Sunday, 29 March 2015

Neraka tak Akan Menjadi Surga, Meskipun yang Menghuninya Banyak


Keren ya fotonya, seperti penuh makna dan penghayatan. Haha....

Jika mengurainya satu demi satu, akan ada serentetan cerita menarik. Ada cerita ketika sang muda-mudi pergi berdua ke tempat wisata. Dari wajah mereka, nampaknya mereka lulus SMA pun belum. Ah, muda-mudi yang masih dibakar semangatnya, darahnya masih mendidih, pikirannya masih jernih.

Tanpa malu-malu, salah satu dari merea menyodorkan kamera pada pegunjung lain,"Bisa minta tolong difotokan?"
Kebetulan, seorang teman yang pergi bersama saya adalah pengunjung lain itu. Saya pun bisa menangkap moment ketika mereka beraksi di depan layar kamera saku mereka.

Romantis ya gayanya. Seperti pasangan yang tak pernah ada pertengkaran. Seperti pasangan yang sampai mati akan selalu bersama. Mungkin nanti ketika mereka pulang kerumah, mereka akan segera meng-upload foto mereka ke media sosial. Bahkan menjadikn foto itu sebagai profile picture mereka. Pasti bikin iri mereka-mereka yang belum berpasangan. Seperti saya dan teman saya?? :D

Ya, itu cerita yang lain. Saya dan teman saya yang langsung berpandangan ketika mereka meminta tolong untuk difotokan. Arti dari pandangan itu, biar hanya kami yang tahu..haha..

Cerita terakhir adalah cerita saya, cerita yang mengalir di ranting-ranting pohon beringin yang saya miliki. Tak hanya si muda-mudi yang mengunjungi tempat wisata itu dengan berdua, dengan ikatan “sepasang kekasih”. Ada banyak. Saya tak sempat menghitung, tapi diam-diam terkadang melirik kearah mereka, jika menemukan mereka duduk dipojokan. Hahaha.. beruntunglah tak melihat apa-apa kecuali tatapan yang saya artikan “Apa sih mba, liat-liat.”

Pacaran. Begitu mereka menyebutnya. Siapa pula yang tak  mengerti istilah ini. Bahkan sampa-sampai jika muda-mudi ta menjalaninya dianggap “tidak kekinian”. Tidak mengikuti perkembangan jaman. Bahkan yang paling aneh itu, jika ada yang mengatakan “saya ngga pacaran” kening langsung berkerut.

“Kamu masih normal kan?”
“Kamu ngga lesbi kan?”
“Kamu masih suka cowok kan?

Aduh.

Pacaran, istilah yang meluncur hebat, yang akhirnya bagaikan berada dialiran darah masyarakat. Ingin sekali saya mencari tahu sejarah penggunaan kata ini ataupun aktivitasnya. Tapi saya belum beruntung, pencarian saya yang pendek tak menemukan hasil yang memuaskan. Namun, dari cerita mama suatu ketika, ketika mama masih remaja, aktivitas acaran itu tak sesemarak sekarang. Kini setiap sudut kota sering dijumpai muda-mudi, tanpa merasa risih atau pun malu. Berbeda dengan jaman dulu. Malu mereka ketika terpergok sedang berduaan. Entah mereka tengah pacaran ataupun hanya ngobrol biasa.

Yah, saya bisa membayangkan ketika dulu, sepasang muda mudi yang tengah dibakar api asmara saling mengirim surat, karena memandang pun malu. Apalagi berduaan. Jika memandang lebih jauh lagi kebelakang, saya bisa membayangkan bahwa ketika mereka saling suka, maka langsung saja mendatangi orang tua. Wah gentle sekali ya.

Pacaran jaman dahulu memang tabu, karena mereka masih tahu dan mematuhi, pacaran tak ada dalam tuntunan adat istiadat, apalagi tuntunan agama. Maka mereka malu jika melanggar. Pemuka adat dan pemuka agama pun tak segan bertindak. Apakah kini tuntunan adat istiadat dan agama sudah berubah? Tentu saja tidak. Hanya saja, sesuatu yang sudah dilakukan ramai-ramai seperti telah mengaburkan tuntunan yang sesungguhnya. Yang tidak boleh jadi boleh, yang haram jadi halal, bahkan yang halal jadi haram.

Memang apa salahnya pacaran? Lihat saja di tv, acara-acara mereka menampilkan aktivitas pacaran, dan itu biasa saja. Tidak ada yang protes. Bukankah lebih bahaya situs-situs yang mengatasnamakan Islam, buktinya saja mereka yang diperingatkan oleh Kementrian Komunikasi dan
Informatika. Kalau tayanangan pacaran “berlebih” paling KPI saja.

Neraka tak akan menjadi surga, meskipun yang menghuninya banyak.

Bukan lagi rahasia ketika banyak aktifitas pacaran menyalahi tuntutan agama. Bukankah berjabat tangan dengan yang bukan muhrim saja sudah begitu mendapat perhatian dari Rasulullah. Beliau lebih memilih dihunus tangannya dengan besi panas, daripada harus berjabat tangan dengan yang bukan muhrim. Ah, jangankan berjabat tangan, berpandangan, dan sebagainya. Hati pun bisa saja teralihkan dari tuntunan agama.

Tidak hanya urusan pacaran dan “aktivitas-aktivitasnya”, yang tadinya salah menjadi benar karena dilakukan banyak orang. Contohnya saja tentang nama menu makanan yang sedang ramai dibicarakan di media sosial. Yah, tentang kata-kata porno yang digunakan sebagai menu makanan. Banyak cerita dari pengunjung yang kesana. Bukannya kaget, marah, atau pun menggugat, namun hanya tertawa cekikian, geli. Itu saja. Bukankah kata-kata porno itu tak mendidik, apalagi jika di saksikan anak-anak yang masih gampang saja menyerap segala. Coba bayangkan, jika suatu hari nanti, anak-anak sangat mahir mengucapkan kata “onani”, daripada mengucapkan nama Tuhannya. Atau karena kata-kata ‘vulgar’ itu sudah terlalu biasa digunakan sehingga gampang saja untuk membenarkan? Entahlah.

Saya mulai berfikir, jangan-jangan suatu hari nanti, membunuh, korupsi, memperkosa, mencuri adalah hal yang benar karena dilakukan beramai-ramai.

Sebenarnya apa keinginan saya? Mudah saja. Saya hanya ingin semua kembali seperti tuntunan agama. Bukan membenarkan yang salah, dan menghalalkan yang haram ketika sudah dilakukan beramai-ramai.

Sekali lagi, neraka tak akan menjadi surga, meskipun yang menghuninya banyak. Pikirkanlah.


Rumah Cahaya,
13.07 WIB, 30 Maret 2015
Picture by Jie
Location Tamansari Yogyakarta
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday, 15 December 2014

TV, Warung Kopi, dan Pengunjung

Pulang. Lagi-lagi saya pulang ke rumah, mengunjungi orang tua tercinta dan tentu warung kopi yang tetap berdiri kokoh, setia.
Tidak ada bosannya, duduk berlama-lama di dalam warung kopi. Apalagi jika pengunjung tengah ramai. Bukan. Bukan saja karena kotak uang mama akan penuh,yang artinya ketika saya kembali ke Jogja, uang saku ikut penuh juga. Tapi lebih dari itu.  Otak saya pun akan penuh jika jeli menangkap cerita-cerita yang mengawang-awang diudara. Cerita mereka, para pengunjung warung kopi milik mama. Maka dari itu, ketika saya pulang ke rumah, malamnya saya akan berjaga di warung, melayani pembeli-pembeli yang sebagian besar adalah petani.
Ketika sholat Isya di mushola Pak Pingi usai, mereka akan menyerbu warung. Satu persatu. Namun hingga jarum jam menjelang angka sembilan, hanya ada tiga empat orang yang bertahan duduk di kursi warung.
Saya hanya bisa menghela nafas. Besok saya akan kembali ke Jogja dengan uang saku ala kadarnya.
Obrolan malam itu pun dimulai ketika ada sebuah berita singkat di TV. Ya, di dalam warung mama ada TV berukuran 21 inci untuk menemani para pengunjung. Beberapa kapal nelayan asing ditenggelamkan.
Kemudian, pujian-pujian itu pun terlontar. Seorang pengunjung memuji presiden baru kami karena ia berani. Pengunjung yang lain memuji presiden yang baru kami karena dia memperhatikan orang kecil. Pengunjung yang lain tak kalah, ia menimpali dengan pujian bahwa presiden kami tegas terhadap negara asing. Yah, presiden kami yang baru memang presidennya wong cilik.
Saya kala itu iseng nyletuk saja, "Amerika dan Cina belum ada kabarnya," Tidak ada yang menimpali. Biasa. Saya, masih dianggap anak ingusan yang tidak tahu apa-apa.
Acara TV berganti. Malam semakin larut, satu persatu dari mereka meninggalkan warung. Pulang menuju rumah mereka masing-masing. Warung di tutup. Besok masih ada hari yang harus di jalani.

Pagi, biasa. Warung sudah sibuk oleh pembeli. Tidak hanya bapak-bapak yang memesan kopi dan sarapan, tapi ibu-ibu yang sibuk memilih sayuran. Anak-anak berlarian menuju sekolah dengan baju yang tak rapi, karena tak ada setrika dirumah. Ada beberapa dari mereka yang menaiki sepeda ontel karatan dengar mur dan baut yang copot entah dimana, menempuh jalan berbatu yang akhirnya akan meninggalkan suara berisik.
Yang lebih biasa lagi adalah mendengar ibu-ibu mulai bergosip asik. Tapi tak melulu gosip. Banyak informasi menarik, dan pagi itu heboh berita pembunuhan ketua RT kecamatan tetangga oleh warganya. Masalahnya, boleh dibilang sepele. Gara-gara Ketua RT itu tak memasukan nama si warga ke daftar calon penerima bantuan subsidi BBM.
Ya. itu biasa. Cerita tentang pembunuhan apalagi berlatar belakang masalah ekonomi sudah biasa. Bukankah kita sering meilhatnya di layar kaca. Tapi tetap saja hal itu membuatku geleng-geleng kepala.
Yang tidak biasa pagi ini adalah, bibir mama yang mengkeret. Dompetnya tipis. Pengunjung sepi karena kemampuan mereka membeli menurun. Bagaimana tidak, karena harga-harga melambung tinggi, kopi di warung mama pun ikut naik. Meski hanya limaratus perak. Tapi tetap saja itu masalah.
Mama bingung, bagaimana menukar gul dan kopi hari ini.

Kau tau, pengunjung warung kopi mama sudah pintar. Mereka tak begitu lagi percaya pada media begitu saja.
Ini diawali ketika musim pemilu tiba. Dengan jelas mereka bisa membandingkan dua kubu yang berseteru dan dua media yang memberitakannya. Tidak objektif, sesuai siapa pemiliknya.
Mereka pun mengambil kesimpulan, Chanel TV A milik Ini, jadi akan memberitakan yang baik-baik tentang ini dan calon yang diusung. Chanel TV B milik itu jadi akan memberitakan kebaikan si itu atau yang calon yang diusungnya.
Ya, mereka jadi pintar. Tapi, karena pengunjung warung kopi memang pendukung calon yang diusung pemilik chanel A, tak keberatan tentang isi berita yang baik-baik saja itu. Kemudian, meski musim pemilu sudah berakhir, benci mereka dengan si chanel TV B tak berakhir. Mereka tak lagi percaya, meski si chanel sudah memberitakan yang sesungguhnya. Bahkan berita yang sepele.
Sayang, pintarnya mereka tak bisa melihat dari kacamata yang berbeda. Sumber mereka hanya TV. Koran tentu tak terfikirkan untuk membeli. Internet, mereka saja bingung apa itu internet. Buku, apalagi. Yang mereka tahu, buku hanya untuk anak sekolahan yang berisi perkalian.
Jika si Tv memberitakan tentang kejadian A, kemudian setelah di telusuri, tenyata kejadiannya B, dan cerita B tidak di tayangkan di TV, maka pengunjung warung kopi mama tetap akan menganggap cerita A adalah kebenaran.
Jadi, apa yang terlihat di TV itulah yang mereka lihat sebagai kebenaran. Jika saya bekata sesuatu yang berbeda dari apa yang diberitakan di TV, mereka akan mengernyitkan dahi sejenak, kemudian menganggap saya tak pernah berkata apa-apa.

Ketika saya sudah bisa terhubung ke internet, saya membaca sebuah berita. Kapal-kapal yang di bakar itu hanyalah "perahu". Ya, kapal berukuran kecil. Bukan kapal dalam artian sesungguhnya.
Entahlah, apa yang terjadi. Apakah benar pemerintahan kali ini terlalu di make up media, atau memang kenyataannya demikian.
Yang pasti pengunjung warung mama tetap memuji presiden barunya.


Ps : Saya hanya menceritakan apa yang benar-benar terjadi ketika saya pulang. Hanya itu saja. Makanya, tulisan ini begitu polos. Seperti bayi yang baru lahir. Tapi itulah kenyataannya.



Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday, 3 December 2014

Keringat di Keping Seratus Rupiah


            Mungkin tidak masalah jika tersesat di suatu tempat padan siang hari, karena kemungkinan besar akan ada orang yang lewat dan kita bisa bertanya arah mana jalan yang benar. Sayangnya kali ini saya dan kedua teman saya tengah tersesat di waktu malam hari, lewat dari tengah malam. Alih-alih manusia yang lewat, kucing pun sepertinya enggan untuk keluar.
            Belum lagi medan yang benar-benar asing. Jalan tempat kami berada kini adalah jalan setapak berbatu. Kanan kirinya hutan rimbun. Bisa saja kami bertanya pada GPS yang terpasang di perangkat handpone. Sayangnya, signal terhalang pepohonan. Jadilah kami manusia-manusia tersesat yang sesungguhnya.
            Putus asa. Mungkin itu salah satu pilihan yang bisa kami ambil saat itu. Tapi ternyata skenario lain menanti kami.
            Dari arah belakang sebuah sepeda motor meraung, mendekat. Ada rasa sedikit was-was. Bagaimana tidak, kami, tiga perempuan biasa tanpa bekal ilmu bela diri. Ditambah lagi waktu sudah lebih dari tengah malam. Kejahatan bisa saja datang menyambangi kami.
            Pengendara sepeda motor itu berhenti disamping kami yang sudah memasang alarm siaga. Seorang bapak muda dengan pakaian sederhana bertanya dengan ramah. Kami menceritakan apa yang terjadi dan tempat tujuan kami. Bapak itu pun menunjukan arah yang kami tuju. Tak sampai disitu, bapak itu pun bersedia untuk mengawal kami untuk sampai tujuan.
            Perjalanan di lanjutkan dengan bapak yang belum kami ketahui namanya sebagai pemandu jalan. Jalan lebih menanjak dan hutan menjadi lebih lebat. Kewaspadaanku meningkat. Apalagi salah satu temanku dibonceng bapak itu. Pikiran buruk pun semakin liar. Kata jangan-jangan semakin banyak berkumpul di otak. Bagaimana tidak, alih-alih mendekati jalan yang ramai, kami malah semakin masuk ke dalam hutan.
            Saya sepertinya harus sujud sungkem dan meminta maaf kepadanya karena telah berpikiran buruk. Ternyata ia benar-benar mengantarkan kami ke jalan yang benar. Kami kembali ke jalan yang lebar dan beraspal. Beberapa mobil dan motor lewat mendahului kami. Hingga akhirnya sebuah papan besar terlihat. “Anda Memasuki Kawasan Kawah Ijen.”
            Kami berhenti dipertigaan jalan. Bapak tadi menjelaskan beberapa petunjuk untuk sampai di Kawah Ijen. Namun, ia terpaksa berhenti karena motornya tidak sempat dibelikan bensin. Maka dia harus menunggu mobil temannya untuk bisa sampai kesana.
            Ternyata bapak itu adalah penambang belerang di Kawah Ijen, sebuah  kawah gunung aktif yang memiliki kandungan asam tertinggi di dunia. Kawah Ijen terletak di Kabupaten Banyumas, Jawa Timur. Coba saja anda cari di internet dengan kata kunci Kawah Ijen, akan banyak sekali hal yang anda dapatkan. Belum lagi foto-fotonya yang menakjubkan. Tidak dari warga lokal saja, namun banyak masyarakat manca negara yang memiliki fotonya.
Tempat wisata yang telah mendunia ini ternyata menyimpan cerita lokal yang luar biasa. Cerita bapak ini salah satunya. Sudah sepuluh tahun lebih dia menjadi penambang belerang. Pekerjaannya memang dimulai pagi-pagi sekali. Setiap malam, dia keluar dengan motornya, menembus dinginnya udara pegunungan dan jalan yang terjal menuju sebuah tempat dengan ketinggian 2368 mdpl.
Tidak hanya ketinggian yang harus dilawan. Bapak itu dan penambang-penambang belerang yang lain pun harus menahan gas belerang yang tersembur di Kawah Ijen. Tentu saja gas belerang berbahaya untuk kesehatan. Belum lagi, mereka memikul hasil belerang dengan menggunakan dua buah keranjang yang di satukan dengan bambu. Dengan medan yang cukup terjal, mereka harus membawa belerang dengan bobot hampir 50 kilogram. Luar biasa bukan?
Ternyata, di balik itu semua masih ada kisah yang lebih memprihatinkan. Satu kilo belerang hanya dihargai seribu delapan ratus rupiah oleh pengepul. Jika di bandingkan dengan perjuangan yang harus dilakukan, tentu harga itu tak sebanding. Sering bapak itu dan rekan-rekannya berusaha berdiskusi dengan pengepul agar menaikan harga belerang. Yah, paling tidak biar genap dua ribu rupiah agar kebutuhan pokok yang semakin naik bisa terbeli. Namun sayang, usaha mereka sering sia-sia. Dua ratus rupiah yang mereka perjuangkan kandas. Harga belerang tetap mandeg di tempatnya. 

Pada akhirnya, saya tak sempat menanyakan namanya. Namun cukuplah cerita tentang hidupnya, tentang seratus rupiah yang diperjuangkannya menjadi pelajaran berharga buat saya. Seratus rupiah bisa tak berarti apa-apa buat saya, tapi buat mereka, seratus rupiah adalah harapan mereka untuk kehidupan yang lebih baik.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Saturday, 27 September 2014

Ini Mama


Ini mama dan cucu pertamanya.
Mama seorang pedagang. Sebuah warung kopi berdiri di tengah desa berpenduduk tak seberapa. Jauh dari jalan raya, jauh dari sekolah, jauh dari tempat wisata. Bukan letak yang strategis yang banyak pembelinya. Tapi dari petak 8x3meter ada rejeki dari Yang Maha Rahman.
Mama hanya sekolah SD. Hanya sekolah. Karena ia tidak lulus. Ia tak punya selembar ijasah pun. Bukan hanya Mama, banyak tetangga yang juga demikian. Bersyukur mereka bisa baca dan tulis. Tapi, pekerjaan pun ala kadarnya. Buruh tani, buruh pritil, buruh tandur, dan buruh-buruh lainnya. Ya, pekerjaan yang nyaman dan penghasilan tinggi sebagian besar butuh ijasah kan?
Mama pekerja keras. Rela tidak tidur untuk membuat panganan pesananan tetangga. Padahal untungnya tidak seberapa jika dibanding uang jajan anak kuliah. Apalagi gaji petinggi negara. Tunjangan pulsa, mungkin hanya seperseratusnya.
Namanya juga itu jalan rejekinya. Mungkin berbeda dengan pejabat negara. Tapi mama tak lelah bekerja. Jarang mengeluh meski terkadang terzolimi terasa.
Ah, masih ingat, ketika pulang aku kena omelnya. Gara-garanya, aku lupa mematikan air yang di masak di atas api membara. Katanya mencari gas  susah. Harus irit penggunaanya. Jika tidak kami masak air dengan apa? Jika tidak ada air bagaimana kopi menyeduhnya? Kayu bakar? Akan sangit terasa. Kompor minyak? Minyak tak tahu entah dimana keberadaannya. Ya, gas sudah di subsidi pemerintah, dan minyak  mahal harganya. Tapi kenapa mencari gas susah jadinya? Minyak mahal, dan gas susah mendapatkannya, lalu harus kembali ke kayu bakar kah?
Tapi mama tak pernah mengeluh demikian. Tak pernah mengatakan yang begini dan begitu, menyalakan pemerintah. Mungkin mama sudah terlalu lelah. Atau memang sudah paham tabiat pemerintah. Tapi suatu kali pernah kudengar darinya. Mereka yang pintar saja kesulitan mengatur negara, apalagi ia. Jadi ia tak punya hak untuk menghujat mereka.
Hidup jalani saja. Berusaha sebaiknya. Soal rejeki, ada Tuhan yang Maha Bijaksana. Jika pemerintah tak bisa di beri amanah, ada Tuhan yang akan menghukumnya. Karena mama hanya perempuan biasa. Bukan perempuan pintar yang tau politik dan segala hukumnya. Bukankah lebih baik diam daripada sok tau dan salah rupanya. Tapi bukan berarti dia diam segalanya. Dia berusaha, menyekolahkan anaknya agar pintar dan tau rupa-rupa. Itulah yang ia bisa, dan ia telah melakukannya.
Mama juga tak suka banyak bicara. Jika ada sesuatu, dan ia mampu, dia sendiri akan melakukannya. Ya, karena mama memang berbeda dari yang pandai menghujat tapi tak pernah memberi solusi apalagi kontribusi. Mintanya hanya didengar, dan menuntut semua keinginan terealisasi.
Berdoa pada Tuhan pun ada aturannya, apalagi peng-Ijabahan doa. Apalagi pada manusia, yang kekuasaannya terbatas daya dan segala macamnya.

Ya, mama memang seorang pedagang warung biasa dan aku bangga menjadi anaknya.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Monday, 22 September 2014

Munafik

Semalem nemu tulisan nempel di bemper mobil,"Kendaraan ini menggunakan BBM bersubsidi." Posisinya mentereng. Jelas, bisa di baca siapa aja.
Biasanya sih nemunya,"Kendaraan ini tidak memakai BBM bersubsidi."
Mungkin pemilik mobil itu penganut faham antimainstrem. Atau entahlah. Sampai-sampai ia bangga jadi pengguna BBM subsidi yang notebene untuk warga miskin.
Atau mungkin sentilan untuk mobil-mobil yang gayanya selangit namun menggunakan BBM subsidi. Biar tidak munafik.
Saya pun tidak berkesempatan mengorek informasi yang akurat itu. Akhirnya saya hanya mampu mengatakan hanya pemilik mobil yang tahu maksudnya.
Berkaca pada si pemilik mobil yang anti mainstrem, saya jadi berfikir tentang kata munafik yang sering terdengar, dan kadang bikin ciut nyali karena ogah disebut "Munafik."
"Halah, jangan munafik deh lo. Suka kan lihat paha cewek. Ngga usah bilang dalil buat nutupin."
"Munafik! Padahal lo pengen kan punya bini empat. Pake ngalarang pacaran segala."
"Semua orang butuh duit, ngga usah munafik pake nolak-nolak rejeki. Bilang ngga halal. Nunggu halal keburu mati laper."
Akhirnya...secara terang-terangan tindakan yang salah dilakukan. Tanpa malu-malu, dan lebih malu di sebut munafik. Bahkan mungkin bangga, karena "Saya sudah jujur pada diri saya sendiri dan masyarakat."
Bahkan ketika dia sudah membunuh ribuan manusia.
Apakah itu kejujuran?
Setidaknya ia sudah jujur. Ya, dia sudah jujur, dan manusia mengapresiasi. Tapi apresiasi itu jadi kabur. Atas kesalahannya atau atas kejujurannya? Apresiasi itu akhirnya mengubur kesalahannya dan
"Maklumlah manusia, bisa salah."
Kesalahan itu pun dimaklumkan. Kemudian dibenarkan. Lalu tidak ada yang namanya kesalahan jika itu sudah di terima oleh publik.
Sayang saya tidak bisa bertanya pada si cicak yang pagi ini jenazahnya saya temukan pagi ini. Malang.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Nampang Wajah

Malam Jum’at. Tapi saya tidak tahu harus menambahkan embel-embel Kliwon, Wage, Pon, atau legi.  Yang saya tahu itu malam Jum’at, titik. Namun, meskipun tidak tahu tentang keklenikan penanggalan Jawa, malam itu cukup menyeramkan. Pasalnya, saya mendengarkan sebuah cerita super duper seram dari sesepuh. Sesepuh di sini bukan kakek-kakek yang semua rambutnya sudah memutih atau petapa yang baru keluar dari gua. Tapi orang yang lebih tua dan senior dari saya.
                Cerita seram ini adalah kisah nyata yang terjadi di sekitar kami. Cerita yang sanggup membuat bulu kuduk berdiri, dan perut melilit nyeri. Namun jangan berfikir bahwa cerita seram ini adalah cerita tentang pocong yang beralih profesi, atau kuntilanak yang hobi keramas, mungkin juga nanti hobi spa di salon. Bukan!! Namun sungguh, cerita ini lebih seram dari itu semua. Padahal sih cerita hantu itu juga ngga serem.
                Anda sering upload foto wajah anda di facebook? Tidak? Oke, di twitter? Tidak. Instagram? Ah, dimanapun itu, jika anda pernah melakukannya, maka berhati-hatilah.
                Why?
                Memang sudah wataknya kaum manusia itu suka pamer. Termasuk pamer wajah. Nah, salah satu media yang bisa dijadikan ajang pamer wajah, apalagi kalau bukan media sosial. Tidak hanya perempuan. Laki-laki pun banyak. Siapa sih yang ngga suka di bilang,”Kamu cantik ya.” Atau, “Gaya kamu keren.” Ngaku deh, kamu pasti suka dengan pujian-pujian itu. Namun pujian-pujian itu tidak membuat kamu lantas dengan mudahnya menguplod foto kamu di segala media sosial.
                Ah, saya juga dulu sering khilaf melakukan hal ini. Bukan foto sendirian memang. Tapi foto bareng-bareng teman. Tapi tetap saja foto itu bisa di crop dan nampaklah saya sendirian. Namun setelah mendengar cerita dari sesepuh tadi, saya harus ekstra hati-hati.
                Cerita apa sih?
                Jadi begini. Alkisah, di atas bumi Allah, seorang anak manusia, seorang perempuan memiliki teman laki-laki. Sebut saja namanya A dan B, A untuk si perempuan dan B untuk si laki-laki. Si A suatu kali hendak meminjam laptope si B untuk suatu keperluan. Lalu, si A tanpa sengaja membuka berkas-berkas foto si A. Betapa terkejutnya si A ketika mendapati satu folder di dalam file laptope temannya itu ada foto-fotonya. Foto-foto wajahnya yang terpampang dengan berbagai angle pengambilan.
                Cie cie...jangan-jangan si B naksir si A ya?
                Bukaaaan. Ceritanya belum selesai.
Tidak sampai disitu saja. Ternyata di folder lain juga ada foto-foto perempuan-perempuan lain. Banyaaaakkk..
Ketika si A bertanya kepada si B, jawabnya dengan enteng,”Salah siapa di upload!”
                Ini sih bukan lagi naksir namanya.
                Betul. Bayangin, foto-foto yang kamu upload di FB didonlot sama laki-laki dan di kumpulkan dalam satu folder dijadikan koleksinya. Iya, kalau hanya di jadikan objek pandangan. Bukan kalau ding. Jika fotomu merontokan iman mereka bagaimana? Tau kan kalau laki-laki itu imajinasinya liar? Bisa-bisa foto kamu jadi objek fantasi mereka. Hiii ngeriii..
                “Emang masalah buat gue? Kan mereka yang berimajinasi. Masalah imannya rontok kan masalah die. Suruh siapa donlot foto gue.”
                Neng, pernah nonton dorama jepang yang judulnya Galileo ngga? Kalo engga saya kasih tau salah satu quotenya. “Every phenomena has a cause,” Terjadinya sesuatu itu pasti ada sebabnya. Nah dalam kasus ini, kenapa sih si laki-laki itu donlot foto kita. Sebabnya karena kita uplod foto kita di medsos. Kalau kita ngga upload, tentu mereka ngga bisa download. Jadi, siapa yang udah bikin rontok iman mereka?
                Nah, sudah tau sebabnya? Jika ada sebab, maka ada pertanggungjawaban. Jadi kalau iman mereka rontok, yang tanggung jawab ya yang menyebabkan itu. Bukan sama dosen tanggung jawabnya, bukan pula sama hakim pengadilan, tapi pada Hakim Segala Perkara. Ngeri loh. Kita ngga bisa bawa pengacara. Hotman Paris Hutapea pun pasti ngga berkutik kalau sudah berhadapan denganNya.
                Itu baru satu. Yang kedua. Foto kamu yang cantik, yang manyun, yang gaya bebek, yang gaya embem, ah...segala gaya deh. Tiba-tiba sudah dipasangkan dengan tubuh manusia lain dengan pose syur. Mungkin juga badan foto bugil artis hollywod yang baru dicuri itu.
                Hiii...Seremnya kuadrat.
                Nah, itu kasus yang pertama. Nah, kasus yang kedua itu adakalanya laki-laki itu tidak hanya tukar-tukaran film anime, gambar naruto, one piece atau meme, tapi foto-foto kamu. Lalu foto kamu akan menyebar kemana-mana. Bahkan manusia yang sama sekali tidak kamu kenal keberadaannya dan mungkin motif yang ia miliki.
                Saya tau, kamu cantik, kamu mempesona. Tidak di foto pun kamu sudah cantik. Tidak di uplod di media sosial pun kamu sudah manis. Biarlah yang menikmati kecantikan kamu adalah orang yang berhak atas kamu. Bukan mereka yang melontarkan pujian, dan memandang kamu penuh nafsu. Sehingga nanti kamu ikut terseret oleh sebab yang kamu timbulkan.
                Sebenarnya kasus uplod foto tidak hanya untuk kaum hawa. Kaum adam itu sebenernya juga sama. Meski tak seliar laki-laki, perempuan juga punya imajinasi. Bedanya laki-laki imajinasinya hanya sekedar sampai pada imajinasi. Kalau perempuan, imajinasinya turun ke perasaan. Iya ngga perempuan? Hayo ngaku..
                Jadi, wahai engkau laki-laki, tidak ingin kan jadi sebab dan dimintai pertanggung jawaban karena perempuan-perempuan tak mampu menjaga hatinya? So, tuh foto-foto narsis, foto gokil, foto pamer, buruan dihapus, disembunyikan, di privat, atau apalah namanya. Hilangkan dari pandangan kami, perempuan.
                Sudah merinding disko belum?
                Saya sih merinding lefel warung kopi. Itu lefelnya lebih tinggi loh.
                Salam.


                *Belum di edit dan belum di koreksi
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Tuesday, 1 July 2014

The Purge Dimata Gue

Jika suatu saat nanti, ditentukan hari dimana hari itu kamu boleh melampiaskan seluruh amarah, dendam, keinginan menyakiti bahkan membunuh, apa yang akan terjadi? Semua itu legal. Tidak ada hukuman dan bahkan pemerintah mendukung dengan alasan untuk dunia yang lebih baik.
Yeah, kalo lu yang doyan nonton film trailer pasti tahu kemana arah pembicaraan gue.

Film tahun 2013 ini baru beberapa hari yang lalu gue tonton. Film ini berjudul The Purge. Telat sih. Padahal gue udah punya file ini dari awal tahun 2014. Tapi waktu itu gue pikir sadis banget. Bunuh-bunuhan, darah dimana-mana. Terus absurd gitu pokoknya. Meskipun gue hobi nonton film anime yang ngga jauh-jauh dari itu-itu juga. haha. Tapi kesannya beda lah..

Untuk alur ceritanya, lu googling aja.Seru sebenernya kalo diikuti. Apalagi kalo nangkep maknanya.
Dari film ini gue jadi berfikir, jika benar suatu hari nanti ada hari yang dilegalkan untuk membunuh, habislah seluruh umat manusia. Mereka akan saling bunuh tanpa di batasi hukum. Tak puas dengan satu hari, maka akan di tambah dengan hari lain, hari lagi dan hari lagi.

Dari film ini juga gue jadi inget pelajarannya ustad Talqis tentang asal-usul bulan dalam Islam dimana disana ada tiga bulan dimana bangsa arab dilarang untuk berperang. Bulan apa saja itu? Googling sanahhh.

Apa hubungannya? Disatu sisi, film the Purge melegalkan satu hari sebagai hari yang diperbolehkan dilakukan pembunuhan, sedangkan dalam asal-usul bulan penamaan bulan Islam, ada pelarangan tentang pembunuhan.

Dalam film The Purge, pemerintah melegalkan pembunuhan dalam satu hari itu agar emosi yang tersimpan di dalam masyarakat selama setahun bisa di salurkan dalam satu hari itu. So, dalam satu hari itu, yang punya dendam, boleh untuk melampiaskannya tanpa ada ancaman hukuman.
Tapi, dalam film itu juga di gambarkan bahwa sebenarnya satu hari itu adalah cara pemerintah untuk membasmi orang-orang yang tidak mampu karena mereka tidak dapat melindungi diri mereka. Berbeda dengan orang-orang kaya yang memiliki sistem keamanan yang sangat canggih sehingga dalam satu malam itu mereka aman.

Dan, sisi yang ingin saya ambil adalah benarkah emosi bisa diredam dan dilampiaskan hanya dengan satu hari? Benarkah "penyucian" itu akan menjadikan kehidupan menjadi lebih baik karena mereka tersalurkan emosinya? Benarkan tidak ada hukuman dari kelakuan mereka yang seperti psikopat?

Ah, sayang. Gue bukan ahli psikologi. Tapi gue berfikir tentang kelakuan menyimpang seorang pemerkosa. Ketika suatu hari dia berhasil memperkosa seseorang, dan tidak dilakukan hukuman, kemungkinan besar dia akan melakukan hal yang sama kemudian hari. Lihatlah kelakuan si Emon.

Gue pikir sama halnya dengan membunuh. Meski sebenernya butuh seorang psikopat untuk berani melakukan pembunuhan. Namun ketika sudah tercipta rasa ketagihan, terciptalah psikopat-psikopat yang baru. Ini sih analisis gue aja. haha.

Dan setahu gue, psikopat itu ngga bisa meredam amarah. Apalagi nunggu satu tahun. Gue ngga yakin.

Maka bersambunglah ke pertanyaan kedua. Apakah kehidupan dunia akan lebih baik jika psikopat dimana-mana? 

Lu yang jawab aja deh. Haha

Terus pertanyaan ketiga gue, benarkah tidak ada hukuman?

Saya yakin, ketika seseorang membunuh, ketika dia "belum" menjadi psikopat ada rasa bersalah yang menghantuinya. Bagaimana pun ia telah mengambil hal yang bukan miliknya. Bagaimanapun ia mungkin telah menghancurkan kehidupan satu keluarga, dan itu menyedihkan.

And the last, gue muslim, tentu gue yakin adanya kehidupan setelah kehidupan. Surga dan neraka. Itulah hukumannya. Simpel.

Sebenernya banyak banget hal yang bisa di ambil dari film ini kalo lo mau ambil hikmahnya. Apa aja?
Lo tonton aja filmnya. Haha

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Thursday, 5 June 2014

Blog Baru Gue

Sebenernya masih satu akun sih. Tapi gue punya blog baru yang mungkin beda genre dari blog yang ini. Di blog yang satu ntu gue lebih condong cerita tentang jalan-jalan gue, dan itu lebih fokus. Yah, meskipun jarang entri post juga sih. Haha..
Tapi kalao lu mau lihat boleh ko... mampir aja. Kali aja lo tertarik..haha..


http://tintakeringtraveler.blogspot.com/
cek it out!!!
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com