumpang sekitar yang wajahnya kini tertekuk. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan tidak mengenakan hijab. Lalu hubungannya apa?
Aku hanya mampu membatin dalam jantung (hati-red), aku memang berbeda dari penumpang lain. Mungkin nampak aneh. Namun, keanehanku yang menyelamatkanku (wah, segitunya).
Memang nampaknya hal ini sepele. Namun, coba deh lihat sekitarmu. Seorang perempuan yang berhijab rapi, persentasi mereka sebagai korban kejahatan, meski hanya seperti example diatas (juga ditambah, di lecehin, digodain ngga jelas, dan pelecehan seksual lain) jumlahnya lebih sedikit daripada perempuan yang tidak berhijab. Conclusinya, hijab tidak hanya sebagai identitas kamu sebagai seorang muslim, namun hijab melindungi kamu. Menghindarkan kamu dari kesempatan seseorang melakukan tindak kejahatan. “Mereka” akan berfikir dua kali ketika hendak menggangu kamu.
Pernah lihat film “Alangkah Lucunya Negeriku”? Beberapa pecopet kecil mengurungkan niatnya untuk mencopet karena target mereka adalah ustadz. Mereka takut ketaatan orang tersebut terhadap Allah akan memberikan kesialan pada mereka, dan ini tidak hanya di film. Dalam kehidupan nyata banyak sekali contoh kasusnya.
Banyak media barat yang mengklaim bahwa kasus pemerkosaan di Arab adalah yang tertinggi, namun faktanya kasus pemerkosaan di AS menempati peringkat pertama, dan di Arab hanya menempati posisi seratus sekian. Why? Bandingkan saja model berpakaian orang Amerika dan orang Arab, tak perlu aku jelaskan kan?
So, jangan ganggu banci. Eh, berhijablah biar ngga di ganggu banci. (Berhijablah untuk Allah, insyaAllah Ia akan melindungimu dari gangguan banci), dan engkau yang telah berhijab, istiqomahlah. Meski kadang panas, gerah, dan ribet namun panasnya neraka tak mampu untuk di bayangkan, dan kelak, wangi surga dapat kau cium sesukamu. InsyaAllah. 
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 6 December 2012

Bunga Trotoar

Ketika ada seorang bocah, berusia tujuh atau delapan tahun mendekatimu, dan dengan entengnya mengatakan,”Mba, minta duit,” apa yang akan kamu lakukan? Pilihan biasanya ada dua, pertama, mengacuhkan. Kadang-kadang aku juga gini. Habisnya yang jadi pengemis lebih kerenan dari aku sih, lebih gemukan (aku emang kurus sangat ya?), Hpnya aja lebih canggih. Rasanya ngga etis banget aku ngasih ke orang yang punya “modal” seperti itu. Terus, pilihan kedua adalah kita menyodorkan beberapa lembar uang kita, tak jarang uang receh yang nyelip disela-sela kantong yang udah lepek. Tapi kali itu, aku pengen melakukan hal yang lain. Ah, tepatnya spontanitas ding.
Bocah itu, (ah, entahlah siapa namanya, semoga ketika besar kelak dia tak menjadi pengemis seperti apa yang ia lakukan sekarang ini) menghampiriku yang baru keluar dari In**mart dekat asrama. Ia masih menggunakan seragam sekolah, namun sudah nampak kumal. Mukanya juga kotor kena debu jalanan. Dengan entengnya dia mengatakan,”Mba, minta duit.” Kalo aku kenal dia sih ngga papa, tapi aku kan ngga kenal dia, dia juga belum tentu kenal aku. Yah, namanya juga pengemis. Tapi aku tergelitik juga buat tanya lebih lanjut.
“Minta uang buat apa dek?” tanyaku mencoba meramahkan diri.
“Buat beli es cream, Mba,” jawabnya dengan mata memandang ke aspal.
Oiii, gue aja udah berbulan-bulan ngga makan es cream.
“Memang Bapak kamu kemana? Ngga minta sama bapak aja?” tanyaku lagi. Setahuku, dan semoga benar, anak seusia dia masihlah menjadi tanggungan orang tua. Tentu tidak dibenarkan ketika dia meminta-minta pada orang lain selain orang tuanya dalam keadaan tidak terdesak. Buat beli es cream coba.
“Bapak lagi layat, Mba,”
“Bapaknya di perempatan jalan tuh, Mba,” sela seorang pemuda di dekat kami. Nampaknya ia menyimak pembicaraan kami.
“Kalo Ibu? Layat juga?”
Dia hanya mengangguk lemah. Satu fakta, dia bukan anak yatim. Setidaknya belum aku lihat pembenaran dari tindakannya menjadi peminta-minta. Mungkin kini di pikirannya waktu itu, “Mba aneh, ngapain sih nanya-nanya?” tapi aku tak perduli. Waktu-waktu yang bergulir selanjutnya, aku masih berbicara dengannya. Menyakan banyak hal tentang ini itu. Mulai dari sekolahnya, PRnya yang belum dikerjakan, ia yang dipaksa kakaknya untuk ikut mengemis (kakaknya di Al**mart juga loh), bapaknya yang tak memberinya uang, hingga pengakuannya yang mengatakan ulang tahun minggu depan. Ah, aku tentu ingin mengajaknya ke asrama. Jika mau, dia akan aku belikan kue ulang tahun yang mungkin sangat ia impikan. Tentu jika pengakuannya benar, tapi, dia menolak. Namanya juga pengemis.
Adzan magrib baru saja terdengar dari masjid, dibersamai gerimis rintik-rintik. Jika tidak teringat bahwa aku harus sholat magrib, mungkin pembicaraan setelah hampir lebih dari 20 menit itu itu akan terus berlanjut. Tapi aku ternyata harus menyudahinya setelah berkali-kali mengatakan,”Mengemis bukanlah pekerjaan. Janganlah mengemis. Tuhan tidak suka akan hal itu, dan itu sungguh bukan perbuatan yang baik, bekerjalah jika kau dewasa nanti. Tugasmu sekarang adalah belajar, biar orang tuamu yang mencari uang untukmu. Sekali lagi jangan mengemis. Itu sungguh bukan perbuatan yang baik, ” tentu dengan bahasa yang mudah untuk ia pahami (aku punya ponakan seusia dia, ingat itu! Terus knapa?).
Aku meninggalkannya, setelah sebelumnya memberinya sebungkus coklat (tau kan coklat yang biasa aku beli?-.-).
Bocah itu hanya satu, dari mungkin sekian ribu bocah-bocah yang tak beruntung. Bukan karena tak beruntung berada dalam kemiskinan, tapi karena tak beruntung berada di dalam bimbingan orang tua yang “tak benar”. Kenapa aku bilang tak benar? Jika orang tua mengasuhnya dengan benar, tak mungkin orang tuanya membiarkan anaknya malam-malam, magrib berada di luar rumah, mengemis pula. Meski semiskin apapun, jika masih mampu, orang tua yang benar-benar mengajar anaknya dengan benar, tak akan membenarkan tindakan mengemis seperti itu. Sungguh, dia pantas mendapatkan lebih dari ini.
Kemudian, terkenang masa kanak-kanak. Meski hanya berasal dari keluarga bekas transmigran, keluarga yang harus berjuang penuh untuk bertahan hidup setelah kembali ke pulau Jawa, setelah tertatih menata hidup kembali setelah goncangan bertubi-tubi, sungguh, aku lebih beruntung dari ia. Orang tuaku tak pernah mengajarkanku untuk menjadi peminta-minta. Keluargaku tak pernah meninggalkanku sendirian di kegelapan malam, menghampiri orang-orang untuk meminta uang pada mereka, berharap belas kasihan. Sungguh, aku jauh dan jauh lebih beruntung.
Ah, aku teringat pula akan negriku yang kaya raya luar biasa. Melimpah ruah sumber daya. Bagaimana negriku 10-15 tahun ke depan jika anak-anaknya lebih suka di luar untuk mengemis daripada berada di dalam rumah, belajar, mengerjakan PR, dan mengaji? Apakah ini salah keadaan? Patutkah kita menyalahkannya? Sungguh, tentu tak ada gunanya saling menyalahkan sekarang. Tak perlu pidato, penghimbauan pemberantasan kemiskinan, tak perlu sumbangan janji-janji, tak perlu, sungguh.
Dan, aku selalu bertanya, apa yang bisa aku lakukan?
Lagi-lagi jawabannya adalah, aku hanya bisa menulis. Melukis keadaan mereka dengan goresan tinta. Menerjemahkan keadaan mereka dengan otakku yang terbatas, dan semoga mampu mengetuk hati yang keras, untuk sekedar peduli, melihat dan turut memikirkan, apa yang bisa kita lakukan. Tidak hanya untuk mengulurkan tangan, membantu, tapi juga berusaha memutus rantai yang terlanjur terjalin kuat. Negara kita bukan negara pengemis. Ah, lagi-lagi, mungkin itu terlalu muluk.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday, 16 July 2012

Numero Uno

 Celoteh pagi membangunkanku, menghabiskan mimpi yang tiba-tiba hilang dari ingatan. Entah apa yang aku mimpikan tadi. Mataku menyapu seluruh ruangan. Lampu kamar masih menyala, namun cahayanya meredup karena sinar matahari sudah mulai menerobos dari jendela. Jam berapa sekarang? Tak ada jam yang terpasang didinding kamar. Satu-satunya penunjuk waktu yang ada adalah handpone jadulku.

 “Astagfirullah!!!!!!!!!!!!!!” mataku yang semula redup dan ingin terpejam lagi langsung terbuka lebar. Seratus watt full. Pukul 05.43. Aku melewatkan sholat Subuh ku. Ah, tidak, semoga masih ada waktu. Aku terbirit-birit kekamar mandi. Menabrak pintu kamar, sandal selen, terantuk pintu kamar mandi yang hanya setinggi telingaku dan tragisnya, semua kamar mandi telah terisi.

 “Buruk Cip,” kataku seraya duduk disamping Cipa, teman sekelasku. Ia menoleh. Mengernyitkan dahi, tak mengerti.

 “Kesiangan lagi?”

Aku mengangguk. Ia nampak prihatin. Tapi sesaat. Ia kembali asyik dengan sesuatu yang berada di tangannya. Buku, novel tentunya. Aneh sekali jika yang ia baca buku pelajaran meski ditengah pelajaran sekalipun.

 “Cip, kasih solusi napa? Sholat Subuh jadi ngga tepat waktu nih,” rengekku. Meski aku tau sia-sia. Jika Cipa sudah memeggang buku, segala urusan adalah sampingan. Tak ada yang penting. Menyebalkan.

 Tuh kan, dia hanya menengok mukaku yang memelas, sedetik. Tak lebih, lalu kembali lagi ke bukunya. Sungguh tega! Apakah ini yang disebut sahabat? Jerit batinku. Tak serius tentunya. Ia sahabat yang paling baik yang pernah aku kenal. Aku menatapnya yang tak bergeming. Mangkel. Tapi ya sudahlah. Nanti jika sudah waktunya dia pasti akan memberiku solusi. Semoga saja solusinya tepat.

 ”Tanya si numero uno,” bisik Cipa di tengah-tengah perkuliahan. Aku menatapnya sejenak, tak mengerti arah pembicaraannya. Namun, setelah ku ikuti arah matanya yang tak setajam silet, baru aku paham apa yang ia maksud. Benar kata pepatah, setiap solusi pasti ada jalannya. Eh, setiap masalah pasti ada solusinya. Tinggal kita mencari kuncinya, dan kunci permasalahanku berada di depan sana. Duduk tenang di barisan kursi paling depan.

 Namanya Mandala, tapi kami sering menyebutnya si Numero uno. Nama yang sangat cocok untuknya, mengalahkan nama pemberian orang tua yang mungkin membutuhkan waktu berbualan-bulan untuk meracik nama itu. Tapi kami, atau mungkin seluruh makhluk di bumi hanya membutuhkan waktu sepuluh detik untuk menyebutnya Si Numero Uno.

 Si kurus berwajah tirus itu memang memiliki hal nomor satu hampir dalam segala hal. Contohnya saja tempat duduknya, ia tak pernah absen untuk menempatkan dirinya di kursi paling depan. Bahkan ia mungkin akan rela menggusur, ataupun menggunakan trik licik milik para penjahat tengik hanya untuk mendapatkan kursi paling depan. Tapi sepertinya ia tak usah mengguras tenaganya untuk mengeluarkan triknya tersebut. Selama ini dia selalu datang paling awal ketika pintu kelas belum terbuka, bahkan mungkin ketika pintu gerbang belum terbuka. Kadang aku jadi penasaran, jam berapa sih dia bangun?

 Nah, tepat sekali. Si nomor satu dalam segala hal ini pasti punya trik jitu. Namun ternyata hari ini aku tengah sial, si nomor satu telah melesat pergi paling pertama ketika perkuliahan telah usai. Dia memang the numero uno.

 Sepedaku melaju pelan melewati beberapa pertokoan. Matahari seakan tersenyum mengejek. Dia melambai-lambaikan sinarnya dan nampak enggan untuk bersembunyi lama-lama dibalik awan yang sesekali lewat. Beberapa klakson motor atau mobil terdengar nyaring. Ah, masa sama sepeda aja dzalim. Suruh siapa tak ada jalur khusus sepeda. Aku tetap mengayuh sepedaku santai dan sesekali tersenyum mengejek pada mereka yang menggerutu dibalik kemudi.

 “Santai sekali? Sepertinya pengemudi di belakang sana sudah kehabisan persediaan sabar,” suara seseorang mengusikku. Mandala. Dia mengayuh sepeda di sampingku. Namun kemudian ia melesat pergi. Wah, kunciku. Aku harus mengejarnya.

 Meski jauh dari adegan seru ala film action saat berkejar-kejaran, apalagi kami hanya menaiki sepeda ontel, namun mengejarnya sudah cukup membuat keringatku mengucur deras dan membasahi jilbab yang kukenakan. Tapi tak sia-sia, aku berhasil mengejarnya dan kini kami mengayuh sepeda bersamaan.

 “Baru pulang?”tanyanya.

 Aku hanya mengangguk. Aku belum berhasil mengatur nafasku.

 Kami terdiam cukup lama. Mengayuh dalam bisu. Wah, kaya orang marahan. Akhirnya kubuka pembicaraan.

 “Aku boleh minta tolong ngga, Man?”

 “Apa?” jawabnya singkat. Wajahnya tetap tertuju pada jalanan yang mulai lenggang. Kami mulai meninggalkan padatnya kota.

 “Ehmss…” keraguan tiba-tiba saja menghujamku. Aku takut dia akan menertawakanku dan berlalu pergi. Atau bahkan ia akan menceritakan pada teman-temannya bahwa aku sering kesiangan. Tapi segera kutepis bayangan itu. Setahun sekelas dengannya sepertinya sudah cukup untukku mengetahui wataknya.

 “Ngga jadi?” dia menoleh. Ah, aku harus cepat bicara. Jangan sampai ia menjadi the numero uno dalam hal meninggalkan teman.

 “Jadi…Aku Cuma pengen tanya, apa sih rahasia kamu selalu bangun pagi?”

Dia menoleh, mengernyitkan keningnya. Apa pertanyaanku konyol?

 “Yia, kamu kan selalu dateng paling pagi. Otomatis kamu harus bangun pagi dong? Nah, apa nih rahasianya supaya kamu bisa bangun pagi?” jelasku. Wajahnya kembali menghadap ke depan. Nampaknya ia tengah berfikir. “Aku hanya dalam keadaan terdesak,” jawabnya singkat.

 Aku menatapnya bingung. Kupikir dia akan membeberkan trik jitunya seperti jangan tidur terlalu malem lah, jangan minum kopi malem-malem lah, pasang alarm yang keras lah, yang semuanya pernah ku coba namun gagal total. Hampir saja sepedaku menabrak sepeda motor yang terparkir.

 “Maksudnya?” tanyaku dengan wajah terbodoh yang pernah ada di bumi.

 “Ehms…” dia berfikir lagi. Nampaknya dia paham, dia harus menjelaskan sangat terperinci agar aku mengerti apa yang ia maksudkan. Pengalaman di dalam kelas.

 “Ayo ikut aku,” jawab Mandala akhirnya. Ia membelokkan sepeda menyebrangi jalanan. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, aku membuntuti kemana ia pergi. Kami melewati sebuah jalan sempit dengan pemukiman kumuh disana-sini. Baru aku tau ada tempat seperti ini didaerahku.

 “Kita kemana?” aku sedikit berteriak. Jalanan sempit ini tak memungkinkan kami berjalan beriringan. Dia tidak menjawab, namun malah memperlambat laju sepedanya.

 “Ini tempat apa?” tanyaku lagi layaknya nenek-nenek renta yang paling cerewet melihat sebuah bangunan tua yang nampak lapuk, namun terawat. Ada banyak pohon bunga di tamannya. Jelas ini bukan rumah Mandala. Rumah Mandala sangat besar, mirip rumah di film-film. Dia anak orang kaya, dan yang buat aku salut dia bukan orang yang suka memamerkan kekayaan orang tuanya. Dia juga anak yang rajin, yah, si numero uno. Selalu mendapat nilai tertinggi, selalu paling awal menyerahkan tugas, selalu nomor satu aktif di kelas. Namanya juga numero uno.

 Lagi-lagi dia diam, hanya menyeringai kecil penuh misteri. Ah, baru aku tau, ada sisi lain pada dirinya. Aku kembali mengikutinya memasuki halaman bangunan tua itu. Seorang anak kecil menyambutnya.

 “Ibu ada Wen?” Tanya Mandala pada gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun. Bocah itu menggelang, lalu ia berceloteh riang. Mandala menoleh kearahku, matanya menyuruhku untuk mengikutinya.

 Kami memasuki sebuah ruangan luas dengan beberapa kursi di sudut-sudutnya. Mungkin ini ruang tamu.

 “Selamat datang di rumahku,” ujarnya. Ia meletakan pantatnya di kursi yang terbuat dari kayu. Aku menatapnya tak mengerti. Pasti nampak sangat bodoh.

 Tanpa menunggu waktu lama, ia lalu menjelaskan panjang lebar tentang rumah itu. Itu memang rumahnya. Lalu rumah besar itu? Pemilik rumah itu adalah orang tua angkatnya yang berbaik hati mau menyekolahkan Mandala. Mandala hanyalah seorang anak miskin yang sedikit beruntung. Ayahnya telah meninggal sejak adiknya, Weni lahir. Ia terpaksa membantu perekonomian keluarganya, sampai-sampai ia terancam putus sekolah. Beruntung, seorang keluarga kaya menawarkan bantuan untuk membantu biaya sekolahnya. Namun tetap saja perekonomian keluarganya tak cukup membaik. Oleh karena itulah ia tetap bekerja di sela-sela kesibukannya. Setiap pagi ketika aku masih sibuk dengan mimpi-mimpiku, ia telah bersiap mengantarkan beberapa dagangan milik ibunya kepasar pagi dan membantu berjualan disana. Ketika matahari mulai menampakan batang hidunganya ia langsung meluncur ke kampus dengan sepeda ontelnya. Padahal jarak pasar dengan kampus bukanlah jarak yang dekat. Pekerjaanya belum usai. Ketika perkuliahan selesai ia harus bergegas menuju sebuah toko elektronik. Ia bekerja disana hingga matahari bersembunyi kembali.

 “Oke, jika ada alasan yang membenarkan aku bangun siang, pasti aku akan melakukannya. Namun sayangnya tidak. Waktu terus berpacu, dan aku harus mengejarnya agar aku tak menelan kerugian. Bukankah Rasulullah pun selalu bangun pagi? Kenapa aku tak mengikutinya, bukankah Ia panutan nomor satu di dunia?”

 Aku tercengang. Mandala mencontoh Rasulullah padahal ia non muslim. Sedang aku yang telah berikrar berkali-kali bahwa ia adalah Rasulku? Memalukan. Aku menatap taman melalui sela-sela jendela. Tak mungkin kubiarkan manusia nomor satu, the real Numero Uno, bukan Mandala, namun Rasulullah bersedih karena pengikutnya yang malas.

-End-
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 11 July 2012

Dari Kolong Langit

 "Ibu, hari ini kita buka sama apa?"

 Ah, andai saja bisa memilih, tapi ini bukan pertanyaan atas sebuah pernyataan yang telah tersedia, tapi ini adalah pertanyaan atas ketiadaan, dan aku hanya bisa tersenyum sambil terus mengemasi penyambung nyawaku yang aku temukan. Kardus-kardus kosong tumpuan hidup kami hari ini. Tapi sepertinya harta karun ini belum cukup untuk mengganjal perut yang sewaktu-waktu minta diisi. Apa-apa sekarang mahal. Ah, tapi kenapa harta karunku ini tak bisa terjual mahal?

 "Ibu, kemarin Ayi lihat ada yang bagi-bagi kardus putih di persimpangan. Bu, nanti kita kesana ya," rajuk anak semata wayangku, bocah kecil berusia delapan tahun yang menjadi alasanku untuk tetap berusaha hidup hari demi hari.

 Ia menatapku. Ah, indah binar matanya. Masih bening sebening embun pagi. Andai dia tak terlahir disini, kolong langit yang sering mempersembahkan hujan mengguyur, mengigilkan badan, panas matahari yang terik, dan asap menyesakan dada. Mata indah itu pasti akan sangat dikagumi. Aku mengangguk. Ada harapan untuk sore nanti.

**

 Tiga puluh menit lagi. Kulihat jam di toko tempat biasanya aku meminta harta karunku. Tapi ternyata hari ini harta karunku tak aku jumpai. Hanya senyum ganjil yang aku terima dari si empunya toko. Dia tak pernah bicara sepatah katapun denganku. Hanya tangan dan kakinya yang bergerak seperlunya. Sungguh enak hidupnya. Hanya duduk dibelakang meja, tapi sudah mendapatkan uang. Ah, lalu bgaimana hidup orang-orang diatas sana yang berebut mendapatkan meja dibangunan yg sangat luar biasa itu. Aku tak mampu memikirkannya.

 "Ibu, kardus putihnya sedang dibagi. Ramai sekali disana. Ayo Bu, nanti ngga kebagian,"ucapnya penuh semangat. Ia menarik tanganku erat, dan aku hanya mengikutinya. Namun dihatiku juga tak kalah semangat. Perutku sudah berteriak minta diisi, tak mungkin aku abaikan. Kami berlari-lari kecil, dengan bayangan sekardus makanan lezat yang akan kami nikmati sore ini. Ah, lama sekali lidahku tak dirasai rasa-rasa sedap. Seringkali hanya aku temuai rasa hambar nasi dari beras untuk si miskin dan taburan kristal putih bernama garam.

 "Ibu, ayo, disana," Anakku menunjuk kerumunan orang-orang. Aku kenal banyak dari mereka, si Ibang pengumpul harta karun TPA, Si Sumi, musisi yang sering konser ditemani lampu merah kuning hijau, dan masih banyak lagi tetanggaku di kolong jembatan. Mereka antri dengan manis didepan seorang wanita muda yang begitu cantik dan anggun. Kulitnya putih, bajunya bagus, Senyumnya mengembang ramah. Ah, inikah malaikat itu?

 "Ibu, ayo!" Ayi menarikku mendekati kerumunan itu.

 “Tentu, ayo nak, kita bertemu dengan malaikat itu dan doakan yang terbaik untuknya,” kataku dengan senyum mengembang.

 "Ibu, maaf. Kami mau mewawancarai ibu ya," seseorang tiba-tiba mencegatku. Ia mengenakan tanda pengenal yang menggantung di lehernya. Sebuah microphone tergenggam di tangan kanannya. Dia ditemani seorang lelaki muda yang membawa benda hitam dengan ujung kaca dipundaknya, yang biasa mereka sebut kamera.

 "Ibu, pekerjaan Ibu sehari-hari sebagai apa? Bagaimana menurut Ibu dengan pembagian makanan untuk berbuka ini." Ia terus mengajukan pertanyaan yang tak aku mengerti. Untuk apa ia bertanya seperti itu? Apa ini syarat untuk mendapatkan kotak putih berisi makanan lezat itu? Aku tatap wanita muda disana, seseorang mengelap keningnya beberapa kali, ia juga dikelilingi orang-orang pembawa kamera. Cahaya-cahaya seperti kilat sering terlihat disana. Ayi berlari sendri tak sabar. Ia akhirnya berkumpul dengan mereka yang kini aku lihat mulai berebut. Apa tubuh Ayi yang kecil bisa ikut berebut. Harusnya aku membantu Ayi. Ah, sedang apa orang ini. Dia terus bertanya. Tak membiarkanku mendekati makanan lezat itu. Hingga kerumunan itu merenggang. Si wanita anggun pergi dengan mobil mewahnya. Orang itu pun turut berhenti bertanya dan meningglkanku dengan cepat-cepat.

 Mana Ayi? Apa ia berhasil dapatkan kotak putih itu? Aku lihat ia. Bajunya bertambah compang-camping, rambutnya bertambah kusut. Ia menatapku dengan air mata yang bersimbah. Tangannya kosong.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com