Thursday, 5 June 2014

Blog Baru Gue

Sebenernya masih satu akun sih. Tapi gue punya blog baru yang mungkin beda genre dari blog yang ini. Di blog yang satu ntu gue lebih condong cerita tentang jalan-jalan gue, dan itu lebih fokus. Yah, meskipun jarang entri post juga sih. Haha..
Tapi kalao lu mau lihat boleh ko... mampir aja. Kali aja lo tertarik..haha..


http://tintakeringtraveler.blogspot.com/
cek it out!!!
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Nemu Cerpen Lama, Sabila Sedang Jatuh Cinta

Wuih...gue nemu cerpen gue jaman kapan entah yang ngebahas tentang cinta. Scara, jarang banget kan gue nulis tentang cinta. Ya, mo gimana lagi. Pengalam gue tentang cinta antara kaum hawa dan kaum adam kan cuma segelintir doang. So, daripada bahas tentang cinta itu kan mendingan gue mbahas tentang fenomena sosial di tiap cerpen-cerpe gue. itu lebih gue banget. Nah, nih cepren gue.. Mo baca? Boleh..D

Sabila Sedang Jatuh Cinta
Debu mulai menemukan kebebasannya ketika matahari mulai terik. Ia berterbangan menguasai udara yang kering, menjelajahi sekian banyak dimensi, dan mungkin sebagian telah mampir di pelupuk mata hingga membuatnya merah dan mungkin iritasi. Beberapa menempel pada serat-serat kain yang dikenakan orang-orang yang berlalu lalang,  menempel pada kulit dan bercampur dengan keringat. Tapi nampaknya orang-orang yang berlalu lalang tidak perduli dengan hal itu. Mereka tetap sibuk dengan seribu urusannya hari ini. Urusan yang mungkin saja sangat pelik sehingga membuat langkah mereka tergesa-gesa dan memasang wajah serius, atau urusan yang menyenangkan sehingga membuat langkah mereka seringan angin dengan bibir yang tak henti-hentinya menyunggingkan senyum.
Seorang laki-laki jangkung berada diantara mereka. Ia mengunakan kemeja bergaris halus dengan warna biru terang. Wajahnya nampak serius dengan langkah pelan namun mantap. Kacamata minus yang ia kenakan membuat ia terlihat nampak cerdas, namun tetap teduh.
Sebenarnya tidak ada yang mencolok dari laki-laki itu, tapi tidak bagi Sabila, seorang gadis muda yang sering menghabiskan harinya di belakang meja kasir sebuah toko kue. Ia bisa mengamati laki-laki itu dari kaca di sampingnya yang merupakan etalase. Tidak hanya hari ini, tapi berhari-hari sebelumnya dengan doa yang tak putus-putus terpanjatkan, laki-laki itu masuk kedalam toko kue tempatnya bekerja.
Laki-laki itu memang bukan laki-laki yang istimewa. Dia tak terlalu tampan, meski di atas rata-rata teman kampus Sabila. Tapi toh di luar sana banyak pria yang lebih tampan dari dia. Tapi memang bukan itu yang membuat Sabila terus-terusan mengamati laki-laki yang selalu lewat didepan toko setiap jam dua siang itu.
Pria jangkung itu pernah masuk kedalam toko kue. Sekali, dan langsung membuat Sabila merasa dia istimewa.
“Ada kue patah hati?” tanya pria itu.
“Ya?” tanya Sabila yang tidak percaya pada pendengarannya.
“Saya tengah patah hati, dan saya ingin makan kue,” kata pria itu dengan suara bergetar. Sabila melihat mata di balik kaca berbingkai itu memerah dan menyisakan setitik kristal bening. Sabila yang telah menjalani profesinya dua tahun mulai memahami situasi.
“Anda mau kue coklat? Itu bisa menurunkan kadar stress,” tawarnya.
Pria itu hanya mengangguk. Sabila memanggil temannya yang bertugas melayani konsumen. Pria itu tak berkata-kata lagi, dan ia pun meninggalkan toko. Keesokannya Sabila melihat pria itu lagi, dengan raut wajah berbeda, sesungging senyum mengukir dibibirnya. Hingga berhari-hari kemudian, pria itu selalu lewat di depan toko, namun tanpa mampir sekalipun di toko kue tempatnya berada.
“Dari awal dia memang aneh, tak heran kau jadi ketularan aneh,” kata Rara, teman kerja Sabila.
“Enak saja, dia itu menarik. Tak seperti laki-laki pada umumnya. Coba, mana ada si laki-laki yang lagi patah hati kepikiran buat makan kue kecuali dia. Pasti dia punya perasaan lembut seperti kue,”
“Nah itu yang bikin aneh. Yang aku tau, kalo laki-laki macam dia lagi patah hati paling ngga ngedugem bareng temennya di club, atau ngebut di jalan, atau yang lebih alim berdoa di masjid, la dia, makan kue, aneh.”
“Emang kenapa kalo patah hati makan kue? Ngga ada larangannya toh? Ngga ada undang-undangnya tau,” kata Sabila keras kepala.
“Ya sudah lah, terserah kamu,” kata Rara seraya beringsut pergi.
Sabila memang tak perduli betapapun anehnya apa yang tengah ia lakukan, dan mungkin apa yang ia rasakan. Ia selalu merindukan kedatangan pria itu. Sehari tanpa melihat pria itu membuat Sabila merasa dunianya muram, matahari seperti tertutup awan tebal meski sebenarnya matahari tengah bersinar dengan terang.
Hari ini, seperti biasa Sabila sudah stay melihat kaca etalase, dan ia melihat pria itu. Sepertinya Tuhan kali ini mengabulkan doanya. Pria itu berbelok arah, dan membuka pintu toko kue. Sontak membuat Sabila ingin berteriak kegirangan. Ia menatap Rara dengan gembira dan rasanya ia ingin memeluk temannya yang tengah menunggu akan ada adegan aneh apa lagi kali ini.
“Trimakasih sekali kuenya waktu itu mba,” kata pria itu dengan senyum yang terukir manis di bibirnya. Sabila tak mampu berkata-kata. Dia mulai berharap, dan angan-angannya mulai melambung.
“Memang benar ya, coklat itu bisa menenangkan,” lanjutnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar. “Sebenarnya sudah lama saya ingin kesini,” katanya lagi yang membuat angan-angan Sabila kian meninggi. “Tapi mungkin ini yang terakhir, saya harus segera ke Autria, beasiswa saya disetujui, dan kali ini saya ingin memesan kue kebahagiaan. Apakah toko ini memilikinya?”
Sontak saja angan-angan Sabila berdebum kelantai dengan keras. Austria? Dia pergi? Tak akan ada lagi acara mencuri pandang lewat etalase? Sepertinya sekarang Sabila membutuhkan kue patah hati.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tuesday, 17 December 2013

Litlle Think about Love

      Aku hanya tahu sedikit tentangnya. Tak lebih dari seujung kuku. Tapi aku kembali terusik atas peristiwanya, yang menggalaukan hati dan memberi kekisruhan pada otak yang tak bertepi.
      Ia pada wujudnya yang tak nyata, mencerminkan kehidupan pada insan manusia. Seperti layaknya udara yang tak terlihat, ia mampu memberikan kehidupan. atas ijin Sang Pencipta, kepada umat.
      Aku membiarkan ia berkeliling pada belantara kehidupan, lagipula tak mungkin aku mencegah. Bukankah banyak umat manusia mengharapkan hadirnya. Pada setiap nafas, pada setiap langkah mereka. Ya, terkadang aku melihat perih, pada luka yang menganga akibat goresan yang bersinggungan antara kedua pemiliknya. Namun bukan berarti luka itu tak tersembuhkan, karena ada obat penawar yang datang, sama-sama dari dirinya, namun mungkin dalam bentuk yang lebih berbeda. Aku hanya akan menyebutnya cinta.
Cukup sederhana pemaknaanku padanya. Tak perlulah serangkaian kata, karena sejatinya memang ia tak akan pernah terdefinisi dengan pasti. Jelas saja, dia bukanlah kata kerja, dia bukanlah kata benda, namun disatu sisi dia bisa saja menjadi keduanya.
Ya, aku memang tak perlu terlalu jauh mendefinisikannya. Aku hanya ingin membicarakannya, dari hati yang pernah merasainya, dari mulut yang pernah mengucapkannya, dan dari tangan yang pernah mengukirnya.
Pada kelayakannya, aku ingin dia hadir pada suatu ketika, ketika dua insan dipertemukan dalam sebuah ikatan resmi, suci nan indah, karena sebelumnya insan yang tak pernah dipertemukan secara langsung itu berani menjangkaunya. Pernikahan itu hanya diawali oleh keinginan memuliakan perintah Allah yang memang telah mulia. Namun, bukan berarti tanpa pengharapan akan cinta pada keduanya. Tentu aku hanya pengamat yang sedang menjadi saksi mata pada sebuah masa.

Langkah-langkah yang mereka jalin dalam rumah bahagia. Ya, akhirnya cinta menyapa mereka berdua. Apa mereka bahagia? Tidak selamanya, karena sejatinya cinta tak menjanjikan kebahagiaan nampak begitu cerahnya. Terkadang ada duka yang tak terelakan, kadang ada tangis yang tak tertepiskan. Mengapa? Aku sendiri tak tau, mungkin hakekat cinta memang demikian. Ia tak menjanjikan apapun pada manusia. Bukankah iya? Aku akan mengangguk takzim mengiyakan. Mungkin kamu tidak, dan aku tidak perduli.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Friday, 13 December 2013

Dari Skripsi Sampae ODOJ

Gue frustasi. Eh..?
Bukan..bukan...bukan.. Bukan seperti yang elo bayangin bahwa saat ini gue lagi luntang lantung dijalan, dengan pakaian kumel. Apalagi lari-lari sambil nyanyi gaya Kuch Kuch Hota Hota Bento. Bukan itu. Hanya saja, sedari tadi mantengin layar leptop gue tetep ngga punya progres berarti. Ujung-ujungnya gue gambar buletan- buletan. Jadi deh pola polkadot buat bikin sapu tangan ingus. Lagi musim pilek kan. #Tuh kan ngga nyambung
Tau kan masalah tentang mahasiswa tingkat akhir. Memang sih, gue belum akhir-akhir banget, tapi tetap saja, bisik-bisik tetangga tetap terdengar. Anehnya gue jadi illfill kalau sering-sering denger kata itu. Nohok banget kayaknya kalau setiap ada yang tanya, “S******nya udah sampe mana?”,”S******nya tentang apa?” Bueehhhh, rasanya kaya naik kora-kora yang diayun pake tenaga nuklir Hirosima Nagasaki.  
Maksud elo skripsi?
Woi!! Itu kata keramat, ngga boleh di sebut! Hapus hapus hapus. Mana tip-X? Mana? Mana?????
Umpamanya gue disambungin sama mesin pelacak detak jantung, garisnya sekarang tuh lagi lurus.
Tapi, itu mungkin takdir ya, tapi mungkin juga seperti jodoh. Kalo belum ketemu jodohnya bagaimana pun dipaksain ya ngga bakalan cocok. Jadi gue sih sante aja kalau sampe skarang progres si S****** masih kaya gitu aja. Masih tenggang satu semester lagi dari persyaratan yang di beri nyokap gue. Sebentar ya? **Gue ketawa garing.
Jadi, daripada memperparah kondisi gue, gue lebih sering milih baca komik atau main ke blog macem-macem, tapi ngga yang macem-macem ko. Beneran deh. (kedip kedip). Kaya main ke blognya yang lagi tenar itu loh.
Apa coba?
Itu loh, yang artis juga ikutan acara mereka. Itu loh yang progress banget dan banyak dapet dukungan. Itu loh yang keren punya karena ide yang luar biasa membangun.
Penasaran?
Kita simak dibawah ini...
Jreng...jreng...
Inilah dia, ODOJ... One Day One Juz..
Oh, yang itu..emang lu udah ikut?
Belum *polos..
Padahal sih di beberapa grup whatsaap gue udah banyak yang mbahas ini. Mulai dari percakapan-percakapan penggugah semangat, sampai artis-artisnya yang lagi sibuk tapi tetep berusaha buat setoran ayat. Subhanallah.
Trus kenapa ngga ikut?
Gue belum siap. #tanpa dosa
Kaya kalau nikah itu loh. Gue belum siap nikah jadi ya ngga nikah. Karena gue belum siap masuk ODOJ, jadi ya gue belum masuk ODOJ. #Tapi kenapa analoginya ke nikah???
Why? Why? Why?
Gue kan masih labil gitu. Lo liat aja nama FB gue. Masih kayak anak ABG kan? Hahaha*ketawa garing banget.
Gue jadi bayangin kalo gue itu masuk grup ODOJ maka terjadilah sebuah percakapan panjang..
“08xxxxxxxxxxx1” Mujiku dapet juz 5 ya? Jam 8 malem sudah setoran ya...:)  (17.08)
“08xxxxxxxxxxx2” Alhamdulillah, ane juz 10 sudah. (17.20)
“08xxxxxxxxxxx3” Alhamdulillah... (17.29)
“08xxxxxxxxxxx4” Alhamdulillah...(17.30)
“08xxxxxxxxxxx1” Alhamdulillah...(17.32)
“08xxxxxxxxxxx3”Sudah Mau Isya nih, sudah setoran semua kah?” (18.43)
“08xxxxxxxxxxx5”Kayaknya tinggal Mujiku aja nih yang belum setor. Ayo Mujiku semangat!!” (18.45)
“08xxxxxxxxxxx1” Semangat Mujiku ^^ (18.47)
“08xxxxxxxxxxx6” Mujiku mana ya.. Ko ngga keliahatan? (19.20)
“08xxxxxxxxxx7” Wah, sudah mau jam 8 ini. Mujiku bagaimna? Sudah selesai? Ayo semangat! Kamu bisa...:) (19.36)
 “08xxxxxxxxxx9” Mujiku bagaimana? (19.37)
“08xxxxxxxxx10” Mujiku butuh bantuan? (19.39
“08xxxxxxxxx11” Kamu dimana Mujiku ?  (19.46)
“08xxxxxxxxx12” Bagaimana setorannya Mujiku? (19.47)
“08xxxxxxxxx15” Mujiku bagaimana? (19.48)
“08xxxxxxxxxx8” Mujiku di sms ngga bales! Di telp juga ngga di angkat..!! (19.50)
“08xxxxxxxxx15” Mujiku kamu dimana? (19.56)
“08xxxxxxxxx20” Bagimana Mujiku, sudah setorannya? (19.59)
“08xxxxxxxxx15” Kamu baik-baik aja kan, Mujiku? (20.08)
.................Mujiku left grup.................. (20.10)
Kisah yang tragis. Bayangan gue aja yang ngawur. Haha.
Sebenarnya kalo baca Al Qur’an satu jus dalam satu hari seperti yang di sunahkan Rasul bukan perkara yang susah jika kita benar-benar berusaha. Jika setelah sholat wajib baca dua lembar saja, satu jus yang banyaknya sepuluh lembar itu pun akan selesai. Belum lagi kalau kamu yang hobi bawa Al Qur’an kemana-mana. Bisa lebih. Mungkin dua atau tiga juz dalam sehari. Jika ada waktu senggang, daripada nglamun yang ngga-ngga (nglamun yang engga-engga misal nglamunin kejatuhan uang 1 M dari langit) mending baca Al Qur’an. Atau yang ngga mau ribet bawa Al Qur’an, HP lo pasti udah canggih. Tuh, bagus banget buat ngedit foto yang jadi pp kamu..^^ Ngga ada alasan dong, karena Aplikasi Al Qur’an digital gampang banget buat diperoleh. Gratis lagi.
Tapi memang kendala yang paling utama adalah “Malas”. Itu sih buat gue. Kalo elo pasti engga kan. Lu kan lebih keren dari gue. So, ngga ada kata males deh buat baca Al Qur’an dan merampungkan satu Juz dalam satu hari. Apalagi jika bergabung dengan grup ODOJ ini. Bakalan lebih semangat lagi karena dalam satu grup kita bakal dibersamai oleh 30 orang yang semangatnya membara, dan mereka akan membantu kamu menumbuhkan semangat untuk lebih mencintai Al Qur’an, dan mungkin semangat buat nyelesein skripsi...:).
ODOJ cuma salah satu alternatif saja. Salah satu ide kreatif yang berusaha memanfaatkan fasilitas yang sudah canggih macam Whatsapp ataupun BBM. Tapi, sebenarnya jika belum punya keduanya pun bukan masalah. Banyak kelompok-kelompok tahfidz Al Qur’an. Apalagi di kalangan mahasiswa. Kalau mau nyari, gampanglah. Tinggal kemauannya itu yang ngga tau dimana.

Masih ada alasan? Gue aja sih yang banyak alasan..
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday, 27 October 2013

Pilihan Gue

Setelah sekian lama, gue akhirnya naik bus lagi.
Njug ngopo, nduk?
Gue cuma mau ngasih tau aja sih. Selebihnya tentang apa yang terjadi di dalam bus bisa lo rancang sendiri. Kalo elo udah pernah naik bus kelas ekonomi yang mengeluarkan asap super pekat, dan kernet yang berteriak hinggar binggar lo pasti tahu kondisi gue yang tiga jam lewat berada di dalamnya. Belum lagi dengan hiburan setengah gratis yang ditawarkan artis-artis panggung lantai bus.
Oke, gue udah sering cerita. Tapi, tetap saja cerita itu ngga pernah habis untuk gue bagi ke elo yang demen baca note gue. Padahal sih ngga ada ya. Paling Cuma liat judulnya doang langsung di skip. Ngga penting. Tapi anggap saja gue lagi cerita sama kertas. Ok, itu cukupfair buat gue. Paling ngga ada yang nampung pikiran gue sebelum otak gue meledak karena terlalu banyak pikiran.
Langsung ke intinya aja. Gue ngga bisa nebak apa yang akan terjadi pada saat gue di bus. Banyak hal bisa terjadi. Gue udah pernah bilang belum kalo sopir itu umpamanya pemimpin? Oke, sudah. Anggap saja selesai. Gue ngga akan mbahas itu lagi. But, agak nyambung dikit sih.

Ada yang terjadi sebelum gue naik bus. Dua buah bus dengan tujuan yang sama mendarat bersama di depan gue (lu kira layangan?). Gue ngga sempet nanya diri gue sendiri buat milih mana bus yang pengen gue tumpangi. Masing-masing bus pengen cepet-cepet jalan, paling ngga meninggalkan bus saingannya dibelakang biar mereka bisa mendapatkan penumpang lebih dulu. Gue sih cuek bilang rejeki sudah ada yang ngatur, kenapa harus susul-susulan gitu, kan mbahayain penumpang juga. Tapi mungkin mereka sudah ahli dan punya alasan yang lebih logis dan diterima manusia manapun. Oke, selanjutnya gue tinggal naik aja tanpa memilih. Yang terdekat dengan gue lah yang gue pilih tanpa melihat momok si bus, raut si sopir, kursi penumpang, apalagi kaca spion. Ngga gue perhatiin.
Lebih lama dari beberapa menit, gue udah duduk dengan nyaman diposisi yang paling gue minati seumur hidup kalo naik bus, dekat jendela. Paling ngga gue bisa liat kalo ada topeng monyet yang lagi beraksi pergi kepasar. Setelah bayar kewajiban gue ke kondektur, gue pules. Tidur. Soal tidur gue seperti apa, gue ngga tau. Ngga ada yang cerita ke gue. Sungguh.

Gue tidur cuma sejam. Habis itu mata gue melek karena harap-harap cemas ngga bisa dateng ke acara “kumpul-kumpul mbahas masa depan” yang gue adain. Awalnya gue yakin pasti sempet, apalagi bus yang satu lagi ketinggalan dibelakang. Si Sopir ternyata ahli juga. Tapi satu jam berlalu, dan bus berhenti disebuah pemberhentian absurd di pinggir jalan. Bukan halte, dan ngga enaknya itu, bus yang tadinya di belakang menyusul dengan lancarnya.

Lebih panjang dari setengah jam pun berlalu, dan bus belum menandakan akan melaju. Gue liat jam. Mungkin masih sempet, tapi ketar ketir juga sih, dan beberapa saat kemudian sang sopir yang dari tadi gue liat nongkrong di warung akhirnya menduduki singgasanannya, memegang kendali, siap menjadi pemimpin busnya lagi, dan gue hanya bisa tersenyum kecut. Padahal pengen tanya apa alasannya. Apa coba? Jelasin ke gue apa alasan elo pak sopir. Tapi gue cukup sopan dan hanya duduk manut di kursi penumpang. Toh gue juga cuma penumpang. Gue udah milih dia sebagai sopir gue. Makanya gue harus patuh, tapi belum selesai kejengkelan gue, bus ternyata lajunya sepersekian lebih lambat dari sebelumnya. Ujian apa lagi ini.

Mungkin karena udah ngga balapan sama bus satunya, si sopir santai-santai aja, tanpa tau gue yang ngga bisa santai. Gue akhirnya sms “atasan” gue, kemungkinan gue telat atau ngga datang sama sekali. Ah, padahal gue yang minta mereka kumpul.

Gue telat satu jam dari jadwal seharusnya, dan bus yang gue tumpangi selanjutnya biasanya akan menurunkan penumpang di tengah perjalananan jika sudah sore. Dugaan gue benar. Gue diturunin di tengah jalan. Sendiri. Akhirnya gue sms ke “atasan” gue kalo gue ngga bisa datang ke acara kumpul-kumpul, dan penyesalan kenapa gue ngga ngga naik bus satunya pun menyerang tiba-tiba. Jika boleh berandai, pasti deretan kata andai itu sudah memenuhi kertas HVS A4 yang lagi gue ketik.

Gue ngga bisa milih. Tapi ketika lo punya pilihan untuk nentuin sopir elo, harusnya lo bisa nentuin sopir yang lebih baik, lebih profesional dan lebih mementingkan efisiensi waktu. Tentu dalam kasus lain juga. Jika lo cukup ada waktu untuk berfikir mungkin lo tau maksud gue. Tapi bisa saja engga. Pikiran gue kan terlalu abstrak untuk dipahami. Tapi terserah elo sih. Kalo elo pengen dibawa kesituasi yang ngga enak buat masa sekarang dan masa depan lo, ya terserah aja. Toh, semua pilihan udah disodorin ke elo, dan elo tinggal nentuin jalan lo. Gue harap sih lo bukan orang yang apatis yang ngga peduli sekitar, apalagi diri elo sendiri, karena nanti ujung-ujungnya apa yang elo pilih akan kembali ke elo juga.

Jadi, selama lo bisa milih, kenapa lo ngga milih yang terbaik. Kenapa lo harus nyerahin masa depan lo sebagai ajang coba-coba, atau karena melihat keuntungan semu. Misalnya karena jarak loe yang lebih dekat dengan bus. Emang sih ngga ada yang akan tahu tentang masa depan. Tapi ketika lo punya pilihan berarti lo punya waktu untuk berfikir dan menimbang secara rasional untung ruginya.
Terserah elo sih..gue tidur aja..












Kunjungi juga blok gue ziimujikuhibiniu.blogspot.com...:)




“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Ali Imran, 3:28)
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Menguak Ingatan Masa Lalu

Saya masih ingat, suatu pagi, ketika embun masih menempel manja pada daun, tujuh insan manusia dusuk manis di kursi mereka masing-masing menghadap seorang ustadz yang pagi itu memberikan setitik ilmu Allah diatara ilu-ilmu yag maha luas. Terkadang mata merayu untuk kembali terpejam. Tapi kali itu, seorang yang duduk dibarisan kedua mendengar ustadz itu bercerita tentang zakat, dan sayup-sayup ia mendegar pejelasan sang Ustadz.  Yah, sebentar lagi Ramadhan, dan kata zakat pasti akan lebih sering terlontar dan terdengar. Ah, bukan berarti pada bulan-bulan sebelumnya kata itu tak ada. Tapi mungkin hanya lebih jarang. Bukankah di bulan Ramdhan pahala berlipat. Ya, zakat pun berlipat dari bulan sebelumnya. Memang tak ada salahnya toh mengharap yang berlipat. Tapi, entahlah. Kantuk yang semakin menggelayut, gadis itu masih sempat mendengar tentang sebuah opsi yang diajukan oleh salah seorang ulama tentang alokasi zakat untuk orang miskin. Apa istimewanya? Di desa gadis itu biasanya zakat fitrah yang diterima oleh badan amil zakat di bagi rata kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun menurut pemikir Islam itu bagaimana jika metode pembagian zakat di buat berbeda agar zakat tidak hanya zakat.  Gadis itu yakin pembaca pun tau, tiap bulan Ramadhan, penerima zakat jumlahnya hampir selalu sama, bahkan bertambah. Jika berkurang pun karena orang yang berhak mendapat zakat tersebut wafat. Tiiiaaap tahun selalu orang-orang itu saja. Lalu bagaimana jika metode ini dipakai agar jumlah orang yg berhak mendapatkan zakat berkurang bukan karena kematian tapi karena dia sudah tak berhak lagi mendapat zakat, atau dengan kata lain dia sudah sukses. Yah, cara itu sederhana. Caranya yaitu dengan mengumpulkan zakat itu dan memberikan pada satu dua orang saja untuk modal usaha si penerima, dan tahun berikutnya di berikan kepada yang lainnya. Begitu seterusnya hingga tidak ada lagi yang berhak mendapat zakat karena semua orang didesa itu sukses. Maka, zakat bisa didonasikan kedesa lain yg membutuhkan. Nah, metode yang menjanjikan bukan. Ini memang masih wacana, dan bisa saja diterapkan untuk mengangkat taraf hidup penduduk desa. Namun, tentu kita tidak bisa mengabaikan, mengapa si miskin menerima zakat tiap tahunnya. Yah, misalkan saja disuatu daerah ada sepuluh penerima zakat. Lalu suatu kali zakat diberikan kepada salah satu dari mereka. Mungkin satu orang itu bisa sukses, namun bagaimana kesembilan orang yg lain. Apakah ia mampu bertahan melewati tahun2 sebelum ia mendapatkan jatah zakatnya? Apakah yang medapatkan porsi zakat benar-benar bisa berhasil denga jaminan? Masih pula teringat oleh salah satu ranting otak gadis iti ketika suatu pagi, teman sebelah kamarnya selepas membaca koran dia berkata bahwa harga bensin telah naik setelah beberapa hari sebelumnya wacana tentang kenaikannya menyulut kegalauan mahasiswa, kaum papa, rakyat jelata hingga bocah balita. Akhirnya fenomena antrian panjang di pom bensin yang berlangsung beberapa hari, berakhir. Apa kaitannya dengan zakat yang diingat gadis itu hingga penjelasannya panjang dan lebar hingga meluas kemana2?  Simpel saja. Dengan pencabutan subsidi BBM yang gadis itu dengar bahwa “ rakyat miskin” akan di beri bantuan langsung atau BLSM dan bantuan-bantuan lain yang katanya akan lebih tepat sasaran. Gadis itu tak ingin lagi membicarakan tentang pro kontra kenaikan BBM. Masing-masing punya pendapatnya sendiri karena mereka melihat dari sudut pandang mereka masing-masing. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah bantuan itu cukup? Apakah bantuan itu tepat sasaran? Apakah bantuan yang tujuannya akan menjadi modal itu benar-benar bisa mengangkat taraf hidup orang miskin? Gadis itu hanya ingin membuka ingatan pembaca bahwa BLT yang dulu pernah digelontorkan tak terdengar kabarnya bahwa dana itu berhasil mengangkat taraf hidup si miskin. Malah dampaknya rakyat seperti dimanjakan. Yang lebih menyedihkan lagi, sifat konsumtif masyarakat menjadi lebih tinggi karena uang yang diterima. Rakyat penerima BLT sepertinya sulit untuk berfikir tentang usaha untuk menjadikan dana itu sebagai modal. Yah, bahkan ada yang nyletuk usil, dana segitu memang cukup untuk modal apa? Dagang jajanan? Saingan sudah banyak, yang bermodal lebih besar pun banyak. Meding langsung dibelikan kebutuhan pokok, dan dalam sekejap uang itu raib. Namun kebutuhan pokok belum terpeuhi karena harga yang melambung. Dalam pikiran gadis itu, dengan dicabutnya subsidi BBM maka sama halnya dengan kasus opsi zakat. Bukankah tidak semua rakyat miskin mendapat bantuan BLSM ini. Belum lagi persyaratan untuk mendapatkan bantuan ini. Misalnya syarat harus memiliki kartu Perlindungan Sosial untuk mendapatkan bantuan BLSM. Bagaimana mengurus kartu ini? Bukan lagi rahasia tentang bagaimana birokrasi negara ini. Mulai dari KK higga surat keterangan RW. Iya kalau semua punya KK. Kalau tidak, mereka harus mengurusnya. Iya kalau mereka punya RT dan RW. Bagaimana pemilik penghuni pemukiman kumuh yang tak dianggap keberadaannya? Padahal mereka pun harus membeli makanan yang memiliki dampak akibat kenaikan BBM. Jika dihitung, dampak kenaikan harga BBM itu lebih luas dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah, empat ratus ribu berbanding dengan hampir 50% kenaikan BBM. Ah, gadis itu terlalu malas untuk menghitung harga-harga kebutuhan pokok yang melambung dan tarif angkutan umum yang turut naik hingga 50%, belum lagi tarif-tarif lain.             Dengar-dengar sih penerima kartu Perlindungan Sosial sebanyak 15,5 juta rumah tangga. Hems, rakyat miskin di Indonesia berapa ya? Bagaimana penyalurannya, dan perjalanan penyaluran bantuan ini pun masih misteri. Jika mandeg di salah satu pos pun tidak ada yang akan tahu. Semoga saja tidak.             Gadis itu tentu ingin yang terbaik untuk negaranya. Jika keputusan pemerintah sudah demikian, ia bisa apa. Ia hanya bisa mengingatkan dan kembali mengingatkan, menguak yang terlupakan akan sejarah, tentang sistem, tentang pelaksanaan, tentang kenyataan. Sistem tak perlu di kambing hitamkan. Memang, tidak ada yag sempurna di dunia ini jika datangnya dari manusia. Jika mereka yang berpendapat bahwa sistem Tuhan itu sudah ketiggalan jaman, mana sistem manusia yang mampu menyamai, atau mirip-mirip dikitlah denga sistemnya Tuhan yang memberikan kemakmuran kepada manusia? Hasilnya adalah kemelaratan, kekacauan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Menakutkan. Anehnya itu masih saja di elu-elukan sebagai sistem yang terbaik. Tak bisakah membaca sejarah? Ah.. Gadis itu gemas rasanya pada negeri nya ini.Ia merindukan makmurnya kota Mekah ketika Rasulullah dan Khulafaur Rosyidin memimpin. Ketika pemimpin negri berkeliling untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Ketika syariat Islam ditegakan pada masyarakat plural sekancah Jazirah Arab, bahkan merambah ke Eropa, Afrika dan Asia dengan penduduk Yahudi, Islam, kristen, pagan, penyembah berhala serta kabilah yang tak terbilang, tapi mereka hidup tentram, saling melindungi, saling berbagi dan itu bertahan hingga ratusan tahun, meluas pada belahan bumi lain. Ketika Raja Sriwijaya pun mengirimkan surat kepada Umar bin Abdul Aziz karena kemasyurannya, dan pengakuan atas sistem Islam yang memakmurkan rakyat hingga meminta utusan agar Umar bin Abdul Aziz mau mengirimkan utusan untuk mengajarkan Islam di negeri Sriwijaya. Cabang otak yang lain mencuat dan ia menunjukan pada suatu ingatan ketika mata kuliah sejarah. Seorang dosen sejarah mengatakan bahwa sejarah akan terulang, dan gadis iti percaya janji Allah pasti bahwa Islam akan mencapai kemenangan, entah bagaimanapun batu-batu itu mengahalangi langkahnya.  #Benarkan jika salah, dan jika ada Kebenaran itu datangnya dari Allah SWT..

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Refleksi Secangkir Kopi

Pagi ini aku seperti diundang kembali untuk berhadapan dengan si mesin pintar. Ah, rasanya jari-jari ini sudah kaku, namun akhirnya ia menari juga mengikuti perintah sang majikan pengendali segala. Otak, sang tuan motorik. Kemudian kalimat itu tersusun dengan susah payah. Sempat terfikir bahwa aku lupa bagaimana caranya menulis. Jelas, sudah seperti bertahun-tahun lalu sejak terakhir kali aku menulis apa yang menjadi khayalanku. Bukan paper atau esai. Tapi karanganku belaka yang tersusun dalam sederetan cerita.  Beberapa menit kemudian aku akhirnya menyerah. Perut sudah meronta untuk diisi. Jam di pojok layar leptop menunjuk pukul 09.57. Sudah saatnya makan? Aku akhirnya beranjak juga, mengambil jaket merah kebanggaan mahasiswa pendidikan Geografi UNY dan jilbab langsung yang terlalu sering digunakan hingga warnanya pudar.
Nasi dan telor beserta segelas susu menjadi sarapan yang istimewa. Rasa syukur kembali bertabur. Aku bisa makan pagi ini. Coba jika tidak seperti tokoh-tokoh yang sering aku tulis. Ah, apa aku kejam?
Namun, belum lengkap rasanya jika aku kembali ke lantai dua, ke dalam singgasanaku jika tak ada yang menemani. Maka sebungkus kopi instans akhirnya mengisi sebuah gelas sedang. Bukan air panas, melainkan air dingin yang ditambah beberapa kotak es batu menjadi pilihan.
Aku kembali duduk terpekur didepan leptope. Berusaha merangkai kata lagi untuk menyelesaikan cerita yang baru setengah. Akhir cerita sudah aku dapat, tapi yang aku bingung adalah bagaimana menuliskannya. Jangan-jangan aku lupa untuk menulis ending cerita?
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di dalam program komputer, merapikan file-file yang berantakan karena agenda KKN beberapa minggu yang lalu.
Pointerku akhirnya mengambil keputusan dengan memainkan sebuah musik yang baru aku tau keberadaannya. Owl City. Api tidak akan aku bahas, jadi di skip saja. Yang pasti bisa kau bayangkan sekarang ini kamarku tengah dipenuhi suara musik elektrik dari band  Amerika. Oh, itu diluar kebiasaanku memang. Tapi sesekali mencoba hal baru tak apa kupikir.
Aku menenggak kopi buatanku. Ternyata terasa pahitnya. Airnya terlalu banyak, atau mungkin es yang telah mencair mempengaruhi volume air yang seharusnya untuk takaran sebungkus kopi instans. Tapi aku masih merasakan manis disana. Meski samar. Akhirnya aku meninggalkan ceritaku yang baru setengah jadi dan membuka lembar baru. Kertas kosong yang akhirnya tertulis deskripsi apa yang terjadi pagi ini. Tentang sebungkus kopi yang terlalu banyak dituangkan air. Ah, tidak, tentang manis diantara rasa pahit kopi.
Aku membayangkan tentang kehidupan yang mungkin ada disekitarku, ah tidak. Simpelnya tentang apa yang aku alami. Kehidupan yang tak selamanya manis seperti gula yang membuatku tersenyum atau bahkan tertawa, atau mengucap syukur. Namun tak selamanya pula air mata yang berderai atau pahitnya kehidupan akibat berbagai macam hal. Bahkan oleh perasaan sendiri yang sebenarnya secara nyata tidak terjadi. Hanya prasangka, atau perasaan saja.
Keduanya saling berputar seperti roda yang salah satu sisinya akan ada diatas suatu kali namun suatu kali nanti ia akan berada di bawah.
Manis dan pahit. Aku jadi terfikir pada simbol Cina. Yin dan Yang. Baik dan buruk. Atau terbalik? Tak apalah. Namun aku lebih senang menyamakannya dengan surga dan neraka. Ah, terlalu jauh kah? Baik lah, mungkin dengan kata air mata dan tawa. Padahal tak semua yang pahit itu air mata kan? Berarti tidak cocok. Aku mulai kesulitan mencari perumpamaan. Ada yang bisa membantu?
Kalau begitu diskip saja perumpamaannya. Pokoknya manis dan pahit. Namun bagaimana jika keduanya menjadi satu dan terasa bersamaan pada lidah yang sama pada waktu yang sama? Jika asin dan tawar bertemu akan menjadi payau, namun jika pahit dan manis bertemu? Mungkin yang menang adalah yang lebih banyak kadarnya. Namun bagaimana jika keduanya bertemu dengan masing-masing identitasnya. Pahit ya pahit, manis ya manis.
Aku teguk kembali kopiku, sedikit mencari alasan bagaimana itu bisa terjadi dan mengapa bisa?
Berfikir sejenak aku jadi teringat suatu hal. Kadang ketika kita berada dalam suatu masalah atau kesulitan, akan ada rasa manis disana. Mungkin nikmatnya perjuangan, nikmatnya bekerja sama dengan teman-teman. Nikmatnya menagis bersama mungkin. Yang tidak akan terasa manis jika kita tidak berada dalam keadaan pahit. Aku meneguknya kembali dan memikirkan hal lain. Aku akhirnya menemukan judul untuk tulisan ini. Tapi aku rasa kurang komersial, jadi nanti akan aku ganti saja.
Aku menegak kopiku lagi untuk yang kesekian. Aku masih merasakan pahit didalam lidahku, dan entah mengapa tidak dengan rasa yang manis. Apakah karena kita terbiasa mengingat-ingat hal yang pahit dan melupakan hal-hal yang manis, hingga suatu kali ketika kita tertimpa kesialan kita akan mengatakan, “Kenapa hidupku selalu malang begini.” Padahal banyak kejadian menyenangkan lain yang membuat kita tertawa. Apa karena ketika menangis kita mengeluarkan air mata dan akan membekas di sapu tangan kita, sedangkan ketika tertawa apa yang tertinggal? Sejam kemudian kita mungkin lupa karena tidak ada kenang-kenangan nyata yang tertinggal.
Aku sudah menulis banyak tanpa makna. Aku menenggak kopiku untuk kesekian kali. Aku mencoba tidak merasainya. Aku mencoba melumpuhkan lidahku hingga ia tak merasakan apa-apa. Kopi itu lewat saja masuk ketenggorokanku seperti aku tak pernah menenggak kopi sebelumnya. Hanya air putih dan tak meninggalkan rasa.
Mungkinkah kita pernah suatu kali, mungkin suatu kejadian yang luar biasa yang dapat membuat kita tertawa bahagia, namun kita mencegah diri. Kita menarik diri untuk merasakan lebih. Mungkin karena takut akan rasanya yang pahit. Padahal belum tentu. Mungkin rasa yang tertinggal nanti adalah rasa yang manis. Hingga akhirnya kejadian itu terlewat begitu saja. Tanpa ada manfaat apapun yang dapat kita ambil, padahal jelas-jelas ia telah melewati kita. Mungkin saja.
Satu teguk terakhir, dan kemudian aku akan beranjak bersiap-siap berangkat kuliah. Ternyata manisnya mengendap di bawah. Sedari tadi yang aku rasakan adalah pahit dan pahit. Yah, mungkin massa gula lebih berat daripada massa kopi. Entahlah, namun pernah tidak terfikir olehmu bahwa kejadian memilukan yang terjadi secara bertubi-tubi, atau ujian yang sering kali membuat terluka dan menangis, atau kehilangan suatu hari nanti akan berbuah manis. Kebahagiaan yang tiada akhir.
Aku sampaikan suatu rahasia. Aku percaya akan hal itu. Suatu hari nanti, apa yang kita upayakan, apa yang kita usahakan, akan menghasilkan buah yang manis. Mungkin tidak di dunia yang hanya sejenak, namun di akherat nanti. Allah menyiapkan JannahNya untu hamba yang senantiasa bersabar menghadapi pahitnya hidup. InsyaAllah..
Ayo kuliah..........
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 24 April 2013

Bukan Masa Galileo


Jika ada yang nanyain, siapa bapak “Astronomi modern dunia”, kemungkinan besar otak kita langsung mengarah pada satu nama, yang mungkin telah tertanam bertahun-tahun lalu ketika kita duduk di bangku SMA, atau mungkin SMP. Nama itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Mujiku Hibiniu. Ups, bukan ding. Yang bener itu, Galileo Galilei.
Memang ngga dipungkiri lagi, meski ia telah meninggal ratusan tahun lalu, berkat penemuannya ia dikenal hingga saat ini. Salah satu jasanya yang bisa dinikmati oleh umat manusia sekarang ini adalah tentang temuannya yang fenomenal, yaitu menyempurnakan teleskop. Bahkan menurut Stephen Hawkin, Galileo juga sebagai bapak “Fisika Modern” dan “Bapak Sains”.
Luar biasa kan jasanya. Yah, paling tidak, berkat temuannya itu, umat manusia mampu mengetahui fenomena di antariksa dengan lebih baik daripada sebelumnya. Tapi sayangnya, dimasa ia hidup, ia tidak mendapatkan penghargaan yang selayaknya. Berkat kesukaannya tentang astronomi, ia mengalami masalah. Ia dipenjara oleh gereja Italia masa itu karena sejalan dengan pemikiran Copernicus, yaitu mempercayai bahwa matahari lah pusat tata surya, bukan Bumi seperti yang diyakini gereja saat itu. Nah, karena pemikirannya itulah, yang dianggap bid’ah dan meracuni pemikiran masyarakat, dia dipenjarakan, dikucilkan dari kehidupan luar. Hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Gereja Italia, dengan kekuasaanya mampu menyeret seorang ilmuwan yang menemukan suatu karya yang terbilang luar biasa ke dalam meja pengadilan. Bahkan membentuk stigma masyarakat bahwa Galileo memang bersalah. Ia layak di hukum. Padahal kala itu, Gereja Italia memiliki ketakutan tersendiri, bahwa masyarakat tidak lagi mempercayai gereja, oleh karena itu, pada zaman itu sains di batasi.
Tentu saat ini kehidupan kita jauh berbeda dengan masa Galileo hidup. Kehidupan kita lebih bebas, dan lebih terjamin. Hukum ditegakan dengan terbuka. Sains bebas berkembang, penelitian-penelitian bahkan di danai oleh pemerintah. Tentu pengekangan, dan layaknya yang terjadi pada Galileo seharusnya tidak terjadi lagi. Apakah demikian yang terjadi?
Nyatanya, kini kehidupan pada masa Galileo tengah terjadi. Bahkan lebih sadis dan menakutkan. Pemikiran-pemikiran sering terancam eksistensinya. Memang, tidak langsung menghukum secara langsung orang yang hendak menguak kebenaran, seperti Galileo yang langsung dihukum oleh gereja. Saat ini “hukuman” itu lebih mengerikan. Lebih menyiksa karena itu terjadi perlahan. “Mereka” menggunakan media untuk menyebarluaskan isu kepada masyarakat sehingga masyarakat sendiri lah yang menjadi hakim. Tentu atas dasar kehendak “mereka”. “Mereka” adalah pelaku utama dan pengendali yanng handal.
Cukup dengan mencuatkan satu isu saja, maka selanjutnya, boooooommm!!! Seperti efek domino, kekacauan akan terjadi dan target utama akan mudah untuk dilumpuhkan. Masyarakat akan mengelu-elukan agar “target” itu di penjara, diadili, bahkan di hukum mati, bahkan tanpa tahu kebenaran yang mutlak. Itu mudah bagi “mereka”.
Ya, media memang telah menggiring masyarakat menuju sebuah opini sesuai apa yang mereka inginkan. Mudah saja, dewasa ini masyarakat sudah sangat tergantung dengan apa yang di beritakan media. Terlebih lagi masyarakat yang “bodoh” dan tidak perduli akan kebenaran yang sejati.
Rasa-rasanya bukan hal baru lagi ketika mereka (media) menyiarkan berita secara berlebihan. Sejumlah media memberitakan berita yang sama, dalam waktu yang sama, dan yang sama layaknya tidak ada berita lain yang lebih penting dan lebih pantas untuk diberitakan. Pantas saja, berita yang seharusnya menjadi wacana bersama, namun akhirnya tenggelam entah kemana.
Pernah saya mendengar sebuah slogan berita di televisi yang menyatakan “Mengabarkan berita secara berimbang”, akhirnya saya hanya tersenyum geli. Mereka tidak lebih dari sekelompok taipan yang menjalankan bisnis informasi. Bagaimana sebuah informasi yang menjadi bisnis bisa di pertanggungjawabkan kevalidannya? Belum lagi dengan embel-embel yang lain. Kebencian terhadap suatu hal juga dapat meyebabkan penyampaian berita menjadi tidak berimbang.

Menyingung tentang hal ini, sebuah artikel yang baru beberapa saat lalu saya baca, judulnya “Pakar Media AS: "Jangan Ada Lagi Pelajar Muslim Di AS"” cukup menyita perhatian. Ternyata pakar media tersebut adalah pakar media dari Fox News yang sering menyiarkan berita bohong atau berat sebelah. Pantas saja, media itu menjadi media yang sering memberitakan Islam dengan sangat buruk, mulai dari kasus perang Irak, hingga serangan 9/11 karena di gawangi oleh orang yang benci terhadap Islam. Apakah kode etik jurnalistik membolehkan itu? Meski bukan orang dunia jurnalistik, saya yakin jawabannya adalah tidak.

Bukan tidak mungkin kalau berita Bom Boston juga mengandung konspirasi, dan manusia-manusia di belakang  mereka adalah dalang penebar kebencian. Nampaknya kasus-kasus lokal yang terjadi di Indonesia tidak perlu di bahas lagi. Kejelasannya sudah sangat jelas. Media menjadi senjata handal guna membelokan dan mempelintirkan kenyataan dan kebenaran. Pembaca sekalian pasti sudah memahami apa yang saya maksud.

Akhirnya, bukan hendak menyebarkan virus ketidak percayaan pada media, karena memang tidak semua media tidak dapat dipercaya, namun pintar-pintarlah menjadi masyarakat. Jangan sampai mempercayai media seperti mempercayai ibumu, dan merasa nyaman-nyaman saja ketika mereka memberikan “makanan” pada kita.

Salam

Mujiku Hibiniu



Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com