Wah,
propinsi tetangga kayaknya mau pemilu nih, dan sebentar lagi gue juga jadi
pemilih di rimba sendiri. Tinggal menunggu hitungan bulan aja. Dan, kayaknya
ngga ada matinya kalo cerita tentang hal yang satu ini.
Tentang
pemilu?
Tentu
aja bukan. Soal pemilu sih, pasti ada matinya, soalnya yang di pilih itu kan
manusia juga, pasti suatu saat nanti ada aja yang mati. Ya ngga?
Terus?
Ini
nih, masih tentang Bus Ekonomi.
Biasa
si, setiap weekend, orang kayak gue yang ngga punya kegiatan di kampus, yang
ngga ada kerjaan, yang ngga ada tuh yang namanya rapat-rapat, apalagi merapat
di rektorat, melenggang menuju tempat pemberhentian bus kelas ekonomi. Dimana
aja, namanya juga bus ekonomi. Ngga etis kan kalo punya halte. So, dimana aja
boleh deh, asal busnya lewat situ aja.
Ckittttttttt!!!
Bus
berhenti tepat di depan gue, dengan rem super duper kenceng. Bisa di bayangkan
manusia-manusia yang berada di dalamnya. Mungkin ada yang memaki, mengelus
dada, mengelus kepala, mengelus rambut, dan yang ingat, menyebut Asma-Nya. Atau
bahkan reflek melakukan hal yang lain. Mungkin. Gue ngga berada di dalam sana.
Namun semenit kemudian, tubuh ini sudah terhuyung-huyung memasuki area seribu
cerita. Dan cerita itu dimulai.
Bus
melaju lebih kencang dari yang aku bayangkan dan perkirakan. Seneng sih. Lebih
cepet sampai tujuan, namun berkali-kali tubuh ringkih ini di ombang-ambingkan
bak berada di kapal bersambut gelombang badai yang garang. Mending kalau dapet
tempat duduk. Kalau sudah berdiri, berimpit dengan penumpang yang lain,
matahari terik menyengat, sungguh ceritanya menjadi ruar biasa.
Dan
sebuah bus menyalip. Syuhhhh... keren. Macam di sirkuit balapan kelas
internasional. Padahal bus ini udah kencengnya ampun-ampunan, masih ada yang
bisa nyalip. Sopirnya kerennnnnn. Tapi, ternyata si sopir bus yang gue naiki
ngga tinggal diem aja. Di suporteri oleh kondektur, si sopir menginjak gas
kencang-kencang. Dan benar saja, jalanan Jogja-Kebumen menjadi sirkuit
internasional.
Seok
ke kanan, rem mendadak, gas kencang, seok ke kiri, rem mendadak lagi, mau
nyalip ngga jadi karena ada mobil nyempil, nyempil nyampe turun dari aspal,
guncangan besar karena lobang di terjang, sungguh menjadi pemandangan yang
menakjubkan alias membuat jantung deg-degan.
Apakah
bus baik-baik saja?
Ngga
tau juga sih. Yang gue tau, telinga ini mulai mendengar keluh kesah dari
beberapa ibu-ibu, nenek renta, dan kakek tua. Yang muda si diem-diem aja.
Kayaknya memang asik kan kebut-kebutan gini. Yang payah yang berada di tengah,
yang berdiri, dan yang berimpit. Beruntung yang dapat PW, bagi yang ngga, harus
mati-matian menjaga tubuhnya biar ngga roboh ke tubuh orang lain atau malah
terjerembab ke lantai bus, maka jadilah, tangan menjadi lebih kuat dari
biasanya, kaki lebih sigap dari biasanya. Sayang (Alhamdulillah..), gue harus
keluar dari arena sebelum pertandingan ini di ketahui pemenangnya (turunnya itu
pun nyampe keblandrang jauhhh).
Sopir
itu penentu kelangsungan hidup bus dan penumpangnya. Dialah yang menentukan
busnya, apakah akan melaju kencang, lamban, sedang, terseok-seok, aman untuk
penumpang, membahayakan jantung penumpang, membuat nyaman penumpang, atau
membuat takut penumpang. Bahkan menyusahkan penumpang. Belum lagi kalau
kondekturnya, yang berada di bawah si sopir minta tarif lebih dari biasa.
Waaaaah...
Begitulah
seorang sopir yang menjadi pemimpin bus, manusia menjadi pemimpin dirinya
sendiri, ayah pemimpin keluarga, lurah pemimpin desa, camat pemimpin kecamatan,
bupati pemimpin kabupaten, gubernur pemimpin propinsi. Bagi gue ngga ada
bedanya kecuali nama-namanya dan cakupan tanggung jawabnya. Intinya sama.
Mereka adalah sama-sama pemimpin yang menentukan nasip (b) penumpangnya.
Bukan
hal baru, ketika sopir mengantuk, sopir ugal-ugalan, puluhan nyawa penumpang
melayang, di jemput malaikat pencabut nyawa. Atau, yang lebih menyedihkan lagi
adalah luka, patah tulang, gegar otak, amnesia, hingga kehilangan dompet di
celana.
Memang
sih, ketika kita menaiki bus tidak serta merta bisa memilih bus yang tipe
sopirnya pas dengan kita. Namun kalau sudah biasa dan hafal macam anak sekolah
naik angkot, pasti sudah tau, mobil yang warnanya ini sopirnya begini, yang
gambarnya itu sopirnya begitu. Yah, kita bisa menilainya dari pengalaman.
Seperti pemimpin, kita bisa melihat dari apa yang telah ia lakukan di hari yang
lalu. Jangan serta merta percaya dengan janji, karena yang akan terjadi nanti
siapa tahu. Tapi paling tidak jangan asal naik bus (kalo ngga ke buru-buru)
tanpa mengenal sopirnya, bisa-bisa beneran kena jantungan. Kalau perlu, sebelum
naik wawancara dulu tuh sama si sopir. Kira-kira laju busnya itu kecepatannya
berapa, remnya cakram ngga, busnya kuat ngga, bannya bocor ngga, dan yang
paling penting adalah, sopirnya waras atau tidak. Syukur-skyukur kalau sampai
tahu apakah si sopir itu ingat mati atau tidak, so bisa tau, apakah si sopir
akan mempertaruhkan nyawanya sediri, minimal, hanya untuk mendahului bus lain
atau tidak.
So,
jadilah penumpang cerdas. Nyawamu taruhannya. :D
0 Apa Kata Mereka???:
Post a Comment